Selasa, 08 Oktober 2019

Sejarah Sukabumi (4): Sejarah Benteng dan Warudoyong, Area Pemukiman Pribumi; Mengapa Ada Bunker di Dalam Kota?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Pertanyaan penting pada masa ini mengapa ada terowongan bawah tanah di dalam Kota Sukabumi. Besar dugaan terowongan itu bukan dibangun di era pendudukan Jepang. Cikal bakal terowongan tersebut diduga dibuat pada era VOC/Belanda. Terowongan tersebut menjadi semacam bunker, tempat persembunyian (escape) jika benteng tidak mampu menahan serangan dari musuh. Keberadaan benteng inilah diduga kemudian muncul nama kampong Benteng.

Benteng Goenoeng Poejoeh dan Kopeng (Peta 1899)
Tidak jauh dari kampong Benteng muncul nama kampong Warudoyong. Suatu perkampungan baru yang terbentuk kemudian. Nama kampong Warudoyong bukanlah nama asli seperti nama kampong asli Cikole, Gunung Puyuh, Gunung Parang dan Cimahi. Nama kampong Warudoyong diduga perkampungan yang terbentuk oleh eks para pasukan pribumi pendukung militer VOC/Belanda yang tidak kembali ke daerahnya. Meski para pasukan militer VOC/Belanda ini berasal dari tempat yang berbeda-beda tetapi dalam berbahasa resmi kedua digunakan bahasa Melayu. Nama kampong Kopeng, kampong Baros dan bahkan nama kampong Soekaboemi dan kampong Soekaradja diduga kuat juga bukan nama asli. Kata ‘goenoeng’ padanannya adalah pasir (gunung) dan Pasir Poejoeh dan Pasir Parang diduga telah bergeser menjadi Goenoeng Poejoeh dan Goenoeng Parang. Nama Benteng juga diduga bukan asli tetapi terminologi yang dipertukarkan dengan fort (benteng). Idem dito dengan nama Gudang.

Dimana posisi GPS benteng VOC/Belanda tersebut tempo doeloe diduga berada di jalan Sriwijaya yang sekarang. Sementara yang disebut bunker tersebut berada di jalan Kopeng, terusan jalan Sriwijaya (melalui jalan Bhayangkara). Lantas bagaimana asal-usul dibangunnya benteng tersebut? Inilah awal pemicu mengapa terbentuk kota Sukabumi. Untuk memahami itu semua, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.    

Senin, 07 Oktober 2019

Sejarah Sukabumi (3): RA Eekhout Jr, Pengusaha Pertanian di Baros; Penggagas Jalur Kereta Api Sagaranten-Leuwiliang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Jika ada orang yang ingin merintis jalur pendek dan cepat antara Sukabumi bagian selatan dengan Bogor bagian barat, RA Eekhout Jr adalah orangnya. RA Eekhout Jr juga menggagas jalur kereta api rute kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu. Dengan adanya jalur kereta api yang menghubungkan berbagai tempat di wilayah Sukabumi bagian selatan, RA Eekhout Jr yakin akan bertumbuh dan berkembang lebih cepat. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah selatan Sukabumi ini akan lebih optimal jika dihubungkan dengan wilayah-wilayah selatan gunung Salak di Bogor bagian barat. Visi konektivitas Sagaranten (Sukabumi bagian selatan) dan Leuwiliang (Bogor bagian barat) ini telah digagas dan diperjuangkan oleh RA Eekhout Jr lebih dari satu abad yang lalu.

Sagaranten, Cikembar, Parakan Salak dan Leuwiliang
Memang gagasan RA Eekhout Jr tidak terlaksana, karena banyak yang menentang dan menolak, padahal biaya pembangunan jalur kereta api Sagaranten-Leuwiliang berasal dari uangnya sendiri. Setali tiga uang, visi brilian RA Eekhout Jr di era modern sekarang juga dihadapi oleh para penggagas pemindahan ibukota Kabupaten Sukabumi ke kota Pelabuhan Ratu dan pemisahan wilayah bagian barat Kabupaten Bogor dengan pembentukan kabupaten baru Kabupaten Bogor Barat. Mengapa begitu berat memberi kesempatan wilayah selatan Sukabumi dan wilayah barat Bogor untuk berkembang? Itulah PR yang tidak pernah tuntas dikerjakan dari tempo doeloe hingga ini hari.   

Siapa sesungguhnya RA Eekhout Jr? Jika wilayah barat Bogor terdapat nama beken dari kelaurga van Motman, maka wilayah selatan Sukabumi, RA Eekhout Jr tiada duanya. RA Eekhout Jr adalah orang pertama yang sangat serius untuk mengembangkan wilayah selatan Sukabumi. RA Eekhout Jr memulainya di Baros. RA Eekhout Jr  sebelum ‘berlabuh’ di Baros adalah perwira muda angkatan laut yang mengundurkan diri dan tidak puas dengan pejabat yang korup. Sejak di Baros, RA Eekhout Jr terus mengkritisi pemerintah baik melalui tulisannya di media maupun di berbagai forum. RA Eekhout Jr  adalah ‘pahlawan’ dari Baros dalam memperjuangkan kemakmuran Sukabumi selatan. Untuk memahami RA Eekhout Jr lebih lanjut mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. 

Sabtu, 05 Oktober 2019

Sejarah Sukabumi (2): Sejarah Rumah Sakit di Sukabumi; Rumah Sakit Bunut, Kini Namanya Menjadi RSUD Mr. R Syamsudin


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Dulu ada namanya rumah sakit Bunut di Kota Sukabumi, tetapi kemudian kini namanya dikenal dengan nama Rumah Sakit (RS) R Syamsudin. Disebut Bunut karena tempo doeloe berada di kampong Boenoet. Rumah sakit ini terbilang rumah sakit tua. Rumah sakit di Boenoet ini mulai dibuka untuk umum pada tahun 1923. Namanya saat itu disebut Gementee Ziekenhuis (Rumah Sakit Kota) karena rumah sakit ini diusulkan oleh para anggota Dewan Kota (Gemeenteraad) Soekaboemi.

Rumah Sakit Sukabumi: Tempo doeloe dan NOW
Sebelum adanya rumah sakit Gementee Ziekenhuis, di Kota Soekabomei sudah ada rumah sakit Juliana Ziekenhuis. Rumah sakit ini dikelola oleh swasta dan umumnya ditujukan untuk orang-orang Eropa/Belanda. Dalam hal ini, rumah sakit Gementee Ziekenhuis diusulkan untuk umum apakah orang Eropa/Belanda, Tionghoa atau pribumi. Usulan pendirian rumah sakit umum Gementee Ziekenhuis diduga karena rumah sakit sejenis telah dilakukan di Tasikmalaja, Garoet dan Tjiandjoer.    .

Namun usulan pendirian rumah sakit Gementee Ziekenhuis ini tidak mudah diterima, bukan karena sudah ada Juliana Ziekenhuis tetapi karena soal harga bahan dan peralatan yang meningkat tajam. Setelah usulan diterima juga tidak mudah direalisasikan karena anggaran yang disediakan pemerintah hanya 15 persen. Setelah rumah sakit dibuka tahun 1923, pengelolaannya selalu rugi bukan karena nilai pemasukan yang kecil tetapi karena ditemukan ada manipulasi dalam pembukuan. Anggota Dewan Kota tak kuasa, RK Missie mengajukan penawaran dengan harga tinggi. Gementee Ziekenhuis tamat. Lalu bagaimana kisah selanjutnya? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Rabu, 02 Oktober 2019

Sejarah Sukabumi (1): Asal Usul Kota Sukabumi; Tanah Partikelir (land), Raffles, Engelhardt, de Wilde dan van der Capellen


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Kota/Kabupaten Sukabumi belumlah lama. Namun nama kampong Soekaboemi sudah sejak lama ada di kota Batavia, bahkan sudah ada sejak era VOC. Tidak ada nama kampong Soekaboemi di Sukabumi. Yang ada adalah nama-nama kampong Karang Tengah, Kabandoengan, Tjibatoe, Benteng, Tjikole, Waroedoejong dan Goenoeng Parang. Nama kampong Benteng sendiri diduga merupakan nama yang muncul karena keberadaan benteng (fort) VOC/Belanda (posisi GPS benteng tersebut pada masa ini di sekitar jalan Sriwijaya, Sukabumi).

Soekaboemi: Peta 1724 (atas) Peta 1860 (bawah)
Pada era VOC/Belanda sudah terbentuk sejumlah tanah partikelir (land) di Residentie Batavia. Salah satu land di dekat kota Batavia adalah land Soekaboemi. Nama land Soekaboemi sudah terbentuk sebelum nama land Buitenzorg muncul pada tahun 1745. Pada tahun 1799 VOC dibubarkan dan kemudian diakuisisi Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1911) sejumlah land dibeli pemerintah tetapi di sisi lain Daendels menjual lahan dan membentuk land baru. Pada era pendudukan Inggris (1811-1816) Letnan Gubernur Jenderal Raffles menjual lahan di selatan Buitenzorg yang termasuk wilayah Residentie Preanger. Pembelinya adalah Engelhardt. Namun kemudian land tersebut dibeli oleh Andries de Wilde. Pada tahun 1819 de Wilde kembali ke Belanda. Pada tahun 1823 Gubernur Jenderal van der Capellen mengakuisisi land tersebut menjadi milik pemerintah kembali. Eks tanah partikelir di Residentie Preanger tersebut kemudian dikenal dengan nama Soekaboemi. Ibu kota Preanger sendiri saat itu masih berada di Tjiandjoer.
.
Lantas apakah nama Soekaboemi berasal dari nama kampong (land) Soekaboemi di Batavia? Pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa land Soekaboemi (Goenoeng Parang) harus dibebaskan dan kemudian diakuisisi Pemerintah Hindia Belanda. Pertanyaan yang lebih penting lagi bagaimana sejarah awal terbentuknya Soekaboemi hingga menjadi sebuah Kota (Gemeente)? Pertanyaan-pertanyaan ini tampaknya kurang mendapat perhatian selama ini. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 29 September 2019

Sejarah Kota Depok (58): Sejarah Parung, Distrik dan Onderdistrik di Depok; Parung Lebih Tua dari Bogor dan Pohon Jubleg


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Kota Parung adalah kota tua, kota (paling) besar di wilayah hulu diantara daerah aliran sungai Tangerang/sungai Tjisadane dan daerah aliran sungai Jacatra/sungai Tjiliwong. Kota Paroeng berkembang dan berpusat ke benteng (fort) Sampoera di Lengkong (kini Serpong). Lalu kota Paroeng dijadikan sebagai ibu kota distrik Paroeng. Luas distrik Paroeng membenteng ke arah utara hingga di Tjinere, ke arah timur di Depok, ke arah selatan di Semplak dan ke arah barat di Tjoeroe Bitoeng (kini kecamatan Nanggung).

Kota Paroeng (Peta 1901)
Kini, nama Parung hanya sebatas nama kecamatan di kabupaten Bogor. Sementara nama Depok telah menjadi Kota. Di masa lampau, Paroeng adalah ibu kota distrik, sedangkan Depok baru kemudian dimekarkan dari distrik Paroeng menjadi onderdistrik Depok beribu kota di Depok. Kota Depok kini terdiri dari 11 kecamatan, sementara kecamatan Parung terdiri dari sembilan desa, yakni: Iwul, Jabon Mekar, Pamager Sari, Parung, Waru, Warujaya, Bojong Sempu, Bojong Indah dan Cogreg.

Seperti kata pepatah, sejarah mengikuti jalannya sendiri mengikuti perjalanan waktu. Jika jarum jam diputar kembali ke masa lampau, nama Parung adalah segalanya. Disinilah letak keutamaan Parung di dalam sejarah. Seperti kata pepatah, garis sejarah akan berbalik kembali ke origin. Di sinilah keutamaan prospek Kota Parung di masa depan. Ibu kota negara dipindahkan ke Kalimantan Timur, ibu kota Jawa Barat dipindahkan ke Purwakarta, ibukota Bogor dipindahkan ke Cigudeg, dan Parung sendiri akan menjadi Kota (yang setara dengan Kota Depok dan Kota Tangerang Selatan). Untuk lebih memahami sejarah Parung, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 28 September 2019

Sejarah Bogor (29): Sejarah Bojong Gede dan Abraham van Riebeeck, 1701; Tempo Dulu Bodjong Manggis, Kini Bojong Baru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Bojong Gede adalah sejarah yang panjang, yakni sejak era Bodjong Manggis hingga era Bojong Baru. Pada tahun 1701 pemerintah VOC/Belanda memberi izin kepada Abraham van Riebeeck untuk memiliki land di Bodjong Manggis dan Bodjoeng Gede (lihat Daghregister 1701). Lahan di Bodjong Manggis dan di Bodjong Gede inilah kemudian yang dikenal sebagai tanah partikelir (land) Bodjong Gede. Sebagaimana diketahui, land adalah domain awal dalam pembentukan wilayah yang sekarang.

Bojong Gede (Peta 1900)
Pada tahun 1684 pemerintah VOC/Belanda memberikan hadiah kepada Majoor Saint Martin dua lahan paling subur di hulu daerah aliran sungai Tjiliwong di Tjinere dan Pondok Terong. Hadiah ini diberikan pemerintah VOC/Belanda karena Majoor Saint Martin berhasil memulihkan situasi di wilayah (kesultanan) Banten. Dua lahan ini kemudian dibentuk menjadi land Tjinere dan land Pondok Terong/Tjitajam. Dalam perkembangannya, di sisi utara land Tjinere dibentuk land baru yang dimiliki oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek yang membangun masjid (kesultanan) Banten. Land ini kemudian dikenal sebagai land Ragoenan. Pada tahun 1895 Cornelis Chastelein diberi izin memiliki lahan di sisi timur land Tjinere di Sering Sing (kemudian dikenal sebagai land Srengseng). Setelah Abraham van Riebeeck membuka pertanian di land Bodjong Gede, menyusul Cornelis Chastelein tahun 1703 membuka land baru di Depok (land Depok). Semua lahan-lahan ini adalah land-land awal di hulu sungai Tjiliwong. Untuk sekadar catatan: land Bloeboer baru dibentuk pada tahun 1750 yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff. Pada era Gubenur Jenderal Daendels (1808-1811) ibu kota pemerintah Hindia Belanda dibentuk dengan nama Buitenzorg (land Bloeboer).     

Lantas bagaimana sejarah lebih lanjut Bojong Gede? Pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam artikel ini dengan menelusuri sumber-sumber tempo doeloe mulai dari era Abraham van Riebeeck (Bodjong Manggis) hingga era masa kini (Bajong Baru). Mari kita mulai dari kiprah Abraham van Riebeeck.