Rabu, 18 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (86): Bahasa Semende di Pedalaman Sumatra di Timur Gunung Patah; Aksara dan Nama Semendo atau Semende?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Semende atau Semendo adalah suku bangsa di Sumatera Selatan. Suku ini memiliki dua subsuku atau bisa juga disebut marga/klan/kaum yaitu Semende Darat dan Semende Lembak. Semende Darat di Pulau Panggung dan Muara Enim. Semende Lembak di Pulau Beringin, Sungai Are, Sindang Danau, dan Mekakau Ilir di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Mereka juga tinggal di Kecamatan Semendo Darat Laut, Semendo Darat Tengah, Semendo Darat Ulu. Suku Semende merupakan bagian rumpun Melayu Tengah.


Bahasa Melayu Semende isolek bahasa Melayu Tengah dituturkan suku Semende. Cakupan wilayah relatif kecil, variasi dialektis bahasa Semende minim. Bahasa Semende memiliki aksara disebut Surat Ulu (berkerabat aksara Rejang dan Lampung). Sistem bahasa Semende banyak persamaan bahasa Besemah. Struktur morfologis bahasa Semende ‘kabah’ bagi pantaran jenis kelamin sama, ‘dengah’ berbeda jenis kelamin, ‘kamu’ bagi lebih tua. Akhiran -an dalam bahasa Semende digunakan menyatakan pengertian kebun, seperti kaweghan berarti kebun kopi dan pisangan berarti kebun pisang. Pembentukan kata ulang dengan pola fonem awal bentuk dasar + /e/ + bentuk dasar, misalnya dedue (dua-dua), tetige (tiga-tiga), dan sesenai (lambat-lambat). Menurut Bahar Datuk Mangkuto Alam, istilahnya Semende, -e, bukan Semendo, -o. Asal kata adalah "same ande" arti "sama-sama anak, sama-sama berhak". Barmawi menjelaskan "Semendo" dari kata "semende" berarti perkawinan. Kata semende terdiri dari kata se + ende yang mendapatkan sisipan -m-. "Se" berarti satu, sedangkan "ende" berarti kedua pihak laki-laki masuk ke rumah perempuan mematuhi satu adat perkawinan, yaitu laki-laki masuk rumah perempuan tersebut tidak dijual, demikian pula pihak perempuan tidak membeli. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Semende di pedalaman Sumatra di timur gunung Patah. Seperti disebut di atas, bahasa Semende di daerah aliran sungai Lematang di Muara Enim. Aksara dan nama Semendo dan Semende. Lalu bagaimana sejarah bahasa Semende di pedalaman Sumatra daerah aliran sungai (DAS) Lematang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Semende di Pedalaman Sumatra di Timur Gunung Patah; Aksara dan Nama Semendo dan Semende

Bahasa Semende atau bahasa Semendo? Itu satu hal. Hal lain adalah soal ‘semendo’ di wilayah Residentie Palembang. Apa yang dimaksud dengan ‘semendo’dalam hal ini dihubungkan dengan pembelian ‘djoedjoer’ dalam hubungannya dengan perkawinan. Djoedjoer adalah nilai yang dibayar ketika seorang laki-laki menikah dengan perempuan. Jika tidak mampu bayar, suami masuk dalam keluarga perempuan, posisinya dianggap setara budak (bahkan meski sudah memiliki anak).


WL de Sturler adalah orang Eropa pertama yang mendeskripskan wilayah Palembang. Sementara di Lampong adalah Zollinger tahun 1846. WL de Sturler mendeskripsikan wilayah Residentie Palembang dengan judul ‘Proeve eener Beschrijving van het gebied van Palemhang diterbitkan pada tahun 1843. Dalam buku ini Sturler menyebut tentang ‘djodjoer’ dan ‘semendo’. WL de Sturler berpendapat bahwa perlu dilakukan upaya untuk menghapus adat ‘djoedjoer’ dan memperkenalkan perkawinan bebas (semendo) yang sudah ada di kota-kota.

Lantas bagaimana ‘semendo sebagai nama tempat/wilayah? Yang jelas orang Pasemah dan orang Kisam mengenal adat ‘djoejoer’ (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie,1857). Disebutkan secara khusus dibedakan dari empat suku lainnya yang mendiami negeri tersebut dengan nama "Semendo". menyatakan bahwa suku ini berasal dari suku Jawa, setidaknya dari segi adat yang dimilikinya.


Disebutkan dalam cerita rakyat seorang tokoh agama asal Jawa yang datang dari Mataram konon menjadi guru adat wilayah tersebut di kalangan nenek moyang yang saat itu masih hidup. ketika orang-orang asli berdiam di wilayah antara Boekiet Besar dan Boekiet Rangai, tanpa institusi sosial dengan nama apa pun. Bahasa dan tulisan adalah bahasa Semendo yang sama dengan empat suku lain yang menghuni wilayah Passemah. Namun soal tokoh dari Jaw aitu diragukan tetapi besar kemungkinan kelompok populasi Semendo adalah kelompok populasi yang melakukan migrasi ke wilayah Pasemah yang tidak mengakui hukum di wilayah Minangkabau.

Semendo adalah suatu nama yang telah dijadikan/dianggap suatu wilayah. Nama tempat Semendo dalam hal ini diduga terkait degan ‘semendo; yang dihubungkan dengan adat ‘djoedjoer’. Orang Semendo terbilang berada di wilayah Pasemah.Wilayah pedalaman Sumatra dari pantai timur di Palembang, seperti halnya wilayah Tanah Batak adalah wilayah yang terbilang bebas dari berbagai kekuatan.


Wilayah pedalaman Residentie Palembang tidak memiliki relasi kuasa dengan kerajaan Minangkabau, kerajaan Palembang dan kerajaan Banten di masa lampau. Seperti halnya Sultan Djambi, Sultan Palembang juga kerap mengklaim wilayah pedalaman yang tidak pernah menempatkan perwakilannya. Sebaliknya pangeran kesultanan Banten sebelum 1683 masih mengendalikan perdagangan hingga ke wilayah Selebar (pantai barat Sumatra). Pada tahun 1825 kesultanan Palembang dibubarkan Pemerintah Hindia Belanda. Pada saat permulaan pembentukan cabang-cabang pemerintah di Sumatra ini, Radja Djambi dan Radja Palembang saling mengklaim wilayah Rawas (1833). Akhirnya, atas legasi pangeran Palembang ekspedisi militer Belanda dikirim ke Rawas. Akibatnya Radja Djambi dihukum, tidak hanya kehilangan Rawas juga wilayah hilir Djambi (Moearakompeh) yang kemudian dimasukkan ke wilayah residentie Palembang. Pada tahun 1851 terjadi perlawanan terhadap otoritas pemerintah yang dipimpin oleh Radja Tiang Alam. Dalam perkembangannya Radja Tiang Alam bergerak ke wilayah Pasemah dan Ampat Lawang sebelum berhasil ditingkap tahun 1853 (dan diasingkan ke Jawa). Perlawanan di Pasemah, Ampat Lawang dan Redjang Lebong terus berlanjut. Bahasa dan tulisan Semendo adalah sama dengan empat suku lain yang menghuni wilayah Pasemah (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1857). Pada tahun 1859 pemerintah menduduki Redjang dan tahun 1861 menduduki Lebong. Lalu pada tahun 1864, empat kabupaten yang sampai sekarang merdeka antara Lampong dan Palembang (Semendo, Kisam, Makakau dan Blalauw) dimasukkan ke dalam residentie Palembang (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1866).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Aksara dan Nama Semendo dan Semende: Asal Usul dan Terbentuknya Bahasa Semende

Sejak kapan wilayah Samendo terbentuk sebagai suatu wilayah kelompok populasi tidak diketahui secara pasti. Yang jelas orang Semendo berada di wilayah Pasemah. Namun dalam reorganisasi pemerintahan di Residentie Palembang yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1864 wilayah Pasemah dan wilayah Semendo berada di dua afdeeling yang berbeda.


Afdeeling 2 dengan ibu kota di Tebingtinggi terdiri dari Tebingtinggi, Ampat Lawang, Lamatang Oeloe, Moesi Oeloe, Kikim dan Lanskap Redjang dan Lanskap Pasemah; Afdeeling tiga dengan ibu kota di Moeara Doea terdiri Ogan Oeloe, Komering Oeloe en Enim, Lanskap Semendo, Kikim dan Makakau (lihat Almanak 1865).

Wilayah Semendo berada di wilayah Pasemah. Bahasa dan aksara orang Semendo mirip dengan orang Pasemah. Mengapa memiliki aksara sendiri, aksara yang berbeda yang digunakan di Palembang (aksara Jawi). Yang memiliki aksara sendiri, tidak hanya di wilayah pedalaman Palembang (Pasemah dan Redjang), juga di wilayah selatan di Lampung (aksara Lampoeng), di wilayah utara Redjang di Kerinci (aksara Kerinci).


Aksara-aksara yang disebut di atas, memiliki kemiripan dengan aksara Batak (aksara Sumatra yang dibedakan dengan aksara di Jawa). Kesultanan Palembang dan kesultanan Djambi di hilir menggunakan aksara Jawi. Lantas mengapa kerajaan di hulu Pagaroejoeng juga memeiliki aksara Jawi. Lantas mengapa kerajaan Pagaroejoeng di pedalaman tidak memiliki aksara Sumatra? Garis aksara terpotong di wilayah Minangkabau (Pagaroejoeng) antara wilayah Kerinci dan wilayah Batak.

Satu hal yang tetap menjadi pertanyaan adalah mengapa orang Semendo menggunakan adat ‘semendo’ diantara wilayah lain yang berdekatan yang menggunakan adat ‘djoejoer’. Nama adat inilah yang diduga menjadi awalmula nama wilayah (kelompok populasi) Semendo. Seperti halnya adat ‘djoedjoer’ dari Redjang hingga Lampong, mengapa Semendo dengan adat ‘semendo’ memiliki aksara dan bahasa yang sama dengan yang lain berdekatan?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar