Minggu, 19 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (28): Kebebasan Pers Indonesia, Dulu Bagaimana? Buku Pers Parada Harahap dan Sejarah Pers Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Kebebasan pers adalah suatu hal. Penulisan buku-buku pers adalah hal lain lagi. Isu kebebasan pers sudah ada sejak era Pemerintah Hindia Belanda. Namun itu tampaknya peraturan yang ada hanya tajam ke bawah (pers Indonesia) dan tumpul ke atas (pers Belanda). Pada masa pendudukan Jepang lain lagi. Bagaimana dengan pada era Republik Indonesia? Yang jelas sudah banyak buku ditulis tentang pers. Buku pers Indonesia pertama ditulis oleh Parada Harahap.


Kebebasan pers adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Melalui kebebasan pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Kebebasan pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat 2 bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat 3 bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat 4 bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Komisi Kebebasan pers (1942-1947) atau dikenal pula sebagai Komisi Hutchins (Robert Hutchins) sebagai pencetus teori tanggung jawab sosial merupakan sebuah komisi untuk menyelidiki fungsi yang tepat bagi pers dalam demokrasi modern di Amerika serikat dan memberikan lima prasyarat yang dituntut masyarakat modern dari pers. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah kebebasan pers Indonesia masa ke masa dan Parada Harahap? Seperti disebut di atas kebebasan pers sudah ada sejak era Pemerintah Hindia Belanda, tetapi peraturan pers yang ada selalu menyulitkan pers pribumi/pers Indonesia. Dengan banyaknya buku-buku pers di Indonesia hingga masa ini lalu apa dampaknya bagi kebebasan pers? Lalu bagaimana sejarah kebebasan pers Indonesia masa ke masa dan Parada Harahap? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (27): Akademi Wartawan; Parada Harahap Kembangkan Wawasan Metodologi Jurnalis di Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Pada masa ini Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP) adalah perguruan tinggi di Jakarta Selatan di Lenteng Agung yang berdiri pada 5 Desember 1953 (umur 69) sebagai Sekolah Tinggi Publisistik (STP). Rektornya adalah Dr. Ir. Ilham P. Hutasuhut, M.M (lihat Wikipedia). Lalu apa hubungannya dengan Akademi Wartawan pertama Indonesia di Djakarta yang berdiri tahun 1950?


Sejarah Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS). Bermula pada kuartal akhir 1963 – dua orang yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan pers dan pekerja pers di Jawa Timur. Kedua tokoh itu Pemimpin umum/Pemimpin redaksi (Pemred) Surabaya Post, A. Azis, serta Kepala Jawatan Penerangan (Japen) Propinsi Jawa Timur, R. Moejadi Notowardojo. Saat itu A. Azis, yang juga Ketua PWI cabang Surabaya mengungkapkan pentingnya kontribusi wartawan yang memiliki etika, memiliki pengetahuan dan profesional. Perbagai persiapan dilakukan. Setelah semua unsur berkumpul, maka disetujui untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi berjenjang “akademi” dan sepakat diberi nama “Akademi Wartawan Surabaya (AWS)”. Pada 18 Maret 1964. diadakan pertemuan khusus untuk membahas rencana dan wujud lembaga pendidikan. Hasil besar dari pertemuan 18 Maret 1964 ialah terbentuknya Yayasan Pendidikan Wartawan Surabaya atau disingkat YPWS. Ditunjuklah Mayor Sukarsono untuk menjadi Ketua YPWS, dan Singgih, sebagai Sekretaris Yayasan. Legalitasnya dibuat melalui notaris Gusti Djohan. Kemudian diangkat R. Moeldjadi Notowardojo selaku Direktur Akademi Wartawan Surabaya (AWS) yang pertama. Hari itu, tanggal 11 November 1964, merupakan kelahiran Akademi Wartawan Surabaya. Butuh perjuangan dan kerja keras. Akhirnya para penggagas mampu mendirikan Akademi Wartawan Surabaya (AWS). Di tengah perkembangan zaman dan tuntutan pasar, pada tahun 1984, AWS meningkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi dengan nama “Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa” atau disingkat “Stikosa” dan, menetapkan sebutan “AWS” masih melekat (https://www.stikosa-aws.ac.id/) 

Lantas bagaimana sejarah akademi wartawan di Indonesia? Seperti disebut di atas, kini sudah banyak lembaga Pendidikan tinggi yang membina program studi jurnalistik seperti akadami, institute mauoun universitas. Semuanya bermula dari satu. Parada Harahap sejak 1950 mengembangkan wawasan metodologi jurnalis muda Indonesia melalui pendirian Akademi Wartawan di Djakarta. Lalu bagaimana sejarah akademi wartawan di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 18 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (26): Kedaulatan Pers Indonesia, Pers Berdaulat di Indonesia; Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Ada dua surat kabar dengan motto yang sama: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dua surat kabar tersebut adalah Pikiran Rakyat Bandoeng dipimpin oleh Sakti Alamsjah Siregar dan Indonesia Raya Jakarta dipmpin oleh Mochtar Lubis. Surat kabar Pikiran Rakyat masih eksis hingga ini hari. Indonesia Raya pertama kali terbit sebagai surat kabar di Jakarta pada 29 Desember 1949, atau dua hari setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949.


Harian Indonesia Raya adalah surat kabar nasional yang mengalami dua kali masa penerbitan, yakni pada masa pemerintahan Orde Lama dan masa Orde Baru. Pada kedua masa pemerintahan tersebut harian Indonesia Raya mengalami larangan terbit. Selama masa penerbitan pertama 1949-1968, lima wartawannya pernah ditahan selama beberapa hari, bahkan ada yang sampai satu bulan. Pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, menjadi tahanan rumah dan dipenjarakan selama sembilan tahun tanpa proses peradilan. Pertama kali Indonesia Raya tutup, ketika di dalam perusahaan terjadi konflik internal antara ketiga pemegang saham, yaitu Mochtar Lubis, Hasjim Mahdan, dan Sarhindi. Mochtar Lubis ingin tetap bersikap kritis terhadap pemerintah, sementara dua lainnya menginginkan "sikap netral". Kedua pemegang saham terakhir ini berhasil memperoleh Surat Izin Terbit (SIT) tanggal 7 Oktober 1958. Para wartawan pengasuh harian itu seluruhnya wajah baru, karena semua wartawan Indonesia Raya lama mendukung pendirian Mochtar Lubis.Indonesia Raya baru ini hanya berumur kurang dari tiga bulan karena kehilangan para pelanggan. Masa penerbitan kedua selama lima tahun (1968-1974). Pada masa pemerintahan Orde Baru, atau pada tanggal 30 Oktober 1968, harian Indonesia Raya kembali terbit. Sebagian wartawan dan staf tata usaha Indonesia Raya generasi pertama mengasuh kembali harian ini di bawah pimpinan Mochtar Lubis sebagai pemimpin umum merangkap pemimpin redaksi (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah kedaulatan pers Indonesia dan pers berdaulat Indonesia? Seperti disebut di atas, pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949 muncul dua surat kabar dengan motto yang sama: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lalu bagaimana sejarah kedaulatan pers Indonesia dan kemerdekaan pers Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (25): Radio, Radio Bandoeng, Radio Republik Indonesia; Sakti Alamsjah Siregar dan Abdulrahman Saleh


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Narasi sejarah RRI di Wikipedia terkesan bersifat gaya novelis. Namun bagaimana sejarah radio di Indonesia secara historis sejak era Hindia Belanda tetap kurang terinformasikan sepenuhnya. Dalam hal ini satu fase terpenting dalam sejarah radio Indonesia adalah dalam proses pembentukan radio pemerintah Indonesia, Radio Republik Indonesia (RRI).


Sejarah Radio Republik Indonesia bermula secara resmi pada tanggal 11 September 1945, oleh para tokoh yang mengoperasikan stasiun radio Jepang Hoso Kyoku di 6 kota. Rapat utusan 6 radio di rumah Adang Kadarusman Jalan Menteng Dalam, menghasilkan keputusan mendirikan Radio Republik Indonesia dengan memilih dr. Abdulrahman Saleh sebagai pemimpin umum. Pada bulan 1 Maret 1942 Belanda menyerah kepada Jepang, tepat pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Belanda dengan seluruh angkatan perangnya menyatakan menyerah kalah di Kalijati Subang. Radio siaran yang tadinya berstatus perkumpulan swasta dimatikan dan diurus oleh jawatan khusus bernama Pusat Jawatan Radio Hoso Kanri Kyoku, yang merupakan pusat radio siaran dan berkedudukan di Jakarta. Cabang-cabangnya terdapat di Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya dan Malang. sesungguhnya di juga berdiri Medan Hoso Kyoku dibulan Maret 1942. Kini mereka menuntut penyerahan radio Hoso Kyoku kepada mereka. Bandung Hoso Kyoku yang dapat direbut tanggal 16 Agustus 1945. Setelah proklamasi dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, bertempat di kantor Solo Hoso Kyoku Balapan 199, Yasaki menandatangani naskah penyerahan kekuasaan atas Solo Hoso Kyoku dalam bahasa Jepang dan Indonesia tepat pada jam 10.00 pada tanggal 1 Oktober 1945. Sebagai balas budi Yasaki, Yamamoto dan Kono (Kepala Teknik) diberitahu. Dengan penyerahaan kekuasaan oleh Yasaki kepada Maladi atas Solo Hoso Kyoku pada tanggal 10 Oktober 1945, maka bagian pertama dari program RRI di Surakarta telah terlaksana. Keselamatan mereka di Solo dan kemudian di tempat kosentrasi orang-orang Jepang di Baros Tampir akan dijamin. Wakil - wakil dari 8 studio RRI di Jawa berkumpul lagi untuk bermusyawarah pada tanggal 12 dan 13 Januari 1946. Konperensi radio kedua ini di adakan di Solo yang mendorong bahkan mengharuskan bermusyawarah ialah situasi negara dan keadaan studio - studio RRI (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah Radio, Radio Bandoeng, Radio Republik Indonesia? Seperti disebut di atas, sebelum terbentuknya Radio Republik Indonesia, ada sejarah awal yang dimulai dari era Pemerintah Hindia Belanda. Siapa Sakti Alamsjah Siregar dan Abdulrahman Saleh. Lalu bagaimana sejarah Radio, Radio Bandoeng, Radio Republik Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 17 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (24): Pers Amerika Diantara Pers Belanda dan Pers Indonesia: G McTurnan Kahin, BM Diah, Mochtar Lubis


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Pers Amerika Serikat sejatinya pernah membantu pers Indonesia di dunia pers internasional. Itu bermula pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Jurnalis Amerika Serikat George McTurnan Kahin melaporkan situasi pendudukan Belanda/NICA di Jogjakarta tanggal 18 Desember 1948. Kisah ini diduga yang menjadi alasan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memberikan beasiswa para jurnalis Indonesia studi pers ke Amerika Serikat, diantaranya BM Diah dan Mochtar Lubis. Studi pers ke Eropa/Belanda menjadi masa lalu.


Profesor Amerika: Indonesia beruntung punya UU Pers.  Sabtu, 17 Maret 2018. Jakarta (Antara News) - Profesor Jurnalisme Universitas George Washington, Janet Steele berpendapat bahwa jurnalis Indonesia jauh lebih beruntung ketimbang di negara-negara Asia Tenggara lainnya karena telah memiliki Undang-Undang Pers. "Saya sudah pernah ke Singapura dan Brunei, walaupun teknologinya maju, tapi mereka masih dikontrol pemerintah. Setelah Reformasi ada UU Pers dan Dewan Pers, pemerintah tidak bisa campur tangan. Steele mengunjungi Indonesia dalam rangka penerbitan bukunya "Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara" berdasarkan penelitiannya terhadap media di Indonesia dan Malaysia. Menurut Steele, direktur Institute for Public Diplomacy and Global Communication, Undang-Undang No 40 tentang Pers telah memberikan jaminan perlindungan kepada wartawan untuk melakukan tugas-tugas jurnalistik dan jika terjadi masalah, pihak mana pun termasuk pemerintah harus menyelesaikannya melalui Dewan Pers. Steele meneliti kaitan Islam dan jurnalisme di tiga media di Indonesia, yakni Majalah "Sabili", Harian "Republika", Majalah "Tempo"; dan dua media Malaysia, yaitu "Harakah" dan "Malaysia Kini". Peraih gelar doktor bidang sejarah dari Universitas John Hopkins, AS, tersebut mengatakan penelitian kualitatifnya dapat dilakukan dengan dilandasi rasa saling percaya, pertemanan, dengan sesekali ia menjadi pengajar dalam kelas jurnalisme di berbagai media, termasuk di Yayasan Pantau dan Koran Tempo. (https://www.antaranews.com/)

Lantas bagaimana sejarah pers Amerika Serikat diantara pers Belanda dan pers Indonesia? Seperti disebut di atas, pers Amerika Serikatc pernah membantu Indonesia ketika pers Indonesia lumpuh pada saat terjadinya pendudukan Belanda/NICA ke wilayah Republik. Jurnalis yang membantu itu adalah George McTurnan Kahin yang kemudian BM Diah, Mochtar Lubis dan lainnya studi pers ke Amerika Serikat. Lalu bagaimana sejarah pers Amerika Serikat diantara pers Belanda dan pers Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (23): Pers Semasa Perang Kemerdekaan Indonesia; Jogjakarta, Soerakarta, Padang Sidempoean, Bukittinggi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

‘Berdirinya organisasi PWI menjadi awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia’. Pernyataan ini tidak tepat. Awal perjuangan (orang) Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia sudah dimulai sejak lama sejak era Pemerintah Hindia Belanda dengan mengusung nama Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah puncak perjuangan (bangsa) Indonesia. Berdirinya organisasi PWI bukan awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) organisasi wartawan pertama di Indonesia, berdiri 9 Februari 1946 di Surakarta (tanggal tersebut ditetapkan sejak 1985, sebagai Hari Pers Nasional). Berdirinya organisasi PWI menjadi awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia. Sebelum didirikan, panitia persiapan dibentuk 9-10 Februari 1946 di balai pertemuan Sono Suko, Surakarta, saat pertemuan antar wartawan Indonesia. Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan, diantaranya adalah: Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang diketuai oleh Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan: Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakyat Jakarta), BM Diah (Merdeka, Jakarta). Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta). Ronggodanukusumo (Suara Rakyat, Mojokerto). Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya). Bambang Suprapto (Penghela Rakyat, Magelang). Sudjono (Surat Kabar Berjuang, Malang), Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakyat Yogyakarta). Delapan orang komisi yang telah dibentuk tersebut selanjutnya dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo, merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional
(Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah pers Indonesia semasa perang kemerdekaan? Seperti disebut di atas, pers semasa perang kemerdekaan Indonesia adalah pers Indonesia yang mengambil bagian dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apakah dalam hal ini ada pers Indonesia yang mengambil sikap sebaliknya? Ada, pers Indonesia yang mendukung kerjasama dengan (kerajaan) Belanda. Pers Indonesia ini terdapat di berbagai tempat seperti di Djakarta, Medan, Jogjakarta, Soerakarta, Sibolga dan Bukittinggi. Lalu bagaimana sejarah pers Indonesia semasa perang kemerdekaan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.