Selasa, 03 September 2019

Sejarah Tangerang (35): Sejarah Cigudeg Sejak 1713, Antara Ciampea dan Jasinga; Kandidat Ibu Kota Kabupaten Bogor Barat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Cigudeg punya sejarah? Tentu, dong. Sejarah Cigudeg bahkan hampir seumur sejarah Bogor (Buitenzorg). Cigudeg paling tidak telah diakses dari benteng (fort) Tangerang di era VOC/Belanda. Ini bermula ketika militer VOC/Belanda memperluas kekuatan benteng Tjiampea dengan membangun benteng (fort) baru tahun 1713 di Panjawoengan (kini desa Kalong, kecamatan Leuwisadeng, kabupaten Bogor). Setelah benteng Panjawoengan dibangun menyusul benteng Djasinga. Wilayah Cigudeg ini kini berada di jalur ekonomi antara Ciampea dan Jasinga.

Susukan, Banyuwangi, Cigudeg dan perkebunan teh (Peta 1906)
Wilayah yang termasuk jauh di mata dekat di hati ini meliputi kecamatan-kecamatan Ciampea, Cibungbulang, Leuwiliang, Leuwisadeng, Cigudeg, Jasinga dan lainnya akan dipisahkan dari kabupaten Bogor dan kemudian disatukan dengan membentuk kabupaten Bogor Barat. Ibu kota kabupaten baru ini direncanakan di kecamatan Cigudeg. Popularitas Cigudeg tidak setinggi Leuwiliang dan Jasinga, akan tetapi ada keutamaan kecamatan Cigudeg dibanding yang lain: udaranya yang sejuk dan lanskapnya yang mempesona. Dari kecamatan Cigudeg, kota Tangerang terlihat jelas, tetapi kurang terlihat kota Bogor karena terhalang lereng gunung Salak. Itu dapat saya rasakan 30 tahun lalu pada tahun 1989. Wujud spasial inilah yang dari sudut pandang kota Bogor: Cigudeg jauh di mata tetapi dekat di hati.   

Lantas seperti apa sejarah Cigudeg? Itu pertanyaan utamanya. Paling tidak hingga ini hari masih ada tersisa perkebunan teh Cirangsad di kecamatan Cigudeg (desa Banyuresmi dan desa Banyuwangi). Di desa Banyuwangi inilah kesadaran saya lahir sebagai kandidat peneliti. Kini, Cigudeg menjadi kandidat ibu kota kabupaten (Bogor Barat). Untuk mengembalikan kenangan yang tidak terlupakan di Cigudeg, mari kita telusuri Sejarah Cigudeg berdasar sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Perkebunan Teh Cirangsad

Satu situs penting yang masih dapat dilihat di kecamatan Cigudeg hingga masa ini adalah kebun teh di Cirangsad (Teeetablissement). Perkebunan teh ini berada di desa Banyuwangi dan desa Banyuresmi. Lokasi kebun teh ini berjarak sembilan kilometer dari jalan raya di kaki gunung Tela. Perkebunan teh ini sudah terpetakan pada tahun 1904 (lihat Peta 1906). Dengan kata lain perkebunan teh Tjirangsad kini sudah melampaui satu abad.

Perkebunan teh Tjirangsad dan kampong Soesoekan (Peta 1906)
Selama bulan Februari hingga bulan Juli 1989 saya mengunjungi desa Banyuwangi yang mana dua bulan pertama menetap tanpa jeda. Secara khusus, tujuan utama saya adalah untuk melakukan riset praktek menabung masyarakat yang mengusahakan produksi tanaman terubuk di dusun (lembur) Susukan dan Ciparai. Oleh karena pendekatan studi yang digunakan bersifat antropologi ekonomi maka pengumpulan data dilakukan cukup lama hingga bulan Juli (untuk mendapatkan data produksi variasi musim). Studi ini juga mencakup seluruh kecamatan Cigudeg untuk mendapatkan gambaran umum sosial-ekonomi penduduk. Sementara pengumpulan data masih berlangsung hingga bulan Juli saya melakukan penulisan laporan selama bulan Juli. Hasil laporan ini saya presentasikan sebagai skripsi dan dinyatakan lulus dan mendapat gelar sarjana pada tanggal 20 November 1989. Selama studi saya banyak dibantu oleh my brother Anto en Ade. Artikel Sejarah Cigudeg ini telah merecall kembali memori 30 tahun yang lampau. Artikel Sejarah Cigudeg ini didedikasikan kepada Anto, Ade dan keluarga.

Seperti tampak pada Peta 1906 dua pemukiman terbesar di sekitar perkebunan teh adalah kampung (dusun) Soesoekan dan Paboearan. Gambaran ini juga tidak berubah hingga 83 tahun kemudian pada tahun 1989 ketika saya mengunjunginya bahwa dua dusun (kampong) ini juga tetap yang terbesar. Kantor kepala desa Banyuwangi berada di dusun Susukan. Di sekitar dusun Susukan ini di lereng-lerang bukit banyak penduduk yang mengusahakan terubuk, suatu produksi sampingan yang mempengatuhi pendapatan dan tabungan masyarakat.

Kampong Soesoekan (Now)
Ketika menulis artikel ini saya melihat pada peta satelit, wilayah desa Banyuwangi telah sangat ramai. Tampaknya area kebun-kebun terubuk sebagian telah menjadi pemukiman warga. Apakah di lahan-lahan yang lebih jauh masih tersisa usaha budidaya terubuk? Rantai tataniaga produksi terubuk ini porsi terbesar menuju pasar-pasar di Tangerang (hanya sebagian kecil yang menuju pasar-paar di Bogor). Terubuk yang juga disebut ‘tebu telur’ adalah sejenis tanaman dari famili Graminae yang masih tergolong spesies liar. Tanaman ini khas untuk lokasi beraltitud tinggi yang mana forma bunga tanaman ini tidak tumbuh sempurna dan tetap tertutup dalam pelepah daunnya yang kemudian digunakan masyarakat sebagai pangan. Nilai sosial ekonomi tanaman ini adalah bunganya yang dipergunakan untuk ragam sayuran. Di desa Banyuwangi tanaman ini diproduksi oleh penduduk untuk dijual ke pasar.

Dalam peta satelit masa kini juga masih terlihat keberadaan perkebunan teh Cirangsad di desa Banyuwangi, kecamatan Cigudeg. Perkebunan ini setelah era pengakuan kedaulatan Indonesia diusahakan oleh negara (kini PT Perkebunan Nusantara VIII).

Peta land di Afdeeling Buitenzorg (1867)
Teh produksi [Tjirangsad] Tjigoedeg sangat terkenal tempo doeloe. Diantara produsen dari Cina dan Jawa, produksi teh Tjigoedg cukup menonjol (lihat Bataviaasch handelsblad, 19-09-1891). Disebutkan teh dari Tjigoedeg menampilkan sorteering kecil yang layak dipuji, baik untuk dedaunan maupun rasa. Teh produksi perkebunan Tjiboengoer adalah (jenis/asal) Assam yang indah dengan banyak warna kuning, sedangkan rasanya juga sangat enak, penuh dan kuat.

Kecamatan Cigudeg, Tempo Soeloe Disebut Land Bolang

Pada awal pengembangan perkebunan di hulu sungai Tjisadane nama Tjigoedeg belumlah dikenal. Yang dikenal adalah nama-nama tanah partikelir atau land (lihat peta land). Nama-nama land yang ada di hulu sungai Tjisadane adalah land Tjiampea, land Tjiboengboelang, land Sading atau Panjawoengan, land Sading Djamboe, land Tjoeroek Bitoeng, land Bolang dan land Janlappa. Land Sading atau Panjawoengan dimekarkan menjadi land Sading atau Panjawoengan, land Sading Djamboe dan land Sading Oost; Land Sading Oost kemudian dikenal sebagai Leuwiliang. Land Sading atau Panjawoengan digabung dengan land Sading Oost menjadi land Panjawoengan atau Leuwiliang. Sementara itu land Tjoeroek Bitong kemudian dikenal sebagai Nanggoeng.

Bataviaasch handelsblad, 27-09-1879
Land yang pertama dibentuk adalah land Tjiampea. Dalam perkembangannya land Tjiampea dimekarkan menjadi land Tjiampea dan land Tjiboengboelan; land Sading atau Panjawoengan kemuedian dimekarkan menjadi land Sading atau Panjawoengan dan land Sading Djamboe. Lalu dibentuk land Tjoeroek Bitoeng, land Bolang dan land Janlappa.

Sebelumnya land Sading Djamboe, land Tjoeroek Bitoeng atau Nanggoeng, land Bolang dan land Janlappa disatukan dalam satu distrik yang disebut district Djasinga. Berdasarkan beslit pemerintah tanggal 24 September 1879 No 8 bahwa land Sading Djamboe dan land Tjoeroek Bitoeng atau Nanggoeng dipisahkan dari district Djasinga dan kemudian dimasukkan ke district Leuwiliang (lihat Bataviaasch handelsblad, 27-09-1879). Untuk sekadar catatan: pada awal pembentukan pemerintahan, land Sading Djamboe masuk district Tangerang bersama dengan land Roempin, tetapi kemudian dipisahkan dan dimasukkan ke district Djasinga (lihat  Bataviaasch handelsblad, 02-03-1870).

Kabupaten Bogor dimekarkan membentuk kabupaten Bogor Barat
Pada permulaan dibentuknya pemerintahan (Hindia Belanda) di Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia yang dipimpin oleh seorang asisten residen yang berkedudukan di Buitenzorg pembagian wilayah terdiri dari lima distrik: Buitenzorg; Tjibinong, Parong, Tjibaroesa dan Djasinga (lihat Bataviasche courant, 04-10-1826). Para pemilik land di distrik Parong dan distrik Djasinga mendirikan pasar. Paling tidak pada tahun 1829 telah terbentuk pasar Tjiampea, pasar Sading atau Leuwiliang dan pasar Bolang (lihat Javasche courant, 15-12-1829). Pada tahun 1936 jalan dari Buitenzorg (Bogor) ke Banten melalui Tjiampea dan Djasinga telah ditingkatkan menjadi kelas dua (lihat Javasche courant, 30-01-1836). Dengan adanya jalan ini telah memperlancar arus orang dan barang (perdagangan). Lalu setelah beberapa dasawarsa sebagian wilayah district Parong dan sebagian wilayah district Djasinga dipisahkan dan kemudian disatukan dengan membentuk distrik yang baru yakni: Distrivt Leuwiliang. Sejak 1879 distrik Leuwiliang terdiri dari, antara lain land: Tjiampea, Tjiboengboelan, Sading Djamboe dan Tjoeroek Bitoeng.

Nama Leuwiliang adalah nama untuk menggantikan nama Sading. Pada era VOC nama Sading untuk menggantikan nama Panjawoengan. Oleh karena itu suatu area tanah partikelir disebut land Sading atau land Panjawoengan.

Kecamatan Leuwisadeng dan lokasi benteng Panjawoengan
Land yang sudah terbentuk sebelumnya adalah land Tjiampea. Dalam perjalanan waktu land Tjiampea dimekarkan menjadi land Tjiampea dan land Tjiboengboelang. Lalu kemudian dibentuk land baru di Sindang Barang atau Dramaga, Tiga land ini menjadi satu cluster pembangunan pertanian di wilayah pertemuan sungai Tjianten dengan sungai Tjisadane. Setelah terbentuk land Sading atau Panjawoengan dibentuk land baru yakni land Bolang sebagai suatu cluster baru di daerah aliran sungai Tjikaniki. Land-land baru di hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane ini menjadi terhubung satu sama lain.

Titik singgung terdekat sungai Tjikaniki dan sungai Tjidoerian
Land Bolang ini berada di antara sungai Tjikaniki di sebelah timur dan sungai Tjidoerian di sebelah barat. Di seberang sungai Tjikaniki di arah timur adalah land Tjoeroek  Bitoeng (Nanggoeng) dan di seberang sungai Tjidoerian di arah barat adalah land Janlapa (Djasinga). Sungai Tjikaniki sendiri ke hilir bertemu sungai Tjianten (di Leuwiliang) dan kemudian sungai Tjianten bertemu sungai Tjisadane di Tjiampea. Ke arah hilir menuju laut (di Telok Naga) sungai Tjisadane kerap disebut sungai Tangerang.

Dalam perkembangan lebih lanjut land Sading dimekarkan menjadi land Sading (Panjawoengan), land Sading Oost, land Sading Djamboe dan land Toeroek Bitoeng. Lalu kemudian land Sading Oost disebut (land) Leuwiliang dan land Tjoeroek Bitoeng menjadi land Nanggoeng. Land Bolang dan land Janlappa tetap eksis. Land Sading atau Panjawoengan kemudian hanya disebut land Sading. Nama Panjawoengan yang telah muncul sejak awal pada era VOC tamat. Land Bolang berpusat (landhuis) di kampong Tjigoedeg  dan land Janlappa berpusat (landhuis) di kampong Djasinga.

Landhuis Bolang lama di Tjigoedeg (1910) dan Peta 1906
Setelah ditetapkannya Djasinga sebagai ibu kota distrik tahun 1826 dan pengembangan jalan raya (jalan kelas dua) landhuis Bolang yang sebelumnya berada di dekat Toge dipindahkan ke kampong Tjigoedeg. Pada fase inilah dibangun bendungan Sitoe Tjigoedeg untuk mengembangkan kanal irigasi di sekitar landhuis. Namun dalam perkembangan lebih lanjut landhuis di kampong Tjigoedeg ini direlokasi ke tempat yang lebih tinggi agar bebas banjir dan mendapat view situ yang lebih indah. Pembangunan landhuis baru ini diduga kuat bersamaan dengan pembangunan kebun teh di kampong Tjirangsad. Landhuis ini terus bertahan hingga pada akhirnya di area landhuis ini dibangun kantor pusat PT PN VIII.

Seperti telah disebutkan di atas dalam era pemerintahan Hindia Belanda nama Djasinga ditabalkan menjadi nama Distrik dan kemudian nama Leuwiliang ditabalkan menjadi nama distrik yang baru. Pada tahun 1908 dari lima distrik yang ada (Buitenzorg, Tjibinong, Paroeng, Tjibaroesa, dan Leuwiliang) dibentuk onderdistrik yang dikepalai oleh asisten demang.

Peta 1901
Ondedistrik yang baru tersebut adalah Buitenzorg, Kedoengbadak, Tjiawi, Depok, Roempin, Paroengpandjang, Tjimanggis, Tjileungsi dan Djonggol (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-01-1908). Untuk membantu Asisten Residen yang berkedudukan di Buitenzorg diangkat tiga controleur yang berkedudukan di Buitenzorg, Tjitrep dan Leuwiliang.

Pada tahun 1914 di Residentie Batavia dibentuk pengadilan (landgerecht). Untuk wilayah afdeeling Buitenzorg ditempatkan di Buitenzorg, Tjibinong, Tjibaroesa, Leuwiliang dan Djasinga (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 13-06-1914). Ini menunjukkan bahwa Leuwiliang telah menjadi tempat yang paling penting di wilayah west Buitenzorg. Tidak hanya demang dan pengadilan tetapi di Leuwiliang juga tempat kedudukan controleur. Pengadialan sendiri di wilayah Afdeeling Buitenzorg kali pertama dibentuk pada tahun 1848 yang lokasinya (hanya) berada di Buitenzorg (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 27-05-1848).

Kecamatan-kecamatan di wilayah Bogor Barat
Kelak pada pemerintah Republik Indonesia, itulah mengapa awalnya hanya ada dua kecamatan di wilayah Bogor Barat, yakni: Leuwiliang dan Djasinga (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode,           15-05-1951). Lalu dalam perkembangan selanjutnya nanti kecamatan Leuwiliang yang tersisa dimekarkan kembali menjadi kecamatan Leuwiliang dan kecamatan Leuwisadeng. Seperti disebutkan sebelumnya nama awal Leuwisading adalah (land) Panjawoengan. Nama-nama land yang lain dijadikan sebagai nama kecamatan, seperti: kecamatan Ciampea, kecamatan Cibungbulang, kecamatan Nanggung (land Tjoeroek Bitoeng), kecamatan Cigudeg (land Bolang). Nama-nama historis inilah yang kini digagas menjadi satu kesatuan wilayah yang baru dengan membentuk kabupaten baru: Kabupaten Bogor Barat. Ibu kota kabupaten Bogor Barat telah dipilih di (kacamatan) Cigudeg. Keseluruhan kabupaten Bogor Barat akan meliputi 14 kecamatan yang sekarang: Cigudeg, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Tenjolaya, Tenjo, Rumpin, Jasinga, Parungpanjang, Sukajaya dan Dramaga.

Benteng (fort) Panjawoengan

Perkebunan teh Tjirangsad adalah salah satu pangkal sejarah di Cigudeg yang tersisa dari warisan VOC/Belanda di wilayah hulu sungai Tangerang. Tentu saja itu semua bermula dari awal. Suatu waktu di masa lampau yang dimulai dari Tangerang (bukan dari sungai Tjiliwong, Bogor). Setelah berkembang di seputar benteng Tangerang dan selesainya kanal Mookervaart (kanal pelayaran sungai dari benteng Tangerang ke Batavia), VOC mulai melakukan ekspedisi-ekspedisi ke hulu sungai Tangerang di Serpong (membangun benteng Sampoera) lalu diperluas ke pertemuan sungai Tjianten dengan sungai Tjisadane di Tjiampea (membangun benteng Tjiampea di pertemuan sungai Tjiaruteun dengan sungai Tjisadane). Pada tahun 1713 benteng baru dibangun di Panjawoengan (di seberang sisi selatan sungai Tjikaniki). Sejak inilah awal sejarah wilayah Cigudeg dimulai.

Benteng Panjawoengan (Peta 1906)
Benteng Panjawoengan berada di sisi selatan sungai Tjikaniki antara kampong Kalong dan kampong Pasirangin pada masa ini. Dari kampong Pasirangin jalur menuju ke kampong Soesoekan (kini desa Banyuwangi, kecamatan Cigudeg). Sementara kampong Panjawoengan (lokasi benteng Panjawoengan) kini bagian dari desa Kalong, kecamatan Leuwisadeng. Dipilihnya kampong Panjawoengan sebagai tempat benteng, karena kampong ini merupakan persimpangan. Dari Tjiampea terus ke barat menuju Djasinga dan ke arah selatan menuju Nanggoeng.

Mengapa eksplorasi wilayah oleh VOC setelah Ciampea justru dikembangkan ke arah barat (bukan ke arah timur)? Pertama, untuk eksplorasi ke arah timur dianggap telah menjadi bagian dari eksplorasi wilayah hulu sungai Tjiliwong (sisi timur dari Meester Cornelis ke Tandjong, Tjibinong dan Tjiloear; sisi barat dari Meester Cornelis ke Depok, Pondok Terong dan Bodjong Gede). Kedua, untuk eksplorasi ke arah barat (melalui sungai Tjianten/sungai Tjikaniki) diduga kuat karena alasan untuk mengeksplorasi wilayah mengikuti tanda-tanda jaman kuno (yang diduga menjadi salah satu pusat kerajaan Taroemanegara).

Arah pengembangan wilayah dari Tangerang ke Djasinga
Eksplorasi wilayah bertujuan untuk pengembangan wilayah untuk pembangunan pertanian (untuk mendukung perdagangan VOC). Eksplorasi didahului oleh suatu tim ekspedisi yang dipimpin oleh satuan militer. Dalam tim ekspedisi ini, seperti biasanya, menyertakan para ahli: ahli pertahanan (militer sendiri); ahli geografi sosial (untuk memetakan wilayah), ahli geologi, ahli botani dan bahkan ahli linguistik (sosial budaya). Untuk wilayah hulu sungai Tjiliwong telah dilakukan pada tahun 1687 yang dipimpin oleh Sersan Scipio (dari Pelabuhan Ratu yang sekarang menuju Bogor dan terus melalui sisi timur sungai Tjiliwong hingga Batavia) dan dilanjutkan lagi pada tahun 1703 dari sisi barat sungai Tjiliwong dari Meester Cornelis yang dipimpin oleh Abraham van Riebiek. Sementara itu ekspedisi lebih lanjut di daerah aliran sungai Tangerang/sungai Tjisadane hingga Tjiampea dilakukan setelah tahun 1687 dan sebelum tahun 1713 dengan membangun benteng di Tjiaruteun (kemudian disebut benteng Tjiampea). Berdasarkan catatan harian Kasteel Batavia (Daghregister), pada tahun 1713 ekspedisi diperluas ke arah barat melalui sungai Tjianten yang lalu membangun benteng di Panjawoengan.

Setelah suatu ekspedisi dilakukan dan VOC kemudian membangun benteng, itu merupakan indikasi bahwa wilayah sekitar ingin dipertahankan untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi wilayah pertumbuhan ekonomi (perdagangan) yang baru. Membangun benteng adalah suatu investasi dan membayar militer dan tentara untuk menjaga (mempertahankan) adalah biaya-biaya tambahan yang timbul. Untuk menutupi itu semua ke depan para ahli melakukan ekspektasi bahwa wilayah itu ke depan akan menguntungkan secara ekonomi. Petunjuk wilayah itu adalah wilayah potensial sudah diduga oleh para ahli bahwa wilayah sekitar sungai Tjianten di masa lampau sebagai bagian dari pusat kerajaan (Taroemanegara). Di wilayah itu ditemukan titik-titik penambangan emas.

Peta 1724
Dalam catatan Daghregister tanggal 24 Mei 1726 pemerintah VOC membuat ketentuan terhadap penambangan yang dilakukan oleh para penduduk. Lalu pada tahun 1730 VOC kembali mengirim ahli pertambangan untuk melakukan eksplorasi ke wilayah sekitar sungai Tjiaruteun/sungai Tjianten (lihat Daghregister 2 Agustus 1730). Kekayaan wilayah ekonomi pertambangan dan wilayah botani inilah yang menyebabkan VOC membangun benteng di Panjawoengan di sisi utara sungai Tjikaniki di dekat Cigudeg yang sekarang. Kampong Panjawoengan tempat dimana benteng dibangun merupakan jalur ke Bolang/Djasinga (barat) dan jalur ke Tjoeroek Bitoeng/Nanggoeng (selatan). Antara benteng Tjiampea dan benteng Panjawoengan inilah kini diketahui terdapat sejumlah peninggalan jaman kuno (artefak) yang berada di sungai Tjiaruteun dan sungai Tjianten. Para peneliti VOC saat eksplorasi awal pada tahun 1713 sudah barang tentu menyimpulkan wilayah tersebut adalah eks kerajaan. Suatu kota/wilayah kerajaan dibangun tentu karena wilayah itu sendiri sangat potensial sejak masa lampau. Catatan: Nama Djasinga bukanlah nama lokal tetapi nama yang diturunkan dari nama seorang komandan militer VOC Majoor Joan van Jasinga (komandan ekspedisi VOC ke hulu sungai Tjisadane).

Landhuis Bolang Pindah dari Kampong Bolang ke Kampong Tjigoedeg

Land Bolang berpusat di (kampong) Tjigoedeg, karena di kampong ini tempat lokasi rumah (landhuis) dari pemilik (landheer) land Bolang. Nama land Bolang paling tidak sudah disebut pada tahun 1817 (lihat Bataviasche courant, 19-07-1817). Disebutkan JT Reijnst akan menjual lahan Djasinga en Bolang. Dalam hal ini, pemilik pertama land Bolang adalah JT Reijnst. Pembeli land Bolang dan Djasinga adalah Leps. Komoditi utama dari land Djasinga dan Bolang adalah padi.

Landhuis Bolang dan Sitoe Tjigoedeg (1913) dan Peta 1906
Batas awal Residentie Batavia adalah sungai Tangerang/sungai Tjisadane. Perluasan tanah-tanah partikelir (land) di sebelah barat sungai Tjisadane hingga sungai Tjikande (sungai Tjidoerian) dilakukan setelah pemerintah menjual lahan kepada swasta pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Dengan perluasan ini, yang menjadi tanah-tanah partikelir, maka sebagian wilayah Residentie Banten dikurangi dan kemudian wilayah tersebut dialihkan menjadi bagian dari Residentie Batavia. Batas Residentie Batavia dengan Residentie Banten yang baru adalah sungai Tjikande atau sungai Tjidoerian. Sungai Tjidoerian mengalir melalui Janlappa dan Djasinga dan juga menjadi pembatas antara land Bolang dan land Tjoeroek Bitoeng. Lahan-lahan seperti Bolang dan Djasinga termasuk dalam pembentukan land baru ini.

Pada tahun 1819 Leps menjual land Djasinga, Bolang en Tjoeroek Bitoeng (lihat Bataviasche courant, 31-07-1819). Informasi ini mengindikasikan bahwa Leps sebelumnya telah membeli land Tjoeroek Bitoeng dan menyatukannya dengan land Djasinga en Bolang.

Landhuis land Djasinga dan kantor demang (Peta 1906)
Land Bolang berpusat di landhuis. Lokasi landhuis land Bolang berada di sisi utara sungai Tjidoerian di dekat kampong Toge (kini di desa Mekarjaya, Cigudeg). Nama Bolang sendiri merupakan nama kampong yang berada di sebelah utara landhuis. Di kampong Bolang oleh pemilik land didirikan pasar (Pasar Bolang). Kampong Bolang kini berada di desa Argapura (kecamatan Cigudeg). Di sisi lain landhuis Bolang di seberang sungai Tjidoerian adalah kampong Garisoel (kini desa Kalong Sawah, kecamatan Jasinga).

Wilayah paling ujung dari tanah-tanah partikelir ini mulai dikembangkan lebih baik pada tahun 1826 sehubungan dengan pembentukan district Djasinga. Ibu kota district Djasinga tidak berada di land Bolang tetapi berada di land (kampong) Djasinga. Meski demikian, satu-satunya pasar di distrik Djasinga hanya terdapat di Bolang. Pasar ini buka pada hari Sabtu (lihat Javasche courant, 24-11-1829). Pasar terdekat dari pasar Bolang berada di land Sading Oost atau Leuwiliang dan di (land) Tjikadoe (kini Tenjo).

Landhuis land Bolang yang lama dan jalan raya (Peta 1906)
Wilayah distrik Djasinga terus berkembang, Untuk meningkatkan akses pemerintah menetapkan dan meningkatkan mutu jalan menjadi jalan kelas dua pada tahun 1936 dari Buitenzorg (Bogor) ke Banten melalui Tjiampea dan Djasinga. Posisi (kampong) Djasinga berada di jalan raya membuat Djasinga cepat tumbuh. Pada saat ini jembatan di atas sungai Tjidoerian dekat kampong Boenar dibangun. Ini menunjukkan bahwa jalan utama melalui Djasinga (tidak melalui labdhuis Bolang yang tidak jauh dari kampong Toge). Alasan pengembangan wilayah hingga ke Banten diduga menjadikan ibu kota distrik ditetapkan di land (kampong) Djasinga. Sementara itu, tiga land yang dulu dimiliki oleh Leps telah dipisahkan menjadi land yang terpisah satu sama lain.

Pada tahun 1837 diketahui dari iklan berita keluarga di surat kabar bahwa pemilik land Bolang menyewakan kebun gula aren ke publik (lihat Javasche courant, 02-12-1837). Pemilik land Bolang, Jan Mulder  dikabarkan meninggal dunia tiba-tiba pada tanggal 21 di perkebunan Koeripan. JJ van Braam dan E Moormann en Co memberitahukannya ke publik (lihat Javasche courant, 06-05-1843). Land Bolang milik alm J Mulder akan dijual melalui lelang di Batavia pada bulan September (lihat Javasche courant, 26-07-1843). Siapa yang membelinya tidak diketahui secara jelas tetapi telah diiklankan land Bolang yang menghasilkan padi, gula aren dan lain akan disewakan selama tiga tahun ke depan (lihat Javasche courant, 04-11-1843).

Landhuis Nanggoeng dan batubara di Parakan Tiga (Peta 1906)
Dalam perkembangannya, pemilik land Bolang diketahui adalah kongsi van Nes dan van Motman (lihat Algemeen Handelsblad, 09-07-1852). Van Motman diduga adalah salah satu anggota keluarga pewaris land Dramaga. Berita lainnya dari land Bolang dilaporkan surat kabar De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 03-05-1854. Disebutkan harimau memangsa seorang penduduk pada malam hari dan baru keesokan harinya ditemukan penduduk tulang-tulang manusia berserakan tidak jauh di dalam hutan. Namun tidak dijelaskan kejadian terjadi di kampong mana. Surat kabar Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-05-1859 memberitakan bahwa di perkebunan Bolang, dekat kampung Parakau Tiga, Tjisela, milik FHC vau Motman lapisan batu bara telah ditemukan. Selanjutnya lapiran batubara itu telah diteliti oleh insinyur pertambangan dari Buitenzorg dan Batavia. Lokasi tempat ditemukan batubara ini di kampong Parakan Tiga di land Bolang berjarak satu pal dari landhuis Nanggoeng (lihat Nederlandsche staatscourant, 31-12-1859).

Dalam perkembangannya, sesuai perubahan spasial, pemilik land Bolang memindahkan landhuis ke kampong Tjigoedeg di dekat Sitoe Tjigoedeg (di sisi jalan utama antara Buitenzorg-Djasinga). Pemilik land Bolang tidak membangun pasar di Tjigoedeg. Pasar Bolang lambat laun ditutup dan kemudian di land Bolang dibangun pasar yang baru yang disebut Pasar Poeroe (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 29-11-1861). Lokasi pasar ini berada di dekat jembatan di jalan utama Buitenzorg-Djasinga (di Boenar). Sejauh ini di land Djasinga sendiri tidak ada pasar.

Lanhuis land Bolang baru di kampong Tjigoedeg (Peta 1906)
Pemindahan landhuis Bolang ke kampong/sitoe Tjigoedeg diduga karena lokasinya strategis yang relatif berada di tengah land Bolang. Pada awal pembentukan land Djasinga dan land Bolang dimiliki oleh satu orang sehingga lokasi landhuis dipilih di dekat kampong Bolang (dekat dengan land Djasinga). Kini situasinya telah berubah, sehingga pemilik land Bolang harus memindahkan landhuis dari kampong Bolang ke kampong Tjigoedeg. Meski lokasi landhuis telah pindah ke kampong Tjigoedeg, nama land tetap disebut sebagai land Bolang.

Pada tahun 1875 pemilik land Bolang diketahui Mr. WA Baron Baud, Tidemann dan van Kerchem (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-06-1875), Kongsi pemilik ini menunjuk J Micola sebagai Administrateur land Bolang en Janlappa. Dari informasi ini ada indikasi land Bolang dan land Janlappa sebagai satu kesatuan kepemilikan. Beberapa bulan kemudian diketahui bahwa di land Bolang akan mulai dilakukan budidaya teh (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-10-1875).

Beberapa tahun sebelumnya diketahui van Motman telah menjual land kopi Bolang (lihat Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 13-04-1860). Disebutkan van Motman menjual land Bolang dalam rangka untuk membeli land Boeboet (Kedong Badak). Sebagaimana diketahui kelaurga van Motman adalah pemilik land Dramaga.

Namun beberapa tahun kemudian land Janlappa diketahui telah dijual kepada seorang pengusaha Cina Ong Kioe Poean. Dalam perkembangannya land Janlappa akan disewakan kepada publik melalui notaris di Batavia (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1879). Tidak diketahui secara jelas apakah land Bolang masing dimiliki oleh Mr. Baud cs.

Perkebunan teh di land Tjoeroek Bitoeng (Nanggoeng), 1870
Pada tahun 1879, berdasarkan beslit pemerintah tanggal 24 September 1879 No 8 land Sading Djamboe dan land Tjoeroek Bitoeng atau Nanggoeng dipisahkan dari district Djasinga dan kemudian dimasukkan ke district Leuwiliang (lihat Bataviaasch handelsblad, 27-09-1879). Pemisahan ini diduga karena district Djasinga sangat luas yang mana land Djasinga telah dimekarkan dengan membentuk land Janlappa dan land Tjikadoe dimekarkan dengan membentuk land Tjikoppomajak. Dua land baru ini berbatasan langsung dengan Residentie Banten.

Nilai NJOP (verponding) land Bolang pada tahun 1886 sebesar f500.000 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-02-1886). Besarnya pajak yang disetor ke pemerintah dihitung sebesar nilai persentase tertentu. Nilai verponding land Tjoerek Bitoeng atau Nanggoeng sebesar f1.047.000. Penilaian ini dilakukan oleh suatu komite,

Java-bode voor Nederlandsch-Indie, 13-02-1886
Tiga land yang diusahakan oleh keluarga van Motman yakni land Tjiampea, Tjiboengboelan dan land Panjawoeangan atau Sading dalam periode 1874-1886 masing-masing sebesar f1.423,000, f273.000 dan f467.000 yang keseluruhan berjumlah f2.163,000 dengan pajak disetor per tahun ke pemerintah sebesar tertentu . Nilai verponding ketiga land ini telah meningkat di dalam 70 tahun terakhir (lihat tabel). Pada tahun 1818 nilai verponding land Tjiampea sebesar 550.000; land Tjiboengboelang sebsar f52.100 dan land Panjawoengan atau Sading sebesar f47.400. Keluarga van Motman menyewa tiga land tersebut sejak 1882 selama 15 tahun, Keluarga van Motman adalah pemilik land Dramaga. GWC van Motman sebagai perintis di land Dramaga meninggal pada tahun 1821. Sementara itu diketahui bahwa land Tjikoleang dan land Sadeng Djamboe tetap dimiliki oleh PC van Motman (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1889).

Potensi yang tinggi dari tanah-tanah partikelir antara ibukota district Leuwiliang dan ibukota district Djasinga tidak selalu sejalan dengan kondisi moda transportasi yang ada. Pada dekade-dekade terakhir ini jalur komunikasi melalui jalan raya cukup memprihatinkan. Dewan di Buitenzorg kurang mempedulikan keluhan-keluhan masyarakat tentang kondisi jalan. Jalan antara Panjawoengan dengan perbatasan land Bolang (Pasirangin) sulit dilewati baik oleh pedati maupun kereta. Jalannya sangat berlumpur meski tidak terlalu sulit untuk mendapatkan bahan kerikil. Masyarakat sekitar telah mengeluh ke dewan (Raad) tetapi tidak digubris (lihat Bataviaasch handelsblad, 09-09-1889).

Bataviaasch nieuwsblad, 23-11-1898
Seorang pelancong dari batavia yang ingin ke Rangkas Bitoeng mencoba memilih jalan pintas melalui Leuwiliang dan Djasinga (lihat Bataviaasch handelsblad, 30-07-1890). Namun apa yang dirasakannya selama perjalanan sungguh menyedihkan. Ada empat jembatan antara Buitenzorg dan Djasinga yang hancur diterjang banjir lebih dari setahun yang lalu tetapi sudah beberapa lama tidak ada perbaikan. Rintangan pertama di land Tjiampea (pal 9) kereta kudanya harus menggunakan getek dan sesampai di seberang sungai sangat curan untu naik ke jalan raya, Nyaris kudanya tidak mampu menarik kereta. Rintangaan kedua di land (Sading) Djamboe (pal 21) menyeberang sungai *sungai Tjikaniki) tidak terlalu sulit tetapi segera menemukan jalan yang buruk yang hanya terkesan dan lebih mirip jalan kerbau daripada jalan kereta namun tiba di perbatasan land Bolang jalan tampak bagus. 

Perkebunan teh di land Tjoeroek Bitoeng (Nanggoeng), 1908
Di pal 32 jalan sangat buruk dan lalu di persimpangan Lawang Tadji terlihat ada pekerjaan dari dinas PU untuk memperbaiki jembatan di atas sungau Tjidoerian (di Boenar). Kendaraan kereta harus melalui sungai yang airnya tinggi dan sangat berbahaya jika air meluap. Jembatan ini adalah perbatasan antara land Bolang dan land Djasinga. Lalu akhirnya tiba di kantor Demang Djasinga. Setelah istirahat dilanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda ke Rangkas Bitoeng. Saya yakin bahwa komunikasi yang baik dari Djasinga dengan Buitenzorg akan menguntungkan Zuid-Bantam. Demikian harapan si pelancong.,   

Setelah sekian lama wilayah barat Buitenzorg kesulitan dalam hal komunikasi dengan menggunakan moda transpostasi darat mulai muncul usulan untuk pembangunan jalur kereta api.  Jalur kereta api yang diusulkan oleh dewan yakni dari Janlapa melalui Djasinga, Bolang ke Paroeng Pandjang. Sebagaimana diketahui jalur kereta api dari Batavia ke Rangkas Bitoeng sudah terealisasi melalui Tanah Abang, Palmerah, Serpong, Paroeng Panjang, Tjikadoe (kini Tenjo). Namun usulan ini pada tingkat konsesi eksploitasi kereta api ditolak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-11-1898). Tidak dijelaskan apa alasan usulan itu ditolak. Tamat sudah harapan penduduk Bolang untuk mendapatkan moda transportasi  kereta api.

Seorang wanita Eropa berbelanja di pasar Bolang, 1910
Land Bolang (dan juga land Nanggoeng) termasuk wilayah yang cukup paling subur di wilayah beraltitid tinggi di barat Buitenzorg. Kesuburan tanah di land Bolang boleh jadi karena dampak letusan gunung Salak pada tahun 1699 yang jatuhan debu vulkanik yang kaya kandungan unsur hara berada di dua land ini. Boleh jadi hal ini mengapa di dua land ini terdapat perkebunan teh. Land Bolang juga terkenal sebagai penghasil gula aren. Land Bolang tidak sebaik persawahan di land Djasinga, tetapi land Bolang memiliki keutamaan sebagai penghasil holtikultura. Seperti tampak dalam foto dimana seorang wanita Eropa berbelanja di pasar Bolang pada tahun pada tahun 1910. Seorang petani menjajakan hasil panennya berbagai buah dan sayuran, antara lain: petai, nenas, kol, bengkuang, pisang, pepaya, manggis, talas, terubuk, jagung dan kacang-kacangan. Tentu saja ada telur bebek.  

Pada tahun-tahun terakhir ini perekonomian di land Bolang dan land Djasinga seakan terisolasi hanya karena faktor buruknya kondisi moda transportasi. Tentu saja tidak hanya produk perkebunan teh yang harus menanggung biaya angkut yang lebih mahal tetapi juga produk pertanian penduduk juga terhambat pemasarannya ke kota seperti Buitenzorg dan Batavia. Sementara itu harapan untuk pembangun jalur kereta api masih sangat didambakan.

Bataviaasch nieuwsblad, 11-02-1915
Bataviaasch nieuwsblad, 11-02-1915: ‘Sudah ada rencana lama dengan pemerintah untuk membangun jalur kereta api Buitenzorg-Penjawoengan-Djasinga hingga SS di Madja di Bantam. Bertahun-tahun yang lalu, Tuan E. meminta konsesi untuk sebuah jalur, mengikuti rute tersebut, tetapi tidak sesuai dengan SS di Madja, tetapi melanjutkan dari Djasinga melalui Tjipanas-Sadjira ke Rangkas-Betoeng. Namun, Mr. E. telah meninggal beberapa waktu yang lalu dan konsesi rencana pembangunan jalur kereta api telah berakhir. Jalur, terutama bagian Buitenzorg-Penjawoengan-Djasinga pasti akan kembali modal. Banyak perusahaan besar yang sekarang memasok dan akan membuang grobak ketika julur sudah siap dan digantikan dengan kereta api, yaitu land-land Nanggoeng, Mandalasarie, Numala-Bolang, Djamboe, Tjiampea dan Dramaga, semua land ini dalam produksi penuh dan ratusan ribu kilogram teh, karet dan lainnya dan juga ribuan ton beras, machines dll. Sekarang seluruh transportasi berlangsung sepanjang jalan kelas 2 dan meskipun, saya percaya, perusahaan juga berkontribusi pada pemeliharaan itu, transportasi sangat besar sehingga jalan menjadi sangat buruk di musim hujan. Seseorang menemukan beberapa ketinggian yang sangat curam seleapas land Djamboe, menyebabkan ratusan kuda mati sebelum waktunya. Transportasi di sepanjang jalan besar Buitenzorg-Batavia dan di sepanjang Buitenzorg-Soekaboemi tidak ada tiganya jika dibandingkan dengan Buitenzorg-Penjawoengan-Bolang. Segera setelah jalur siap, jalan sebagian besar transportasi sepanjang itu lega dan kemudian dapat dipertahankan dengan baik, yang saat ini tidak mungkin. Jalur ini tentu saja hemat biaya, tidak hanya akan ada transportasi barang yang melimpah, tetapi juga transportasi penumpang yang besar. Seseorang hanya perlu membuat jalan sekali untuk sampai pada kesimpulan itu, karena seseorang memiliki ratusan sado dan pedati dengan mereka serta rekan-rekan, dan alur yang tak berujung menuju ke atas dan ke bawah. Ini adalah wilayah yang sangat makmur, dimana jalur akan berjalan. Semakin baik Anda memulai, semakin baik’.

Untuk mengatasi persoalan transportasi yang terus berlarut-larut akhirnya pada tahun 1915 para pemilik land Bolang, Djasinga, Tjiampea dan Tjiomas mengirimkan surat ke dewan di Batavia. Mereka ini ingin mendapat perhatian dari dewan dan juga untuk mendesak pemerintah agar segera meningkatkan mutu jalan raya ke arah barat.

Sungai Tjidoerian di Bolang, 1913
Pada tahun 1915 dewan Batavia (Raad Batavia) membahas surat tangga 10 Oktober dari para administrator land Bolang dan land Djasinga dan surat-surat dari kepala administrator land Tjampea bertanggal 26 November dan 12 Desember 1915 serta surat dari administrator perusahaan land Tjiomas 10 Desember 1915, di samping korespondensi dengan Direktur Pekerjaan Regional Batavia, mengenai perbaikan jalan Buitenzorg-Djasinga (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1915).

Pada rapat dewan Batavia tahun 1916 disetujui pelaksanaan pembangunan koneksi telepon yang berjalan secara eksklusif pada land Bolarg dan land Djasinga untuk keuntungan dan untuk penggunaan Administrator land tersebut (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-10-1916). Sebelumnya komunikasi yang sudah ada adalah telegraf di Djasinga.

Bataviaasch nieuwsblad, 13-02-1917
Sebaran distribusi land 1917 di Residentie Batavia sejak 1812 antara sungai Tjidoerian di barat dan sungai Tjitaroem di timur telah berkurang. Pemerintah terus melakukan upaya-upaya pembelian. Land yang pertama diakuisisi pemerintah (pada era Gubernur Jendereal Daendels) untuk dijadikan kota antara lain adalah land Bloeboer  yang menjadi kota Buitenzorg, land Weltevreden di Batavia dan sebagian dari land Tangerang. Jumlah terbanyak berada di afdeeling Buitenzorg seluas 460.000 bau. Di stad Batavia hanya tingggal 9.000 bau karena nilainya tinggi diatasanya ada bangunan mewah menjadi sulit dijangkau pemerintah (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 13-02-1917). Land terluas saat ini adalah land Pamanoekan en Tjiassem seluas 300.000 bau (sebagian besar luas land din Krwawang). Di afdeeling Buitenzorg land terluas adalah land Tjipamingkis dan disusul land land Tjibaroesa dan dan land Pondok Gede (di Tjiawi). Land Bolang sendiri seluas 30.250 bau, sedangkan land Djasinga se;uas 23.000 bau. Land lainnya di sekitar land Bolang terbilang relatif kecil seperti land Janlapa, land Naggoeng, dan land (Sading) Djamboe.

Pemilik land Bolang, CC Stoel van Holstein van Vloten (1910)
Pada tahun 1918 pemerintah kembali membeli tanah partikelir yakni land Ragoenan. Setahun kemudian land Janlapa Tjikopo Madjak diakusisi oleh pemerintah (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-05-1919). Pada tahun 1926 land Djasinga termasuk salah satu dari 10 land yang diakusisi oleh pemerintah. Sembilan land lainnya tersebut adalah land Tigaraksa, land Djatinegara, land Pondoklaboe, land Kebajoran, land Tjikokol, land Bazaar Tangerang West (Grendeng), land Gandaria Noord, land Oeloe Pella dan land Pella Petogogan. Pada tahun 1927 pemerintah mengakuisisi satu land lagi yakni  land Tjiampea (lihat De Indische courant, 18-10-1927). Mengapa hanya land Djasinga yang diakusisi pemerintah boleh jadi karena ibu kota distrik berada di Djasinga agar pemerintah lebih bebas untuk mengembangkan kota Djasinga. Dalam hal ini alasan pemerintah mengakusisi land yang satu menjadi prioritas dibanding yang lainnya karena alasan yang berbeda-beda. Seperti land Ragoenan diakusisi pemerintah karena setahun sebelumnya ada demonstrasi petani ke dewan karena pemilik land mengenakan nilai sewa yang tinggi bagi penduduk yang menggarap lahan. Land Tjiomas juga sering dikabarkan bermasalah dengan penduduk, tetapi pemerintah tidak berdaya karena harga land Tjiomas terbilang tinggi. Land-land yang berada di barat cenderung tanpa masalah karena para pemilik land tidak terlalu membebani penduduk dalam soal pajak lahan maupun soal kewajiban rodi bagi penduduk di atas 17 tahun. Oleh karena itu prioritas akusisi land Djasinga semata-mata diduga karena alasan ibu kota distrik Djasinga. Pemilik land Bolang yang terakhir adalah Charles Cornelis Stoel van Holstein van Vloten (yang keberadaannya di land Bolang paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1910).

Land Bolang, land Nanggoeng dan land Djasinga di wilayah terjauh afdeeleing Buitenzorg, Residentie Batavai sesungguhnya tidak ada duanya. Dengan upaya perbaikan jalan yang terus dilakukan arus komunikasi dari dan ke land-land tersebut semakin lancar. Land-land ini sesungguhnya sangat eksotik dan karena itu para pelancong banyak yang mengunjunginya. Ini dapat dilihat dari kesan sekelompok wisatawan dari Batavia yang datang ke wilayah barat (lihat  Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1932).

Gunung Tela di land Bolang, 1935
Tamasya yang sukses. Perjalanan yang dilakukan oleh Asosiasi Aquaterra di Batavia di bawah kepemimpinan sekretaris pertama, Bapak Menne ke Diasinga dapat dianggap sangat sukses. Pertama rombongan ditetapkan untuk mengunjungi onderneming (enterprise) Nanggoeng dimana kesempatan untuk berenang di sungai Tji Kaniki. Sungai ini membentuk beberapa danau kecil disana dan airnya sangat jernih, hal ini terutama karena di hulu tidak terdapat kampung. Rombongan mendapat sambutan yang ramah dari pemilik perusahaan di Nanggoeng. Gunung Tela di land Bolang, 1935

Sungai Tjidoerian di Djasinga, 1935
Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke land Bolang dimana kami menikmati panorama gunung yang indah. Di kejauhan terlihat gunung Tela yang di bawahnya terdapat perkebunan teh. Akhirnya kami menuju ke Djasinga untuk mendapat kesempatan ke sumber air panas di Tjipanas di (wilayah) Bantam. Kami menginap di pesanggrahan yang tidak terlalu mahal. Dalam perjalanan pulang kembali kami membawa ikan akuarium yang eksotik dari Djasinga, suatu tempat ditemukan ikan yang tidak begitu umum disini di Jawa. Kami sangat puas dalam tamasya ini.

Perang Kemerdekaan dan Pengakuan Kedaulatan Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

Cigudeg, Kota Masa Depan: Kandidat Ibu Kota Kabupaten Bogor Barat

Kampong Tjigoedeg yang sudah dikenal sejak lampau 1713 (era VOC), akan segera menemukan jalan menuju masa depan (era milenial). Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1826 tidak memperhitungkan kampong Tjigoedeg (land Bolang) sebagai ibu kota distrik melainkan yang dipilih dan ditetapkan adalah kampong Djasinga (land Janlapa).

Lanskap Tjigoedeg diantara gunung Tela dan gunung Tenjoleat
Wilayah land Bolang yang tempo dulu kini menjadi kecamatan Cigudeg. Gunung tertinggi di kecamatan Cigudeg terbilang hanya gunung Tela. Puncak gunung ini setinggi 750 M dpl. Jika dilihat dari kampong (kota) Tjigoedeg, gunung Tela terkesan tinggi. Hal ini karena kampong Tjigoedeg sendiri berada di ketinggian 400 M dpl. Namun gunung Tela tidak terlalu tinggi jika dilihat dari perkebunan teh Tjirangsad maupun dari kampong Soesoekan. Hal ini karena kedua kampong ini berada di ketinggian 660 M dpl. Oleh karena itu dari desa Banyuresmi, jika melihat ke arah Tangerang seakan semuanya tampak jelas.

Landhuis land Bolang dipindahkan dari Toge ke Tjigoedeg
Gunung kedua tertinggi adalah gunung Tenjoleat. Namun gunung yang berada ke arah Djasinga ini sejatinya hanya berbeda sedikit ketinggiannya jika dibandingkan dengan kampong Tjigoedeg. Posisi gunung Tenjoleat yang berada di area yang lebih rendah (ke arah Djasinga) sehingga dengan ketinggian 471 M dpl seakan tampak tinggi. Oleh karena itu, semua area di wilayah land Bolang (kecamatan Cigudeg) pada masa ini dapat dijangkau. Gunung Tela di kampong Tjirangsad hanya terkesan ketinggiannya sekitar 100 meteran. Bandingkan dengan melihat gunung Tenjoleat dari Boenar terlihat tinggi sekitar 300 meteran. Boenar sendiri berada di tidak jauh dari Djasinga.

Hanya investor Jerman yang memperhitungkan land Bolang (Tjigoedeg) pada tahun 1875 untuk dijadikan sebagai perkebunan teh di kampong Tjirangsad (8 Km dari kampong Tjigoedeg). Atas dasar inilah kemudian ibu kota (landhuis) land Bolang dipindahkan dari kampong Bolang (kini desa Mekarjaya) ke kampong Tjigoedeg. Kini, kota Tjigoedeg akan menggantikan peran historis kota Bogor.

Lokasi kantor kecamatan Cigudeg dan kantor pusat PT PN VIII
Area landhuis ini di kampong Tjigoedeg kini menjadi area kantor pusat PT PN VIII. Masa depan yang cerah memang tidak pergi kemana, tidak lama lagi area di wilayah pegunungan ini akan menjadi Ibu Kota Kabupaten Bogor Barat. Itulah nasib baik Tjigoedeg setelah menunggu hampir tiga abad lamanya.

Kota Cigudeg jauh lebih tinggi dari Kota Bogor. Ketinggian Kota Bogor sekitar 300 meter di atas permukaan laut (dpl). Kota Bogor tidak sejuk lagi. Tempoe doeloe Bogor dipilih para petinggi VOC sebagai buitenzorg karena hawanya sejuk. Tapi kini Kota Bogor hawanya terkesan panas (vegetasi berkurang, tanah permukaan yang tertutup dan polusi yang semakin tinggi menyebabkan kota Bogor semakin gerah.

Ketinggian area di Bogor Barat (M dpl)
Berdasarkan hasil pengukuran pada peta-peta mikroskopik di wilayah West Buitenzorg (1906) di district Leuwiliang dan district Djasinga, area tertinggi berada di kampong Tjirangsad (dimana terdapat perkebunan teh). Area-area di sekitar yang cukup tinggi adalah kampong-kampong Paboearan, Soesoekan dan (perkebunan (Tjikasoengka). Di area di dekatnya di jalan raya, kampong (kota) Tjigoedeg ketinggiannya berkisar antara 375-397 meter dpl. Ini mengindikasikan bahwa ibu kota kabupaten Bogor Barat merupakan area tertinggi, sejuk dan sedap memandang ke berbagai arah. Bandingkan dengan kampong (kota) Djasinga yang hanya sekitar 90 M dpl dan kampong (kota) Leuwiliang 220 M dpl. Area IPB yang sekarang sekitar 175 M dpl. Kota Bogor sendiri sekitar 200 M dpl.   

Kota Cigudeg berada di ketinggian sekitar 400 M dpl. Wilayah Tjigoedeg yang akan menjadi ibu kota kabupaten Bogor Barat merupakan wilayah tertinggi di jalur ekonomi Buitenzorg-Djasingan. Tidak hanya hawanya yang sejuk, kota Cigudeg memiliki lanskap yang aduhai. Apakah ini akan menjadi peluang bagi kota Cigudeg untuk menjadi destinasi wisata dan ruang untuk weekend?

Cigudeg, kandidat ibu kota kabupaten Bogor Barat
Potensi yang ditawarkan oleh alam Cigudeg yang segar akan sendirinya bertemu dengan preferensi orang kota yang lelah (terutama dari Jabodetabek). Ruang pembangunan properti dan real estate, sedikit atau banyak akan bergeser ke wilayah Bogor Barat mendekati kota Cigudeg. Satu lompatan besar akan terjadi di wilayah Cigudeg. Akan terjadi sinergi antara dinamika pusat pemerintahan di kota Cigudeg dengan dinamika bisnis-bisnis yang lain. Kota Cigudeg akan segera menjadi kosmopolitan. Apakah rencana pembangunan jalur kereta api ddari Paroeng Pandjang yang dulu tertunda di era Hindia Belanda akan dibangkitkan kembali dengan rencana strategis KRL Commuter Jabodetabek?    

Wilayah Bogor Barat sejatinya lebih kaya situs-situs destinasi wisata dibangdingkan daerah Puncak (wilayah Bogor timur). Wilayah sekitar Cigudeg sangat di Bogor Bnarat berlimpah situs-situs eksotik bahkan terdapat situs-situs masa lampau tersebar dimana-mana, tidak hanya situs era Taroemanegara, juga situs-situs kuno seperti gua. Tentu saja situs kuno peninggalan era VOC (benteng Tjiampea dan benteng Panjawoengan serta benteng Djasinga) dan peninggal era Hindia Belanda di Nanggung dan tentu saja perkebunan tua di Cirangsad.

Saya bisa membayangka suatu ketika di masa nanti Tangerang (Selatan), Cigudeg dan Pelabuhan Ratu, area Ciletuh dan Sukabumi terhubung dengan jalur kereta api. Tidak terpikirkan memang tetapi masuk akal dengan terbentuknya jalur lingkar yang menghubungkan Serpong (Kota Tangerang), Cigudek (ibu kota Bogor Barat) dan Pelabuhan Ratu (ibu kota Soekabumi). Pada era Hindia Belanda JP Motman (pengusaha pertanian di Bolang dan Tjoeroek Bitoeng) pernah menggagas jalur kereta api dari Paroeng Pandjang/Serpong ke Djasinga via Tjigoedek dan juga Eekhout (pengusaha pertanian di Djampang Keolon) menggagas jalur kereta api dari Sagaranten/Tjiletoeh ke Leuwiliang via Parakan Salak. Kedua jalur ini layak tetapi ditolak oleh perusahaan kereta Hindia Belanda.    

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

8 komentar:

  1. Selesai membaca, mantap pak dosen, sy sebagai warga Sading Djamboe (skrg Leuwisadeng, kebetulan iluni UI juga dari FH angkatan 2007. Sehat selalu

    BalasHapus
  2. Saya dari Dramaga. Kebetulan jaket kuning jg dr antro. Saya menyukai artikel Bapak. Sehat selalu, Pak.

    BalasHapus
  3. Seru baca tulisannya...Kakek sy dulu pensiunan juru tulis di Kewedanaan Jasinga...sayang dl cerita2nya ga dijadiin buku yah. Sy pernah berkirim surat sm cicit2 tuan tanah Perkebunan Jasinga Hans/Eric terakhir berkirim surat sekitar tahun 1995...dijawab sm ayahnya pakai Bahasa Indonesia logat Belanda. Sayang sy juga ga nyimpen alamatnya.

    BalasHapus
  4. Jika artikel ttg cirangsad ini didedikasikan diantaranya utk sy dan keluarga, maka suatu kehormatan. Terimakasih telah mengingat kami bang akhir...Kami dan kampung ini masih mengingat abang dan terbuka kapanpun abang kembali....hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, akhirnya kita bertemu kembali setelah 30 tahun. O iya, ini Kang Ato atau Ade? via email saja ya (ada alamatnya di bawah artikel di atas)

      Hapus