Minggu, 03 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (16): Dr. Groneman di Jogjakarta, Pembela Kraton; KF Holle di Preanger, Pembela Kebudayaan Sunda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Tidak semua orang Indonesia baik, tidak semua orang Eropa/Belanda jahat. Yang baik adalah baik, yang jahat adalah jahat. Meski demikian, tetap ada perbedaan antara orang baik Eropa/Belanda dengan orang baik Indonesia yakni mereka orang asing Eropa.Belanda yang menjajah terhadap orang Indonesia yang terjajah. Perbedaan esensial diantara orang Eropa/Belanda adalah soal rasial. Sementara perbedaan esensial diantara orang Indonesia adalah penghianatan, suatu penghianatan yang berkolaborasi dengan penjajah untuk menjajah bangsanya sendiri.

Dr. Isaac Groneman, 1879
Sejarah kolonial Belanda di Indonesia berakhir pada saat pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Memasuki era penuh kedaulatan Indonesia mulai disusun siapa yang pantas dan siapa yang tidak pantas untuk ditabalkan sebagai nama situs. Penabalan nama seseorang dalam nama jalan apakah Belanda atau Indonesia mengindikasikan siapa yang dimaafkan dan dihargai di sisi Indonesia yang baru berdaulat. Ada beberapa nama Eropa/Belanda diantaranya Edward Douwes Dekker alias Multatuli di Medan; Louis Pasteur di Bandoeng; dan Dr. Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi di Jakarta. Pada masa kini juga nama-nama orang Indonesia sebagai nama jalan di Belanda, sebut saja Pattimura, Martha Ch. Tiahahu, RA Kartini, Irawan Soejono, Soetan Sjahrir dan Mohamad Hatta. Tentu saja tidak perlu mempertanyakan nama Soekarno sebagai nama jalan di Maroko dan Mesir.

Lantas mengapa nama Dr. Groneman tidak muncul di Yogyakarta, paling tidak sebagai nama situs. Tentu saja ada pertimbangannya. Akan tetapi nama Dr. Groneman masih menarik untuk diperhatikan sebagai seorang tokoh Eropa/Belanda di Yogyakarta pada masa lampau. Dr. Groneman adalah seorang mantan dokter Sultan, pembela kraton dan pencinta kebudayaan Jawa sebagaimana KF Holle sebagai seorang planter di Preanger, pencinta kebudayaan Sunda, pembela pendidikan.

Sabtu, 02 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (15): Kota Gede, Kota Kecil Dalam Kota Yogyakarta; Malioboro, Nama Ibukota pada Era Kerajaan Mataram


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Kota Gede di Kota Yogyakarta sudah banyak ditulis. Namun tetap masih ada hal yang tercecer dan bahkan ada hal yang terabaikan. Perihal yang tercecer dan terabaikan itu yang akan diuraikan dalam artikel ini. Satu hal yang tidak pernah ditulis adalah Malioboro sendiri. Pada era VOC, Malioboro dicatat sebagai area kraton, area yang menjadi ibukota Kerajaan Mataram. Dari Malioboro inilah Kota Gede berkembang.

Pasar Gede, 1876
Kraton Jogjakarta secara filosifis baru dimulai tahun 1755. Ini terjadi setelah adanya perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian: Kesunanan Soeracarta dan Kesultanan Jogjakarta. Pada era Pemerintahan Hindia Belanda (1800an) area kraton Jogjakarta diidentifikasi sebagai ibukota Residentie Djocjocarta. Dari area kraton inilah berkembang menjadi Kota Yogyakarta. Malioboro sebagai nama jalan di Kota Yogyakarta baru muncul pada tahun 1910. Secara filosofis Jalan Malioboro adalah Nieuwe Mataram.    

Bagaimana jalan ceritanya? Itulah yang menjadi soal. Suatu soal yang dapat dijawab yang dapat diselesaikan berdasarkan data-data. Data-data inilah yang di dalam artikel ini dianggap tercecer sehingga terabaikan dalam analisis asal usul kota. Mari kita mulai dari nama Malioboro.

Jumat, 01 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (14): Sejarah Surat Kabar di Jogjakarta, Surat Kabar Pertama Mataram 1877; Kini, Era Kedaulatan Rakyat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Pertumbuhan dan perkembangan surat kabar tempo dulu merupakan gambaran pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Sebelum muncul surat kabar di Djokdjakarta (baca: Yogyakarta), surat kabar sudah berkembang di Batavia, Soerabaja, Semarang dan Padang. Di kota-kota tersebut surat kabar yang muncul pertama kali adalah surat kabar berbahasa Belanda. Demikian juga halnya di Djokdjakarta. Surat kabar pertama di Djokdjakarta adalah surat kabar berbahasa Belanda yang diberi nama Mataram, terbit perdana tanggal 15 Januari 1877.

Java-bode, 27-03-1879
Pemberian nama surat kabar diasosiasikan dengan luas sirkulasinya. Seperti di era awal Pemerintahan Hindia Belanda, surat kabar pertama diberi nama Bataviasche koloniale couran yang terbatas di Batavia yang terbit pertama tahun 1810. Di era pendudukan Inggris surat kabar satu-satunya adalah Java Government Gazette yang terbit pertama tahun 1812. Kedua surat kabar pemerintah tersebut terbit di Batavia. Lalu dalam perkembangannya muncul surat kabar di kota-kota lain: di Soerabaja dan Semarang memberi nama sesuai nama kota untuk cakupan sirkulasi di wilayah sekitar kota; sedangkan di Padang memberi nama Sumatra courant untuk cakupan semua (pulau) Sumatra. Di Djokdjakarta bukan nama kota Djokdjakarta, tetapi mengusung nama wilayah yaitu Mataram. Hal yang sama kemudian muncul di Medan (Deli Courant) dan di Bandoeng (Preanger Bode).

Lantas bagaimana perkembangan surat kabar selanjutnya di Jogjakarta? Setelah surat kabar berbahasa Belanda (Mataram), menyusul kemudian surat kabar berbahasa Jawa dan surat kabar berbahasa Melayu. Namun surat kabar berbahasa Jawa dan surat kabar berbahasa Melayu tidak mudah untuk bertahan. Hanya surat kabar berbahasa Belanda, Mataram yang mampu eksis untuk waktu yang lama. Baru setelah era kemerdekaan Indonesia muncul surat kabar berbahasa Melayu yang tangguh yaitu Kedaoelatan Rakjat yang terbit perdana 27 September 1945. Surat kabar ini mampu eksis hingga ini hari.

Rabu, 27 Februari 2019

Sejarah Yogyakarta (13): Sejarah Hotel Grand Inna Malioboro; Grand Hotel 1911; Isu Hotel Merdeka vs Garuda 1950; Hotel di Jogjakarta Bermula Losmen Malioboro 1865


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Hotel Grand Inna Malioboro di Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang. Nama hotel ini awalnya adalah Grand Hotel yang mulai beroperasi pada tahun 1911. Grand Hotel dibangun untuk bersaing dengan Hotel Mataram yang sudah eksis sejak tahun 1869. Investor Grand Hotel adalah investor Grand Hotel di Soekaboemi. Namun dalam perjalanannya, Grand Hotel beberapa kali harus berganti nama hingga namanya kini disebut Grand Inna Malioboro.

Nama dan usia Hotel Grand Inna Malioboro (1908-1919)
Grand Hotel adalah hotel terbaik di Jogjakarta di era kolonial Belanda. Hotel ini dirampas menjadi properti pada pendudukan Jepang. Segera setelah kemerdekaan Indonesia, hotel ini diambilalih para Republiken dan memberinya nama baru Hotel Merdeka. Pada perang kemerdekaan, pasca Agresi Militer Desember 1948, kepemilikan hotel dikembalikan kepada pemilik lama NV Grand Hotel. Pasca pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda 1950 muncul sengketa apakah Hotel Merdeka milik pemerintah atau milik swasta. Kisruh kepemilikan ini bahkan terkait dengan mertua Wakil Presiden Mohamad Hatta. Akhirnya nama Hotel Merdeka diubah menjadi Hotel Garuda. Bagaimana itu bisa terjadi? Mari kita lacak.

Sejarah Hotel Grand Inna Malioboro adalah bagian dari sejarah hotel di Yogyakarta. Hotel yang pertama muncul di Jogjakarta adalah Losmen Malioboro yang didirikan pada tahun 1865. Losmen ini kemudian diakuisisi oleh Hotel Mataram. Dalam perkembangannya lokasi eks Losmen Malioboro ini dijadikan sebagai Loge Mataram. Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda) 1950, Loge Mataram (eks Loge Malioboro) dijadikan sebagai gedung dewan (kini di lokasi tersebut berada Gedung DPRD).

Senin, 25 Februari 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (17): Kapal Titanic 1912 dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck 1936; Kapal Tampomas II, 1980


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Kapal Titanic adalah kapal raksasa. Kapal yang tenggelam dari pelayaran dari Towns ke New York tangga 14 April 1912. Tenggelamnya kapal Titanic juga menjadi berita besar di koran-koran di Hindia Belanda seperti Batavia, Soerabaja, Semarang, Bandoeng, Padang dan Medan. Mengapa berita tenggelamnya kapal Titanic begitu heboh di Hindia Belanda? Berita tenggelamnya kapal juga terjadi di Hindia Belanda, Kapal tersebut adalah kapal van der Wijck.

Kapal Van der Wjick (Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1936)
Tenggelamnya kapal Titanic dan juga tenggelamnya kapal van der Wijck menjadi berita yang menarik di Hindia dan mendapat liputan yang luas. Itu karena orang-orang Belanda yang ada di Hindia datang dari Belanda ke Hindia menggunakan pelayaran jarak jauh. Tidak itu saja, di Hindia sebagai wilayah kepulauan, pelayaran adalah moda transportasi utama. Oleh karenanya, orang-orang Belanda di Hindia sangat paham betul tentang urusan pelayaran. Berita tenggelamnya kapal Titanic dan kapal Van der Wijck dengan sendirinya menjadi pembicaraan semua orang.

Lantas bagaimana sejarah kapal Titanic itu sendiri? Itu sudah banyak ditulis. Lantas apa perlunya ditulis kembali? Itu dia. Artikel ini tidak mengulang tulisan sejarah Titanic secara keseluruhan, tetapi mendeskripsikan detail yang tidak pernah diceritakan. Selain itu, artikel ini juga memperkaya dengan berita-berita yang terkait sebelum dan setelah kejadian di berbagai tempat sehingga memberikan gambaran kontekstual pada waktu kejadian tenggelamnya kapal. Lalu bagaimana dengan sejarah kapal Van der Wijck? Sangat minim informasinya. Untuk kedua kapal itu, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 17 Februari 2019

Sejarah Jakarta (35): MH Thamrin Gila Bola? Hoax; Meluruskan Nama Besar MH Thamrin, Sepakbola adalah Sepakbola


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Seorang politisi tidak salah menjadi pemain bola. Pemain bola (gibol) juga banyak yang aktif berpolitik. Dalam hal ini tidak semua harus menjadi gibol. Sebab gibol adalah satu hal, sedangkan yang lainnya adalah hal lain. Namun yang jadi masalah adalah mengapa seseorang diberi label yang bukan miliknya. MH Thamrin disebut ‘gibol’. Kenyataannya MH Thamrin tidak pernah terhubung dengan sepakbola. Seharusnya sejarah dilihat apa adanya, sejarah bukan diciptakan. Biarlah MH Thamrin adalah MH Thamrin; dan sepakbola adalah sepakbola.

Patung MH Thamrin di Monas
Meski nama MH Thamrin bukan sekali dua kali dihubungkan dengan sepakbola, tetapi dalam sebuah pertemuan di Balai Kota DKI Jakarta baru-baru ini yang bertajuk ‘Dari Stadion VIJ menuju Stadion MH Thamrin’ nama MH Thamrin kembali dihubungkan dengan sepakbola. Pertemuan ini dilakukan sehubungan dengan peringatan hari ulang tahun ke-125 Mohammad Husni Thamrin. Disebutkan, nama MH Thamrin sangat berjasa melahirkan persepakbolaan di Jakarta. Juga disebutkan melalui VIJ (nama Persjia tempo doeloe) bisa memiliki lapangan sendiri berkat jasa MH Thamrin. Sebagai penggila bola, Thamrin juga disebutkan mendesak pemerintah Belanda untuk memperhatikan sepak bola yang kala itu hanya dinikmati keturunan Belanda. Klub sepak bola pribumi tak boleh merumput di lapangan-lapangan bond atau liga sepak bola Eropa (lihat Kompas.com). Apa iya? Bagaimana ceritanya/

Namun demikian, MH Thamrin tidak alergi sepakbola. MH Thamrin memiliki banyak dimensi. Satu dimensi yang tidak dimilikinya adalah soal sepakbola. Lantas mengapa hal sepakbola dipaksakan kepada MH Thamrin? Itulah yang menjadi soal. Masalahnya adalah banyak yang mengarang sejarah, sejarah yang tidak sesuai dengan orangnya. Itu namanya hoaks. Untuk meluruskan cerita-cerita yang tidak berdasar tersebut dan menjelaskan siapa MH Thamrin, mari kita telusuri sumber-sumber lama yang otentik dan kredibel.