Senin, 03 April 2017

Sejarah Perjalanan Haji (1): Makkah dan Madinah Sejak Kesultanan Utsmaniyah (Turki); VOC Mulai Koloni di Indonesia

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Perjalanan Haji dalam blog ini Klik Disin


Orang Indonesia pergi ke Saudi Arabia untuk menunaikan ibadah haji dan umroh tidak pernah putus hingga ini hari. Jumlah jamaah dari waktu ke waktu bahkan terus meningkat. Kunjungan Radja Salman, baru-baru ini adalah suatu momentum untuk melihat kembali ke belakang serupa apa perjalanan haji dari Indonesia pada masa lampau. Serial artikel ini coba menelusuri bagaimana riwayatnya berdasarkan berbagai sumber-sumber tempo doeloe: surat kabar, majalah, foto, lukisan, peta, sketsa yang didukung oleh buku-buku yang ditulis pada masa lampau. Semuanya masih berbahasa Belanda. Sumber-sumber tersebut dapat dianggap valid karena masih ditemukan dalam keadaan otentik pada masa ini. Mari kita mulai dengan artikel pertama.

Sesungguhnya, sejarah perjalanan haji Indonesia adalah sejarah perjalanan haji yang panjang, bahkan sudah terdeteksi sejak masa lampau, terutama setelah kehadiran Belanda di Hindia Timur (Nusantara). Saat kedatangan Belanda 1595, kapal-kapal Arab, Persia dan Tiongkok lalu lalang di perairan Nusantara.

Lukisan tertua Masjidil Haram dan Ka'bah (1750)
Untuk melakukan ibadah haji, para jamaah di Nuasantara melakukan perjalanan haji dari tempat masing-masing ke dua masjid suci agama Islam di Tanah Arab: Masjid Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.

Kota suci Makkah dan Madinah di masa lampau silih berganti penguasa. Semuanya ingin menjaga dan memelihara dengan baik. Sejak 1517 dua kota suci ini di bawah Kesultanan Utsmaniyah, Turki yang beribukota Istambul (Negara Saudi Arabia yang kita kenal sekarang belum terbentuk).

Penguasaan kota suci Makkah dan Madinah di masa Kesultanan Utsmaniyah, pelaut-pelaut Belanda memasuki Nusantara di bawah pimpinan ekspedisi (1595-1997): Cornelis de Houtman. Saat itu, di Nusantara, Portugis sudah sejak 1511 melakukan kontak dagang dengan pribumi yang berbasis di Kota Malaka. Keberadaan Makkah dan Madinah tidak terdeteksi di Malaka.

Kamis, 30 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (6): Surat Kabar Sumatra Courant di Padang; Orang Mandailing dan Angkola Ikut Berlangganan

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Jacobus Anthonie Meessen pada tahun 1867 dan 1870 telah memberi kontribusi besar untuk pengetahuan tentang Kota Padang melalui kegiatan fotografi. Kegiatan serupa juga telah dilakukan perusahaan Woodbury en Page (Walter B. Woodbury dan James Page).

Edisi terakhir Sumatra Courant (1900)
Tentang Kota Padang sebelumnya hanya bersumber dari surat kabar-surat kabar yang terbit di Belanda, seperti di Amsterdam, Haarlem, Rotterdam dan Leyden. Namun intensitas berita tentang Kota Padang hanya terbatas dan muncul tidak menentu. Surat kabar-surat kabar yang terbit di Hindia Belanda semakin intens mengenai situasi dan kondisi local termasuk di Kota Padang. Surat kabar di Hindia Belanda tersebut antara lain Het Bataviaasch Advertentieblad dan De Java Bode di Batavia; De Locomotief di Semarang dan Het Soerabaijasch Handelsblad di Surabaya.

Kota Padang terus tumbuh dan berkembang karena komoditi primadona, kopi yang mengalir deras dari Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Pada tahun-tahun ini volume perdagangan kopi di Kota Padang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan harga yang terus meningkat di pasar dunia (Eropa dan Amerika Utara). Saat pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang inilah muncul surat kabar bernama Sumatra Courant di Kota Padang.

Senin, 27 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (5): Lukisan, Sketsa, Peta, Foto Kota Padang Tempo Doeloe; Mesin Waktu Kembali ke Masa Lampau

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Banyak sumber data untuk mengolah dan merekonstruksi sejarah kota-kota, termasuk sejarah Kota Padang. Yang paling umum digunakan adalah buku. Informasi dari buku menjadi terbatas karena data dan informasi telah mengalami reduksi (oleh penulisnya). Untuk mengatasi masalah tersebut surat kabar, majalah dan publikasi statistik sangat berguna. Secara khusus, data dan informasi yang bersumber dari surat kabar sangat jarang digunakan penulis-penulis Indonesia masa kini, padahal data surat kabar bagaikan data ‘real time’ yang mampu menyediakan informasi dalam memahami perubahan setiap tahapan waktu.

Lukisan tertua Kota Padang (1846)
Penulis-penulis Indonesia, lebih mengandalkan buku-buku, padahal buku-buku yang ditulis adalah kompilasi dari surat kabar, majalah dan statistik berkala. Uniknya, para penulis menganggap bahwa semakin langka sebuah buku (sulit diakses) maka semakin dikultuskan. Oleh karena hanya dia yang memiliki buku tersebut, maka dia merasa sebagai pionir. Padahal buku itu sendiri telah mengalami reduksi terhadap suatu peristiwa atau suatu momen yang sesungguhnyanya. Solusi terbaik adalah mengkombinasikan semua sumber agar mendapat gambaran yang utuh.

Sumber data lainnya yang bisa dimaksimumkan adalah lukisan, sketsa, peta dan foto. Sumber data lukisan atau foto dapat memberikan gambaran vertical (visual) masa lalu yang lebih kompak, sedangkan sketsa atau peta dapat memberikan gambaran horizontal tentang spasial yang lebih luas. Kedua sumber ini dapat saling melengkapi. Baik foto/lukisan atau peta/sketsa jika masing-masing diurutkan sesuai waktu akan menyediakan ‘data panel’ yang dapat menghasilkan informasi yang maksimum (akurat dan lengkap). Time series data (verbatim, visual dan metric) adalah syarat perlu dalam penulisan sejarah. Namun itu tidak cukup dan harus didukung ruang spasial. Dengan demikian, untuk memahami suatu peristiwa atau momen semakin teruji.

Minggu, 26 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (4): Nama-Nama Kampong Tempo Doeloe di Kota Padang; Dari Rural (Etnik) Hingga Urban (Wijk)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Cikal bakal Kota Padang berawal dari suatu tempat yangt berada pada sisi barat muara sungai Batang Arau, suatu perkampuangan yang diduga dihuni oleh para migran orang-orang Nias. Di tempat inilah pelaut-pelaut Eropa mulai membangun pos perdagangan karena posisinya yang strategis terlindung dari lautan India.

Sketsa Kota Padang, 1879
Seiring dengan perkembangan pos perdagangan tersebut dan kebutuhan bangunan yang semakin banyak, lambat-laun areal permukiman orang-orang Nias tersebut terokupasi dan para pemukim menyingkir ke area kosong di belakang. Para migran ini tidak merasa dirugikan karena dengan kehadiran pos perdagangan tersebut mereka juga mendapat pekerjaan.

Pada tahun 1819 ibukota Padang dihuni oleh berbagai (suku) bangsa. Penduduk Eropa sebanyak 150 orang, Melayu sekitar 6.000-7.000 jiwa, Tionghoa sebanyak 200 orang, Bengalen sebanyak 200 orang dan Nias sebanyak 1.500 jiwa (lihat PJ Veth, 1869).

Bangunan-bangunan utama terdapat di sepanjang sisi barat sungai Batang Arau. Bangunan-bangunan yang sudah ada sejak lama adalah benteng benteng yang melindungi kota, penjara, kantor pabean, gudang impor, gudang ekspor rempah-rempah, barak, rumah sakit militer besar, kantor pemerintah, dan beberapa beberapa gudang lainnya.

Sejarah Kota Padang (3): Kota Padang, Kota Tiga Lurah, Kota Melting Pot; Berkembang Pesat Selama Periode ‘Booming’ Kopi

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Kota Padang adalah rantau orang Minangkabau, juga rantau orang Kerinci dan rantau orang Bengkulu. Kota Padang juga adalah rantau orang-orang Mentawai dan orang-orang Nias. Tentu saja jangan lupa, Kota Padang juga adalah rantau orang-orang Tapanuli, Baros, Singkel, Mandailing dan Angkola.

Muaro, cikal bakal Kota Padang
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1837 Kota Padang adalah ibukota Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Ibukota dari pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatra dari kota-kota pantai mulai dari Bengkulu hingga Singkel seperti Moco-moco, Indrapoera, Priaman, Air Bangies, Natal, Tapanoeli dan Baros.

Kota Padang juga ibukota dari sentra-sentra produksi pertanian dan kehutanan mulai dari Komering hingga Alas seperti Kerintji, Solok, Fort de Kock, Bondjol, Rao, Mandailing, Angkola, Silindoeng, Toba dan Dairi.

Orang Minangkabau dan Orang Batak Bukan Pelaut

Orang Minangkabau bukanlah pelaut, demikian juga orang Batak bukan juga pelaut. Orang Minangkabau adalah petani yang ulet; dan orang Batak juga adalah petani yang ulet.

Rabu, 15 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (2): Padang, Ibukota 'Pantai Barat Sumatra'; AV. Michiels, A. van der Hart dan AP. Godon

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Kota Padang adalah ibukota Provinsi Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Kota Padang baru dikenal sebagai sebuah pos perdagangan di era VOC (1660) dan baru tumbuh dan berkembang pada Pemerintah Hindia Belanda (pasca Traktat London, 1824). Lalu pertumbuhan dan perkembangannya semakin cepat pada saat Pantai Barat Sumatra ditetapkan sebagai Provinsi dengan menaikkan status Residen yang berkedudukan di Kota Padang menjadi Gubernur.

Monumen AV Michiels di Kota Padang (foto 1910)
Kota Padang awalnya dijadikan sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust yang meliputi Bengkulu dan Padangsche (Bovenlanden dan Benelanden). Ketika wilayahnya diperluas ke utara (hingga ke Singkel) statusnya dinaikkan menjadi Province yang terdiri dari empat residentie: Padangsche Benelanden, Padangsch Bovenlanden, Bencoelen dan Tapanoeli. Namun dalam perkembangannya, Bengkulu dipisahkan dari Sumatra’s Westkust dan kemudian Residentie Tapanoeli. Pada tahun 1905 Provice Sumatra’s Wetskust hanya tinggal Padangsche Benelanden dan Padangsch Bovenlanden (yang menjadi wilayah Provinsi Sumatra Barat yang sekarang).

Perubahan administrasi pemerintahan di Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra) terjadi secara gradual sesuai dengan perkembangan geopolitik dan penetapan suatu wilayah sebagai region ekonomi kolonial. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut berdampak langsung pada pasang surut pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang sebagai pusat pengembangsan sosial, ekonomi dan budaya yang utama di Pantai Barat Sumatra. Sementara itu, perubahan yang terjadi di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Ooskust) juga memberi kejutan terhadap dinamika perkembangan Kota Padang. Semakin intensnya industry perkebunan kolonial di Sumatra Timur,  kota Padang secara perlahan perkembangannya melambat dan kemudian tertinggal jauh dari Kota Medan, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kolonial yang baru. Dalam hubungan ini, sebagaimana agen-agen pembangunan dari Tapanoeli, agen-agen pembangunan kota Padang juga melakukan eksodus ke Kota Medan. Aset-aset pengusaha, baik orang-orang Eropa, Tionghoa atau pribumi juga turut direlokasi dari Kota Padang ke Kota Medan.