Selasa, 07 Februari 2017

Sejarah Bandung (20): Wali Kota Pertama Kota Bandung, RA Atmadinata; Seorang Guru Alumni Belanda

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


RA Atmadinata, Walikota pertama Bandung
Yang pertama seharusnya selalu diperhatikan, sebab yang pertama biasanya menarik perhatian, dan yang pertama juga umumnya banyak dipublikasikan. Namun sangat disayangkan Wali kota pertama Bandoeng RA Atmadinata hanya sedikit terinformasikan, karenanya kurang dikenal. Padahal, RA Atmadinata adalah tokoh penting di Kota Bandoeng sejak era Pemerintah Hindia Belanda hingga pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Perjuangannya tidak perlu diragukan: Dinu Kiwari Ngancik Nu Bihari, Seja Ayeuna Sampeureun Jaga.

Tidak hanya wali kota pertama kota Bandung, ternyata setali tiga uang dengan wali kota pertama Medan dan walikota pertama Surabaya—sama-sama kurang terinformasikan. Semoga itu karena hanya sekadar kurangnya atau tiadanya data dan informasi tentang mereka. Jangan sampai karena ada maksud pihak tertentu untuk mengerdilkan mereka. Jika hanya soal data dan informasi dapat dicari atau dikumpulkan. Untuk itu, mari kita telusuri profil RA Atmadinata, Wali kota Pertama Kota Bandung. Wali kota yang satu ini layak mendapat tempat dalam bingkai Sejarah Preanger dan Sejarah Kota Bandung..

Gemeenterraad Bandoeng

Atmadinata mulai terkenal sejak dicalonkan utnuk menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Bandoeng. Pada saat wali kota Bandoeng kali pertama diangkat tahun 1917, Atmadinata adalah anggota dewan kota dari golongan pribumi. Di tengah kebisingan politik, Atmadinata masih sempat membagi perhatian untuk fungsi seorang guru: mengajar dan tetap terus belajar.

Sejarah Bandung (19): Gemeenteraad Bandoeng 1 April 1906; Sebaran Dewan di Hindia Belanda



Pembentukan Gemeente (kota) Bandoeng disertai dengan pengangkatan walikota (burgemeester) dan pembentukan Dewan Kota (gemeenteraad). Jumlah anggota dewan kota setiap gemeente di Hindia Belanda berbeda-beda dan disesuaikan dengan kapasitas kota.

Dewan lain yang telah dibentuk adalah dewan kabupaten (gewest), dewan provinsi (residentie) dan bahkan dewan kecamatan (onderafdeeling).

Anggota dewan kota (gemeenteraad) Bandoeng yang dimulai tanggal 1 April 1906 berjumlah 11 orang untuk mewakili warga kota. Kesebelas orang anggota dewan tersebut delapan orang Eropa/Belanda, dua orang pribumi dan satu orang timur asing (Tionghoa). Sebagai ketua adalah asisten residen Bandoeng (lihat De Preanger-bode, 05-03-1906).

Tupoksi dewan kota antara lain: penyediaan kebutuhan peraturan daerah, mempertahankan dan membangun jalan, jembatan, gedung dan lainnya, untuk memperoleh atau distribusi air minum, drainase, kebakaran, kuburan, kebersihan jalan-jalan, promosi kesehatan masyarakatm pengaturan lalu lintas umum dan mempercantik kota. Beberapa hal dikecualikan seperti pengawasan wilayah di bawah kontrol militer, ditunjuk oleh Gubernur Jenderal, dan yang dikelola oleh layanan dari Kereta Api Negara.

Gemeenteraad vs Landraad

Sebelum adanya gemeenteraad, sudah ada dewan yang lain. Dewan tersebut yang sudah terbentuk sejak ditempatkannya asisten residen di Bandoeng (1848) kerap disebut dewan asli (Landraad). Anggota dewan asli terdiri dari pemimpin lokal (termasuk bupati), pemimpin agama dan tokoh lain yang mewakili golongan, seperti guru dan pedagang (‘Himpoenan Soedara’). Dewan ini cakupannya sangat luas tergantung tingkat dewannya apakah dewan keresidenan (Regentshappen) atau dewan kabupaten (regentschap). Foto anggota Landraad Bandoeng, 1900

Senin, 06 Februari 2017

Sejarah Bandung (18): Gemeente, 1 April 1906; Inilah Daftar Wali Kota Bandung Sebenarnya, Bertus Coops - Ridwan Kamil

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini

Kota Bandung dibentuk dan secara resmi berlaku pada tanggal 1 April 1906. Penetapan Kota Bandoeng sebagai kota (gemeente) adalah wujud dari kelanjutan proses desentralisasi. Dengan penetapan sebagai Gemeente, berarti kota Bandoeng di satu sisi dipisahkan dari Regentschap (kabupaten) Bandoeng dan di sisi lain Kota Bandoeng harus mampu mengelola sendiri kota (mandiri). Penetapan kota Bandoeng sebagai Gemeente bersamaan dengan sejumlah kota di Hindia Belanda.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-03-1906: ‘Akta pemerintahan (Gouvernements besluiten) telah dikeluarkan yang akan berlaku pada tanggal 1 April untuk kota-kota Samarang, Bandoeng, Cheribon Tegal, Pekalongan, Magelang, dan Palembang. Terhadap pembentukan kota ini dialokasikan anggaran yang ditujukan dalam perbaikan dan renovasi bangunan kota dan bangunan yang baru’.

Dalam pembentukan Gemeente Bandoeng, tidak otomotis wali kota (burgemeester) diangkat sebagai pemimpin kota. Justru yang lebih dulu diangkat anggota dewan kota (gemeeteraad). Dalam hubungan ini sejumlah individu diangkat sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) baik dengan cara penunjukan maupun ‘pemilihan’. Anggota dewan (pada nantinya) akan mengawasi kerja walikota dan berlangsungnya pemerintahan. Dewan kota juga akan menetapkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku bagi kota. Foto Walikota Bandoeng pertama. Bertus Coops (1917-1920).

Rumah Wali Kota Harus Bangun Sendiri

Gemeente Bandoeng harus mampu mengelola sendiri. Pemerintah pusat (Gubernur Jenderal di Batavia) hanya mengalokasikan anggaran seadanyanya saja. Untuk membangun rumah walikota harus dibangun sendiri.  Untuk sementara rumah walikota harus menyewa. Karena untuk membangun rumah walikota tidak murah.

Sabtu, 04 Februari 2017

Sejarah Bandung (17): Surat Kabar di Bandoeng, Preanger Bode Hingga Pikiran Rakyat; Jejak Sejarah Pers Indonesia

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Tentang keberadaan Preanger dan Bandoeng sudah sejak lama ada dalam pemberitaan. Nama ‘Preanger’ kali pertama disebut di surat kabar pada tahun 1810 terkait dengan pembagian wilayah dimana tiga provinsi: Prefecten (provinsi) Iacatrasch en Preangerbovenlanden, province Bantam dan Provinsi Chirebon (lihat Bataviasche koloniale courant, 02-02-1810, edisi kelima). Sementara nama ‘Bandoeng’ kali pertama diberitakan di surat kabar pada tahun 1829 terkait dengan penempatan controleur di Tjiandjoer, Bandoeng, Sumedang dan Limbangan (Javasche courant, 06-08-1829).

De Preanger Bode, 27-07-1896 (edisi kelima)
Untuk sekadar pemandu: surat kabar Pemerintah Hindia Belanda mucnul kali pertama tahun 1810 (Bataviasche koloniale courant edisi pertama 05-01-1810). Lalu kemudian surat kabar ini digantikan oleh surat kabar berbahasa Inggris, Java government gazette di era pendudukan Inggris (pada bulan Februari 1912). Setelah Belanda berkuasa kembali, surat kabar tersebut digantikan oleh Bataviasche courant dan baru kemudian muncul nama surat kabar Javasche courant. Catatan: di era VOC (sebelum era Pemerintah Hindia Belanda) sudah ada surat kabar bernama Bataviaasche Nouvelles (terbit sejak 1744 di Batavia),

Itulah kisah awal Preanger dan Bandoeng dalam dunia media yang mendahului sebelum adanya media surat kabar di Bandoeng. Surat kabar yang terbit di Bandoeng ini akan banyak memberitakan tentang Preanger dan Bandoeng baru muncul pada tahun 1896 (yang akan coba dilacak). Sejak tahun 1896 surat kabar di Bandoeng terus eksis hingga ini hari. Lantas surat kabar apa yang pertama kali terbit di Bandoeng? Dan apa pula hubungannya surat kabar tersebut dengan surat kabar Pikiran Rakyat.

Pada masa ini, Bandung dan Priangan (Jawa Barat) tetap memiliki surat kabar legendaris: Pikiran Rakyat. Surat kabar yang tidak tergantikan di Bandung dan Priangan. Rakyat Bandung adalah Pikiran Rakyat, dan Pikiran Rakyat adalah Rakyat Bandung, seperti mottonya: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Pikiran Rakyat selalu menghiasi sejarah pers nasional dan selalu mendapat tempat pada Hari Pers Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Februari.

Preanger Bode

Media surat kabar sudah sejak lama ada di berbagai tempat utama di Hindia Belanda: Batavia, Semarang, Surabaya, Padang dan Medan. Di Bandoeng media surat kabar baru terberitakan pada tahun 1896 yakni surat kabar berbahasa Belanda yang disebut Preanger Bode.

Kamis, 02 Februari 2017

Sejarah Bandung (16): Hadji Preanger dan Buku Panduan Haji; ‘Himpoenan Soedara’ dan Supra Organisasi PPPKI



Hadji Preanger adalah kafilah hadji yang menjadi bagian dari Hadji Hindia Belanda. Penyelenggaraan perjalanan hadji dari Hindia Belanda diselenggarakan oleh pemerintah dengan empat ‘embarkasi’ menggunakan satu kapal besar dari Soerabaja, Semarang, Batavia dan Padang yang disewa dari perusahaan kapal Inggris atau Belanda. Penyelenggaraan hadji ini sudah dimulai sejak 1870.

Haji-haji dari Hindia Belanda sebelumnya berangkat sendiri-sendiri dengan menggunakan kapal-kapal dagang Arab, Persia dan Inggris melalui Singapoera atau Penang. Perjalanan haji dengan kapal-kapal dagang ini tidak teratur dan adakalanya harus dilakukan transit di kota pelabuhan tertentu. Demikian juga sebaliknya. Akibatnya lama perjalanan haji membutuhkan waktu yang sangat lama. Oleh karena jumlah haji ini lambat laun semakin banyak dari waktu ke waktu, lalu pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi perjalanan haji ini dengan menyelenggarakan perjalanan haji secara regular setiap tahun dan diselenggarakan dengan pengaturan tertentu, seperti tes kesehatan sebelum tiba di Jeddah dan sebelum tiba di pelabuhan asal untuk menghindari terbawa penyakit. Di Batavia sterilisasi kesehatan ini dilakukan di Pulau Onrust sebelum masuk Batavia. Poster angkutan haji, 1935

Hadji Preanger

Di Bandoeng, sejak 1846 pemimpin lokal mulai disertakan dalam pemerintahan di Regentschap (Kabupaten) Bandoeng dengan mengangkat secara resmi Bupati Bandoeng, Raden Atipadi Wira Nata Koesoema. Untuk melengkapi sistem pemerintahan lokal diangkat djaksa dan penghoeloe. Jabatan kepala djaksa diresmikan tahun 1852, sedangkan jabatan penghoeloe (hoofdpangoeloe) diresmikan tahun 1856 dengan mengangkat Raden Hadji Moehammad Ardi (lihat Regering Almanak berbagai tahun).

Rabu, 01 Februari 2017

Sejarah Bandung (15): Masjid, Klenteng dan Gereja; Bukti Keberagaman di Bandung



Bandung telah menjadi salah satu contoh kota yang mengedepankan keberagaman: etnik, budaya, agama dan lainnya. Wujud keberagaman ini makin nyata ketika dalam tahun-tahun terakhir ini pemerintah Kota Bandung telah memberikan izin cukup banyak pendirian rumah ibadah kepada semua pemeluk agama. Bagaimana riwayat pendirian rumah-rumah ibadah di Bandoeng di masa lampau? Mari kita telusuri.

Kantor pos, di aloen-aloen Bandoeng
Hingga tahun 1871 di Kota Bandoeng belum ditemukan rumah ibadah dalam wujud permanen (gedung). Pada tahun 1871 adalah awal Kota Bandoeng dijadikan sebagai ibukota Residentie Preanger (yang sebelumnya berkedudukan di Tjiandjoer. Pembangunan Kota Bandoeng sendiri sejak 1846 sudah tampak semakin intens (tumbuh dan berkembang). Hal ini karena tahun 1846 kali pertama di Kota Bandoeng ditempatkan Asisten Residen. Pembangunan pertama (selain bangunan pemerintah kolonial Belanda) adalah rumah Bupati Bandoeng, Raden Adipati Wira Nata Koesoema.

Masjid Bandoeng

Rumah Bupati Bandoeng dibangun di lokasi dimana berada Masjid Raya Bandung yang sekarang, suatu area pada tahun 1846 yang berada di sisi selatan jalan pos trans-Java dan sisi barat. Posisi rumah Bupati ini diagonal dengan rumah/kantor controleur Bandoeng yang berada di sisi utara jalan pos trans-Java dan sisi timur sungai Tjikapoendoeng. Dua bangunan tersebut seakan dipisahkan oleh sungai (Tjikapoendong) dan oleh jalan raya (pos trans-Java). Saat itu, masjid di kota Bandung belum ada, demikian juga gereja dan klenteng belum ada. Yang ada adalah bangunan-bangunan pemerintah.

Bangunan-bangunan yang seumuran dengan rumah Bupati Bandoeng adalah kantor pos (di seberang jalan rumah Bupati), kantor Asisten Residen (di seberang kantor/rumah Controleur), gedung besar sebagai mahkamah di belakang kantor Asisten Residen. Rumah Asisten Residen sendiri dibangun agak terpisah dan jauh ke arah utara kantor/rumah Controleur. Jalan menuju ke rumah Asisten Residen dibangun jalan akses sepanjang sisi timur sungai Tjikapoendoeng (yang kelak disebut Bragaweg). Satu lagi bangunan yang menyertai gedung besar mahkamah adalah bangunan penjara yang berlokasi di arah utara kantor pos (kelak jalan penghubung ini disebut Bantjeuiweg).  

Secara perlahan-lahan, di sekitar kantor pos hingga penjara (yang kemudian dikenal sebagai Bantjeuiweg) muncul titik-titik perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang datang (komuter) dari Buitenzorg. Area barat (jalan pos trans-Java) dan utara (Bantjeuiweg) tempat dimana kantor pos, lambat laun menjadi pusat perdagangan (pasar) utamanya transaksi antara penduduk pribumi dan orang-orang Tionghoa. Area pedagangan orang-orang Eropa/Belanda sendiri berkembang di sepanjang Bragaweg.