Sabtu, 27 Juli 2019

Sejarah Tangerang (1): Kota Tangerang Bermula di Benteng Tangerang; Tjisadane, Tjiliwong dan Tjilengsi Berhulu di Bogor


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Setelah benteng Batavia (Casteel Batavia) dibangun (1619), benteng yang dibangun berikutnya adalah benteng (pulau) Onrust. Benteng ini dibangun untuk pertahanan pertama dari kemungkinan serangan dari Banten. Namun celakanya, benteng Onrust ini tidak jauh dari muara sungai besar yakni sungai Tjisadane. Dari muara sungai inilah pelayaran sungai orang-orang bermula hingga ke hulu, bahkan hingga ke Tjiampea. Dari situasi inilah pangkal perkara dimulainya sejarah Tangerang.

Peta 1724
Benteng Batavia yang menjadi awal permulaan kota Batavia berada di muara sungai Tjiliwong. Sungai Tjiliwong adalah rute pelayaran sungai dari dan ke pedalaman. Sungai besar lainnya di sebelah barat adalah sungai Tangerang (Tjisadane), dan di sebelah timur sungai Bekasi (Tjilengsi). Sungai Tjiliwong berhulu di timur gunung Papandayan dan sungai Tjisadane berhulu di barat gunung Papandayan. Titik singgung terdekat dua sungai besar ini berada di Kota Bogor yang sekarang. Sementara sungai Tjilengsi berhulu di sisi sungai Tjiliwong. Sungai Tjikeas yang juga berhulu di sisi sungai Tjiliwong bertemu sungai Tjilengsi di Bantar Gebang yang ke hilir disebut sungai Bekasi (sama seperti sungai Tjisadane di hilir disebut Tangerang). Tiga sungai besar (Tjiliwong plus Bekasi dan Tangerang) inilah kemudian yang menjadi tulang punggung terbentuknya Residentie Batavia. Dalam perkembangannya Residentie Batavia diperluas hingga sungai Tjitaroem di timur dan sungai Tjikande di barat. Diantara batas-batas inilah Tangerang tumbu dan berkembang dari jaman Tome Pires hingga jaman Now.

Sejarah Tangerang tentu saja sudah banyak ditulis oleh ahli sejarah. Namun sejarah Tangerang tidak hanya itu. Data dan informasi Tangerang sangat berlimpah dan lebih dari apa yang sudah ditulis. Sisa data itulah yang ingin dimaksimalkan untuk melengkapi penulisan Sejarah Tangerang. Meski sisa tetapi yang tertinggal justru inti. Ibarat mengolah kerang, kulitnya diambil untuk hiasan, lalu dagingnya dimakan, tetapi dalamannya yang berisi butir-butir mutiara diabaikan. Sejarah Tangerang juga tidak berdiri sendiri. Uniknya, meski Tangerang masuk wilayah Provinsi Banten, sejarah Tangerang justru terbentuk dari Batavia (Jakarta). Hal ini menyebabkan serial artikel sejarah Tangerang ini akan sendirinya terhubung dengan sejarah Jakarta (Batavia) di pusaran dan sejarah Bekasi di hilir dan sejarah Depok dan sejarah Bogor (Buitenzorg) di hulu. Oleh karenanya, tulisan sejarah Jabodetabek pada masa ini sejatinya sudah terlukis sejak tempoe doeloe. Mari kita mulai Sejarah Tangerang dengan artikel pertama.

Jumat, 26 Juli 2019

Sejarah Bekasi (30): Orang Bekasi Naik Haji, Sejak Kapan? Asrama Haji di Pondok Gede Bekasi dan Sejarah Perjalanan Haji


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Sulit mengetahui sejak kapan warga Bekasi pergi naik haji. Sebab awalnya perjalanan haji hanya bersifat pribadi (perseorang). Sejak era VOC bahkan hingga awal Hindia Belanda, pemerintah kurang peduli untuk urusan pribumi apalagi yang terkait dengan keagamaan. Sementara itu, perjalanan haji ke Mekkah bukanlah pelayaran jarak pendek tetapi jarak jauh yang harus ditempuh berminggu-minggu. Untuk itu, pribumi yang ingin naik haji melakukan upaya perjalanan sendiri dengan menumpang kapal-kapal dagang Arab dan Persia. Pada era VOC embarkasinya berada di kampong Loear Batang, Batavia.

Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah, 1750
Semakin banyaknya pribumi yang berangkat naik haji ke Mekkah, pada awal Pemerintah Hindia Belanda, peluang ini dimanfaatkan oleh kapal-kapal Inggris yang berpusat di Singapoera dan Penang. Pengaruh Belanda yang telah memudar di India (khususnya Coromandel dan Malabar) dan semakin meluasnya pengaruh Inggris di Timur Tengah menjadi faktor penting mengapa kapal-kapal dagang Inggris sebagai moda transportasi haji dari Nusantara (Hindia Belanda, Semenanjung, Patani, Singapoera dan Mindanao). Pelabuhan Colombo di bawah Inggris menjadi pelabuhan transit. Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah, 1750   

Lambat laun Pemerintah Hindia Belanda mulai merasa kecolongan. Pemerintah Hindia Belanda baru sadar ada yang hilang. Yang hilang itu adalah potensi pendapatan dalam hal keuntungan dari pengangkutan jemaah haji dari Hindia Belanda yang justru dinikmati oleh kapal-kapal Inggris. Pemerintah Hindia Belanda secara perlahan-lahan mengambil alih ‘bisnis’ perjalanan haji ini. Dalam hubungan ini, sejak kapan warga Bekasi berangkat naik haji ke Mekkah? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. 

Sejarah Bekasi (29): Detik-Detik Terakhir Belanda di Bekasi; Pengakuan Kedaulatan Indonesia, Militer Belanda Pulang Kampung


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Tanggal 27 Desember 1949 adalah hari pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia setelah berabad-abad lamanya kehadiran mereka. Tanggal ini juga menjadi hari kebebasan Indonesia sebagai negara berdaulat sejak diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun masih ada yang tersisa. Bangsa Indonesia dalam situasi yang terpecah belah. Ada Republik Indonesia dan ada negara-negara federal. Lantas bagaimana di Bekasi. Republiken Bekasi menolak bergabung dengan Federal District Djakarta dan juga menolak klaim Bekasi adalah bagian dari Negara Pasoendan. Bekasi adalah 100 persen Republiken.

Detik terakhir KNIL Ambon berangkat ke Belanda, 2 Maret 1951
Di Negara Sumatra Timur, para Republiken meminta Negara Sumatra Timur dibubarkan dan dibentuk negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para Republiken di Sumatra Timur tidak menghendaki ada dua pemerintahan. Hanya ada satu pemerintahan. Kongres Rakyat memutuskan untuk dilakukan Referendum. Hasil referendum yang diadakan bulan Mei 1949 dimenangkan oleh Republiken. Pemerintah RIS di Djakarta yang dipimpin Mohamad Hatta menjadi gamang. Pada pidato perayaan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan RIS dibubarkan dan kembali ke negara kesatuan (NKRI). Esoknya, pada tanggal 18 Agustus 1950 NKRI diproklamsikan.  

Lantas bagaimana hari-hari terakhir keberadaan Belanda di Bekasi? Dan bagaimana hari-hari awal kebebasan di Bekasi? Dalam hal ini, Bekasi merasa bukan bagian dari District Djakarta dan juga bukan bagian Negara Pasoendan. Apa saja yang terjadi di Bekasi pada periode 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950? Tentu saja masih menarik untuk dicatat sebagai satu bab dalam sejarah Bekasi.

Sejarah Bekasi (28): Warga Bekasi Melting Pot Sedari Doeloe; Melacak Warga Bekasi Masa Kini Menurut Pola Mukim Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Profil penduduk Bekasi masa kini, heterogen kosmopolitan sejatinya pola yang sudah ada sejak tempo doeloe. Seperti umumnya kota atau wilayah pantai interaksi yang intens antar berbagai pihak (terutama dalam perdagangan) memunculkan pola bertempat tinggal yang beragam tetapi khas. Wilayah Bekasi memiliki pola pemukiman dengan ciri khas tersendiri.   

Warga Bekasi, 1891
Di Batavia, sejak era VOC sudah terdapat kampong Melayu, kampong Jawa, kampong Bali, kampong Makassar, kampong Tambora dan lain sebagainya. Ini merupakan wujud pola pemukiman berdasarkan asal. Pada masa selanjutnya juga pola pemukiman serupa ditemukan di wilayah transmigrasi yang penempatannya berdasarkan asal. Pola pemukiman penduduk urban juga ditemukan pada awal kedatangan VOC/Belanda di Banten. Pemerintah VOC/Hindia Belanda tetap menjalankan kebijakan pola pemukiman di semua kota seperti Semarang, Soerabaja, Palembang, Makassar, Padang, Buitenzorg dan Medan. Pola pemukiman dibedakan antara Eropa/Belanda, Tionghoa dan pribumi. Di wilayah Jawa khususnya, selain tiga area tadi juga kerap ditemukan wilayah kaoem (pemukiman orang-orang Arab). Di kota kecil seperti Bekasi juga dilakukan. Di sebelah barat sungai Bekasi pemukiman orang Eropa/Belanda sementara di sisi timur sungai orang Tionghoa. Penduduk pribumi berada di sebelah utara dan sebelah selatan. Lihat distribusi penduduk  kota/kab Bekasi berdasarkan etnik dari SP 2010

Mengapa wilayah Bekasi memiliki pola pemukiman dengan ciri khas tersendiri memunculkan pertanyaan bagaimana secara historis okupasi penduduk terjadi di wilayah Bekasi. Itu baru terjadi di era VOC, ketika pasukan pendukung VOC ditempatkan (dimasyarakatkan) yang letaknya tidak terlalu dekat kota Batavia tetapi masih mudah dijangkau dari kota Batavia. Mereka ditempatkan serupa itu dengan banyak alasan. Untuk memahaminya, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 20 Juli 2019

Sejarah Bekasi (27): Warga Rawagede dan Masdoelhak Nasution di Jogja; Korban Sipil Pembunuhan Brutal Militer NICA/Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Ada dua kejadian mengerikan di seputar perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda yang mendapat perhatian Dewan Keamanan PBB. Pertama, pembunuhan penduduk Rawagede, Krawang pada tanggal 9 Desember 1947. Pada masa ini diketahui sebanyak 431 penduduk menjadi korban pembantaian. Kedua, Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta dilepas di ladang  jagung di Pakem, Jogjakarta lalu diburu. Dor.dor.dor. Pembunuhan brutal ini terjadi pada tanggal 21 Desember 1948.

Taman Makam Pahlawan Rawagede (Masdoelhak Nasution)
Pemerintah Republik Indonesia tanpa henti terus meminta pengusutan kasus Rawagede. Akhirnya pangadilan di Den Haag tanggal 14 September 2011 memutuskan Pemerintah Belanda harus bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. Sementara itu, kasus Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D membuat Dewan Kemanan PBB sangat geram dan meminta Kerajaan Belanda segera menggelar pengadilan. Desakan itu dituruti. Pengadilan yang digelar bulan Februari 1949 memutuskan pemerintah bersalah (lihat De waarheid, 25-02-1949). Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D pada tahun 2006 ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional.   

Pembunuhan brutal terhadap penduduk Rawagede dan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D sangat khusus. Dua peristiwa tersebut memakan korban warga sipil dan mendapat perhatian Dewan Keamanan PBB. Pers Belanda mencemooh Pemerintah Belanda: ‘pembunuhan oleh pegecut, sebagai metode teror fasis’. Lantas bagaimana dua kejadian pembunuhan brutal ini terjadi? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bekasi (26): Keju Bekasi Terkenal Tempo Doeloe; Sejarah Peternakan dan Epidemik Ternak Besar di Bekasi (1882)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Tempo doeloe, di Bekasi ada produsen keju (fabriek kaas). Itu ada alasannya. Negeri Belanda adalah negeri produsen keju di Eropa. Tentu saja tidak sulit bagi orang Belanda untuk membuat keju, bahkan di Bekasi sekali pun. Produksi keju Bekasi dijual ke Batavia, tempat dimana terdapat banyak orang Eropa/Belanda. Jadi, keju dan orang Belanda tidak terpisahkan. Penduduk lokal (pribumi) boleh jadi tidak terlalu mengenal keju.

Pedati penumpang tempo doeloe, 1870
Negeri Belanda dan Bekasi jaraknya ribuan kilometer, jarak tempuh pelayaran (masih melalui Afrika Selatan) dilakukan dua setengah bulan. Orang-orang Belanda tetap melakukan kebiasaan sperti makan roti gandum dan keju. Gandum tidak diproduksi di Bekasi karena tidak cocok, karena itu mereka mendatangkan gandum. Sementara untuk produksi keju dapat dilakukan di Bekasi, karena ternak penghasil susu sebagai bahan dapat diusahakan di Bekasi. Itulah sebab mengapa ada produksi keju di Bekasi. Satu hal lagi, soal mentega. Orang Belanda tidak perlu mengimpor mentega dari Belanda. Mentega (boter) yang berbahan minyak kelapa diproduksi di Pondok Laboe. Mentega Pondok Laboe cukup terkenal di Batavia. Demikian juga susu segar (melk) dari Dapok terkenal di Batavia.

Penduduk pribumi sangat akrab dengan ternak dan dunia peternakan dalam menghasilkan susu. Keju dengan bahan dasar susu menyebabkan orang Belanda dan orang pribumi terhubung. Susu yang sehat menghasilkan keju yang baik dan sehat. Atas dasar inilah pemerintah Hindia Belanda cukup peduli terhadap lapangan usaha pribumi ini. Tentu saja tidak hanya itu. Ternak juga digunakan pribumi untuk banyak hal: membajak sawah, menarik gerobak (pedati) untuk membawa batang dan tentu saja untuk kebutuhan daging dalam pesta besar. Ini juga menyebabkan pemerintah Hindia Belanda cukup peduli terhadap ternak pribumi ini.