Kamis, 05 Januari 2023

Sejarah Surakarta (18):Candi Sukuh Gunung Lawu, Residentie Soerakarta (Karanganyar); Perbedaan Candi AntarWilayah AntarWaktu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Apakah ada candi di Surakarta? Tentu saja bukan yang dimaksud candi putih yang berlokasi di Vihara Dhamma Sundara jalan Ir. H. Juanda, Pucangsawit, Jebres. Yang dimaksud candi di Surakarta adalah candi yang berada di wilayah Residentie Soerakarta pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini wilayah residentie telah menjadi kabupaten/kota diantaranya Kota Surakarta/Solo dan kabupaten Karanganyar. Salah satu candi yang menjadi perhatian adalah candi Sukuh di lereng gunung Lawu. Candi lainnya di sekitar adalah candi Cetho yang berada pada ketinggian 1.400 M di lereng Gunung Lawu.


Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi Hindu secara administrasi di wilayah desa Berjo, kecamatan Ngargoyoso, kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena penggambaran alat-alat kelamin manusia secara eksplisit. Situs candi dilaporkan pertama kali pada masa pendudukan Inggris tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran dimulai tahun 1928. Lokasi candi di lereng kaki Gunung Lawu ketinggian 1.186 M dpl. Candi ini berjarak kurang lebih 20 Km dari Kota Karanganyar dan 36 Km dari Surakarta. Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan dan berbeda dengan candi-candi besar di Jawa Tengah seperti candi Borobudur dan candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur bangunan juga terkesan bentuk-bentuk piramida di Mesir. Candi ini menarik perhatian arkeolog Belanda, WF Stutterheim tahun 1930. Pintu utama memasuki gapura terbesar terlihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah candi Sukuh di gunung Lawu, residentie Soerakarta (Karanganyar)? Seperti disebut di atas, di wilayah residentie Soerakarta tempo doeloe dikenal candi di lereng gunung Lawu di kampong Soekoe. Candi gunung ini menjadi menarik karena ada perbedaan candi antar wilayah antar waktu. Lalu bagaimana sejarah candi Sukuh di gunung Lawu, residentie Soerakarta (Karanganyar)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Surakarta (17): Bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta; Batak Instituut hingga Java Instituut (kini era LIPI)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Seperti halnya bahasa Batak, bahasa Jawa menjadi sangat penting dalam berbagai penelitian pada era Hindia Belanda. Tatabahasa pertama bahasa-bahasa di Hindia Belanda adalah bahasa Batak terbit tahun 1857 yang ditulis oleh Dr NH van der Tuuk. Tidak cukup sampai disitu pada tahun 1906 didirikan Lembaga Batak dimana anggotanya antara lain Charles Adriaan van Ophuijsen yang telah menyusun kamus dan tata bahasa Melayu. Lalu bagaimana dengan bahasa Jawa? Sudah sejak lama didirikan Het Instituut voor de Javasche taal di Soerakarta. Bagaimana dengan Jawa Insituut sendiri.? Ini bermula tahun 1918 (lihat De locomotief, 02-01-1919). Disebutkan pada akhir tahun 1918 diadakan pertemuan di Jogja untuk mempersiapkan pendirian Java Instituut. 


Java Instituut: Lembaga Ilmiah Pertama Hindia Belanda. Kumparan.com. Keseriusan Mangkunegoro VII untuk melindungi dan melestarikan budaya Jawa, pada 1918 mengantar pada pembentukan Komite Pembangunan Kebudayaan Jawa yang mempersiapkan suatu konferensi tentang budaya Jawa. Konferensi isukses digelar, para utusan dari 50 organisasi, Jawa maupun Eropa, datang ke Solo. Seribu dua ratus orang menghadiri konferensi itu, dengan Mangkungegoro sebagai ketua kehormatan. Java Instituur, yang didirikan setahun kemudian, merupakan hasil langsung dari konferensi ini. Java Instituut merupakan lembaga ilmiah pertama yang berdiri di Hindia Belanda, didirikan pada 4 Agustus 1919 di Surakarta. Statuta lembaga ini disahkan Gubernur Jenderal tanggal 17 Desember 1919 No 75. Pendirinya antara lain PAAP Prangwadono (Mangkunegoro VII), Dr. Hoesein Djajadiningrat, R. Sastrowijono, dan Dr. EDK Bosch, sedangkan pengurus yayasan pertama kali diketuai oleh Dr. Hoesein Djajadjningrat, sedangkan Dr. FDK Bosch sebagai sekretaris. Tujuan utama perkumpulan ini ialah mendorong perkembangan budaya Jawa, Madura, Sunda, dan Bali dalam arti yang seluas-luasnya. Guna mencapai tujuan ini, lembaga tersebut akan mengumpulkan dan menyebarkan segala macam informasi mengenai seluruh aspek kebudayaan Jawa, Sunda, Madura dan Bali baik yang mutakhir maupun yang lama. Kegiatan-kegiatan Java-Instituut yang cukup menonjol dan dapat menyumbangkan banyak hal bagi pengembangan intelektualitas antara lain, diadakannya Kongres Kebudayaan dan Sejarah, menerbitkan empat majalah, yaitu Djawa, Poesaka Djawi, Poesaka Sunda, dan Poesaka Madhoera, dan didirikannya museum Sana Budaya pada 1935 (https://kumparan.com/potongan-nostalgia/java)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta? Seperti disebut di atas bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Jawa adalah tiga diantara bahasa-bahasa nusantara yang dipejari pada era Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hubungan ini terkait dengan lembaga yang akan menaungi yakni pendirian kelembagaan. Dalam konteks inilah dipahami Batak Instituut hingga Java Instituut (kini era LIPI). Lalu bagaimana sejarah bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.