Laman

Jumat, 31 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (20): Ekspedisi Militer Inggris ke Bali, 1814; Mengapa Raja Bali Tidak Senang dengan Kehadiran Inggris?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Kesenangan radja-(radja) Bali mulai terusik setelah kehadiran Inggris. Tampaknya Radja Bali sudah nyaman dengan orang Belanda sejak era VOC. Ketika Inggris menduduki Batavia 1811, Pemerintah Hindia Belanda yang belum lama dibentuk (setelah dibubarkannya VOC) tamat. Inggris dengan style yang berbeda (dengan Belanda) ketika menggantikan kekuasaan Belanda di Hindia datang dengan hukum yang berbeda. Letnan Jenderal Raffles juga memiliki gaya kepemimpinan tersendiri.

Radja Bali sudah sejak lama terikat hubungan baik dengan orang-orang Belanda, bahkan sejak ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1597). Awalnya dibentuk VOC (1619) tetapi kemudian harus dibubarkan pada tahun 1799. Lalu Kerajaan Belanda mengakuisisi eks wilayah dan properti VOC dan kemudian membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Para pedagang-pedagang VOC masih banyak yang dilibatkan dalam pemerintahan yang baru ini, Namun (sistem) pemerintahan yang baru ini masih fokus di Jawa. Saat Gubernur Jenderal Daendels diangkat tahun 1808 memulai program pembangunan untuk mendukung perdagangan dengan membangun jalan pos trans-Java dari Batavia ke Anjer dan dari Batavia ke Panaroekan (Banjoewangi). Namun, situasi cepat berubah, Inggris menduduki Batavia tahun 1811, lalu pemerintah pendudukan Inggris mengambilalih kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Radja Bali terputus hubungan dengan penguasa lama (Belanda).

Ada satu hal yang menyebabkan Radja Bali tidak senang dengan kehadiran Inggris. Oleh karena itu radja Bali mencoba mengganggu otoritas Inggris di Banjoewangi. Akhirnya, pemerintah pendudukan Inggris merngambil langkah ofensif dengan mengirim ekspedisi militer ke Bali tahun 1814. Sebelumnya Inggris melakukan ekspedisi militer ke Djogjakarta. Lantas bagaimana sejarah keseluruhan Inggris di Bali? Yang jelas selama ini kurang terinformasikan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.

Kamis, 30 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (19): Apa Ada Pecinan (Chinatown) di Pulau Bali? Komunitas Cina di Pelabuhan Buleleng dan Pelabuhan Sanur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Seperti halnya orang-orang Melayu, Bugis dan Makassar, orang Cina adalah juga pelaut yang handal di lautan. Para pelaut-pelaut ini menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya untuk berdagang. Pusat komunitas utama orang Cina di pulau Bali awalnya hanya berada di Boeleleng. Pelaboehan Boeleleng tempo doeloe dapat dikatakan sebuah pelabuhan internasional. Orang-orang Cina umumnya berasal dari Batavia, Semarang dan Soerabaja. Kapal-kapal asal Tiongkok kerap berlabuh di pelabuhan Boeleleng untuk mengangkut beras ke Macao. Itulah yang menjadi sebab mengapa muncul komunitas Cina di Bali.


  1. Dalam perkembangannya, orang-orang Bali, terutama di selatan (Zuid Bali) tidak menyukai pedagang-pedagang Eropa terutama Belanda. Dampaknya juga tidak terlalu menyukai pedagang-pedagang Inggris. Hanya pedagang Denmark yang pernah bertahan lama, tetapi lokasinya sangat jauh di selatan di (pelabuhan) Koeta. Oleh karena orang Bali bukan pelaut dan radja-radja membutuhkan arus perdagangan maka pilihannya jatuh kepada orang-orang Cina bahkan radja Badoeng memberi lisensi kepada pedagang Cina di Sanoer sebagai sjahbandar (bagi hasil dengan radja). Itulah sebabnya mengapa muncul komunitas Cina di Sanoer.

Lantas apakah ada pecinan (Chinatown) di pulau Bali? Yang jelas di pulau Lombok ada pecinan di kota Ampenan. Pertanyaan ini menjadi penting karena pada masa ini tidak pernah dilaporkan adanya pecinan di Bali. Padahal pulau Bali tempo doeloe sangat intens disinggahi oleh para pedagang-pedagang Cina dari Soerabaja dan Makassar terutama di Boeleleng dan Sanoer. Lalu apakah ada pecinan (Chinatown) di pulau Bali? Pecinan (Chinatown) adalah suatu area di dalam kota yang eksis sejak tempo doeloe hingga ini hari. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 29 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (18): Awal Pariwisata di Bali; Jawa Masa Lalu (Preanger), Sumatra Masa Kini (Danau Toba), Bali Masa Depan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini 

Sebelum dikenal (pulau) Bali sebagai destinasi pariwisata sudah dikenal Priangan (Preanger) dan danau Toba (meer Toba) sebagai destinasi pariwisata manca negara. José Miguel Covarrubias seorang pelancong asal Meksiko yang sudah lama bermukim di New York yang memperkenalkan (pulau) Bali sebagai pulau yang eksotik ke internasional lewat bukunya berjudul Island of Bali yang terbit di New York pada tahun 1937.

Orang-orang Belanda sadar tidak sadar, gemar menganalogkan sesuatu wilayah berdasarkan tahapan waktu. Setelah dibubarkan VOC tahun 1799, orang-orang Belanda di awal Pemerintah Hindia Belanda menyebut Maluku masa lalu, Jawa adalah masa kini dan Sumatra adalah masa depan. Hal ini karena perdagangan rempah-rempah dari Maluku telah digantikan ekonomi gula dan kopi di Jawa. Saat itu satu kerajaan lagi masih terisa dan masih independen di Sumatra (Atjeh), pertanian dan pertambangan sudah mulai menguntungkan di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Oleh karena itu muncul cadangan (ekonomi perdagangan) Sumatra sebagai masa depan. Seiring dengan masa pertumbuhan ekonomi tersebut, orang-orang Belanda mulai banyak yang melancong yang mempromosikan wilayah Priangan sebagai destinasi terdekat dari Batavia. Dalam perkembangannya setelah mulai populer danau Toba muncul promosi wisata bahwa danau Toba pada masa kini. Ini juga sehubungan dengan kemajuan yang fantastik di kota Medan (paket wisata Medan-Meer Toba). Ketika, José Miguel Covarrubias memperkenal pulau Bali, orang-orang Belanda di Hindia Belanda mulai mempromosikan Bali sebagai destinasi wisata masa depan.

Lantas bagaimana sejarah awal pulau Bali menjadi destinasi wisata yang mengundang perhatian para wisatawan di Jawa dan para pelancong manca negara? Yang jelas itu dipicu oleh José Miguel Covarrubias. Dia sangat mencintai Bali dan ketika ia ingin berbulan madu, ida kembali ke Bali dengan istirinya. Okelah. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.

Selasa, 28 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (17): Para Pelukis Eropa Melukis Keindahan Bali; Sejarah Awal Para Pelukis dan Pembuat Peta Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
 

Pulau Bali terkenal karena keindahannya. Tidak hanya pantai dan lanskapnya, tetapi juga hasil karya dan cara berperilaku yang baik penduduknya. Oleh karena itu banyak orang bule (Eropa-Amerika) yang datang ke Bali untuk melukis—untuk melukis apa saja. Tentu saja yang datang ke Bali bukan hanya bule tetapi juga ada yang pribumi. Ringkasnya keindahan Bali menjadi daya tarik para pelukis manca negera untuk dipamerkan di pameran dunia.

Wanita Bali di Sering Sing (lukisan Corneille le Bruyn, 1706)
Sebelum ada ahli kartografi, untuk membuat peta yang baik fungsi itu diperankan oleh para pelukis. Keahlian melukis tempo doeloe impian setiap orang karena dapat merekam visual sendiri. Ibarat sekarang setiap orang ingin memiliki smartphone yang bagus agar bisa mereka apa yang diinginkan. Jabatan para pelukis menjadi berfungsi kemana-mana. Para pelukis juga disertakan dalam perang untuk melukiskan jalannya perang. Para pelukis menjadi semacam wartawan perang. Para pelukis juga menjadi andalan setiap pejabat tinggi di era VOC maupun era Pamerintah Hindia Belanda. Para pelukis menjadi semacam ajudan pribadi. Namun pelukis tetaplah pelukis. Ketika alat pemotretan sudah ditemukan dan mulai muncul di Hindia Belanda tahun 1850an, para pelukis tetap melukis dan tidak mau beralih ke profesi lain. Para pelukis kembali ke habitatnya.

Lantas seperti apa sejarah para pelukis di Bali? Nah, itu dia. Belum ada tampaknya yang tertarik untuk menulis itu. Yang jelas sebelum muncul para pelukis di Bali, para pelukis sudah berkeliaran dimana-mana di seluruh Hindia, bahkan ke tempat-tempat yang terpencil, tempat dimana belum pernah dikunjungi orang Eropa sebelumnya. Para pelukis seringkali menjadi pionir (penemu). Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.

Senin, 27 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (16): Orang Bali di Kota Batavia, Orang Batak di Jawa; Sejarah Awal Migrasi Etnik di Indonesia Sejak Era VOC


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Sejak jaman kuno, ada beberapa suku bangsa (etnik) di nusantara yang bukan pelaut, diantaranya orang Bali dan orang Batak. William Marsden (1811) heran mengapa orang Batak bukan pelaut padahal teluk Tapanoeli selain banyak ikannya adalah pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra. Heinrich Zollinger (1847) menyatakan pantai-pantai Bali banyak ikannya dan teluk-teluknya banyak yang dapat dijadikan pelabuhan yang baik, tetapi orang Bali bukan pelaut. R van Eck (1878) menyatakan orang Bali bukan pelaut, karena itu mereka tidak pernah meninggalkan tanah mereka atas kehendak sendiri. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, orang Bali mendatangkan ikan dari orang Bugis dan orang Mandar.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk, 2010 di Provinsi Jawa Timur tercatat hanya lima etnik asli yang menjadi penduduk asli Jawa Timur, yakni  Jawa, Madura, Osing, Bawean, dan Tengger. Dari 37,476,757 jiwa penduduk Jawa Timur, persentase terbesar adalah etnik Jawa (79.58 persen) yang disusul kemudian etnik Madura (17.53 persen). Tiga etnik asli lainnya, Osing di Banyuwangi (0.76 persen), Bawean (0.19 persen) dan Tengger (0.13 persen). Sedangkan etnik pendatang sendiri hanya sebanyak 1.81 persen saja dari total penduduk Provinsi Jawa Timur. Persentase etnik pendatang terbesar adalah etnik Tionghoa (0.73 persen)  dan kemudian pada urutan berikutnya adalah etnik Batak (0.15 persan) dan etnik Sunda (0.12 persen). Ini berarti etnik Batak merupakan penduduk terbanyak kedua di luar penduduk asli. Jika persentase etnik Batak di Provinsi Jawa Timur sebesar 0.15 persen maka ini setara dengan 56.215 jiwa. Jumlah ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan etnik Jawa dan etnik Madura yang masing-masing 29.824.950 jiwa dan 6.568.438 jiwa. Namun jika jumlah etnik Batak di Jawa Timur dibandingkan dengan etnik Tionghoa  (236.124 jiwa) dan etnik Sunda (45.262 jiwa) dan  etnik Bali (19.316), jumlah etnik Batak ini menjadi begitu berarti (signifikan). Keberadaan etnik Batak sendiri di Jawa Timur tidak hanya terdapat di ibu kota provinsi (Kota Surabaya) tetapi juga tersebar merata di semua kabupaten/kota di Jawa Timur.

Pada Sensus Penduduk tahun 1920 di Jawa jumlah etnik Batak sebanyak 868 jiwa dan etnik Bali sebanyak 607 jiwa. Lalu mengapa pada masa ini (berdasarkan Sensus Penduduk 2010) orang Bali di Jawa Timur relatif begitu sedikit jika dibandingkan orang Batak? Padahal Bali begitu dekat dengan Jawa Timur (hanya dibatasi oleh selat). Apakah ini suatu anomali? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 26 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (15): Sejarah Organisasi Sosial di Bali; Medan Perdamaian di Padang hingga Bali Darma Laksana di Singaradja


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Lembaga sosial (social institution) sudah ada sejak lama di jaman kuno seperti kerajaan dan subak. Lembaga sosial terkecil adalah keluarga. Namun organisasi sosial masih terbilang baru untuk semua penduduk di Indonesia. Lembaga cenderung disebut bersifat tradisi(onal) sedangkan organisasi bersifat modern. Lembaga dan organisasi kurang lebih sama yang membedakan sifatnya. Contoh organisasi misalnya sekolah, OSIS, perusahaan dan pemerintahan. Kita sendiri hidup dalam berbagai organisasi-organisasi bahkan sejak lahir (rumah sakit) hingga mati (TPU).

Dalam sejarah Indonesia, yang sering disebut adalah organisasi sosial Boedi Oetomo. Namun organisasi sosial masyarakat Indonesia banyak yang telah didirikan, seperti Pagoejoeban Pasoendan, Kaoem Betawi, Perserikatan Nasional Indonesia, Jong Java, Jong Batak dan lain sebagainya. Organisasi sosial ini ada yang berubah menjadi organisasi partai. Organisasi-organisasi sosial ini mengambil peran masing-masing dalam merajut persatuan yang kemudian terbentuk persatuan yang lebih besar seperti PPPKI, Madjelis Rakjat Indonesia dan NKRI.

Lantas bagaimana dengan sejarah organisasi sosial di (pulau) Bali? Yang jelas tempo doeloe terdapat satu organisasi sosial yang terkenal di Bali yang diberi nama Bali Darma Laksana. Seperti halnya Boedi Oetomo bukan yang pertama, di Bali juga ada organisasi sosial yang lebih tua dari Bali Darma Laksana. Untuk itu, agar menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.

Sabtu, 25 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (14): Sejarah Pers Bali, Sejak Kapan Bermula? Mengenal Muriel S Walker alias Ktoet Tantri, Sang Republiken


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Kota adalah tempat lahirnya pers. Ada dua kota besar di Bali tempo doeloe: Singaradja dan Denpasar. Lantas apakah di dua kota ini pernah terbit media seperti surat kabar atau majalah? Seperti kata Dja Endar Moeda (1898), pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya, sama-sama untuk mencerdaskan bangsa. Pertanyaan tentang sejarah pers di Bali, khususnya di Denpasar tentu sangat penting, karena pers juga adalah bidang pencerdasan bangsa.

Presiden Soekarno dan K'toet Tantri van Bali
Dja Endar Moeda lahir di kota Padang Sidempoean, Tapanoeli pada tahun 1861. Setamat sekolah dasar, Dja Endar Moeda melanjutkan pendidikan di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Salah satu gurunya yang terkenal adalah Charles Andriaan van Ophuijsen. Lulus tahun 1884, Dja Endar Moeda diangkat menjadi guru. Pensiun guru di Singkil dan kemudian berangkat haji ke Mekah. Sepulang dari haji, Dja Endar Moeda membuka sekolah swasta di kota Padang tahun 1895. Ketika, Dja Endar Moeda menawarkan novelnya ke penerbit tahun 1897, Dja Endar Moeda mendapat bonus ditawari untuk menjadi editor surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Barat. Dja Endar Moeda mengambil tawaran itu. Jadilah Dja Endar Moeda sebagai editor pribumi pertama. Sejak itulah Dja Endar Moeda kerap menyebut sekolah dan jurnalistik sama pentingnya. Lalu pada tahun 1902 penerbit surat kabar Sumatra post di Medan merekrut pribumi untuk dijadikan editor. Lalu pada tahun 1903 di Batavia. mantan editor Sumatra post, Karel Wijbran pemilik surat kabar berbahasa Melayu, Pembrita Betawi merekrut orang pribumi ketiga yakni Tirto Adhi Soerjo (kini lebih dikenal sebagai Bapak Pers Indonesia).  

Satu nama penting yang dikaitkan dengan pers Bali adalah seorang perempuan Muriel Stuart Walker yang menyebut dirinya K’toet Tantri. Oleh karena dia merasa orang Bali, lalu dia menjadi seorang Republiken (pembela Republik Indonesia). Okelah itu satu hal. Lantas bagaimana dengan sejarah pers di Bali sendiri? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 24 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (13): Sejarah Jembrana Ibu Kota Negara; Dari Untung Suropati (VOC) hingga Negara Republik Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini 

Sejarah Jembrana adalah sejarah lama. Ibu kota berada di Negara (kini Negara lebih dikenal sebagai ibu kota kabupaten Jembrana). Kabupaten ini berbatasan di sebelah timur dengan kabupaten Tabanan dan di sebelah utara kabupaten Buleleng. Kabupaten ini dengan pulau Jawa (Banyuwangi) dipisahkan oleh selat Bali. Satu nama yang kerap dikaitkan dengan wilayah Jembrana sejak awal (era VOC) adalah seorang pemuda tangguh yang dikenal sebagai Oentoeng Soeropati.

Menurut cerita, Oentoeng Soeropati adalah seorang pangeran yang lahir dari Poeger, bernama Sangadja, yang dipaksa pada usia enam tahun oleh pamannya, Soesoehoenan, untuk melarikan diri ke Blambangan, untuk mencari perlindungan dengan pangeran wilayah Blambangan. Namun pangeran Blambangan tidak berani menjaga pemuda belia itu bersamanya, lalu menyarankan Oentoeng Soeropati untuk menyeberang dengan pengasuhnya ke Djambrana di Bali. Disini mereka disambut dengan ramah oleh Shabandar, yang kemudian menerima pangeran kecil ini sebagai putranya dan memberinya panggilan (gelar) Bagoes Mataram. Setelah pemuda ini tumbuh menjadi seorang pemuda yang hebat (lihat Dr R van Eck dalam majalah Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1878).

Okelah, itu satu hal. Hal lain yang lain juga penting adalah bagaimana dengan sejarah Jembrana sendiri sebagai suatu wilayah penting di pulau Bali? Sudah barang tentu sudah ada yang menulisnya. Namun tentu itu tidak cukup. Untuk memenuhi kecukupan itu, dan untuk menambah pengetahuan serta untuk meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 23 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (12): Islam, Orang Arab dan Haji di Bali; Orang Bali Hindu Tidak Mau Diganggu dan Terganggu (Toleransi)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
 

Dalam sejarah Bali, sesungguhnya jarang, jika tidak ingin dikatakan tidak pernah, pertikaian antar agama yang menyulut perang. Pertikaian yang intens terjadi justru antar kerajaan di Bali yang sama-sama penganut agama Hindu. Perang yang terjadi di masa lampau yang dilancarkan oleh orang Bali, baik antar sesama maupun dengan asing (Belanda) hanya karena atas dasar ekonomi. Aneksasi Karangasem (Hindoe) ke Lombok (Sasak Islam) juga hanya semata-mata motif ekonomi (bukan motif agama).

Agama Hindu Bali dapat dikatakan adalah sisa Hindoe di Jawa. Pulau Bali melestarikan ajaran Hindoe yang sebelumnya berkembang di Jawa. Sejumlah peneliti Bali di masa lampau menjelaskan bahwa orang-orang (dari pulau) Jawa yang membawa ajaran Hindoe ke pulau Bali (pasca jatuhnya Majapahit). Namun orang-orang Jawa yang beragama Hindoe tidak semua penduduk Bali menjadi Hindoe. Penduduk asli Bali ini tetap dengan kepercayaan lamanya (ada yang menyatakan sebagai Budha atau Bodha di Lombok). Mereka ini dikenal sebagai penduduk dari desa-desa Bali Aga yang di era kolonial Hindia Belanda masih banyak ditemukan. Dua yang lebih dikenal pada masa ini desa Tenganan dan desa Trunyan.

Desa-desa Bali Aga dengan desa-desa Bali umumnya (Hindoe) sama-sama eksis. Desa-desa Bali umumnya yang mayoritas dapat hidup berdampingan dengan desa-desa Bali Aga. Gambaran yang menyebabkan orang Bali Hindoe dapat menerima pendatang baru (Arab/Islam) dan orang-orang Cina. Orang Bali Hindu tidak mau diganggu dan terganggu. Mereka membiarkan Islam, orang Arab dan (ber)haji berkembang sendiri. Nah, bagaimana itu semua terbentuk? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 22 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (11): Sejarawan Bali, Para Pionir Penulisan Sejarah Pulau Bali; Sejarah Seharusnya Memiliki Permulaan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Jangan bilang saya sejarawan. Saya hanyalah seorang ekonom peminat sejarah. Dalam sejarah Bali, haruslah ada orang yang memulainya. Mereka itu ternyata bukan kita, tetapi adalah orang-orang gila yang berani bertarung nyawa. Kita pada masa ini tidak ada apa-apanya. Kita hanya sekadar penyalin. Yang lebih buruk lagi ada diantara kita yang sengaja tidak sengaja menambah yang tidak pernah ada. Lalu kemudian muncul golongan yang aneh yang melebih-lebihkan satu hal dan juga mengerdilkan hal lainnya.

Menurut Wikipedia: Sejarah (bahasa Yunani: ἱστορία, historia (artinya "mengusut, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian"); bahasa Arab: تاريخ, tārīkh; bahasa Jerman: geschichte) adalah kajian tentang masa lampau, khususnya bagaimana kaitannya dengan manusia. Dalam bahasa Indonesia, sejarah, babad, hikayat, riwayat, tarikh, tawarik, tambo, atau histori dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang memerintah. Ini adalah istilah umum yang berhubungan dengan peristiwa masa lalu serta penemuan, koleksi, organisasi, dan penyajian informasi mengenai peristiwa ini. Istilah ini mencakup kosmik, geologi, dan sejarah makhluk hidup, tetapi sering kali secara umum diartikan sebagai sejarah manusia. Para sarjana yang menulis tentang sejarah disebut ahli sejarah atau sejarawan. Peristiwa yang terjadi sebelum catatan tertulis disebut Prasejarah.

Sejarah adalah narasi fakta dan data. Suatu fakta dan data yang dinarasikan secara proporsional yang jauh dari maksud untuk mengelabui pembaca. Sejarah haruslah memberi edukasi pada generasi mendatang. Dalam membaca fakta dan data jelas diperlukan analisis yang cermat agar memberikan dampak pada narasi sejarah yang baik dan benar. Dalam hubungan ini, artikel ini dimaksudkan untuk merangkum siapa saja sejarawan awal pulau Bali, orang-orang yang telah memberi kontrinusi dalam penulisan sejarah masa kini. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 21 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (10): Masakan Khas Bali Tempo Dulu; Direkomendasikan Para Bule, Babi Guling Kuliner Terbaik (R v Eck 1878)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Setiap daerah di Indonesia memiliki masakan khas. Makanan khas tentu saja umumnya nasi. Namun untuk mendampingi nasi, berbagai lauk, beragam sayuran dan buah-buahan menyertainya. Diantara menu makanan itu ada yang khas. Masakan khas dalam hal ini adalah makanan spesial yang disajikan apakah untuk makanan harian atau acara tertentu (seperti jamuan makan). Diantara makanan khas yang enak-enak itu, tempo doeloe para bule di Bali merekomendasikan kepada orang Eropa-Belanda lainnya adalah bali yang dipanggang dengan cara diguling-guling (sebut saja babi guling).

Untuk urusan makan, orang Eropa-Belanda dan orang pribumi tidak ada bedanya.Sama-sama lahap untuk masakan yang membuatnya nikmat. Yang berbeda adalah jenis makanan dan cara memasaknya. Orang Eropa-Belanda jika ke daerah apakah untuk tujuan dinas atau melancong (wisata), dimana tidak ditemukan masakan Eropa, mereka sudah mengidentifikasi makanan yang akan dipesan (misalnya di pesanggrahan). Jika tidak bisa memesan seperti di perjamuan atau secara tidak terduga tuan rumah menyajikan makan siang, pejabat lokal sudah tahu apa yang disiapkan (karena jarang terjadi) yakni masakan khas yang akan digemari tamu bule. Di Bali, masakan khas itu salah satu diantaranya adalah babi panggang guling.

Apa saja daftar masakan khas penduduk Bali tempo doeloe? Nah, itu dia. Tampaknya belum ada yang menulisnya. Buku yang sudah ada hanya ditulis berdasarkan menu makanan yang berlaku pada beberapa dekade terakhir. Lantas bagaimana dengan daftar menu lebih dari satu abad yang lalu?Apakah masih ada yang sama dengan bebera dekade terakhir? Yang jelas bahwa babi guling dengan rempah-rempah sudah direkomendasikan para bule lebih dari satu abad yang lalu. Okelah, untuk menambah pegetahuan tentang masakan khas Bali tempo doeloe, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 20 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (9): Orang Bali, Bali Aga, Bali Moela, Buddha, Islam dan Hindu; Kirtya Liefrinck van der Tuuk di Singaraja


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Bali, tidak hanya tentang alam pulau Bali, tetapi juga tentang orang yang berada di pulau itu. Pulau Bali sendiri sejak awal adalah pulau yang terbuka, pulau dimana bermukim penduduk asli, penduduk yang paling asli (origin). Namun dalam rentang waktu sejarah pulau Bali yang sudah lama, sejak origin hingga ini hari, masih ditemukan sisa penduduk aseli pulau Bali. Penduduk paling aseli ini disebut orang Bali Aga. Orang-orang aseli ini masih melakukan praktek budaya lama (oesana Bali). Sejarah Bali juga termasuk orang-orang yang ahli di bidangnya tentang Bali.

Bagaimana cara mempelajari (sejarah) orang Bali, seorang peneliti bernama Lekkerkerker.dalam risalahnya yang dimuat pada majalah Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1933 menyatakan bahwa studi tentang masyarakat Bali seharusnya tidak dimulai dari ujung yang salah, tidak dengan masyarakat kasta dan lembaga-lembaga Hindoe, tetapi di desa-desa, dimana banyak kelompok populasi kuno masih dapat ditemukan. Salah satu desa kuno yang terkenal adalah desa Tenganan Pagringsingan. Hingga masa ini oesana Bali masih eksis di desa Tenganan Pagringsingan. Nama dua orang ahli yang terbilang sangat intens tentang sejarah orang Bali adalah FA Liefrinck dan N van der Tuuk. Oleh karena itu, jika terkait dengan urusan sejarah orang Bali, generasi ahli berikutnya mendirikan perpustakaan di Bali dengan nama Kirtya Liefrinck van der Tuuk.

Bagaimana sejarah orang Bali dan bagaimana sejarah orang-orang yang meneliti tentang (pulau) Bali menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam penulisan sejarah Bali. Seperti orang Bali harus ada yang bermula (orang Bali yang paling awal), juga dalam penulisan sejarah Bali harus ada orang yang memulainya. Yang memulainya adalah orang-orang Eropa-Belanda. Kita, pada masa kini hanyalah sekadar melanjutkan. Okelah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 19 Juli 2020

Sejarah Lombok (45): Orang Sasak Lombok di Desa Tenganan Pegringsingan Pulau Bali; Monogami, Endogami dan Hukum Waris


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Di Lombok banyak orang Bali. Lantas apakah ada orang Sasak dari pulau Lombok di Bali? Ternyata ada. Mereka menetap sudah lama di kampong Tenganan Pegringsingan, Karangasem, pulau Bali. Bagaimana mereka bisa tinggal di Bali? Itu satu hal, Hal lain adalah ketika kerajaan Bali Selaparang mengirim pasukan asal Lombok untuk membantu kerajaan Karangasem dalam berperang melawan kerajaan Kloengkoeng. Hal lainnya adalah orang Sasak yang disebut Bodha ini menetap di kampong Tenganan Pegringsingan. Menurut S van Praag (1934) asal-usul penduduk Tenganan Pegringsingan sebagian berasal dari orang Sasak dari Lombok.

Pada masa ini desa Tenganan Pegringsingan lebih dikenal sebagai sebuah desa tradisional di pulau Bali. Desa Tenganan Pegringsingan berada di kecamatan Manggis, kabupaten Karangasem. Pada masa ini desa Tenganan Pegringsingan adalah salah satu dari tiga desa Bali Aga. Dua desa lainnya adalah desa Trunyan dan desa Sembiran. Bali Aga adalah penduduk asli Bali yang masih mempertahankan kepercayaan lama. Sedangkan penduduk asli Lombok adalah orang Sasak. Sebagian besar orang Sasak telah menganut agama Islam. Orang Bodha adalah orang Sasak yang masih mempertahankan kepercayaan lama (seperti halnya orang Bali Aga di Bali). Dua kelompok masyarakat memiliki kesamaan sehingga bisa berbaur.

Lantas bagaimana sejarah desa Tenganan Pegringsingan? Yang jelas menurut Dr VE Korn dalam monografnya berjudul De Dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan (1933) desa Tenganan Pegringsingan berbeda dengan desa-desa Bali umumnya. Desa Tnganan Pagringsingan menurut Dr VE Korn adalah Republik Desa yang mana penduduknya memiliki ciri khas yang unik: monogami, endogami dan hukum waris sendiri. Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 18 Juli 2020

Sejarah Lombok (44): Sejarah Bodha Tempo Doeloe di Lombok Utara dan Orang Bodha Juga Ada di Bima; Bali Aga di Pulau Bali


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Satu hal yang nyaris terlupakan dalam sejarah Lombok adalah tentang eksistensi orang Bodha sebagaimana tentang orang Bali Aga di Bali. Orang Bodha adalah orang Sasak dan orang Bali Aga adalah orang Bali. Namun kepercayaan (cara beragam) orang Bodha berbeda dengan orang Sasak umumnya yang beragama Islam. Idem dito orang Bali Aga dengan orang Bali umumnya yang beragama Hindoe. Tempo doeloe, orang Bodha juga ditemukan di pulau Soembawa (Bima).

Di Lombok juga ada yang diidentifikasi sebagai orang yang disebut orang Waktoe Teloe. Mereka teridentifikasi berada di Lombok Utara di sekitar gunung Rindjani. Pada era Hindia Belanda, para akademisi sering memperdebatkan dua terminologi ini yang khas ada di pulau Lombok. Perdebatan ilmiah dalam rangka menemukan kerangka pemahaman yang sama diantara para akademisi tentang orang Bodha dan orang Waktoe Teloe. Orang Bodha dihubungkan dengan agama Budha dan orang Waktoe Teloe dihubungkan dengan agama Islam. Pada sensus 1920, orang Bodha dimasukkan dalam kategori (etnik) Sasak, sebagaimana orang Bali Aga dimasukkan dalam kategori (etnik) Bali.

Lalu bagaimana sejarah orang Bodha? Nah, itu dia, kurang terinformasikan. Sejarah orang Bodha adalah bagian dari sejarah pulau Lombok dan juga bagian dari sejarah pulau Soembawa terutama di Bima. Penduduk asli di pulau Lombok menyebut diri dengan orang Sasak. Dalam hal ini orang Sasak juga termasuk orang Bodha. Terminologi Lombok, Sasak dan Bodha adalah tiga terminologi yang digunakan berbeda. Okelah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.