Minggu, 30 Desember 2018

Sejarah Jakarta (33): Sejarah Anak Gunung Krakatau Sejak 1883, Lahir Di Dasar Laut; Tumbuh Tinggi, Kini Longsor Jadi Tsunami


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Gunung Krakatau di tengah laut di Selat Sunda meletus tahun 1883. Akibat letusan itu, gunung Krakatau di atas permukaan laut hanya tersisa sebagian kecil. Namun kawah yang berada di dasar laut terus bekerja hingga ini hari. Kawah yang sudah berasal dasar laut inilah yang kemudian memunculkan gunung baru di atas permukaan laut yang kini dikenal sebagai Anak Gunung Krakatau.

Ayah, Ibu dan Anak keluarga gunung Krakatau di Selat Sunda
Gunung Anak Krakatau pada hari Sabtu 22 Desember 2018 diduga telah longsor, lalu diduga telah menimbulkan tsunami dan menyebabkan korban jiwa dan kerusakan di sepanjang pantai terdekat seperti Tanjung Lesung. Berita tsunami yang dikaitkan dengan aktivitas Anak Krakatau segera menjadi berita dunia. Menurut perkiraan PVMBG/ESDM hari-hari terakhir ini, setelah Anak Krakatau meletus ketinggiannya telah berkurang dari 338 meter di atas permukaan laut (MDPL) menjadi 110 MDPL.

Anak Krakatau haruslah dipahami ‘lebih galak’ dari ibunya, sebab Anak Krakatau mengikuti gen ayahnya. Oleh karena itu, aktivitas Anak Krakatau haruslah tetap diwaspadai. Gunung Krakatau yang meletus tahun 1883, sejatinya yang meledak adalah ayah dari Anak Krakatau, sedangkan ibunya masih tenang-tenang saja hingga ini hari. Lantas, bagaimana sesungguhnya riwayat keluarga gunung Krakatau tersebut. Untuk memahaminya, mari kita telusuri ke sumber-sumber tempo dulu.

Lukisan Krakatau (J Vingboons, 1665)
Artikel ini adalah kelanjutan artikel sebelumnnya:Sejarah Jakarta (32): Fakta Letusan Gunung Krakatau Sebenarnya, 1883; Di Batavia Juga Terjadi Tsunami, Gelap Gulita Siang Hari. Letusan gunung Krakatau, tidak hanya menghilangkan wujud gunung dari atas permukaan laut, ledakannya telah menimbulkan tsunami setinggi 30 meter. Suara ledakan gunung Krakatau terdengar hingga ke Sibolga di Tapanoeli dan di (pulau) Penang (Malaysia). Saat kejadian, kapal uap dimana terdapat Gubernur Jenderal Loudon tengah dalam pelayaran dari Padang ke Batavia di sekitar Selat Sunda. Kapten kapal tersebut setelah melihat langsung memastikan dan mengirimkan berita ke Batavia bahwa gunung Krakatau telah lenyap dan hanya air yang terlihat di atasnya.

Peta Krakatau Sebelum Meletus, 1883

Peta profil pulau Krakatau (PJ Buijskes, 1849)
Sesungguhnya, gunung Krakatau sudah sejak beberapa waktu menunjukkan aktivitas vulkaniknya. Oleh karena itu, sejumlah pihak memperhatikannya. Peta profil pulau Krakatau dibuat oleh PJ Buijskes tahun 1849. Peta profil ini diduga peta tertua. Pulau Krakatau digambarkan terdiri dari puncak gunung Krakatau (832 M), ketinggian 456 M, gunung Danan, dan gunung Perboewatan (120 M). Pada tahun 1883, J Kuyper telah memetakan gunung Krakatau sebelum meletus. Peta ini dipublikasikan pada bulan Agustus 1883, beberapa hari sebelum gunung Krakatau meletus pada tanggal 27 Agustus 1883 (Peta 1883a/J Kuyper). Peta ini seakan ‘foto’ terakhir seseorang selagi masih hidup sebelum meninggal keesokan harinya. Bagaimana reaksi J Kuyper dkk yang berada di Paris, Prancis setelah mendengar gunung Krakatau meletus sulit dilukiskan, Namun yang jelas J Kuyper telah berhasil mengabadikan ‘foto profil’ gunung Krakatau sebelum lenyap.

Pulau Krakatau, sebelum meletus (Peta 1883a/J Kuyper)
Peta 1883-a/J Kuyper ini sangat rinci. Peta ini menggambarkan pulau Krakatau dan dua pulau kecil yang berada didekatnya. Pulau Krakatau dipetakan ke dalam dua wilayah: wilayah pulau belum terkena dampak erupsi (warna kuning) dan area erupsi (warna merah). Pada area merah terdapat tiga petunjuk penting, yakni: ketinggian gunung Krakatau (822 M) dan dua kawah di dua sisi puncak gunung. Area kuning juga dipetakan sesuai kontur yang menunjukkan tinggi gunung 812 M. Mereka juga mengukur kedalaman laut hanya pada sisi timur. Paling dalam  sekitar 100 meter. Pada beberapa titik pengukuran dibuat merah, yang diduga menunjukkan adanya lapiran baru (aliran lava?).

Peta Krakatau Setelah Meletus

Orang pertama yang mengetahui bahwa pulau Krakatau telah lenyap sebagian adalah Kapten kapal uap yang membawa Gubernur Jenderal Loudon dari Padang ke Batavia. Di Batavia, pada saat letusan hingga pagi hari orang masih bertanya-tanya apa yang menyebabkan suara letusan yang sangat kuat.

Foto Krakatau saat erupsi sebelum meledak 1883
Pada saat gunung Krakatau meledak dini hari tanggal 27 Agustus 1883 kapal pada posisi di Kroei. Kapal tidak berani mendekati pelabuhan karena takut gelombang besar yang mana kapal dapat menabrak pantai. Kami hanya bertahan di laut. Pada pagi hari, setelah gelombang laut, pukul 3.30 bergerak dan tiba di teluk Telok Betong pada pukul 7.25 dimana situasi hujan debu. Kapal harus bersusah payah karena sulit menembus laut yang dipenuhi abu dan batu apung yang disertai gelombang air. Pada malam hari kami mencoba dengan sekoci untuk mendekati kota Telok Betong. Namun tidak berhasil karena air tidak bisa ditembus. Pada pagi hari berikutnya (28 Agustus) sejak pukul 1 dinihari bergerak dan tiba di pulau Tiga. Dari pukul 4 pagi hingga pukul 4 sore kami hanya berdiam di tengah laut karena arus laut yang liar. Setelah kapal dibersihkan, kami berjalan, melintasi Selat Sunda ke arah timur dan kemudian ke selatan dekat Krakatau. Satu hal pemandangan ketika kami melewati Krakatau, kami melihat bahwa tengah pulau itu hilang, dan dari sini tidak ada tempat untuk dilihat, tetapi ketika kami memutar ke barat Krakatau, kami melihat terumbu besar muncul antara (pulau) Sebesie dan Krakatau, tempat beberapa kawah terlihat mengeluarkan kolom asap.

Pencatatan seismik di Batavia tanggal 27 Agustus 1883
Sebuah foto bertahun 1883 yang diduga sebagai foto pulau Krakatau meledak. Foto ini mengindikasikan suatu erupsi di Krakatau yang kira-kira di gunung Perboewatan. Foto ini diduga diambil dari kapal yang membawa Gubernur Jenderal ke Padang. Alat potret saat itu masih berukuran besar dan tidak praktis. Petugas pemerintah yang bertugas untuk urusan fotografi mendampingi Gubernur Jenderal. Saat kapal melewati Selat Sunda momen erupsi/wedus gembel tersebut diambil dari atas geladak kapal. Sementara itu, juga dipublikasikan pencatatan seismeik di Batavia pada tanggal 26 dan 27 Agustus 1883. Dalam catatn seismik Batavia ini terdapat tiga data yakni data declimantie, data horizantale intensiteit dan data verticale intensitiet. Dalam gambar diperlihat data horizantale/vericale intensiteit pada tanggal 27 Agustus 1883 antara pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore.

Pencatatan seismik di Afrika Selatan 26-30 Agustus 1883
Catatan kapten kapal ini, setelah tiba di Anjer dikirim melalui kurir via telegraf dari Serang. Telegram ini kemudian dimuat surat kabar yang terbit di Batavia, Bataviaasch handelsblad edisi 29-08-1883, Hasil pencatatan seismik di Port Elisabeth di Afrika Selatan mengindikasikan gunung Krakatau tengah gawat. Catatan seismik di Port Elisabeth ini antara tanggal 26 hingga 30 Agustus yang dipublikasikan Institut National de Géographie (Bruxelles) diperlihat dalam gambar di sebelah. Lalu kemudian beberapa waktu setelah gunung Krakatau meledak (masih pada tahun 1883), sebuah tim peneliti Belanda melakukan ekspedisi ke gunung Krakatau. Hasil penelitian ini disarikan dalam sebuah peta terbaru di seputar pulau Krakatau (Peta 1883b).

Area pasca letusan di gunung Krakatau (Peta 1883b)
Peta 1883b pasca ledakan gunung Krakatau ini menunjukkan bahwa pulau Krakatau hanya tersisa sebagian kecil. Peta ini sesuai gambaran yang dilukiskan oleh kapten kapal sebelumnya. Gunung Krakatau telah lenyap dan hanya air yang berada di atasnya. Dalam peta ini juga ditunjukkan dua titik di bekas area ledakan semacam kawah yang aktif dari dasar laut. Kawah yang lebih besar teridentifikasi ada semburan seakan tampak semacam pulau kecil. Gambaran peta ini juga sesuai dengan catatan kapten bahwa di beberapa titik terlihat semacam terumbu karang yang dari dalamnya muncul asap. Hal yang terpenting dari peta ini, para peneliti telah mengukur kedalaman laut di beberapa titik. Pada peta terlihat titik terdalam di eks area pulau Krakatau adalah sekitar 300 meter. Pada titik kawah kedalaman laut sekitar 100 meter. Di atas kawah dari kedalaman 100 meter inilah secara perlahan-lahan kelak muncul dan menjadi cikal bakal pulau Anak Karakatau.

Sebaran abu vulkabnik Krakatau, 1883
Masih pada tahun 1883 satu tim dari Amsterdam datang untuk memetakan dampak bencana yang ditimbulkan letusan gunung Krakatau. Dampak yang terjadi sebagaimana dapat diidentifikasi dalam peta meliputi pantai-pantai di Sumatra dan pantai-pantai di Jawa. Sudah tentu saja pulau-pulau di Selatan Sunda yang sangat dekat dengan pulau Krakatau, juga pulau-pulau di laut Jawa yang dekat dengan Batavia dan Banten. Peta dampak bencana Krakarau ini dibuat oleh JG Stemler (Peta 1883c/JG Stemler). Peta dampak abu vulkanik baru dipublikasikan oleh Institut National de Geographie (Bruxelles) pada tahun 1886. Sebaran abu terjauh di sebelah timur di Bandung, di sebelah utara di Djohor dan Beangkalis, di sebelah barat dan selatan di pulau Keeling (Cocos eiland) di Lautan Hindia. Institut National de Geographie (Bruxelles) pada tahun 1886 juga mempublikasikan peta terjauh bunyi letusan ledakan Krakatau. Di dalam peta, lingkaran bunyi terjauh sampai ke Ceylon, Ranggoen (Bimma), Manila, Sorong (Papua) dan Perth (Australia). Dalam peta suara ini juga diidentifikasi pengaruh gelombang laut yang ditimbulkan: 6 jam di Ceylon, 11 jam di Aden (Timur Tengah), 2 jam di pulau Keeling (Cocos Eiland), 6 jam di Perth, 3 jam di Padang, 4 jam di Sibolga, 10 jam di Madagaskar dan Port Elisabeth di Afrika Selatan dan 17 jam di pulau Fakland, Argentina.

Peta dampak gunung Krakatau (Peta 1883c/JG Stemler)
Peta 1883c/JG Stemler mengindikasikan dampak yang terjadi yang menjadi bagian wilayah Sumatra (warna biru) dan wilayah Jawa (warna merah). Garis-garis warna biru menunjukkan skala kerusakan yang sangat besar yang terjadi di sejumlah titik/lokasi di pulau-pulau di Selat Sunda, pantai-pantai di Sumatra dan Jawa dan pulau-pulau di laut Jawa. Secara umum, dampak bencana dengan lokasi terluas diidentifikasi di pantai barat Jawa yakni sepanjang pantai antara Merak (di utara) dan Tjeringin (di selatan). Masih di wilayah Jawa, dampak besar juga dialami pulau Merak dan pantai St Nicolaaspunt, serta sisi barat pulau Pandjang di teluk Banten. Selain itu juga diidentifikasi di pulau Babi, pulau Hoorn serta pulau-pulau di kepulauan seribu. Di sekitar pantai, dampak besar juga diidentifikasi di pantai Tanara, pantai Maoek (bahkan masuk jauh ke daratan), pantai Kramat, pantai Batavia, pantai Antjol dan (pelabuhan) Tandjong Priok. Sementara itu di wilayah Sumatra, dampak besar diidentifikasi di sepanjang antara (gunung) Radjabasa dan (ujung selatan) Kalianda (dekat Bakauheni sekarang). Dampak besar juga terjadi di (kota) Teluk Betong dan pantai sisi timur kota.

Area dampak besar (Peta 1883c/JG Stemler)
Peta 1883c/JG Stemler ini juga mengukur kedalam laut di sejumlah titik. Ukuran jarak navigasi pada waktu disebutkan antara Ktakatau dan Batavia selama 28 jam atau 20 mil; jarak antara Krakatau dengan Anjer selama 8 jam atau 6 mil. Jalan darat yang hanya bisa diakses setelah bencana adalah dari Serang ke Tjiligon dan dari Tjiligon hingga sepanjang pantai, di area yang lebih tinggi, hingga ke Tjeringin (Moeara Bama). Situasi dan kondisi di Selatan Sunda disebutkan bahwa pulau/gunung Krakatau telah menghilang, pulau Dwars (dekat Anjer) terbelah menjadi lima bagian. Disebuatkan pada tanggal 28 Agustus terlihat tumpukan yang luas mengapung (puing-puing dan batu apung) di sekitar barat laut Merak. Di antara pulau Sebesi dan letusan Krakatau terlihat terumbu karang muncul di atas permukaan laut dengan tanda kawah. Sementara di teluk Telok Betong pada tanggal 27 Agustus sore terjadi hujan abu dan batu apung dan pada tanggal 28 ke arah dekat pelabuhan terdapat bank batu apung. Sedangkan di sepanjang pantai dan darat di selatan kota Telok Betong hingga teluk Belantong pada tanggal 27 dan 28 Agustus terjadi hujan abu dan batu apung.

Surat kabar Krakatau di Belanda, edisi perdana 22 September 1883
Begitu hebatnya ledakan dan dampak yang ditimbulkan letusan gunung Krakatau di Selat Sunda telah menjadi perhatian dunia. Pers internasional terus mendapat pasokan berita dari Batavia, seperti kantor berita Reuter di Eropa dan kemudian mendistribusikannya untuk sejumlah koran besar di Eropa dan Amerika. Teknologi telegraf telah membuat kecepatan berita. Saat itu, meski pelayaran dari Batavia ke Eropa sudah melalui terusan Suez, namun waktu tempuhnya lebih dari sebulan. Terkait dengan Krakatau ini, di Amsterdam terbit surat kabar baru, surat kabar internasional yang diberi nama Krakatau. Edisi pertama muncul pada tangal 22 September 1883. Penerbitan surat kabar internasional ini belum sampai sebulan dari kejadian meledaknya gunung Krakatau pada tanggal 27 Agustus 1883.

Apakah Kawah Krakatau Tidur?

Peta profil ledakan gunung/pulau Krakatau (1886)
Kabar tentang aktivitas vuknanik di sekitar pulau Krakatau secara perlahan menghilang. Namun demikian, tulisan-tulisan kegunung-apian yang juga merujuk pada letusan gunung  Karakatau tahun 1883 semakin banyak diperhatikan (diteliti). Lalu lintas pelayaran di Selat Sunda bahkan hingga ke sekitar pulau Krakatau sudah berjalan normal. Letusan gunung Krakatau lambat laun mulai dilupakan oleh penduduk sekitar. Pada tahun 1883 dipublikasikan peta profil letusan gunung Krakatau. Peta profil ini memperbandingkan lobang ke perut bumi, kawah dan puncak gunung Krakatau kono (tinggi), pulau Krakatau sebelum meledak (gunung Krakatau, Perboewatan, Danan). Profil ini juga memperlihatkan kondisi setelah ledakan (hanya tampak daratan yang tersisa, sebelah kanan). Peta profil ini dibuat oleh National de Géographie (Bruxelles).

Peta pulau/gunung Krakatau (1911)
Pada tahun 1911 muncul publikasi peta terbaru tentang area letusan gunung Krakatau. Peta yang dibuat Badan Tofografi Batavia yang datanya dikumpulkan tahun 1909 dan dibuat oleh Ms van Gogh ini menggambarkan bahwa pulau Anak Krakatau belum ada. Pulau yang diidentifikasi adalah pulau Krakatau dengan pulau yang lebih kecil yang disebut pulau Krakatau Kecil serta pulau Sertung. Gunung Krakatau telah meletus, pulau Krakatau hanya tinggal sebagian. Pulau Krakatau yang sebagian ini mewarisi nama Krakatau (sebagai ibu Krakatau). Dalam peta tahun 1911 di sisa pulau Krakatau (ibu Krakatau) diidentifikasi gunung Krakatau. Gunung ini tentu saja tidak setinggi gunung Krakatau yang telah meledak (ayah Krakatau setinggi 822 M). Lantas, kapan anak Krakatau lahir?.   
.
Pada tahun 1919 area letusan gunung Krakatau kembali dipetakan. Diduga yang memetakan area tersebut adalah kantor tofografi Batavia. Pada posisi Anak Krakatau yang sekarang, pada tahun 1908 terdapat kedalaman sekitar 250 meter di bawah permukaan. Pada tahun 1919 sudah ada yang berada 80 meter di bawah permukaan air. Ini artinya, bahwa di bawah permukaan laut telah terjadi semacam pembekakan dasar laut yang semakin mendekati permukaan laut (yang kelak kemudian muncul di atas permukaan air sebagai, pulau Anak Krakatau).

Peta 1919 di Krakatau (Koninklijk Instituut voor de Tropen)
Pada tahun 1919 Topografische dienst in Nederlandsch-Indie, Batavia melakukan pemetaan area Krakatau yang kemudian dipublikasikan oleh Koninklijk Instituut voor de Tropen. Data yang dikumpulkan selama periode 1919 juga di dalam peta menunjukkan kedalaman laut yang dibuat oleh Dr BG Escher pada bulan Juni 1919. Peta Escher ini juga membandingkan dengan peta yang dibuat van Gogh yang datanya dikumpulkan pada tahun 1909. Dalam peta 1919, titik kedalaman laut pada bulan September dan Oktober tahun 1883. Di beberapa titik setelah letusan, diidentifikasi ada pendangkalan yang diberi tanda lingkaran dengan patah-patah (lingkaran besar), sementara yang dibuat dengan garis kontinu (lingkaran kecil) menandakan kedalaman yang diukur dari atas air yang semakin dekat ke permukaan.

Foto erupsi Anak Krakatau, 1928
Pada tahun 1928 terjadi erupsi di dasar laut yang berada pada posisi tengah pulau Anak Krakatau yang sekarang. Pulau/gunung Anak Krakatau yang sudah berbentuk sebesar seperti kira-kira sebesar pulau Anak Krakatau yang sekarang (sekitar 300 M di atas permukaan laut).

Baru-baru ini PVMBG/ESDM melaporkan setelah terjadinya erupsi (24-27 Desember 2018) ketinggian  pulau/gunung Anak Krakatau telah menurun dari drastis 338 M/dpl menjadi 110 M/dpl. Penuruan ini diduga sebagai terjadinya longsor lalu menimbulkan tsunami. Volume yang hilang diperkirakan sekitar 150-180 juta M3, sementara yang tersisa saat ini hanya sekitar 40-70 juta M3.

Lantas, apakah pulau/gunung Anak Krakatau yang telah mengalami longsor dan tinggi hanya tinggal 110 M akan kembali tumbuh. Kita tidak tahu.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar