Sabtu, 11 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (11): Pers Pribumi di Belanda; Indische Vereeniging, Indonesia Vereeniging hingga Perhimpoenan Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Pers Indonesia di Belanda adalah satu hal, organisasi (mahasiswa) pribumi Indische Vereeniging di Belanda adalah hal lain lagi. Namun kedua hal ini saling berkaitan. Yang mana yang lebih dulu ada, lebih dahulu eksis sebelum lainnya? Dalam konteks inilah lahirnya pers Indonesia di Belanda, jauh dari tanah air. Bagaimana itu semua bermula menjadi manarik diperhatikan, karena pers Indonesia di Belanda tidak terpisahkan dari pers Indonesia sendiri. Narasi sejarah masa kini adakalanya berbeda dengan fakta yang sebenarnya di masa lalu. Mari kita check en balance.


Indische Vereeniging (IV) organisasi pelajar mahasiswa pribumi di Belanda berdiri 1908. IV berdiri atas prakarsa (Radjioen Harahap gelar) Soetan Casajangan Soripada. Sejak Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat masuk, 1913, mulailah mereka memikirkan mengenai masa depan Indonesia, menyadari betapa pentingnya organisasi tersebut bagi bangsa Indonesia. Sejak itulah IV memasuki kancah politik, menerbitkan buletin diberi nama Hindia Poetera, tetapi isinya sama sekali tidak memuat tulisan-tulisan bernada politik. Pada September 1922, saat pergantian ketua antara Dr. Soetomo dan Herman Kartawisastra organisasi ini berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Para anggota Indonesische juga memutuskan untuk menerbitkan kembali majalah Hindia Poetra dengan Mohammad Hatta sebagai pengasuhnya. Penerbitan kembali Hindia Poetra ini menjadi sarana untuk menyebarkan ide-ide antikolonial. Saat Iwa Koesoemasoemantri ketua 1923, Indonesische mulai menyebarkan ide non-kooperasi Tahun 1924, saat M. Nazir Datuk Pamoentjak menjadi ketua, nama majalah Hindia Poetra berubah menjadi Indonesia Merdeka. Tahun 1925 saat Soekiman Wirjosandjojo nama organisasi ini resmi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah pers Indonesia di Belanda? Seperti disebut di atas, pers yang dimaksud berkontribusi di Belanda dimana orang-orang pribumi yang tengah menjalankan studi. Meski ada yang coba menulisnya, tetapi masih banyak yang belum terinformasikan. Dalam hubungan ini juga terkait satu sama lain dengan organisasi mahasiswa pribumi di Belanda Indische Vereeniging yang diubah namanya menjadi Indonesia Vereeniging dan kemudian diubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia. Lalu bagaimana sejarah pers Indonesia di Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pers Indonesia di Belanda; Indische Vereeniging, Indonesia Vereeniging hingga Perhimpoenan Indonesia

Abdoel Rivaim setelah lulus sekolah kedokteran di Batavia (Docter Djawa School), kemudian ditempatkan di Medan sebagai dokter pemerintah (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 19-03-1895). Di Medan diketahui Abdoel Rivai tekah menikah dengan seorang wanita dengan satu anak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-08-1895). Beberapa tahun di Medan dan sekitar, Dr Abdoel Rivai kemudian diketahui berangkat ke Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-09-1899).


Tidak diketahui apa alasan Dr Abdoel Rivai ke Batavia. Apakah Dr Abdoel Rivai telah mengundurkan dari dinas pemerintah? Yang jelas istri Abdoel Rivai dan seorang anak telah berangkat dari Medan ke Batavia. Istri dan anak tersebut saat ini kini sudah diketahui berada di Belanda, Masih pada bulan September 1899 diketahui Dr Abdoel Rivai berangkat ke Belanda (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1899). Disebutkan besok kapal ss Gede akan berangkat dari Batavia dengan tujuan akhir Nederland dimana salah satu penumpang adalah Abdoel Rivai. Dari semua penumpang hanya nama Abdoel Rivai yang non Eropa/Belanda. Dalam manifes kapal tercatat Abdoel Rivai seorang diri (tidak ada istri dan anak). Di Belanda sudah terdapat pribumi. Salah satu diantaranya adalah Raden Kartono yang setelah lulus HBS Semarang berangkat studi ke Belanda pada tahun 1896. Raden Kartono adalah abang dari RA Kartini.

Apa yang menjadi alasan Dr Abdoel Rivai mengundurkan diri dari dinas pemerintah dan berangkat ke Belanda tidak begitu jekas. Yang jelas Abdoel Rivai diketahui kemudian akan menjadi editor surat kabar berbahasa Melayu di Amsterdam (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 19-06-1900). Disebutkan Abdoel Rivai akan menjadi editor majalah berbahasa Melayu Pewarta Wolanda yang akan terbit setiap dua minggu sekali. Disebutkan Abdoel Rivai bekerjasama dengan Strikwerda. Surat kabar ini akan terbit pertama pada tanggal 1 Juli.


Strikwerda adalah pensiunan Asisten Residen yang menjadi penerjemah bahasa Melayu di Amsterdam (lihat De Maasbode, 08-07-1900). Y Strikwerda paling tidak diketahui tahun 1851 sebagai pejabat pemerintah di Westerafdeeling van Borneo (lihat Samarangsch advertentie-blad, 28-06-1861). Pada tahun 1871 Strikwerda diketahui sebagai Asisten Residen di Sintang (lihat Makassaarsch handels-blad, 22-03-1871). Pada tahun 1873 Strikwerda sebagai asisten residen di Koeningan (lihat  Bataviaasch handelsblad, 06-06-1873). Pada tahun 1879 Strikwerda pensiun sebagai asisten residen Koeningan (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-04-1879). Setelah pensiun Strikwerda kembali ke Belanda. Pada tahun 1881 Strikwerda diangkat menjadi dosen di perguruan tinggi perikanan laut Nederlandsche staatscourant, 02-11-1881). Pada tahun 1890 Y Strikwerda menerbitkan buku praktek bahasa Melayu dalam aksara Arab (lihat Algemeen Handelsblad, 30-05-1890). Disebutkan Strikwerda sebagai dosen bahasa Melayu dan pertanian di Amsterdam. Pada tahun 1891 Strikwerda menerbitkan majalah berita berbahasa Melayu yang diberi nama Pewarta Boemi (lihat Arnhemsche courant, 24-04-1891). Disebutkan terbit dua minggu sekali. Sasarannya adalah orang Cina, Arab dan pribumi di Hindia. Surat kabar ini diterbitkan oleh Van Der Weide en Pijttersen. Surat kabar ini adalah satu-satunya di Belanda yang berbahasa Melayu. Terhitung sejak tanggal 1 Desember 1898 Y Strikwerda digantikan oleh Dr AA Fokker (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-01-1898). Disebutkan Dr AA Fokker adalah editor linguistik ternama di Den Haag, guru bahasa Melayu di Handelsschool di Amsterdam.

Y Strikwerda adalah orang yang sudah berpengalaman dalam penerbitan surat kabar berbahasa Melayu. Sementara itu, Abdoel Rivai baru ini menjadi terlibat dalam dunia jurnalistik. Setelah Abdoel Rivai lulus di Docter Djawa School tahun 1895 tidak terdetekasi apakah pernah aktif dalam dunia jurnalistik. Dalam hal ini Dr Abdoel Rivai akan mendapat bimbingan dari Y Strikwerda. Dalam hal ini tidak terinformasikan apakah Dr AA Fokker juga terhubung dengan keduanya.


Sebagaimana pada artikel sebelum ini, seorang pribumi, Haji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, pensiunan guru yang bermukim di Padang pada tahun 1895 dengan seorang Jerman dan seorang Cina menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Pertja Barat. Dja Endar Moeda lulusan sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1884 bertindak sebagai editor. Singkat kata: Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda telah mengakuisisi seluruhnya saham surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya. Pada tahun ini juga Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar Tapian Na Oeli dan majalah Insulinde. Dalam hal ini dapat dikatakan Dja Endar Moeda adalah pribumi pertama yang aktif dalam dunia persuratkabaran dan telah memiliki percetakan dan media sendiri (surat kabar dan majalah).

Namun Pewarta Wolanda hanya berumur singkat. Setelah tidak terbit, Abdoel Rivai masih berada di Amsterdam. Dalam perkembangannya di Batavia, Soerat Chabar Soeldadoe merger dengan surat kabar Pewarta Wolanda (lihat De Sumatra post, 11-06-1901). Disebutkan tanggal 15 April 1901 surat kabar baru ini diterbitkan oleh Albrecht en Co di Batavia. Pada jajaran editor adalah Letnan Clockener Brousson, tentara Belanda, JE Tehupeiory, mahasiwa Dokter-djawa school dan F Wiggers, redaktur Pembrita Betawi. Juga disebutkan para redaktur bekerjasama dengan Pangeran Harijo Sasraningrat di Djocja, Nawawi gelar Soetan Maa’moer guru kweekschool di Fort de Koek, Datoe Soetan Maharadja di Padang, J Thenu dan FJ Marunaja di Koeta Radja, MA Sahuleka di Magelang dan Lim Soen Hwat di Sibolga. Sebagai koresponden Abdul Rivai, mantan editor Pewarta Wolanda, di Amsterdam dan Radhen Mas Pandji Sosro Kartono di Den Haag, pelukis Jawa Mas Abdullah di Amsterdam akan mengilustrasikan majalah tersebut. Ini mengindikasikan bahwa Abdoel Rivai di Amsterdam masih terlibat dalam pers (berbahasa) Melayu. Surat kabar baru ini kemudian diketahui Bernama Bandera Wolanda.


Clockener Brousson adalah tentara Belanda lulusan akademi militer di Breda yang kemudian ditempatkan di Hindia. Namun setelah lima tahun bertugas, Clockener Brousson mengalami kecelakaan di pantai timur Atjeh. Akibatnya Clockener Brousson tidak bisa lagi bertugas, meski dia sendiri sangat mencintai tentara Belanda dan korpsnya. Sejak itulah Clockener Brousson bermasyarkat, mulai melakuan perjalanan di Indonesia. Hasil perjalanannya selama di Hindia (termasuk dalam dinas militer) ditulisnya dalam serial artikel di Belanda. Menurut Clockener Brousson, orang Belanda di Belanda perlu mengenal lebih baik Hindia. Serial artikelnya dimaksudkan untuk itu. Clockener Brousson masih berada di Hindia tahun 1902. Meski demikian, serial artikel Clockener Brousson mulai diterbitkan di surat kabar di Belanda. Artikel pertamanya dengan tajuk Indische Penkrassen I dimuat pada tanggal 7 Desember 1902 (lihat Arnhemsche courant, 07-12-1902).

Namun surat kabar Bandera Wolanda juga tidak berumur panjang. Dr Abdoel Rivai diketahui berada di tanah air (tidak terinformasikan sepenuhnya kegiatan apa yang dilakukan). Clockener Brousson kembali ke Belanda. Dalam perkembangannya, Clockener Brousson berkolaborasi dengan Dr AA Fokker tahun 1903 dengan menerbitkan majalah berbahasa Melayu di Belanda (Bintang Hindia). Seperti disebut di atas Dr AA Fokker adalah editor linguistik ternama di Den Haag, guru bahasa Melayu di Handelsschool di Amsterdam.


Surat kabar ini diinisiasi oleh Dr AA Fokker tahun 1903 ini kemudian diketahui akan  bekerjasama dengan Dja Endar Moeda, pemimpin surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat di Padang. Dalam upaya kerjasama tersebut, pada tahun 1903 ini Dja Endar Moeda berangkat ke Belanda dengan membawa dua guru yang akan turut membantu Fokker yakni Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan guru di Padang Sidempoean dan guru muda Djamaloedin yang menjadi co-editor Dja Endar Moeda dalam menerbitkan majalan Insulinde di Padang. Sementara Abdoel Rivai yang juga akan bergabiung berangkat sendiri dari Batavia ke Belanda. Mereka bertiga inilah yang akan mengasung Bintang Hindia di Belanda di bawah pimpinan Dr AA Fokker.

Dalam hubungannya dengan penerbitan surat kabar (dwimingguan) Bintang Hindia di Belanda pada jajaran manajemen Clockener Brousson dan Dr AA Fokker sementara pada jajaran teknis dalam editorial terdapat tiga pribumi Drt Abdoel Rivai dan guru Soetan Casajangan serta guru muda Djamaloedin. Sementara itu, partner stragis di Hindia adalah Dja Endar Moeda di Padang. Namun dalam perkembangannya Soetan Casajangan mengundurkan diri tahun 1905 karena ingin melanjutkan studi keguruan di Belanda (untuk tujuan itu Soetan Casajangan sempat sebentar ke tanah air ke kampong halaman di Padang Sidempoean). Soetan Casajangan adalah adik kelas Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean. Sementara itu Dr Abdoel Rivai masih tetap di Bintang Hindia Bersama Djamaloedin. Pada tahun 1906 Djamaloedin menyusul mengundurkan diri karena ingin melanjutkan studi di Belanda (studi pertanian di Wageningen).


Untuk membantu Clockener Bronsson untuk meneruskan Bintang Hindia, didatangkan tiga orang dari Hindia, yakni Mas Soengkono (sebagai korektor) pada bulan Februari 1906, lalu pada bulan Mei 1906 Sjamsoedin Rasad sebagai asisten editor. Yang berikutnya didatangkan Ameroellah pada bulan September 1906 untuk membantu editor (lihat Soerabaijasch handelsblad, 12-12-1907). Namun kemudian, sejak November 1906 Clockener Bronsson sudah tinggal di Berlin. Akan tetapi, Mas Soengkono tidak memiliki kualifikasi yang diinginkan dan akan dikembalikanke kantor Bintang Hindia di Bandoeng. Namun Soengkono tidak mau kembali ke Hindia dan karena itu mengundurkan diri pada bulan Juni 1907. Dalam perkembangannya atas bantuan Vereeniging West en Oost di Belanda, dan dibimbing oleh mantan residen di Sumatra’s Westkust, Mas Soengkono kemudian mengikuti ujian masuk sekolah pertanian di Wageningen. Tidak terduga Mas Soengkono yang malang tiba-tiba sakit parah pada bulan Agustus dan meninggal dalam beberapa hari kemudian.

Untuk pengelolaan Bintang Hindia sepenuhnya diberikan kepada NJ Boon dan Abdoel Rivai. Dalam perkembangannya Sjamsoedin Rasad mengundurkan diri pada bulan April 1907. Sementara Amaroellah masuh turut membantu Bintang Hindia. Tidak lama kemudian timbul permasalahan baru, pada bulan Juni 1907 Abdoel Rivai mengundurkan diri (karena ingin melanjutkan studi kedokteran). Akhirnya Bintang Hindia ditutup dan sebagai gantinya diterbitkan Bandera Wolanda pada bulan Januari 1908 dengan pemimpin redaksi JE Tehupelory dan Amaroellah sendiri sebagai asisten editor.


Sejak bulan Juni 1908 Soetan Casajangan mulai memikirkan pembentukan organisasi kebangsaan pribumi (Indonesia) di Belanda. Soetan Casajangan yang telah beberapa waktu membimbing Raden Soemitro yang melanjutkan sekolah HBS di Belanda dan baru diterima di perguruan tinggi, memintanya untuk mengirim undangan ke seluruh orang Indonesia di Belanda untuk berkumpul di kediamaan Soetan Casajangan di Leiden. Lalu pada tanggal 25 Oktober 1908 dalam rapat di kediaman Soetan Casajangan disepakati pembentukan organisasi kebangsaan yang diberi nama Indische Vereeniging dimana sebagai ketua Soetan Casajangan dengan sekretaris Raden Soemitro.

Pada bulan April 1909 diketahui beberapa pribumi yang studi di Belanda masuk dalam jajaran redaksi majalah Bandera Wolanda antara lain Soetan Casajangan dan Notosoeroto (lihat Het vaderland, 01-04-1909). Disebutkan sekarang lengkap dan terdiri sebagai berikut: pemimpin redaksi adalah Clockener Brousson, sedangkan redakturnya adalah R Soetan Gasajangan Soripada, guru Batak ternama, RM Noto Soeroto, studi hukum putra Pangeran Noto di Red'jo, dari keluarga Paikoe Alamsche dan Amaroellah gelar Soetan Mangkoeto, seorang Melayu dari Pantai Barat Sumatera, mantan guru di Idi di Aceh. Susunan redaksi ini berubah karena pada bulan Desember 1908 JE Tehupelory meninggal dunia.


Soetan Casajangan sendiri pada tahun 1909 ini lulus ujian dan mendapat akta guru LO (dan melanjutkan studi untuk mendapatkan akta guru MO). Kepengurusan Soetan Casajangan di Indische Vereeniging kemudian berakhir tahun 1910 karena juga ingin menyelesaikan studi. Beberapa mahasiswa yang telah menyelesaikan studi telah kembali ke tanah air, tetapi sebaliknya jumlah pelajar yang datang ke Belanda untuk melanjutkan studi semakin banyak dari waktu ke waktu. Seperti rekan-rekannya yang lain yang studi juga melakukan berbagai kegiatan pekerjaan yang menambah keuangan. Bekerja di majalah Bandera Wolanda (sebelumnya Bintang Hindia) memiliki honor bulanan. Soetan Casajangan juga menjadi asisten dosen bahasa Melayu di Rijks universiteiet te Leiden membantu Prof CA van Ophuijsen (mantan gurunya di Kweekschool Padang Sidempoean). Amaroellah selain di Bandera Wolanda juga menjadi anggota Vereeniging Handelsonderwijs di Amsterdam (lihat Algemeen Handelsblad, 21-08-1909). Vereeniging ini menyelenggarakan kursus terdiri dari beberapa afdeeeling. Amaroellah mengajar bahasa Melayu pada afdeeling A (Handelschool). RM Notosoeroto juga bekerja untuk majalah Oedaja. Pendiri Indisch Vereeniging di Belanda, 1908

Soetan Casajangan lulus tahun 1911 mendapat akta guru MO (sarjana pendidikan setara lulusan IKIP masa ini). Pada tahun 1911 Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi). Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:


Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

 

..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi, pen).

Soetan Casajangan, guru tetaplah guru. Kata-kata dan kalimatnya tertata dengan baik dan disampaikan dengan santun. Soetan Casajangan tidak hanya terlibat dalam pers (berbahasa Melayu) Indonesia di Belanda, juga tidak melupakan fungsinya sebagai guru dan pendidik. Hal serupa itu tempoe doeloe yang pernah dikatakan kakak kelasnya Dja Endar Moeda bahwa pendidikan dan jurnalistik itu sama pentingnya: sama-sama untuk mencerdaskan bangsa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Indische Vereeniging, Indonesia Vereeniging hingga Perhimpoenan Indonesia: Soetan Casajangan, Soewardi Soerjaningrat, Mohamad Hatta dan FKN Harahap

Soetan Casajangan pada tahun 1913 kembali ke tanah air. Sebelumnya Soetan Casajangan Bersama Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon telah berhasil membentuk dana Pendidikan (Studiefond) yang kemudian lembaga ini diserahkan pengelolaannya kepada Indische Vereeninging sehubungan dengan kepulangan Soetan Casajangan ke tanah air. Juga Soetan Casajangan pada tahun 1913 telah menulis buku yang diterbitkan di Barn oleh percetakan Hollandia-Drukkerij.


Buku Soetan Casajangan berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) setebal 48 halaman yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan), Boedi Oetomo (digagas oleh Wahidin) dan Sarikat Dagang Islam. Buku ini sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Dalam buku ini terang-terangan Soetan Casajangan menyinggung Undang-Undang di Hindia Belanda yang  membatasi konsesi untuk warga pribumi yang mana menurut Soetan Casajangan hanya orang Eropa hak konsesi dapat diberikan sementara penduduk pribumi asli haknya justru dirampas. Lebih lanjut, Soetan Casajangan mengutarakan tuntutan yang sangat mendasar bahwa persamaan di hadapan hukum bagi orang pribumi dan orang Belanda harus dengan segera diwujudkan. Menurut Soetan Casajangan di Belanda sendiri tidak semua orang sifat, tabiat dan kebajikannya sama tapi toh diperlakukan sama di hadapan hukum. Di Hindia Belanda mengapa tidak? Untuk itu, menurut Soetan Casajangan pemerintah Belanda juga harus menyelenggarakannya di bidang pendidikan termasuk pengadaan beasiswa. Dalam buku ini, Soetan Casajangan juga menuntut kepada pihak pemerintah Belanda hal yang sama di bidang penerangan pertanian dan penggalakan perdagangan. Dengan kesamaan hukum tersebut pribumi akan mendapat kemajuan yang sama dengan orang-orang Belanda baik di bidang pendidikan, pertanian maupun perdagangan. Tulisan Soetan Casajangan ini juga mengkritik disparitas harga kopi dimana harga jual kopi lokal hanya dihargai sebesar f40 per pikul sementara harga jual kopi di pasar Eropa berkisar f70-f90 (rata-rata dua kali lipat per pikul).

Pada akhir tahun 1913 tiga pemuda berangkat studi ke Belanda, satu dari Buitenzorg dan dua dari Fort de Kock. Tiga pemuda ini sudah barang tentu telah bertemu dengan Soetan Casajangan, yakni dari Fort de Kock guru muda Dahlan Abdoellah pada bulan Oktober 1913 lalu kemudian disusul oleh Tan Malaka. Yang berangkat dari Buitenzorg adalah Sorip Tagor Harahap, asisten dosen di sekolah kedoteran hewan Vieeartsenschool d Buitenzorg.


Pada tahun ini juga tiba di Belanda Soewardi Soerjaningrat (lihat Bredasche courant, 03-10-1913). Soewardi Soerjaningrat sebelumnya di Bandoeng terlibat dalam kasus Indisch Partij Bersama Dr Tipto Mangoenkoesoemo dan Dr Douwes Dekker. Ketiganya kemudian diisolasi dari Hindia ke Belanda. Dalam perkembanganya di Belanda, Soewardi Soerjaningrat melanjutkan studi keguruan seperti yang pernah diambil oleh Soetan Casajangan. Di Belanda dengan sendirinya Soewardi Soerjaningrat dan tiga rekan baru yang berasal dari Sumatara (Sorip Tagor, Dahlan Abdoellah dan Tan Malaka) menjadi anggota Indische Vereeniging.

Jika membandingkan isi pidato Soetan Casajangan tahun 1911 dan isi bukunya (brosur) yang baru terbit di Barn 1913, sejatinya kurang lebih sama dengan isi pamflet Soewardi dan tulisan-tulisan Tjipto di surat kabar Express pada tahun 1913. Yang membedakannya hanyalah cara mengemas dan menyampaikan. Soetan Casajangan dengan bahasa yang santun dengan nada yang lembut, sementara Tjipto dengan bahasa yang keras, lebih-lebih Soewardi yang cenderung kasar (paling tidak menurut pandangan orang Belanda dan orang-orang SI). Keutamaan Tjipto dan Soewardi di mata orang-orang Belanda bukan karena soal isi dan nada pesan tetapi lebih pada faktor EFE Douwes Dekker yang dapat mengundang simpati dari orang-orang Belanda yang secara langsung dapat menggugah para Indo lebih banyak dan direspon oleh orang Belanda di Belanda yang berhaluan sosial yang pada gilirannya dapat merongrong dan melemahkan otoritas Belanda di Hindia. Soetan Casajangan adalah seorang tokoh kawakan, sementara Soewardi Soerjaningrat baru mengawali. Bukti keduanya berbeda level dan berbeda generasi, Soetan Casajangan telah sadar dari awal, hanya dengan persatoen (melalui organisasi kebangsaan seperti Indische Vereeninging) perjuangan secara gradual dapat direalisasikan. Soetan Casajangan pada tahun 1911 telah menamatkan sarjana Pendidikan (MO), sebaliknya pada tahun 1913 Sowardi Soerjaningrat baru akan memulai Pendidikan guru (LO) yang menjadi syarat untuk mengikuti Pendidikan MO. Yang jelas kini, sejak 1913 di Belanda, Soewardi Soerjaningrat telah menjadi bagian dari Indische Vereeniging.


Cara yang dilakukan Soetan Casajangan tidak dianggap oleh orang Belanda berlebihan sehingga tidak ada kekhawatiran yang mendesak. Singkat kata Soetan Casajangan dengan strategi incremental secara gradual (evolusioner), sedangkan Tjipto dan Soewardi (yang di bawah bayang-bayang Douewes Dekker) dengan strategi radikal dan segera (revolusioner). Perbedaan itu juga ditemukan dalam pamflet Soewardi yang berjudul  ‘Als ik een Nederlander was’ (‘Jika saya seorang Belanda) yang merujuk kepada Douwes Dekker dan Indo lainnya; sedangkan Soetan Casajangan dalam bukunya berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (Negara Hindia dilihat oleh seorang penduduk pribumi) yang merujuk pada dirinya yang mewakili pergerakan (mahasiswa) pribumi. Evolusioner dan revolusioner adalah perbedaan kecepatan tetapi sama-sama menuju tujuan yang sama. Evolusioner bisa sampai ditujuan sangat lama, tetapi revolusioner bisa saja macet di tengah jalan (kekuatan angin yang mendorong perahu kalah dengan gelombang ombak yang menerjang).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar