Jumat, 08 November 2019

Sejarah Sukabumi (31): Soeria Nata Legawa, Patih Soekaboemi Menjadi Bupati Garoet; Sarikat Pasoendan Menjadi Negara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Soeria Nata Legawa adalah bagian dari dinasti Patih di Sukabumi. Ayahnya adalah Patih Soekaboemi bernama Karta di Koesoema. Soeria Nata Legawa kemudian menjadi Bupati Garoet. Soeria Nata Legawa adalah cucu dari Raden Hadji Mohamad Moesa dari Limbangan. Ketika para Republiken seperti Mr. Raden Sjamsoedin, tengah berjuang melawan Belanda/NICA, Soeria Nata Legawa memproklamirkan berdirinya Negara Pasoendan yang pro Belanda/NICA segera setelah TNI Hijrah ke Jawa Tengah 1947. Sebagian warga Bandung dan penduduk Priangan ‘ngembang kadu’.

Soeria Nata Legawa, 1938
Regentschap Tjiandjoer di Residentie Preanger Regentschappen sudah lama terbentuk. Dalam perkembangannya Regentschap Tjiandjoer dimekarkan menjadi terdiri dari onderafdeeling Tjiandjoer dan onderfadeeling Soekaboemi. Pada tahun 1870 dua onderafdeeling ini ditingkatkan masing-masing menjadi afdeeling yang masing-masing dipimpin oleh Asisten Residen. Patih Soekaboemi di Afdeeling Soekaboemi tetap bertanggungjawab kepada Bupati Tjiandjoer di Tjiandjoer. Pada tahun 1914 di Afdeeling Soekaboemi dibentuk Gemeente (Kota). Pada tahun 1921 diangkat seorang Bupati di Soekaboemi dan sebagai konsekuensinya Afdeeling Tjiandjoer dan Afdeeling Soekaboemi terpisah satu sama lain. Pada tahun 1923 Wali Kota (Burgemeester) Gemeente Soekaboemi diangkat. Pada tahun 1942 sehubungan dengan pendudukan militer Jepang, semua fungsi jabatan tersebut dihapuskan.

Lantas mengapa Raden Aria Soeria Nata Legawa memproklamirkan berdirinya Negara Pasoendan, sementara para Republiken tidak menerima kehadiran Belanda/NICA dan para TNI masih terus berjuang melawan militer Belanda/NICA? Itu yang menjadi pertanyaannya. Pertanyaan ini menyebabkan kita untuk mengetahui siapa sebenarnya Soeria Nata Legawa. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 05 November 2019

Sejarah Sukabumi (30): Dongeng di Radio dan Tradisi Ngadongeng di Sukabumi; Sejarah Lisan dan Tulisan Dongeng Soenda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Dulu, saya sering mendengar dongeng di radio di Sukabumi. Biasanya program radio itu pada sore hari bada Ashar. Tapi, entahlah apakah masih ada program serupa itu pada masa kini. Dongeng (Verhaaltje, cerita bahasa Belanda; kisah bahasa Indonesia) meski umumnya ditujukan kepada anak tetapi banyak juga orang dewasa yang suka. Dongeng radio di Sukabumi kala itu disampaikan dalam bahasa Sunda (kesempatan saya untuk mengasah kemampuan bahasa Sunda saya).

De Oostpost, 04-12-1862
Di Bogor hanya satu radio yang menyiarkan program dongeng yakni Radio Kauman. Namun saya jarang mendengar karena programnya pada jam belajar. Yang sering saya ikuti adalah program open air program Wayang Golek di halaman RRI Bogor. Program yang disiarkan langsung lewat radio saya lebih menyukai hadir di lapangan dengan mengajak teman. Program ini diadakan pada minggu keempat setiap bulan (kebetulan minggu keempat setiap bulan wesel dari kampong tiba). Paling enak nonton langsung wayang golek semalam suntuk itu ditemani bajigur dan kopi plus pisang dan ubi rebus. Pada setiap hari Minggu saya selalu meminjam surat kabar Pikiran Rakyat edisi minggu dari Pak RT yang berlangganan. Adakalanya muncul kolom dongeng yang tentu saja tidak saya lewatkan. Sehubungan dengan itu, kebetulan ada tiga tokoh yang dulu pernah saya bertemu, yakni: Haji Agus Tagor Harahap pemilik Radio Kauman Bogor; Syamsul Muin Harahap, kepala RRI Bogor (ketika di kampong suaranya sering saya dengan melalui radio dalam siaran pandangan mata sepak bola Kejuaraan Perserikatan di RRI); dan (alm) Sakti Alamsyah Siregar, pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung. Saya bertemu Haji Agus Tagor Harahap dan Syamsul Muin Harahap sebagai mahasiswa junior ditugaskan panitia untuk mengantarkan undangan Halal Bi Halal. Alm Sakti Alamsyah saya bertemu di Bandung pada tahun 1981 ketika paman saya di Sukabumi mengajak saya berkunjung ke rumah Sakti Alamsyah (saat itu saya masih SMA, istri uwak saya adalah adik Sakti Alamsyah).     

Tapi dongeng tetaplah dongeng. Sebab dongeng memiliki sejarahnya sendiri. Dongeng-dongeng yang dulu sesaat sering saya dengar ternyata memiliki sejarah yang panjang. Dongeng adalah heritage, tentang apapun yang diceritakan. Untuk menambah pemahaman kita tentang dongeng, ada baiknya kita mulai menulisnya. Kita mulai (dalam hal ini) tentang dongeng di Sukabumi dengan menelusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 04 November 2019

Sejarah Sukabumi (29): Sejarah Musik di Sukabumi; Societetit Soekamanah dan Gamelan Parakan Salak ke Belanda, 1883


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Sukabumi tidak hanya melahirkan banyak musisi, Sukabumi juga memiliki sejarah musik tersendiri. Musik tradisi dan musik modern berdampingan di Soekabomi pada masa lampau. Untungnya, orang-orang Eropa/Belanda di Soekaboemi juga menyukai musik tradisi. Salah satu jenis musik tradisi Soekaboemi adalah gemelan. Para musisi musik tradisi gamelan yang tergabung dalam Gamelan dari Parakan Salak, Soekaboemi sudah manggung di Belanda tahun 1883.

Lagu Senja di Sukabumi (Album 4 Nada, 1980)
Lagu berjudul Senja di Sukabumi yang dibawakan oleh groep band 4 Nada dapat membuat orang jatuh cinta. Saya suka lagu ini ketika masih SMP di kampong. Itu karena teringat paman nun jauh di Sukabumi. Akhirnya lagu ini, saya recall kembali ketika menulis artikel ini. Yang ada muncul kerinduan. Tentu saja tidak hanya lagu Senja di Sukabumi, juga masih ada lagu yang berjudul Ini Rindu yang dibawakan oleh Farid Hardja.
.
Lantas seperti apa sejarah musik di Sukabumi? Nah, itu dia. Tentu saja soal ini belum pernah ditulis. Sambil mendengar kembali lagu Senja di Sukabumi ada baiknya sejarah musik Sukabumi mulai ditulis agar penulis-penulis musik di Sukabumi dapat melanjutkannya.Mari kita mulai dengan menelusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 03 November 2019

Sejarah Sukabumi (28): Sejarah Pegadaian di Soekaboemi dan Hari Jadi Pegadaian 1 April 1901; Bank van Leening dan Pandhuis


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

PT Pegadaian, suatu BUMN menetapkan hari jadi (hari lahir) pada tanggal 1 April 1901. Pada masa ini setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari jadi. Tentu saja tanggal ini sangat penting bagi Sukabumi, karena tepat pada tanggal 1 April 1901 di Soekaboemi dilakukan percobaan (kantor) pegadaian (pandhuis) yang dikelola oleh pemerintah.  
.
Hari Jadi Pegadaian 1 April 1901 di Soekaboemi
Dari website PT Pegadaian disebutkan sejarah pegadaan bermula ketika Pemerintah VOCmendirikan Bank Van Leening di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746. Pemerintah Pendudukan Inggris membubarkan Bank Van Leening dan kemudian diberi kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan usaha Pegadaian dengan mendapat lisensi dari pemerintah di daerah setempat. Pada saat kembali Pemerintah Hindia Belanda berkuasa kembali, metode pacth pengganti lisensi tetap dipertahankan. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan metode baru yang disebut dengan cultuur stelsel. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad (Stbl) No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi.

Lantas mengapa pemerintah membuat percobaan (kantor) pegadaian? Dan mengapa tempat yang dipilih di Soekaboemi? Sudah barang tentu pertanyaan-pertanyaan ini telah terlewatkan. Namun pertanyaan-pertanyaan ini haruslah dipandang penting. Sebab sangat jarang terjadi di era Hindia Belanda suatu peristiwa penting dimulai di daerah, yang dalam hal ini kota kecil Soekaboemi. Untuk menambah pengetahuan kita mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Sejarah Sukabumi (27): Hatta dan Sjahrir Diinternir ke Digoel; Jelang Pendudukan Jepang Dievakuasi ke Soekaboemi, 1942


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Jelang pendudukan militer Jepang, 1942, ada tiga revolusioner Indonesia yang berada di pengasingan, yakni: Soekarno, Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir. Saat Belanda mulai panik, orang-orang Belanda diinstruksikan untuk memusat di sejumlah tempat yang mengarah ke julur evakuasi di barat (pulau) Sumatra dan di selatan (pulau) Jawa. Dua diantara titik escape yang dipersiapkan adalah pelabuhan Padang (di Sumatra) dan pelabuhan Pelaboehan Ratoe di Soekaboemi.  

Mohamd Jamin, Amir Sjarifoeddin Harahap dan Sjamsoedun
Saat mana Ir. Soekarno berada di tahanan dan akan diadili, saat yang mana semua surat kabar dan majalah yang berhaluan nasionalis dibreidel Pemerintah Hindia Belanda, Parada Harahap, pemilik surat kabar Bintang Timoer di Batavia memimpin tujuh revolusioner Indonesia berangkat ke Jepang. Tiga diantara revolusioner dalam rombongan ini adalah wartawan Abdullah Lubis (pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan), guru di Bandoeng Dr. Samsi Widagda dan Drs. Mohamad Hatta (yang baru kembali ke tanah air setelah selesai studi di Belanda). Setelah selama sebulan di Jepang (termasuk pelayaran pp) rombongan tiba di pelabuhan Tandjoeng Perak Soerabaja pada tagga 13 Januari 1934. Pada hari ini juga Ir. Soekarno diberangkat ke tempat pengasingan di Flores dari pelabuhan Tandjong Priok. Di Soerabaja, tujuh revolusioner ini disambut oleh dua revolusioner Dr. Soetomo (Ketua PBI) dan Dr. Radjamin Nasution (anggota dewan kota Soerabaja dari PBI). Setelah seminggu, Parada Harahap dan Mohamad Hatta kembali ke Batavia, lalu kemudian ditangkap. Atas kesaksian konsul Jepang di Batavia keduanya dibebaskan. Namun seminggu kemudian Mohamad Hatta (sebagai pemimpin PNI) ditangkap lagi karena tuduhan tulisan yang dimuat enam bulan sebelumnya di majalah Daoelat Ra’jat. Semua pemimpin PNI ditangkap termasuk editor Daoelat Ra’jat, organ PNI Dr. Abdoel Moerad Lubis. Setelah melalui proses pengadilan, Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir diinternir tahun 1934 ke Digoel. Dalam perkembangannya atas inisiatif para revolusioner Indonesia Ir. Soekarno dipindahkan ke Bengkoeloe; Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Bandaneira.

Dalam proses evakuasi orang-orang Belanda di Sumatra, termasuk Ir. Soekarno yang dievakuasi ke Padang. Hatta dan Sjahrir awalnya dievakuasi ke Batavia lalu ke Soekaboemi. Ketika orang-orang Belanda semakin panik, Ir. Soekarno di Padang ‘diamankan’ revolusioner Mr. Egon Hakim Nasution (anak Wali Kota Padang); sementara Drs. Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir di Soekaboemi ‘diamankan’ oleh tiga serangkai eks Partai Indonesia: Mr. Mohamad Jamin, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mr. Sjamsoedin (asli Soekaboemi).  

Sabtu, 02 November 2019

Sejarah Sukabumi (26): Situs Gunung Padang di Hulu Sungai Tjimandiri di Djampang Wetan; Verbeek dan Jung Huhn


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Situs Gunung Padang sudah lama dibicarakan tetapi dari pembicaraan itu wujud tentang apa di situs Gunung Padang pada masa lampau belum teridentifikasi secara jelas. Dalam bahasa umum pada msa ini situs gunung Padang masih bersifat misteri. Namun gunung Padang tetaplah gunung Padang, ada bebatuan di atas bukit, tumpukan batu-batu yang tidak ditemukan di bukit-bukit sekitar. Lantas apakah tumpukan batu ini sebagai wujud teknologi prasejarah yang terus berkembang hingga ke teknologi yang lebih canggih, seperti teknologi candi Borobudur dan Prambanan? Itu satu hal.  

Situs Gunung Padang (bawah); Situs Borobudur (atas)
Situs Gunung Padang secara historis berada di district Djampang Wetan. Pada era permulaan Pemerintah Hindia Belanda district Djampang Wetan adalah salah satu district di Onderafdeeling Soekaboemi. District lainnya adalah Goenoeng Parang, Tjimahi, Tjiheulang, Tjitjoeroek, Palaboehan dan Djampang Koelon. Semua district yang disatukan ini berpusat pada daerah aliran sungai Tjimandiri. Di masa lampau, sungai Tjimandiri yang bermuara di Pelabuhan Ratu yang sekarang adalah pintu masuk ke tujuh district ini. Ketujuh district ini berada di bawah kepatihan Soekaboemi. Pada tahun 1870 saat dimana status onderafdeeling Soekaboemi ditingkatkan menjadi afdeeling, district Djampang Wetan dipisahkan dan dimasukkan ke afdeeling Tjinadjoer (yang pada saat yang sama di Afdeeling Soekaboemi district Djampang Koeloen dimekarkan dengan membentuk district baru Djampang Tengah.  

Hal lain lagi adalah apakah Gunung Padang sebagai situs penanda navigasi paling kuno di (pulau) Jawa yang berada di daerah aliran sungai Tjimandiri? Suatu situs penting di jaman prasejarah yang menjadi pusat religi? Pusat religi dari penduduk yang berdiam di daerah aliran sungai Tjimandiri? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat kita memutar jarum jam ke masa lampau untuk merecall kembali perjalanan waktu yang sangat panjang hingga ke wujud peradaban modern di Soekaboemi. Jika kita merentang garis waktu secara continuum maka situs Gunung Padang adalah awal peradaban dan pelestarian kawasan Geopark Ciletuh adalah puncak dari peradaban itu.