Minggu, 02 Februari 2020

Sejarah Jakarta (83): Cililitan, Penerbangan Jarak Jauh Pertama Amsterdam - Batavia; Sejarah Awal Penerbangan Sipil Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Pesawat pertama (dari Amsterdam) mendarat di Indonesia di lapangan terbang Polonia Medan. Itu terjadi pada tahun 1924. Dari Singapura pesawat yang sama kemudian mendarat di lapangan terbang Tjililitan, Batavia (kini Cililitan, Jakarta). Dua bandara ini (Polonia dan Cililitan) menandai awal sejarah aviasi (penerbangan) jarak jauh dan kebandaraan di Indonesia. Pada tahun 1943 lapangan terbang Cililitan digunakan oleh militer Jepang dan kembali dikuasai/digunakan Belanda (NICA) pada tahun 1945. Lapangan terbang Cililitan baru tahun 1950 benar-benar sepenuhnya dikuasai/digunakan oleh rakyat Indonesia.

Kedatangan pesawat pertama di Tjililitan, Senin, 24-11-1924
Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun belum sempat digunakan oleh pemerintah Indonesia, lapangan terbang Cililitan direbut (kembali) oleh militer Belanda/NICA. Sejak kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, lapangan terbang Cililitan sepenuhnya dikuasai oleh (pemerintah) Indonesia dan digunakan oleh TNI Angkatan Udara. Sementara itu sejarah penerbangan sipil Indonesia baru dimulai tahun 1950 yakni dengan cara memperbaiki dan meningkatkan status lapangan terbang Cililitan untuk layak digunakan oleh pesawat-pesawat komersil (pernerbangan sipil). Lapangan terbang Cililitan (yang kini dikenal dengan nama bandara Halim Perdana Kusuma) masih eksis hingga ini hari.

Ada dua hal penting yang menarik perhatian yakni bagaimana gagasan penerbangan jarak jauh Amsterdam-Batavia ini terselenggara dan bagaimana persiapan dan kesiapan menyambut kedatangan pesawat terbang ini? Kisah ini kurang terinformasikan dengan baik. Padahal dua hal tersebut adalah awal penerbangan jarak jauh dan sistem navigasi internasional. Lantas bagaimana awal sejarah kebandaraan dan sejarah penerbangan sipil Indonesia? Semua itu tentu masih menarik untuk diperhatikan. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jakarta (82): Tahun Baru Cina Lebih Semarak dari Tahun Baru Masehi Tempo Doeloe; Bagaimana Awal 1 Muharram?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Tahun baru Islam sudah lama berlalu (Jumat, 30 Agustus 2019). Tahun baru Cina sudah berlalu pula seminggu lalu (25 Januari 2020). Tentu saja tahun baru Masehi selalu dimulai tanggal 1 Januari. Itu juga telah berlalu. Karena semuanya telah berlalu, kita dapat melihat perbedaannya. Tahun baru paling semarak adalah tahun baru Masehi (yang kini menjadi tahun baru internasional). Namun tempo doeloe, paling tidak di Indonesia (baca: Hindia Belanda). tahun baru paling semarak adalah tahun baru Cina.

Tahun Baru Cina di Batavia (Algemeen Hblad, 11-02-1938)
Tempo doeloe, penggunaan mercon (petasan) dalam suatu perayaan, semisal tahun baru umumnya dilakukan di kalangan orang-orang Cina. Untuk penggunaan kembang api ternyata bukan di kalangan orang Belanda, tetapi justru di kalangan orang-orang Inggris. Di Jawa, suatu perayaan besar, misalnya Lebaran ditandai dengan pemukulan bedug. Di kalangan orang-orang Belanda ditemukan dengan cara membunyikan lonceng (gereja). Di Medan lain lagi. Perayaan besar (seperti Idul Fitri dan Idul Adha) ditandai dengan menembakkan meriam ke udara dari halaman Istana Maimoon. Di Padang Sidempoean lain pula caranya yakni dengan memukul gong besar dari menara masjid raya (yang selama ini digunakan untuk menunjukkan tanda waktu sholat tiba).

Lantas bagaimana dengan tahun baru Islam? Sekali lagi, paling tidak di Hindia Belanda juga semarak dan lebih semarak dari tahun baru Masehi. Bagaimana bisa? Nah, itu dia. Tentu setiap hal pada masa ini dalam kehidupan sosial telah mengalami proses transformasi dari tempo doeloe. Oleh karena itu, untuk memahami masa kini (dalam menandai tahun baru) ada juga baiknya untuk sekali-sekali memutar jarum jam kembali ke masa lampau untuk memahami bagaimana tahun baru dimulai. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 31 Januari 2020

Sejarah Jakarta (81): Sejarah Area MONAS; Bukan Lapangan Kerbau, Kebun Gambir di Buffelsveld (Lahan Milik Keluarga Buffels)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Ribut-ribut lapangan Monas. Itu satu hal. Satu hal yang lain ternyata tidak ada yang mempermasalahkan asal-usul Lapangan Monas (Monumen Nasional). Di dalam berbagai tulisan (yang dapat dibaca di internet) disebut lapangan Monas dulunya adalah lapangan kerbau (Buffelsveld). Entah darimana sumbernya. Memang tempo doeloe sebelum namanya disebut Koningsplein (Lapangan Radja) adalah eks Buffelsveld. Tetapi sejatinya bukan artinya lapangan kerbau (buffelsveld, huruf kecil) tetapi lahan (veld) dari (keluarga) Buffels [Buffelsveld] yang mana di lahan tersebut pernah diusahakan tanaman gambir. Nama Gambir juga nama marga orang Eropa. Nah, lho!

Perkebuinan baru (Peta 1682)
Nama Batavia sudah lama ada. Paling tidak sejak era Jan Pieterszoon Coen (1619). Itu berarti sudah berabad-abad. Tentu  saja tidak semua orang ingat apa yang telah berlalu. Pada tahun 1926 seseorang menulis di surat kabar Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 17-04-1926 dengan judul ‘De Indische „Oudgast" van de „Ancien RĂ©gime". Di dalam tulisannya terdapat satu kalimat sebagai berikut:  ‘Er was grond genoeg om een huis neer te zetten en de meest frissche plaats om te bouwen was wel langs het oude „Buffeltje" of het „Buffelsveld", dat nu het Koningsplein genoemd werd’. Penulis tersebut seakan mengartikan „Buffelsveld" (lahan milik Buffels) sama dengan „Buffeltje" (lapangan kerbau). Buffels adalah salah satu marga orang Eropa/Belanda. Anehnya penulis-penulis selanjutnya ada yang mengutip salah kaprah tersebut seakan kebenaran (fact). Runyamnya para penulis-penulis Indonesia masa kini menerjemahkan „Buffelsveld" secara letterlek sebagai Lapangan Kerbau. Kacau, bukan?  
    
Lantas bagaimana sejarah Lapangan Monas? Nah, itu dia yang ingin kita luruskan dan sempurnakan. Moga-moga artikel Sejarah Lapangan Monas ini, ribut-ribut yang terjadi tentang Lapangan Monas saat ini segera mereda. Dalam hubungan ini, kita harus mafhum orang Belanda tempo doeloe juga bisa salah (kaprah) tentang sejarah karena para penulis malas buka data primer seperti surat kabar dan peta-peta. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Sejarah Padang Sidempuan (4): Mangaradja Soangkoepon, Macan Pejambon-Volksraad; Bela Pemuda Madura di Belanda, 1911


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
 

Mangaradja Soangkoepon adalah seorang anggota dewan pusat (Volksraad) yang tidak ada takutnya. Mangaradja Soangkoepon membela siapa pun dimana saja. Mangaradja Soangkoepon juga penuh humor, pernah berseloroh di Volkraad dengan menyatakan bahwa (pulau) Sumatra itu bukan Pintu Belakang Luar Djawa, tetapi Pintu Depan Indonesia (baca: Hindia Belanda). Semua tertawa, tetapi dia sendiri tetap serius dalam mengemukakan pendapatnya.

Mangaradja Soangkoepon (Matjan Pedjambon)
Mangaradja Soangkoepon, kelahiran Padang Sidempuan tetapi tidak pernah memperjuangkan kepentingan wilayah (residentie) Tapanoeli di Volksraad. Sikapnya demikian, karena Mangaradja Soangkoepon terpilih ke Volksraad mewakili dapil (residentie/province) Oost Sumatra (Sumatra Timur). Mangaradja Soangkoepon terpilih kali pertama tahun 1927. Selama empat periode hingga berakhirnya era kolonial Belanda, Mangaradja Soangkoepon selalu memenangkan kursi ke Volksraad. Kepercayaan warga Sumatra Timur sangat tinggi kepadanya karena terbukti tidak pernah membela wilayah kampong halamannya, Tapanoeli. Namun jangan salah sangka. Karena anggota Volksraad dari dapil Tapanoeli adalah Dr. Abdul Rasjid Siregar kelahiran Padang Sidempoean (adik kandungnya sendiri). Catatan: Sumatra hanya terdiri dari empat dapil, masing-masing satu kursi: Oost Sumatra, West Sumatra, Zuid Sumatra dan Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh).   

Mangaradja Soangkoepon, bukanlah macan ompong, dan juga bukan Macan Kemajoran, tetapi Macan Pedjambon. Gedung dewan pusat (Volksrad) tempo doeloe di Pedjamboen (kini di Senayan). Mangaradja Soangkoepon bertarung di DPR benar-benar membela atas nama rakyat, seluruh rakyat Indonesia. Kisahnya dimulai di Belanda pada tahumn 1911 ketika membela pemuda Madura di pengadilan. Bagaimana kisah selanjutnya, mari kita ikuti berdasarkan hasil penelusuran sumber-suimber tempo doeloe.

Kamis, 30 Januari 2020

Sejarah Padang Sidempuan (3): Sibualbuali, Perusahaan Oto Bis Jarak Jauh Pertama di Indonesia; MH Thamrin Bela Sibualbuali


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Nama gunung Sibual-buali identik dengan kota Sipirok. Pemerintah Hindia Belanda telah menabalkan nama Sipirok sebagai nama sebuah kapal uap (ss). Orang Sipirok juga menabalkan nama usaha angkutan bis mereka dengan nama Siboeal-boeali. Perusahaan bis Siboeal-boeali adalah perusahaan bis pertama di Indonesia. Perusahaan bis yang menyertai perjuangan bangsa Indonesia.

Kereta api, bandara, kapal uap dan oto bis Angkola dan Sipirok
Orang Padang Sidempuan awalnya hanya berharap jalur kereta api dibangun dari kampong mereka ke Sibolga (pelabuhan laut). Tingggal selanggah lagi rencana itu direalisasikan, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1920 membatalkannya karena anggaran defisit pasca Perang Dunia I. Pada tahun 1926 Pemerintah pusat menawarkan pembangunan bandara (Batavia, Palembang, Padang, Padang Sidempoean, Medan) namun itu ditolak masyarakat melalu dewan (raad) Onderfadeeling Angkola en Sipirok. Alasannnya simpel: pembangunan bandara hanya akan mempermudah pergerakan militer Belanda dan kenyamanan untuk segelintir orang Eropa/Belanda saja. Pemerintah pusat angkat tangan. Pengusaha-pengusaha Sipirok mulai berinisiatif dengan merintis perusahaan oto bis jarak jauh. Muncullah nama perusahaan oto bis Siboeal-boeali tahun 1937. Catatan: Afdeeling Padang Sidempoean terdiri dari: Onderafdeeling Angkola en Sipirok: Onderfadeeling Groot en Klein Mandailing, Oeloe en Pakantan; dan Onderafdeeling Padang Lawas.  

Orang Padang Sidempoean ingin segera sampai di kota-kota besar. Tidak seperti di Jawa, untuk melakukan perjalanan jarak jauh orang sudah sejak lama mengenal transportasi kapal laut dan kereta api. Orang Padang Sidempoean tidak punya rel dan juga tidak punya laut. Hanya hutan belantara yang ada. Gagasan pendirian oto bis jarak jauh adalah solusi terburuk yang dapat direalisasikan. Muncullah nama Siboeal-boeali. Untuk lebih memahaminya mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Rabu, 29 Januari 2020

Sejarah Jakarta (80): Sejarah Pendidikan di Jakarta; Sutan Casajangan, Direktur Pertama Sekolah Guru Normaalschool Batavia, 1919


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Satu yang terlupakan dalam sejarah Jakarta adalah sejarah pendidikan. Sejauh ini tidak pernah ditemukan tulisan tentang sejarah pendidikan di Jakarta. Ini satu kelalaian atau apa. Padahal Jakarta (baca: Batavia) adalah ibu kota negara sejak Jan Pieterszoon Coen, 1619. Bukankah Gubernur kita seorang ahli pendidikan, mantan Menteri Pendidikan. Okelah. Tidak ada kata terlambat untuk menulis sejarah pendidikan di Jakarta. Sejarah Jakarta tidak hanya Si Pitung.

Normaalschool Batavia dan Soetan Casajangan
Meski Batavia adalah ibu kota negara, sekolah guru (kweekschool) untuk pribumi yang pertama justru didirikan jauh dari Batavia di Soeracarta (1851). Sekolah guru yang kedua di Fort de Kock tahun 1856 dan yang ketiga, tahun 1861 di Tanobato (Afdeeling Mandailing en Angkola). Sekolah guru yang keempat didirikan di Bandoeng pada tahun 1866. Lulusan dari empat sekolah guru inilah kemudian satu dua guru yang ‘nyasar’ ke Batavia untuk berinisiatif memberikan pendidikan kepada anak usia sekolah di Batavia. Tentu saja beberapa guru itu tidak cukup mengingat penduduk Batavia sungguh sangat padat jaman itu. Pendirian sekolah guru di Batavia sangat diperlukan.    

Lantas apa pentingnya mengetahui sejarah pendidikan di Jakarta? Itulah pertanyaan pentingnya. Itu pula yang menyebabkan tidak ada orang yang pernah menulisnya. Saya coba searching di nternet, memang belum pernah ditulis. Oleh karena itu, inilah waktunya kita mulai menulis sejarah pendidikan di Jakarta. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.