*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini
Naga Bonar adalah satu hal, Timoer Pane adalah hal lain. Kisahnya terjadinya pada era yang sama di wilayah yang sama: Lubuk Pakam. Naga Bonar adalah suatu film (fiksi) sementara sepak terjang Timoer Pane adalah suatu kejadian nyata (fakta). Lantas skenario film Naga Bonar yang bertema komedi situasi yang diproduksi 1987 apakah mengacu pada cerita rakyat yang bermula empat puluh tahun sebelumnya, 1947 tentang tindakan heroik seorang yang bernama Timoer Pane?
Naga Bonar adalah satu hal, Timoer Pane adalah hal lain. Kisahnya terjadinya pada era yang sama di wilayah yang sama: Lubuk Pakam. Naga Bonar adalah suatu film (fiksi) sementara sepak terjang Timoer Pane adalah suatu kejadian nyata (fakta). Lantas skenario film Naga Bonar yang bertema komedi situasi yang diproduksi 1987 apakah mengacu pada cerita rakyat yang bermula empat puluh tahun sebelumnya, 1947 tentang tindakan heroik seorang yang bernama Timoer Pane?
Nieuwe courant, 17-10-1947 |
Lantas serupa
apa kisah Timoer Pane dalam perang kemerdekaan Indonesia di Deli? Sudah ada
sejumlah tulisan yang coba menarasikannya, namun tidak sepenuhnya akurat dan
lengkap. Sehubungan dengan itu, ada baiknya dinarasikan kembali sejarah Timoer
Pane, orang yang disebut telah mengangkat dirinya sebagai Generaal Majoor untuk
memimpin para mantan pencopet dalam berjuang melawan Belanda/NICA. Untuk
memperkaya pengetahuan kita mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama yang digunakan
dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena
sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Naga Bonar: Antara Fakta
dan Fiksi
Sejarah (fact) Naga Bonar dan film
(fiction) Naga Bonar saling memicu. Kisah film Naga Bonar diduga merujuk pada
suatu cerita rakyat tentang aksi heroik Si Naga Bonar dalam melawan Belanda
tempo doeloe. Namun celakanya, kisahnya dalam film dapat dianggap penonton sebagai
facta sejarah (true-story).
Ini yang terjadi dengan kisah
Si Pitung di Batavia yang diangkat ke layar putih. Tidak hanya cerita tentang
Si Pitung tetapi juga kisah Si Jampang di Batavia. Hal serupa juga ditemukan di
berbagai kota, hanya saja tema Si Pitung, Si Jampang dan Naga Bonar yang banyak
menyita perhatian. Kisah Si Pitung difilmkan kali pertama pada 1931 dan baru
kemudian pada tahun 1970 (sutradara Nawi Ismail). Lalu pada tahun 1973 muncul
film Si Jampang (mencari naga hitam) dan Naga Bonar (sutradara Asrul Sani) pada
tahun 1987.
Sebaliknya, dalam hal ini, kisah film memicu kita untuk menulis (kembali)
sejarah dengan mendudukkan cerita dalam film dengan apa yang terjadi
sesungguhnya di masa lampau. Dengan kata lain kita ingin melacak sejarah ke
masa lampau untuk mendapatkan perbandingan facta sebenarnya siapa yang disebut Naga
Bonar dengan fiksi yang diceritakan pada masa ini.
Dalam blog ini, perbandingan
sejarah (fakta) Si Pitung dan kisah (fiksi) Si Pitung ditulis tersendiri dalam
satu artikel di laman Sejarah Jakarta. Untuk perbandingan antara fakta dan
fiksi Si Jampang ditulis dalam satu artikel yang dapat dilihat pada laman
Sejarah Sukabumi.
Lantas, siapa Naga Bonar dalam arti sesungguhynya, atau paling tidak
seorang tokoh yang mirip seperti yang diceritrakan dalam film? Apakah Naga
Bonar yang dimaksud merujuk pada tokoh bernama Timur Pane?
Dalam film Si Pitung, tokoh
bernama Si Pitung pada era kolonial Belanda memang nyata. Salihoen alias Si
Pitung yang masa pemberitaan sejaman (1892-1893) dalam beberapa hal mirip
dengan tokoh Si Pitung dalam film. Sementara nama tokoh yang disebut Si Jampang
tidak ditemukan (dalam pemberiataan) pada era kolonial Belanda. Namun tokoh Si
Jampang dalam film banyak yang mirip pada era kolonial Belanda (seperti Si Asbo
dan Si Tengel).
Pasukan Naga Terbang: 'Generaal
Majoor' Timur Pane
Nama Timur Pane (juga adakalanya ditulis Timoer Pane, Timor Pane) kali
pertama muncul pada tahun 1947 (lihat Nieuwe
courant, 17-10-1947). Disebutkan bahwa ‘de zakkenroller’ (pencopet) Timor Pane dengan
bantuan gengnya telah membantu (keuangan) Republik. Perusahaan-perusahaan (Eropa.Belanda)
dijarah oleh geng ini dan instalasi pabrik banyak yang dijual ke Malaka dan bahkan
peralatan produksi perusahaan pun hilang.
Pasca revolusi sosial di
Sumatra Timur (Maret 1946) secara perlahan situasi mulai kondusif dengan
semakin menguatnya Belanda di Medan dan sekitar. Lalu pada tanggal 18 Oktober 1947 pimpinan Belanda/NICA HJ van
Mook mengeluarkan keputusan terhadap pengakuan berdirinya Derah Istimewa
Sumatra Timur (DIST). Saat ini Residen Republik tidak lagi di Medan tetapi
telah pindah ke Pematang Siantar. Residen Republik Sumatra Timur saat ini
adalah Mr. Loeat Siregar (pada permulaan pemerintah RI, Loeat Siregar sebagai
Wali Kota Medan). Secara politis saat itu kepemimpinan di Medan dan sekitar
(Sumatra Timur) terdapat tiga pihak: Republik (Indonesia), NICA (Belanda) dan DIST
(pihak kesultanan).
Untuk mempertahankan Republik Indonesia yang masih muda (diproklamasikan
17 Agustus 1945) lebih-lebih untuk melawan penjajah (Belanda/NICA) dibutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Residen Mr. Loeat Siregar sudah diberi wewenang
seluas-luasnya dan bertanggung jawab untuk biaya dan pendapatan. Dalam situasi
inilah keuangan pemerintah Republik dalam posisi kesulitan. Para sukarelawan
perang (laskar-laskar) aktif membantu Republik, paling tidak membantu dirinya
sendiri dalam hal keuangan, termasuk diantaranya (laskar) pasukan Naga Terbang
pimpinan Timoer Pane.
Daerah Sumatra Timur termasuk
salah satu operasi polisi/milter Belanda/NICA yang dimulai pada tanggal 20 Juli
1947 yang kerap disebut Agresi Militer Belanda I. Operasi di Sumatra Timur ini
terutama di wilayah-wilayah dimana perusahaan perkebunan berada. Hasl laporan operasi
inilah yang kemudian telah mengidentifikasi pasukan (laskar) Naga terbang
pimpinan Timoer Pane telah memainkan peran di perkebunan-perkebunan. Dalam
perkembangannya, pasca agresi militer ini, sebagaimana kita lihat nanti di
Medan pada tanggal 29 Januari 1948 berdiri secara resmi Negara Sumatra Timur
(NST) yang disokong penuh Belanda/NICA.
Banyaknya pasukan (laskar) yang bergerak di seputar Medan dan sekitarnya,
oleh para gengnya Timoer Pane diangkat sebagai Generaal Majoot (Mayor Jenderal),
suatu jabatan darurat perang yang memimpin sejumlah Majoor (Mayor). Bagaimana Timoer
Pane diangkat menjadi Generaal Majoor tidak begitu jelas, tetapi jabatan ini
pada situasi ini, paling tidak untuk kalangan sukarelawan begitu penting
sebagai pucuk pimpinan. .
Akhirnya seluruh wilayah
Sumatra Timur jatuh dan berada di tangan kendali militer Belanda/NICA. ‘Sungguh
menyenangkan melihat penduduk wilayah yang baru diduduki di Sumatra (Timur)
hidup kembali sekarang karena mereka telah terbebas dari tekanan teror geng’
kata Dr. JJ van de Velde (lihat Nieuwe courant, 11-11-1947). JJ van de Velde adalah penasihat urusan pemerintah untuk
urusan politik di Sumatra. Lebih lanjut dikatakan bahwa Tapanoeli sangat
menderita karena teror geng, sedemikian rupa sehingga TNI telah dipaksa untuk
mengambil tindakan terhadap ini. Menurut laporan dari para pelancong yang
datang dari daerah ini (baca: Tapanoeli), geng-geng seperti bekas geng Mokotai,
yang masih dipimpin oleh seorang Jepang, Inowe, yang sekarang menyandang nama Harimau
Liar, juga geng di bawah kepemimpinan Jacob Siregar. Lebih jauh, seperti ‘Naga
Terbang’ dan legiun ‘Penggempoer’, yang seperti kelompok pertama, juga tidak mampu
diadili oleh TNI untuk menyerahkan senjata dan dilucuti secara keseluruhan atau
sebagian oleh kaum Republiken. untuk mengakhiri kegiatan mereka, karena Residen
Republik Tapanoeli dipaksa untuk mendirikan kamp-kamp perlindungan bagi mereka
yang dianiaya oleh geng-geng ini, dan dalam hal ini angkatan bersenjata
republik (TNI) tidak sepenuhnya bebas.... Tetapi dari daerah-daerah di bawah
pemerintahan republik di Sumatra, situasi di Tapanoeli adalah yang terburuk, Aceh
tenang dan tidak agresif, tidak seperti daerah di sekitar Padang, dimana
orang-orang sangat agresif karena propaganda republik yang intensif dan hasutan
untuk melakukan teror..’.
Dari laporan JJ van de Velde ini terungkap bahwa Generaal Majoor Timoer
Pane dengan pasukkannya Naga Terbang sudah memasuki wilayah Tapanoeli. TNI dan
pasukan (laskar) Republik semakin terdesak dari wilayah Sumatra Timur dan terkonsentrasi
di wilayah Tapanoeli. Tentu saja intensitas yang tinggi di wilayah Tapanoeli,
antar pasukan (laskar) akan terjadi gesekan-gesekan dan bahkan pertikaian
dengan TNI sendiri. Generaal Majoor Timoer Pane di Tapanoeli kemudian diketahui
melakukan tindakan yang tidak lazaim: melucuti TNI.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 15-10-1948 |
Apa yang menyebabkan Generaal Majoor Timoer Pane melakukan tindakan
pelucutan (senjata) miiter TNI di Tapanoeli sulit diketahui. Apakah ini semacam
kudeta diantara pasukan yang ada di Tapanoeli? Pasukan (laskar) telah
mengkudeta TNI. Mereka jelas pasukan pemberani, dan setia kepada Republik
(Indonesia). Boleh jadi Generaal Majoor Timoer Pane dan pasukannya merasa lebih
pantas untuk menggantikan TNI. Namun bisa jadi pelucutan itu adalah siasat
untuk menambah kekuatan (persenjantaan) pasukannya agar lebih leluasa untuk bertindak?
Generaal Majoor Timur
Pane (Fakta) dan Jenderal Naga Bonar (Fiksi)
Keberadaan Generaal Majoor Timur Pane adalah nyata. Timur Pane telah
mengangkat dirinya dengan pangkat Mayor Jenderal. Sementara dalam film (fiksi)
Naga Bonar disebutkan berpangkat Jenderal Naga Bonar. Persamaan diantara
keduanya adalah sama-sama pemberani dan dipersonifikasi sebagai mantan
pencopet. Dengan memperhatikan banyak kesamaan, lantas apakah sutradara film
Naga Bonar (Asrul Sani) skenarionya merujuk pada kisah Generaal Majoor Timur
Pane?
Asrul Sani lahir di Rao,
Sumatra Barat, 10 Juni 1926. Ayahnya adalah Sultan Marah Sani kelahiran Rao dan
ibunya bernama Nuraini binti Itam Nasution. Usia Asrul Sani pada saat kejadian
(perang kemerdekaan) 21 tahun. Asrul Sani berhasil menyelesaikan pendidikan
tinggi dan mendapat gelar dokter hewan. Asrul Sani menikah dengan Mutiara
Sarumpaet (yang lebih dikenal sebagai Mutiara Sani) di Medan 24 Juli 1948. Mutiara
Sani adalah kakak dari aktris dan aktivis Ratna Sarumpaet (lahir di Tarutung 16
Juli 1949).
Asrul Sani tentu sangat paham situasi dan kondisi di berbagai tempat di
Indonesia pada era perang kemerdekaan. Pada saat perang ini usia Asrul Sani
sudah 20 tahun yang berprofesi sebagai sastrawan. Asrul Sani yang bergelar
dokter hewan kemudian menikah dengan Mutiara Sarumpaet, kelahiran Medan 24 Juli
1948. Lalu apakah semua ini menjadi gagasan Asrul Sani untuk mengangkat kisah
Timoer Pane ke layar putih dengan nama yang berbeda sebagai Naga Bonar?
Horas, Terimakasih
BalasHapus