Rabu, 26 Desember 2018

Sejarah Makassar (16): Letusan Gunung Tambora di Bima Terdengar di Makassar, 5 April 1815: Bagaimana Cara Membuktikan Letusan Berasal dari Gunung Tambora?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Gunung Tambora di Bima mulai meletus tanggal 5 April 1815. Suara letusan yang terdengar di Makassar dari arah selatan pada tanggal tersebut tidak mengetahui datangnya dari mana dan disebabkan oleh apa. Orang-orang di Makassar mengira sebuah tembakan kanon yang dahsyat. Sementara di Soerabaja umumnya orang mengira suara letusan itu berasal dari Lumajang. Sedangkan orang-orang di Banyuwangi yakin suara letusan pada tanggal yang sama berasal dari (letusan) gunung Rawoeng. Darimana suara letusan berasal masih simpang siur. Suara letusan itu juga dilaporkan terdengar hingga Batavia dan Bangka.

Java government gazette, 20-05-1815
Pada tahun 1815 alat komunikasi baru pada tingkat awal (surat dan lisan). Kantor pos hanya terdapat di kota-kota utama tetapi belum ada teknologi telegraf. Tentu saja kantor yang mengurusi gunung vulkanik (semacam PVMBG) belum ada, Namun suara itu sangat kuat, bahkan terdengar sangat jauh hingga ke Batavia dan Banca (Bangka). Kesulitan mendeteksi suara letusan gunung menjadi masalah. Perbedaan penafsiran menjadi masalah tersendiri. Itulah sejarah awal kegunungapian dan mitigasi bencana di Indonesia (baca: sejak era kolonial Belanda). Kejadian tsunami beberapa hari lalu di Banten, juga memiliki masalah tersendiri. Sebab, pemicu terjadinya tsunami belum diketahui secara pasti meski tingkat teknologi sudah jauh meningkat jika dibandingkan tingkat teknologi pada tahun 1815. Setiap era memiliki masalah sendiri-sendiri.

Lantas bagaimana cara menyelidiki dan membuktikan suara letusan gunung api yang dilakukan ketika gunung Tambora meletus kali pertama pada tanggal 5 April 1815, tetapi tidak seorang pun mengetahuinya? Ini jelas suatu pertanyaan menarik. Ketika suara letusan itu terdengar di Makassar, suatu ekspedisi segera dikirim ke selatan untuk meninjaunya. Bagaimana ekspedisi ini bekerja, siapa yang memimpin ekspedisi dan bagaimana membuktikan bahwa suara letusan itu benar-benar berasal dari gunung Tambora adalah suatu pertanyaan yang menarik untuk diketahui. Artikel ini akan mendeskripsikannya berdasarkan laporan yang dimuat surat kabar Java government gazette edisi 20-05-1815.

Di Makassar, Suara Letusan Terdengar 5 April 1815

Seperti di tempat lain, di Makassar juga heboh dengan suara letusan yang besar. Suara letusan terdengar di Makassar tanggal 5 April yang diduga berasal dari selatan. Suara itu berlanjut dengan jeda sepanjang sore. Menjelang matahari terbenam, suara itu serasa makin dekat, dan terdengar seperti senjata berat. Inilah awal mula suara letusan terdengar di Makassar sebagaimana ditulis seseorang yang dimuat pada surat kabar Java government gazette, 20-05-1815.

Siapa seseorang tersebut tidak diketahui namanya. Dia adalah seorang yang diminta oleh Asisten Residen Owen Philips kemudian untuk memimpin ekspedisi untuk menyelidiki ke lokasi asal letusan.

Saya meminta orang pergi ke kapal ke atas tiang untuk melihat kilatan. Setelah pagi hari saya (pemimpin itu) mulai menyadari dan menimbang untuk melakukan peninjauan ke arah selatan untuk memastikan penyebabnya. Pagi itu sangat gelap dan semakin gelap di arah selatan dan tenggara. Angin bertiup dan dari Timur. Saya mengirim sebuah kapal untuk berlayar ke selatan mendapatkan informasi apa pun yang dia bisa harus berikan, ketika dia datang dari seperempat tempat dari mana tembakan telah terdengar.

Di tengah perjalanan tampak sebuah perahu besar muncul dari horizon selatan. Sulit menduga perahu besar itu apakah milik pedagang atau kapal para bajak laut.

Saya mengirim petugas untuk mendekati perahu tersebut untuk memastikan  apa yang terjadi. Perahu tersebut diketahui berasal dari Saleyer. Pemilik perahu, seorang Belanda, berpendapat bahwa dia telah mendengar suara penembakan malam itu, dua hari sebelum keberangkatannya dari Saleyer, sekitar tanggal 4 atau 3. Dia mengatakan terdengar sebuah penembakan dengan keras di selatan pulau (Seleyer). Informasi dari Belanda ini mengindikasikan sudah ada letusan sebelum tanggal 5 tetapi tidak sampai terdengar di Makassar. Namun tidak dijelaskan pada tanggal berapa pertemuan di laut antara pelaut Inggris, Chaloupe dengan pedagang Belanda yang dari Selayar.

Selayar adalah sebuah pulau paling besar di selatan (pulau) Sulawesi, suatu tempat yang cukup dekat dengan sumber letusan. Sejak 1811 Hindia Timur dikuasai oleh Inggris, namun hanya terkonsentrasi di Jawa. Di luar Jawa yang hanya terbatas di Palembang, Bandjarmasing dan Makassar, belum ada pemerintahan.

Pedagang Belanda tersebut selama perjalanan tidak menemukan kapal. Sebab ada anggapan terjadi serangan bajak laut di selatan. Luinetent Owen Philips, berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pedagangan Belanda tersebut, disimpulkan bahwa suara itu diduga kuat sebagai letusan gunung berapi di (pulau) Sumbawa. Saya kembali ke Makassar dan melaporkannya kepada Captaint WH Wood.

Pusat Inggris di Makassar pada tahun 1815 dipimpin oleh Captaint WH Wood yang bertindak sebagai pelaksana Resident and Commandant yang dibantu oleh asisten Luinetent Owen Philips serta beberapa staf untuk barak (tangsi), kesehatan dan juru bayar (lihat Almanak 1815). Setelah terjadi letusan, yang memerintahkan di Makassar dalam penyelidikan ke selatan adalah Luinetent Owen Philips.

Pada malam hari tanggal 11, tembakan kembali terdengar, tetapi jauh lebih keras, dan menjelang pagi terdengar berurutan dengan cepat, kadang-kadang seperti tiga senjata bersama, dan begitu berat sehingga suara itu mengguncang kapal, seperti yang terlihat di depan rumah-rumah di (dekat) benteng. Pada esoknya, kira-kira jam 8 pagi, sangat jelas bahwa beberapa kejadian luar biasa telah terjadi. Langit di selatan dan tenggara telah menunjukkan aspek yang paling suram dan itu jauh lebih gelap daripada ketika saat matahari terbit, pada awalnya awan hitam itu tampak seperti badai yang sangat berat atau badai yang mendekat; tetapi ketika semakin dekat itu muncul kemerahan, dan terus menyebar sangat cepat di atas langit. Menjelang pukul 10 malam, gelap sekali sehingga saya hampir tidak bisa membedakan kapal di pantai, meskipun tidak satu mil jauhnya. Saya kemudian kembali ke kapal. Sekarang terbukti bahwa suatu letusan telah terjadi dari beberapa gunung berapi di atah selatan dan tampak udara dipenuhi dengan abu atau debu vulkanik yang sudah mulai berjatuhan di geladak. Pada pukul 11 seluruh langit gelap gulita, kecuali sebuah space kecil terlihat di dekat cakrawala ke arah timur.

Pada pukul 6 pagi berikutnya, ketika matahari seharusnya saya lihat, itu masih berlanjut sebagai gelap seperti biasa, tetapi pada pukul setengah tujuh, saya merasa puas ketika saya merasakan bahwa kegelapan jelas berkurang. Pada pukul 8, saya bisa dengan samar-samar melihat benda-benda di geladak. Sejak itu, saya mulai menjadi lebih terang, sangat cepat, dan pada pukul setengah 9 pantai dapat dibedakan, abunya jatuh dalam jumlah yang cukup besar, tapi tidak seberat sebelumnya. Penampilan dari kapal ketika cahaya siang menerpa, tampak tiang-tiang kapal, tali-temali, geladak dan setiap bagian ditutupi dengan (benda yang jatuh ia memiliki penampilan seperti batu apung yang dikalsinasi, hampir berwarna kayu) abu, saya yakin beberapa ton beratnya di atas papan kapal, meskipun bubuk atau debu tetapi tidak dapat ditembus dengan mudah. Ketika dikonversi dari volume tertentu, ukuran setengah liter diisi dengan berat 12 ons, memiliki bau terbakar yang samar, tetapi tidak seperti belerang. Atmosfer masih kehitaman, udara masih diliputi abu sepanjang hari dan tanggal 12 hingga tanggal 15. Ketika pergi ke pantai di Maressa (Maruso), saya menemukan semua permukaan benar-benar tertutupi abu hingga satu inci dan seperempat. Padi yang siap dipanen tertutupi debu. Ikan di kolam terbunuh dan mengambang di permukaan dan banyak burung kecil bertelur mati di tanah. Aku butuh beberapa hari untuk membersihkan kapal dari abu, ketika air yang tergenang itu membentuk lumpur yang kuat, sulit untuk dibasuh.

Ekspedisi ke Asal Letusan di Gunung Tambora

Pada pagi hari tanggal 15 saya meninjau ke selatan. Dengan angin yang berhembus ringan akhirnya mendekati pulau Sumbawa pada tanggal 18. Pantai ditutupi oleh batu apung yang sangat dan sulit ditembus yang jaraknya ke pantai kurang dari satu mil dan panjangnya tiga mil. Saya mengirim perahu untuk memeriksa lebih jauh. Di pantai banyak batu-batu hitam yang kemungkinan dilemparkan letusan. Batu-batu apung yang banyak di atas air bercampur banyaknya pohon besar mengapung dan balok-balok besar yang terbakar hitam yang terlempar saat letusan. Perahu mengalami kesulitan.

Lalu kami bergeser sampai kami masuk ke pintu masuk teluk Bima, laut secara harfiah ditutupi dengan kawanan batu apung dan kayu terapung.

Pada tanggal 19 tiba di teluk Bima. Saya membuang jangkar dan mendarat di tepi kota Bima. Saya membayangkan ketika jangkar di Bima pasti telah banyak berubah. Tepi teluk memiliki penampilan yang paling suram, seluruhnya tertutupi oleh hutan, bahkan sampai ke puncak gunung. Kedalaman abu yang diukur di sekitar kota Bima saya temukan tiga inci dan tiga perempat. Dari laporan yang saya berikan kepada Residen Bima [van den Drost], tampak bahwa letusan meletus dari gunung Tombora, yang terletak sekitar 40 mil ke arah barat Bima.

Pada malam tanggal 11 ledakan menurut Residen sebagai yang paling hebat, dan membandingkan dengan mortir berat yang didekatkan ke telinganya. Kegelapan dimulai sekitar jam 7 pagi dan berlanjut sampai tengah hari. Pada pukul 12 angin berat memecahkan atap rumah. Banyak kediaman di banyak tempat tidak dapat dihuni. Sementara angin masih tetap ada sepanjang waktu, laut tidak teratur, ombak menggulung ke pantai dan membanjiri bagian bawah rumah-rumah sedalam satu kaki. Setiap perahu dipaksa dari jangkar dan didorong terhempas di pantai. Hingga kedatangan kami di Bima tidak ada siapapun yang datang petugas pemerintah sejak letusan. Seorang utusan telah dikirim oleh Residen ke Sumbawa 3 hari sebelumnya, dan yang lain dikirim ke Tambora saat segera kami mendarat dan diharapkan akan kembali pada hari ketiga. Kami memutuskan untuk menunggu dia kembali.

Pada tanggal 22, kapal Dispatch tiba di teluk dari Amboina. Kapal ini telah ke Dampo atau teluk Sanjier (Sanggar) sebelum ke teluk Bima. Mereka sebelumnya mengira Dampo atau teluk Sanjier adalah Bima (sebagai tempat tujuan). Namun demikian, Chaloep telah pergi ke dalamnya dengan perahu di pantai di Sanjier (Sanggar). Raja yang tempat memberitahu perwira [Chaloep] bahwa sebagian besar kota dan sejumlah orang telah tewas oleh letusan; di seluruh wilayahnya sepenuhnya terisolasi dan tanaman hancur. Kota Sanjier (Sanggar) terletak sekitar 4 atau 5 di arah tenggara gunung Tombora. Petugas menemukan kesulitan besar dalam pendaratan di teluk, jarak yang cukup jauh dari pantai yang dipenuhi batu-batu apung, abu, dan gelondongan kayu. Rumah-rumah tampak terkena dan ditutupi oleh abu.

Kapal Dispatch adalah kapal perang. Dispatch yang dipimpin oleh Captaint C Fenn berangkat dari Calcutta tanggal 20 Mei 1814. Pada tanggal 15 tiba di Indramajo dan tanggal 20 Desember 1814 berangkat dari Indramayo. Kapal Dispatch sejak kedatangannya tanggal 22 April, setelah lebih dari dua minggu tanggal 8 Mei berangkat dari Bima ke Batavia. Kapal Dispatch berangkat lagi dan tanggal 31 Juli tiba Amboyna.

Petugas yang dikirim Residen telah kembali tanggal 22. Residen mengatakan bahwa tidak dimungkinkan melalui darat. Daratan tidak bisa dilewati. Saya tidak berpikir bebas untuk menahan kapal lebih lama lagi. Saya meninggalkan teluk pukul 11 di malam hari dan hari berikutnya sudah di pantai gunung Tomboro.

Sumbawa, Lombock, Bally by Harmar, 1780
Dalam melewatinya pada jarak sekitar 6 mil, puncak tidak terlihat, diselimuti awan asap dan abu, sisi-sisinya terlihat asap di beberapa tempat, tampaknya dari lava yang mengalir di bawahnya yang tidak didinginkan. Beberapa aliran sungai telah mencapai laut seperti terlihat jalan yang jelas ke arah utara dan barat laut. Saya melihat warna hitam lava kontras dengan abu di setiap sisi dan asap yang muncul dari setiap bagian dari itu. Jarak langsung antara gunung Tambora dan Macasser adalah sekitar 217 mil jauhnya.

Setelah tiga hari ekspedisi yang diutus Asisten Residen Philips dengan kapal bernama Benares telah kembali ke Bima (lihat Java government gazette, 27-05-1815). Namun yang menjadi pertanyaan siapa yang diutus untuk memimpin ekspedisi ini tidak diketahui secara jelas.

Surat kabar Java government gazette membaca log kapal Dispatch yang dilaporkan pada edisi 27-05-1815. Dari hasil log book diketahui kapal Dispatch pada malam tanggal 11 Apri (saat letusan Tambora menggelegar) posisi kapal berada tujuh derajat di timur Bima (berangkat dari Ambon). Capt. Fenn menginformasikan kayu dan batu apung di sepanjang pantai Flores. Sangat sulit dilewati. Adakalanya petugas harus turun ke air untuk menyingkirkan rintanga yang sangat berbahaya jika tertabrak...Di Bima, Capt, melaporkan pasokan bahan makanan datang dari pulau tetangga (mungkin dari Makassar di Sulawesi)..,Capt Fenn juga melaporkan sebuah desa dan sebidang tanah yang cukup besar, di lereng gunung [Tambora] telah sepenuhnya tenggelam (oleh debu vulkanik)...Capt Fenn juga melaporkan orang-orang diBima yang memiliki kesempatan melihat puncak gunung sejak letusan, menyebutkan bahwa sebagian besar dari bagian gunung telah hilang.

Captain W. Eastwell, Penemu Letusan Gunung Tambora

Pemimpin ekspedisi dari Makassar ke gunung Tambora mulai jelas yakni Capt. Eatwell dengan kapalnya Benares (De Curaçaosche courant, 05-04-1816). Berdasarkan Almanak 1815 HCC Benares dan Capt. Eatwell dari Banjarmasin tanggal 14 November 1814 dan tiba di Batavia tanggal 28 November. Tangga 5 Januari 1815 HC Cruize, W, Eatwell dari suatu pelayaran. HCC Benares, captain W. Eastwell berangkat dari Makassar tanggal 14 Mei dan tiba di Batavia tanggal 11 Mei 1815.

Dari keterangan ini, Capt. Eatwell diduga adalah seorang nakhoda kapal dagang (HCC Benares). HCC Benares, Capt Eatwell tercatat berangkat dari Macassar tanggal 14 April (seperti dilaporkannnya sendiri di surat kabar Java government gazette, 20-05-1815 berangkat tanggal 15 April ke arah selatan ke Sumbawa). Setelah tiga hari dari tanggal 22 April (seperti dilaporkan Capt Fenn), HCC Benares, Capt Eastwell kembali ke Bima. Setelah itu tidak diketahui secara jelas keberadaan Capt Eastwell. Akan tetapi dapat diduga kembali ke Makassar untuk memberikan laporan kepada (asisten Residen) Philips. Sejak tanggal 14 April HCC Benares, Capt Eatwell baru tanggal 11 Mei 1815 tercatat kedatangannya di Batavia (sekitar satu bulan dalam status pelayaran).

Lantas kapan Capt. Easwell menulis laporannya yang kemudian diterbitkan oleh Java government gazette, 20-05-1815. Jika tanggal 11 Mei 1815 HCC Benares, Capt Eatwell sudah tiba di Batavia, Sudah barang tentu, antara tanggal 11 Mei (tiba di Batavia) dan 20 Mei (publikasi) Capt. W. Eastwell menulis kisahnya dalam penyeledikan letusan gunung Tambora di Bima (pulau Sumbawa). Dari semua keterangan yang bersesuaian, Capt. Estwell adalah orang yang membuktikan suara letusan yang terdengar di Batavia hingga Bangka bahwa itu berasal dari letusan gunung Tambora (yang kemudian dipublikasikan pertama kali pada surat kabar Java government gazette, 20-05-1815).

Orang Tambora

Sebelum gunung Tambora meletus tahun 1815 sudah terdapat nama kampong Tambora di Batavia yang dipimpin oleh Oesoep Abdulla (lihat Naam-boekje van de wel ed. heeren der hooge Indiasche regeeringe [...] op Batavia [...] zoo als dezelve in wezen zyn bevonden ultimo december 1779, 1781). Nama Tambora kini menjadi sebuah kecamatan di Jakarta Barat.

Verhandelingen van het Bat.Gen. 1786
Dalam buku berjudul Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der konsten en weetenschappen. 1786 disebutkan di pulau Sumbawa terdapat kerajaan-kerajaan independent yakni Bima, Sumbawa, Dompu, Tambora, Sanggar dan Pekat. Tambora dideskripsikan sebuah kampung kecil. Lanskapnya berbatu-batu, dimana tidak ada tanaman seperti padi sawah, hanya sedikit padi gunung, tidak cukup untuk memberi makan penghuninya, yang karenanya mereka banyak menjadi pedagang atau mengusahakan ladang secara umum. Di sini semua orang mengendarai kuda dan mengusahakan pembiakan  kuda. Lebih jauh lagi, orang-orang Tambora bertetangga dengan orang Sumbawa. Orang Tambora terkenal karena orang-orang paling berani di pulau ini.

Letusan gunung Tambora diduga telah memusnahkan kampung dan penduduk di sekitar gunung Tambora. Apakah penduduk Tambora telah punah. Secara teritorial diduga telah punah, tetapi secara genealogis penduduk Tambora masih ada, setidaknya orang-orang Tambora yang bermukim di Batavia tempo doeloe. Apakah generasi sekarang masih mengenal asal-usul mereka? Apakah mereka yang masih hidup sekarang mengidentifikasi sebagai orang Tambora?


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar