Sabtu, 11 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (12): Klub Studi dan Organ Organisasi Kebangsaan: Majalah Ilmiah di Soerabaja Bandoeng Solo Batavia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Organisasi kebangsaan (pribumi/Indonesia) sudah sejak lama ada, seperti halnya Medan Perdamaian di Padang, Boedi Oetomo di Batavia dan Indische Vereeniging di Belanda. Organisasi kebangsaan Indonesia kemudian membentuk organ sendiri berupa majalah (ilmiah popular) atau surat kabar. Lalu dalam perkembangannya diantara golongan muda terpelajar Indonesia membentuk klub-klub studi (Studieclub) yang dimulai di Soerabaja. Klub studi Soerabaja dan Bandoeng kemudian membentuk organisasi kebangsaan Indonesia: Perhimpoenan Bangsa Indonesia (PBI) dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).


Algemeene Studieclub atau Algemeene Studie Club (ASC) adalah klab kuliah umum yang didirikan oleh para intelektual nasionalis Bumiputera/i di Tanah Pasundan, Bandung pada zaman Hindia Belanda tahun 1926. Presiden Sukarno adalah salah satu anggota pendirinya. Sebagai kelanjutan kelompok studi itu, Soekarno dengan kawan-kawan kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia yang merupakan cikal bakal Partai Nasional Indonesia pada 4 Juli 1927. Pemerintah kolonial Belanda tampak sangat khawatir melihat kepopuleran Soekarno, bersama Maskun, Gatot Mangkupradja, Supriadinata dan pertumbuhan pesat PNI. Dengan dalih menjaga ketertiban dan keamanan, pemerintah kolonial menangkap dan menahan ratusan aktivis PNI pada 29 Desember 1929. Mereka kemudian diadili ke depan pengadilan Landraad Bandung 18 Desember 1930 dengan pembelaan Indonesia Menggugat (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah klub studi dan organ dari organisasi kebangsaan? Seperti disebut di atas, sejak terbentuknya organisasi bangsa pada fase awal sudah memanfaatkan surat kabar sebagai organ perjuangannya. Demikian juga dalam perkembangannya Ketika kluv0klub studi dibentuk juga membentuk organ sendiri dengan menerbitkan majalah ilmiah populer seperti klub studi di Soerabaja dan dan Bandoeng. Lalu bagaimana sejarah klub studi dan organ dari organisasi kebangsaan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (11): Pers Pribumi di Belanda; Indische Vereeniging, Indonesia Vereeniging hingga Perhimpoenan Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Pers Indonesia di Belanda adalah satu hal, organisasi (mahasiswa) pribumi Indische Vereeniging di Belanda adalah hal lain lagi. Namun kedua hal ini saling berkaitan. Yang mana yang lebih dulu ada, lebih dahulu eksis sebelum lainnya? Dalam konteks inilah lahirnya pers Indonesia di Belanda, jauh dari tanah air. Bagaimana itu semua bermula menjadi manarik diperhatikan, karena pers Indonesia di Belanda tidak terpisahkan dari pers Indonesia sendiri. Narasi sejarah masa kini adakalanya berbeda dengan fakta yang sebenarnya di masa lalu. Mari kita check en balance.


Indische Vereeniging (IV) organisasi pelajar mahasiswa pribumi di Belanda berdiri 1908. IV berdiri atas prakarsa (Radjioen Harahap gelar) Soetan Casajangan Soripada. Sejak Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat masuk, 1913, mulailah mereka memikirkan mengenai masa depan Indonesia, menyadari betapa pentingnya organisasi tersebut bagi bangsa Indonesia. Sejak itulah IV memasuki kancah politik, menerbitkan buletin diberi nama Hindia Poetera, tetapi isinya sama sekali tidak memuat tulisan-tulisan bernada politik. Pada September 1922, saat pergantian ketua antara Dr. Soetomo dan Herman Kartawisastra organisasi ini berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Para anggota Indonesische juga memutuskan untuk menerbitkan kembali majalah Hindia Poetra dengan Mohammad Hatta sebagai pengasuhnya. Penerbitan kembali Hindia Poetra ini menjadi sarana untuk menyebarkan ide-ide antikolonial. Saat Iwa Koesoemasoemantri ketua 1923, Indonesische mulai menyebarkan ide non-kooperasi Tahun 1924, saat M. Nazir Datuk Pamoentjak menjadi ketua, nama majalah Hindia Poetra berubah menjadi Indonesia Merdeka. Tahun 1925 saat Soekiman Wirjosandjojo nama organisasi ini resmi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah pers Indonesia di Belanda? Seperti disebut di atas, pers yang dimaksud berkontribusi di Belanda dimana orang-orang pribumi yang tengah menjalankan studi. Meski ada yang coba menulisnya, tetapi masih banyak yang belum terinformasikan. Dalam hubungan ini juga terkait satu sama lain dengan organisasi mahasiswa pribumi di Belanda Indische Vereeniging yang diubah namanya menjadi Indonesia Vereeniging dan kemudian diubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia. Lalu bagaimana sejarah pers Indonesia di Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 10 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (10):Kantor Berita Alpena di Batavia dan Pers Biro di Belanda; Parada Harahap dan Soewardi Soerjaningrat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Kantor berita (pers) sudah lama dikenal di Eropa dan Amerika Serikat. Kantor berita pertama di Indonesia pada era Pemerintah Hindia Belanda adalah kantor berita (berbahasa Belanda) Aneta. Dalam konteks kemandirian pers pribumi, Parada Harahap pada tahun 1925 mendirikan kantor berita (berbahasa Melayu) di Batavia dimana sebagai editor diangkat WR Soepratman. Namun sebelum itu sudah pernah diinisiasi kantor berita di Belanda di dalam lingkungan organisasi mahsasiswa pribumi di Belanda.  


Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara merupakan kantor berita di Indonesia dimiliki Pemerintah Indonesia sebagai BUMN. Perum Antara diberikan tugas Pemerintah melakukan peliputan dan penyebarluasan informasi yang cepat, akurat, dan penting. NV Kantor Berita Antara didirikan 13 Desember 1937, pada saat itu diterbitkan pertama, Buletin Antara, di jalan Raden Saleh Kecil No. 2 Jakarta. Para pendiri Albert Manumpak Sipahutar, Mr. Soemanang, Adam Malik dan Pandoe Kartawigoena. Redaktur adalah Abdul Hakim dibantu Sanoesi Pane, Mr. Soemanang, Mr. Alwi, Sjaroezah, Sg. Djojopoespito. Tahun 1941, jabatan Direktur Mr. Sumanang diserahkan kepada Sugondo Djojopuspito, sedangkan jabatan Redaktur tetap pada Adam Malik merangkap Wakil Direktur. Kantor Antara 1942 pindah ke Noord Postweg 53 Paser Baroe bersama dengan Kantor Berita Domei, Soegondo pindah bekerja di Kantor Shihabu, Adam Malik dan AM Sipahutar tetap menjadi pegawai Domei. Tahun 1946, hijrah ke Yogyakarta. Pada masa itu, Direkturnya Adam Malik, dengan pimpinan sehari-hari Pangulu Lubis dan Rachmat Nasution (ayah Adnan Buyung Nasution). Tahun 1962, Antara resmi menjadi Lembaga Kantor Berita Nasional berada di bawah Presiden (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah kantor berita Alpena di Batavia dan pers biro di Belanda? Seperti disebut di atas ada dua orang pribumi yang menginisiasi kebutuhan kantor berita untuk kalangan pribumi yakni Parada Harahap di Batavia dan Soewardi Soerjaningrat di Belanda. Lalu bagaimana sejarah kantor berita Alpena di Batavia dan pers biro di Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (9): Delik Pers; Benih Mardika di Medan, Sinar Merdeka di Padang Sidempuan, Bintang Timoer-Batavia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Delik pers pada masa ini adalah tulisan dalam surat kabar atau media pers lain yang melanggar undang-undang. Kurang lebih sama dengan delik pers pada era Pemerintah Hindia Belanda. Apakah pernah terjadi delik pers dalam pers (berbahasa) Belanda pada era Pemerintah Hindia Belanda? Satu yang pasti surat kabar berbahasa Melayu di Padang pada tahun 1905 terkena ‘ranjau’ delik pers. Mengapa? Pemimpin redaksi surat kabar Pertja Barat di Padang dihukum cambuk dan diusir dari kota Padang.


Kebebasan pers dikontrol oleh Kode Etik Jurnalistik yang mengikat wartawan agar bekerja sesuai dengan aturan berlaku. Survei Dewan Pers terhadap Indeks Kebebasan Pers 2022, Indonesia mengalami kenaikan 1,86 poin dibandingkan tahun 2021. Namun kebebasan pers yang diberikan ini rentan disalahgunakan dan berakhir dengan tuntutan hukum, yang disebut delik pers, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pers. Disebut delik pers karena jurnalis dan pers adalah kelompok profesi yang memiliki definisi yang berdekatan dengan usaha penyiaran, pertunjukan, pemberitaan, dan sebagainya. Sehingga unsur delik pers lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Delik pers terbagi delik aduan dan delik biasa. Delik aduan yaitu apabila ada yang merasa terganggu atau mengadukan produk pers ke pihak yang berwajib. Delik aduan ini bersifat menyerang, menghina, dan fitnah terhadap seseorang. Umumnya pasal yang mengatur tentang delik biasa ini merupakan pernyataan permusuhan dan penghinaan kepada pemerintahan, penghasutan, kesusilaan, penghinaan terhadap agama, dan pembocoran rahasia negara. Karya jurnalistik sebagai delik pers adalah agasan yang dipublikasikan melalui barang cetak, gagasan yang dimuat dan disebarluaskan melanggar hukum. Jurnalis yang bersangkutan dapat diminta pertanggungjawabannya apabila jurnalis tersebut telah mengetahui isi dan tulisan yang ia buat, dan sadar dengan konsekuensi pidana tulisannya. Salah satu pasal dalam KUHP yaitu pasal pencemaran nama baik. Pasal pencemaran nama baik ini bisa menjadi alat untuk mengriminalisasi pers (https://kumparan.com/)

Lantas bagaimana sejarah delik pers? Seperti disebut di atas, soal delik pers ini sudah berlangsung pada era Pemerintah Hindia Belanda. Namun status delik pers saat itu bersifat sumir. cenderung memberatkan pihak yang lemah. Peta delik pers bagi jurnalis pribumi dimulai dari Pertja Barat di Padang yang kemudian memiliki kesinambungan dengan Benih Mardika di Medan, Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dan Bintang Timoer di Batavia. Lalu bagaimana sejarah delik pers? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 09 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (8): Polemik Pers Era Hindia Belanda;Orang Belanda Lupakan Penduduk - Pribumi Mulai Jauhi Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Pada masa ini diantara para jurnalis Indonesia, polemic yang selalu ada adalah soal hari pers nasional-perihal siapa yang berhak memiliki hari pers di Indonesia. Memang setiap era memiliki persoalan sendiri-sendiri, tetapi perihal polemik itu menjadi bagian tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah pers di Indonesia. Pada permulaan pers Indonesia, era Pemerintah Hindia Belanda, polemik pertama yang bergulir adalah soal kebangsaan: warga mana yang paling berhak mendapat perhatian pembangunan dan siapa diantara pribumi dan Belanda yang berhak tentang kepemilikan tanah air (warisan nenek moyang).


Polemik Hari Pers Nasional. Remotivi/Wisnu Prasetya Utomo. 2017. Perdebatan apakah tanggal 9 Februari layak diperingati sebagai Hari Pers Nasional? Hampir setiap tahun, AJI menolak itu. Pasalnya, tanggal tersebut hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), akan lebih tepat diperingati sebagai hari lahir PWI. Ide Hari Pers Nasional sudah berlangsung lama, di tahun 1978 saat kongres ke 16 PWI di Padang, saat itu ketua PWI Harmoko, pemimpin redaksi Pos Kota, menjadi salah satu keputusan kongres. Ide ini lantas diusulkan kepada Dewan Pers dan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985, tanggal 23 Januari 1985 Hari Pers Nasional resmi diperingati setiap tahun di tanggal 9 Februari. Ini bermula dari berbagai diskusi digelar dan perdebatan public sekelompok jurnalis dan penulis pada 7 Desember 2007 mendeklarasikan Hari Pers Indonesia di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Pemilihan tanggal 7 Desember didasarkan pada hari meninggalnya Tirto Adhi Soerjo, bapak pers nasional. Salah satu yang tokoh yang turut mendeklarasikan Hari Pers Indonesia adalah Taufik Rahzen, penulis buku Seabad Pers Kebangsaan (2007) dimana dalam buku, Taufik menulis bahwa semestinya menjadi tonggak bagi kehidupan pers di Indonesia adalah Tirto Adhi Soerjo yang merupakan pemimpin redaksi Medan Prijaji, media pertama yang menggunakan bahasa Melayu. Suryadi, dosen dan peneliti di Universitas Leiden. menyebut bahwa menggunakan satu nama koran atau tokoh sebagai penanda peringatan pers Indonesia sama artinya dengan mengabaikan peran koran-koran lain yang juga memiliki sumbangan besar dalam sejarah pers di Indonesia. Perdebatan-perdebatan semacam ini hampir muncul setiap tahun hingga saat ini, sementara hari pers tetap diperingati pada 9 Februari (https://www.remotivi.or.id/)

Lantas bagaimana sejarah polemik pers era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, polemik pers antara (pribumi dan Belanda) dimulai soal warga mana yang paling berhak mendapat perhatian pembangunan dan kemudian berlanjut siapa diantara pribumi dan Belanda yang berhak tentang kepemilikan tanah air. Pada masa kini, soal itu sudah dapat dituntaskan, tetapi diantara insan pers masih seputar tentang penetapan hari pers nasional. Lalu bagaimana sejarah polemik pers era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (7): Kebangkitan Pers Pribumi di Padang, Batavia dan Medan; Surat Kabar Pertja Barat - Dja Endar Moeda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Sebagaimana disebut pada artikel sebelum ini, pers di Indonesia, yang dapat dikatakan dimulai pada era Pemerintah Hindia Belanda, berawal dari pers (berbahasa) Belanda kemudian terbentuk pers pribumi. Sebagaimana kita lihat nanti, pers pribumi inilah yang kemudian bertransformasi menjadi pers Indonesia (vs pers Belanda). Terbentuknya pers pribumi menjadi landasan kebangkitan pers peibumi di berbagai kota. Salah satu pegiat pers dalam kebangkinatn pers pribumi itu adalah Dja Endar Moeda, pemimpin dan redaktur surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat di Padang.


Dja Endar Moeda atau lengkapnya Dja Endar Moeda Harahap adalah perintis pers berbahasa Melayu kelahiran Padang Sidempuan, 1861. Dididik sebagai guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers dimulai sebagai redaktur untuk jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar pada 1887. Sepulangnya dari naik haji tahun 1893 Dja Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di Kota Padang. Di sana, selain mendirikan sekolah swasta ia menjadi redaktur Pertja Barat, yang didirikan oleh Lie Bian Goan. Pada tahun 1905, Dja Endar Moeda membeli Pertja Barat. Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911, setelah keluar dari Pewarta Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah kebangkitan pers pribumi di Padang, Batavia dan Medan? Seperti disebut di atas, terbentuknya pers pribumi dan kebangkitan pers pribumi bermula dari munculnya kesadaran berbangsa (berbeda dengan bangsa asing/Belanda). Pers Belanda berbahasa Belanda, pers pribumi berbahasa Melayu. Surat kabar berbahasa Melayu di Padang Pertja Barat yang dipimpin Dja Endar Moeda muncul pertama ke permukaan. Lalu bagaimana sejarah kebangkitan pers pribumi di Padang, Batavia dan Medan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.