Senin, 17 April 2017

Sejarah Kota Padang (15): Mahasiswa Kedokteran Indonesia di Belanda (1918); 15 Jawa, 2 Minangkabau, 1 Batak (Total 22)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Anggota Perhimpunan (Pelajar) Indonesia, di Belanda, 1908
Sebuah laporan pada tahun 1918, jumlah mahasiswa pribumi yang kuliah di bidang kedokteran di Belanda sebanyak 22 orang, diantaranya terdapat dua mahasiswa asal Minangkabau dan satu orang mahasiswa asal Batak. Jumlah mahasiswa terbanyak asal (pulau) Jawa sebanyak 15 orang. Mahasiswa lainnya berasal dari Minahasa, Ambon dan Manado (De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 01-02-1919).

Secara keseluruhan, jumlah mahasiswa Indonesia pada tahun 1818 sudah sangat banyak jika dibandingkan jumlah mahasiswa satu dasawarsa sebelumnya. Pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda yang semuanya tergabung dalam Himpunan Pelajar Indonesia sebanyak 20 orang. Dari daftar tersebut, jumlah mahasiswa asal Jawa yang terbanyak, disusul mahasiswa asal Minangkabau.

Mahasiswa kedokteran satu-satunya asal Batak tersebut bernama Sorip Tagor (kelak dikenal sebagai ompung dari Inez/Rizky Tagor). Sorip Tagor, kelahiran Padang Sidempuan mengambil bidang studi Kedokteran Hewan. Sorip Tagor tahun 1916, diterima sebagai kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool, Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Pada tahun 1917, Sorip Tagor dipromosikan dari tingkat tiga ke tingkat empat (lihat Algemeen Handelsblad, 23-09-1917). Sorip Tagor sendiri dalam hal ini untuk melanjutkan sarjana muda yang diraihnya di Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg.

Minggu, 16 April 2017

Sejarah Kota Padang (14): Orang Padang sama dengan Orang Minangkabau; Keliru, Orang Melayu disebut Orang Medan

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Minangkabauers te Kotagedang, 1890
Padang adalah nama tempat, sebagaimana Tapanoeli dan Medan. Padang menjadi nama generik untuk seluruh wilayah Sumatra Barat yang sekarang. Ini bermula penyebutan wilayah rendah dan wilayah tinggi Padang dengan Padangsche Benelanden dan Padangsche Bovenlanden. Penamaan serupa ini juga pernah terjadi untuk penyebutan Langkat Benelanden dan Langkat Bovelanden.

Asal usul (menurut berbagai versi): Minangkabau—Menang Kerbau atau Minanga; Tappanoeli—Tapian na Oeli (dipopulerkan oleh Inggris). Bata—Mada (dibaca: Bata). Pada awalnya penyebutan orang Minangkabau belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minangkabau dan Melayu mulai dibedakan karena adanya perbedaan (system) pewarisan (matrilineal).

Tapanoeli juga digunakan sebagai nama generik untuk seluruh wilayah Tapanuli yang sekarang. Tapanoeli sebelumnya, dan kemudian nama tempat berikutnya yang lebih popular Sibolga. Tapanoeli mendahului Sibolga. Karena itu nama Tapanuli yang digunakan sejak Inggris. Pada era VOC awal, Tapanoeli belum dikenal. Di Pantai Barat Sumatra nama tempat yang sudah dikenal sejak masa lampau adalah Baros, Batahan, Tikoe, Pariaman dan Indrapoera.

Sabtu, 15 April 2017

Sejarah Kota Padang (13): Ombilin dan WH de Greve; Batubara Terbaik Dunia Moda Transportasi Kereta Api dan Kapal Laut

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Eksploitasi batubara di Ombilin, Residentie Padangsche Bovenlanden, Province Sumatra’s Westkust adalah sebuah lompatan kemajuan ekonomi. Ombilin tidak hanya menyimpan deposit batubara yang sangat banyak, juga kualitasnya berada di atas kualitas batubara monopoli Inggris selama ini. Biaya angkut yang besar karena medan yang berat antara Ombilin dan pelabuhan Kota Padang (yang berjarak 100 Km) dapat diimbangi oleh petensi ekonomi (pertanian) di sekitarnya.

Makam Ir, WH de Greve di Doerian Gedanng, 1872
Tambang batubara Ombilin tidak hanya ‘mempercantik’wajah ekonomi di Province Sumatra’s Westkust, tetapi juga memperkuat pertumbuhan ekonomi perkebunan di Jawa (kina dan teh) dan Sumatra’s Oostkust (tembakau dan karet), Batubara Ombilin juga menggandakan keunggulan efisiensi ekonomi pelayaran (domestic kepulauan) dan pelayaran internasional (ke Eropaa/Belanda) lebih-lebih terusan Suez dibuka pada tahun 1869. Singkat kata:batubara Ombilin memainkan peran yang strategis kala itu.

WH de Greve: Netscher, Hennij dan Petel

Dua orang yang bersemangat untuk eksploitasi tambang batubara Ombilin adalah Gubernur Province Sumatra’s Westkust dan sekretaris bidang ekonomi Mr. WA Hennij. Kedua orang ini mendukung habis-habisan pekerjaan WH de Greve yang terus melakukan kajian potensi ekonomi batubara Ombilin. WH de Greve memulai pekerjaannya berdasarkan kajian awal terdahulu oleh C. de Groot van Embden.

Sejarah Kota Padang (12): Sejarah Pecinan di Padang; Tionghoa di Pedalaman Kali Pertama Dilaporkan di Angkola (1701)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Hampir setiap kota ada pecinan (China Town), termasuk di Kota Padang dan Kota Padang Sidempuan. Eksistensi orang-orang Tionghoa di Kota Padang yang menjadi cikal bakal pecinan sudah ada sejak dari doeloe. Sebagaimana di kota-kota lain, orang-orang Tionghoa di Padang awalnya berdatangan karena tujuan berdagang. Orang-orang Tionghoa di Kota Padang bahkan lebih dahulu hadir jika dibandingkan di Kota Medan. Mereka awalnya melakukan aktivitas berdagang keliling lalu kemudian terbentuk homebase dan lalu menetap yang kemudian terbentuk perkampungan orang-orang Tionghoa. Perkampungan orang-orang Tionghoa ini kini disebut pecinan.

Winkelstraat di Padang 1890 (Jalan Niaga)
Pecinan di Kota Padang terdapat di Pondok. Jauh sebelumnya sudah ada pecinan di tempat lain. Di Batavia terdapat di Bidara Tjina (sekitar Meester Cornelis) dan Tangerang. Dua pecinan pertama ini terbentuk karena eksodus dari Batavia pasca peristiwa pembantaian Cina oleh Belanda di sekitar Benteng Batavia (casteel Batavia) tahun 1740. Setelah Bidara Tjina, Tangerang dan Pondok Tjina muncul pecinan baru di Buitenzorg (Soekasari) dan kemudian muncul di Tjiandjoer dan terakhir di Bandoeng. Perkampungan Tjina di Buitenzorg menjadi lebih besar karena para koeli Tjina yang didatangkan dari Tiongkok oleh para planter VOC sebagian tidak kembali dan bergabung dengan orang-orang Tionghoa yang sudah ada. Tipikal pecinan Buitenzorg ini kurang lebih sama yang kemudian terjadi di Medan (Kesawan). Pecinan tipikal pasar.

Kedatangan Orang Tionghoa di Padang

Pada tahun 1819 di Kota Padang sudah terdapat orang-orang Tionghoa. Jumlahnya sebanyak 200 orang. Mereka menjadi bagian dari warga kota: Eropa/Belanda, Nias, Melayu, Bengalen dan lainnya. Jumlah orang-orang Tionghoa terus bertambah dan sudah memiliki pemimpin pada tahun 1864 yang diangkat pemerintah sebagai Kapitein dan Letnan Chinezen. Pada tahun 1869 populasi orang-orang Tionghoa di Kota Padang sekitar 300 orang. Orang-orang Nias juga telah meningkat pesat dari 1.500 orang pada tahun 1819 menjadi 2.500 jiwa pada tahun 1869. Pada tahun 1889 di Pulau Tello yang didominasi orang-orang Nias bahkan terdapat sebanyak 410 Chineezen.

Kamis, 13 April 2017

Sejarah Kota Padang (11): Sejarah Pemimpin Padang 1621-1814; Catatan Kuno Berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Sejarah pemerintahan Padang dimulai tahun 1621. Sejarah ini ditemukan dalam catatan kuno yang berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’ (Oprichting van den Boom) yang transkripsinya diterjemahkan oleh redaktur  Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad yang diterbitkan pada edisi 08-03-1883. Catatan ini berisi sejarah Padang 1621-1814 yang mengacu pada pembebasan dari Atjeh tahun 1666. Periode 1621-1666 sebagai periode kehadiran Atjeh di Padang dipisahkan dalam catatan tersebut.

Sumatra-courant, 20-03-1884
Oleh karenanya, sub judul catatan kuno ini adalah: ‘Parie Mangatakan Tatakala Atjes matoengoe Nagarie Padang dan mengatokan Wallanda doedoek die Nagarie Padang laloe kapada ahkier nja’. Mungkin artinya kira-kira begini: ‘Ketika Aceh mendiami Nagari Padang dan pada masa Belanda menduduki Nagari Padang hingga kini’, Sub judul ini dengan sendirinya menjelaskan judul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’. Mungkin pohon yang dimaksud adalah pemerintahan lokal (dengan panglima sendiri) seiring dengan kehadiran kolonial (Belanda dan Inggris).  

Dalam catatan kuno ini diuraikan bagaimana datangnya Belanda dan bagaimana terjadinya pengusiran Atjeh (yang sudah sudah berada selama 45 tahun). Juga diuraikan tentang kedatangan Inggris dan kembalinya Belanda. Dalam lampiran catatan kuno ini disajikan daftar pemimpin di Padang. Yang pertama menjadi pemimpin adalah Maharadja Besar I yang bertitel Bandahara, suku Si Megat bertahun 1621. Panglima tidak disebutkan, tetapi diduga yang menjadi Panglima adalah orang Atjeh.

Senin, 10 April 2017

Sejarah Kota Padang (10): Soetan Iskandar, Regent van Padang; Marah Oejoep, Regent Terakhir (Padang Menjadi Gemeente)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Sumatra’s Westkust adalah satu-satunya yang berstatus provinsi di Sumatra. Ibukota Province Sumatra’s Westkust adalah Kota Padang dimana Gubernur sejak 1834 berkedudukan. Dalam fase permulaan provinsi ini, Province Sumatra’s Westkust memiliki tiga residentie: Padangsche Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan Bengcoelen. Satu residentie yang sudah terbentuk lama adalah Residentie Palembang en Banca (termasuk Lampong).

Rumah pemimpin lokal di Padang (1870)
Hingga tahun 1827 Pemerintah Hindia Belanda yang beribukota di Batavia baru tiga afdeeling: Batavia, Semarang dan Soerabaja. Struktur Pemerintah Hindia Belanda masih tampak sederhana. Meski demikian, sejak 1815 dua Residen sudah ditempatkan di luar Jawa yakni di Palembang en Banca dan Banjermasin. Satu Asisten Residen di Macassar (Almanak 1815). Pada tahun 1829 Wilayah Sumatra’s Westkust masih disebut Padang en Onderhoorigheden yang dikepalai oleh seorang Residen (sejak 1822, Residen pertama, Kolonel Raff) dengan dibantu tiga asisten residen: Asisten Residen van Padang (di Padang), Asisten Residen Zuidelijke Afdeeling (di Indrapoera) dan Asisten Residen di Bengkulu. Pada tahun 1830 dibentuk Residentie Sumatra’s Westkust dengan memisahkan sendiri Bengkulu sebagai sebuah Residentie. Sementara Residen di Residentie Sumatra’s Westkust dibantu dua asisten residen di Padangsche Benelanden dan di Padangsche Bovenlanden. Pada tahun 1834 dibentuk Province Sumatra’s Westkust yang dibantu tiga residen (Padangsche Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan Bengkoelen).

Gubernur Province Sumatra’s Westkust yang pertama (1834) adalah Kolonel AV Michiels. Di jajaran pemerintahan di Province Sumatra’s Westkust posisi pemimpin lokal tertinggi adalah Soetan Iskandar sebagai Resident van Padang. Jabatan ini sebelumnya dipegang oleh Soetan Mansoer Alam Shah (tokoh yang dikaitkan dengan aristokrasi Pagarroejoeng). Untuk regent van Pagarroejoeng dipegang oleh Soetan Alam Bagagar Shah (yang diangkat Belanda untuk menggantikan Moening Shah, radja terakhir Pagarroejoeng). Pemerintah Hindia Belanda sendiri di Batavia akan copy paste system pemerintahan lokal yang sudah berhasil diterapkan di Preanger (Preanger Regentshappen yang dikoordinasikan oleh regent van Bandoeng sebagai hoofd regent).