Selasa, 09 Mei 2017

Sejarah Kota Padang (29): Sejarah Kesusasteraan Indonesia di Kota Padang; Willem Iskander, Sastrawan Pejuang

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disi


Kesusasteraan Indonesia sesungguhnya adalah terdiri dari kesusateraan berbahasa daerah seperti berbahasa Melayu, berbahasa Jawa, berbahasa Sunda, berbahasa Minangkabau, berbahasa Batak dan lain sebagainya. Namun karena para pemuda sudah menetapkan Bahasa Indonesia pada Kongres 1928, maka Kesusasteraan Indonesia seharusnya kesusasteraan berbahasa Indonesia. Kesusasteraan Indonesia berbahasa daerah dengan sendirinya tamat.

Dja Endar Moeda, Sastrawan
Tentu saja pemenggalan serupa itu akan membuat HB Jassin marah, sebab periodisasi kesusasteraan sudah dipatenkan oleh HB Jassin (yang terus kita ikuti hingga sekarang). HB Jassin membuat kategori kesusasteraan Indonesia berdasarkan angkatan: Angkatan Balai Pustaka (1920-an); Angkatan Pujangga Baru (setelah 1933); Angkatan 1945 (Pendobrak), dan Angakatn 1966 (Orde Lama). Periodisasi serupa itu, HB Jassin menganggap karya-karya Balai Pustaka (1920an) adalah titik tolak ‘sastra Indonesia modern’. Sedangkan karya-karya sastra sebelum itu dikategorikannya sebagai ‘sastra Melayu lama’. Pertanyaannya: sastra berbahasa daerah masuk kategori yang mana, bukankah sastra bahasa daerah adalah bagian dari Sastra Indonesia?

Akibat dari periodisasi ala HB Jassin tersebut, menempatkan roman berjudul Sitti Nurbaya karya Marah Roesli keluaran Balai Poestaka, secara psikologi sebagai roman pertama Indonesia (modern). Walau mungkin bukan yang pertama, tetapi dalam periode Angkatan Balai Pustaka tersebut, roman Sitti Nurbaya yang paling terkenal.