Kamis, 30 Maret 2023

Sejarah Banyumas (12): Segara Anakan dan Pulau Nusa Kambangan; Teluk Besar Zaman Kuno Jadi Laguna, Susut Sisa Selat Sempit


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Banyak laguna di Indonesia, namun laguna Segara Anakan di wilayah Banyumas sangat mirip dengan laguna (teluk) Manila di Filipina. Laguna Segara Anakan berawal dari teluk besar di zaman kuno, dimana sungai besar Tjitandoey bermuara yang terhalang oleh pulau kapur Nusa Kambangan. Pulau Nusa Kambangan menjadi sabuk pengaman dari badai di teluk dan sungai besar Tjitandoedy menjadi akses navigasi pelayaran perdagangan jauh ke pedamanan (hingga ke Bandjar). Dalam perjalanannya, teluk besar ini berubah menjadi laguna, yang luasnya terus menyusut dari waktu ke waktu.


Segara Anakan adalah sebuah laguna luas yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa di perbatasan antara provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan laguna di antara pulau Jawa dan pulau Nusakambangan di kabupaten Cilacap. Kawasan Segara Anakan merupakan tempat bertemunya 3 (tiga) sungai besar, yaitu sungai Citanduy, sungai Cibereum dan sungai Cikonde. Kawasan ini juga menjadi penghubung pergerakan ekonomi dan sarana transportasi air masyarakat dari Cilacap menuju Pangandaran. Laguna sendiri dalam istilah geografi adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan hanya menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan laut. Segara Anakan merupakan kawasan perairan yang unik, karena didominasi hamparan hutan bakau (mangrove) yang sangat luas. Laguna Segara Anakan secara berkesinambungan mengalami degradasi akibat tingkat pengendapan yang tinggi. Adanya pengendapan pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan. Luas perairan Laguna Segara Anakan tahun 1903 masih 6.450 Ha. Namun tahun 1939, tinggal 6.060 Ha. Sekitar tahun 1971, luas Segara Anakan menyusut lagi menjadi 4.290 ha. Hal ini terus berlanjut hingga tahun 1984, luas laguna hanya 2.906 Ha. Pada tahun 1994, menyusut menjadi 1.575 Ha. Pada tahun 2005, menjadi 834 ha. Dalam kurun waktu 21 tahun terakhir penyusutan laguna 98,6 Ha per tahun. Penumpukan sedimen terutama terjadi pada daerah utara laguna. Bagian selatan laguna bagian cekungan tidak memiliki arus deras tetapi bagian yang mendekati Pulau Nusakambangan berarus deras. Materi sedimen yang masuk dari sungai Citanduy sebesar 8.05 juta ton/tahun, sungai Cimeneng sebesar 0.87 juta ton /tahun dan sungai Cikonde 0,22 juta ton/tahun dengan total pasokan sedimen 9.14 juta ton/tahun. Sekitar 8,5 juta ton/tahun keluar ke laut dan sekitar dan 0,66 juta ton/tahun mengendap di laguna (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah laguna Segara Anakan dan pulau Nusa Kambangan? Seperti disebut di atas, lagunan Segara Anakan mirip laguna di Manila. Hannya saja kawasan laguna Manila menjadi metropolitan. Bagaimana dengan laguna Segara Anakan? Yang jelas laguna berawal dari teluk zaman kuno di sebelah utara Pulau Nusa Kambangan. Lalu bagaimana sejarah laguna Segara Anakan dan pulau Nusa Kambangan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Banyumas (11): Serayu dan Tsiraija, Tjirajoe, Seraijoe dan Sungai Cartanagara di Banjoemas; Air Mangalir, DiengSampaiJauh


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Kini sungai Serayu. Sungai yang sama mungkin telah silih berganti nama: Tsiraija, Tjirajoe, sungai Banjoemas dan sungai Cartanagara. Nama sungai tergantung sudut pandang: dari pedalaman di pegunungan dapat berbeda dari pesisir dan lautan. Seperti sungai-sungai lainnya, sungai Serayu sendiri kini menjadi jauh lebih panjang dibanding pada masa lampau. Mengapa? Yang jelas air sungai Serayu mengalir dari gunung Dieng menjadi jauh hingga mendekati pulau Nusa Kambangan.

 

Sungai Serayu atau Bengawan Serayu di Jawa Tengah, membentang dari timur laut ke barat daya 181 Km, melintasi lima kabupaten: Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. berada di lereng gunung Prahu di wilayah (pegunungan) Dieng kabupaten Wonosobo. Kemungkinan, nama Serayu dari nama sungai Sarayu dalam wiracarita Ramayana (sungai dekat Ayodya, kota tempat kelahiran Raden Rama Regawa tokoh utama kisah Ramayana). Kali Serayu debit air yang besar, di hulu Banjarnegara 656 M³/detik. Dengan banyak sungai bermuara k eke Serayu, di hilir debit menjadi 2.866 M³/det dan 2.797 m³/det di Banyumas dan di Rawalo. Sungai Serayu dibendung 10 Km di barat kota Banjarnegara yang dikenal Waduk Mrica/Mrican luas genangan 12 Km² dimanfaatkan irigasi dan PLTA Mrica berkapasitas 184,5 MW. Kelestarian perairan Kali Serayu terutama terancam sedimentasi, diakibatkan erosi tanah, terutama yang terjadi di wilayah dataran tinggi Dieng. Nama Serayu pernah menjadi nama maskapai kereta api lembah Serayu (Serajoedal Stoomtram Maatschappij) masa Pemerintah Hindia Belanda sejak 1891 menyusuri lembah sungai Serayu menghubungkan kota-kota Maos, Purwokerto, Sokaraja, Purbalingga, Banjarnegara dan Wonosobo. Pada masa ini PT KAI mengoperasikan KA Serayu kelas ekonomi AC dari Purwokerto ke Pasar Senen di Jakarta via Kroya, Maos, Tasikmalaya, Bandung dan Purwakarta (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah sungai Serayu, Tsiraija, Tjirajoe, sungai Banjoemas dan sungai Cartanagara? Seperti disebut di atas, sungai Serayu telah silih berganti nama sejak zaman kuno. Sungainya terus memanjang. Mengapa? Yang jelas air sungai Serayu mengalir dari gunung Dieng hingga jauh mendekati pulau Nusa Kambangan. Lalu bagaimana sejarah sungai Serayu, Tsirajoe, Si Raja, sungai Banjoemas dan sungai Cartanagara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 29 Maret 2023

Sejarah Banyumas (10): Awal Pemerintahan Banyumas Era Pemerintah Hindia Belanda; Dinasti Monarki hingga Republik Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Pemerintahan yang ada sekarang di wilayah eks residentie Banyumas, secara modern pada dasarnya baru terbentuk secara legalitas (hukum formal) sejak era Pemerintah Hindia BelandaSragen memiliki). Bagaimana awal terbentuknya, yang jelas pada akhirnya dibentuk pemerintahan setingkat residentie yang dipimpin oleh Residen. Lalu selanjutnya pemerintahan di wilayah Banyumas berkembang dari waktu ke waktu hingga hari ini.


Sejak tanggal 22 Juni 1830, daerah Mancanegara Kulon (Banyumasan) dibawah kontrol Pemerintah Hindia Belanda. Awal koloni Belanda akhir pendudukan Mataram. Selanjutnya, adipati di wilayah Banyumasan dipilih dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dari kalangan penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat Adipati terakhir (era Gubernur Jenderal Johannes Graaf van den Bosch 1830-1833). Persiapan pembentukan pemerintahan di wilayah Banyumasan dilakukan oleh Residen Pekalongan. Hallewijn (tiba di wilayah Banyumasan 13 Juni 1830) dengan dibantu antara lain oleh Vitalis sebagai administrator dan Kapiten Tak sebagai komandan pasukan. Cakupan wilayah Banyumasan meliputi Kebumen, Banjar (Banjarnegara), Panjer, Ayah, Prabalingga (Purbalingga), Banyumas, Kroya, Adiraja, Patikraja, Purwakerta (Purwokerto), Ajibarang, Karangpucung, Sidareja, Majenang sampai ke Daiyoe-loehoer (Dayeuhluhur) termasuk juga di dalamnya tanah-tanah Perdikan (daerah Istimewa) seperti Donan dan Kapungloo. Akhirnya diresmikan pendirian Karesidenan Banyumas yang meliputi sebagian besar wilayah mancanegara kulon, selanjutnya tanggal 1 November 1830 de Sturler dilantik sebagai Residen Banyumas pertama. Dalam beslit 18 Desember 1830, karesidenan Banyumas diperluas dengan dimasukkannya Distrik Karangkobar (Banjarnegara, terletak di dekat Dieng), pulau Nusakambangan, Madura (sebelumnya termasuk wilayah Cirebon, sekarang termasuk dalam wilayah Wanareja, Cilacap) dan Karangsari (sebelumnya termasuk wilayah Tegal) (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah pemerintahan di Banyumas era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, perkembangan pemerintahan secara formal (legal hukum) di wilayah Banyumas baru dimulai di awal era Pemerintah Hindia Belanda. Era dinasti raja (kerajaan) masa lalu, era re-publik Indonesia masa kini. Lalu bagaimana sejarah pemerintahan di Banyumas era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Banyumas (9): Populasi Penduduk Banyumas: Asal Usul Penduduk Asli dan Peradaban di Banyumas dari Masa ke Masa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Setiap wilayah memiliki populasi penduduk. Setiap populasi penduduk memiliki asal-usul sendiri. Setiap penduduk asli memiliki perkembangan peradaban sendiri. Namun yang sulit dijawab seberapa tua penduduk asli, bagaimana perkembangan peradabannya dari masa ke masa. Tentu saja ada warga pendatang yang melebur dengan penduduk asli yang kemudian membentuk populasi penduduk baru dengan peradaban yang lebih baru. Demekian selanjutnya hingga kehadiran orang Eropa/Belanda.

 

Jawa Banyumasan (Ngoko: Wong Jawa Banyumasan; Krama: Tiyang Jawi Toyajenean, Indonesia: Orang Jawa Banyumasan) adalah etnis Jawa di Jawa Tengah bagian barat. Sedikit berbeda budaya, bahasa dan karakter dari etnis Jawa umumnya, lebih dikenal dengan sebutan wong ngapak (logatnya yang ngapak). Wilayah yang mengitari gunung Slamet dan sungai Serayu, dipimpin oleh keluarga Wiryodiharjo. Wilayah Banyumasan terdiri dari eks karesidenan Banyumas yang meliputi; Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas. Walaupun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat-istiadat dan logat bahasa, tetapi secara umum daerah-daerah tersebut dapat dikatakan "sewarna", yaitu sama-sama menggunakan Bahasa Jawa Dialek Banyumasan. Pada awal masa kerajaan Hindu-Buddha, wilayah Banyumasan pengaruh Kerajaan Tarumanagara di barat dan Kerajaan Kalingga di timur dengan Sungai Cipamali sebagai batas alamnya. Singkatnya jelang berakhir kejayaan kerajaan Pajang dan berdirinya Kesultanan Mataram (1587), Adipati Wargo Utomo II menyerahkan kadipaten Wirasaba ke saudara, lalu membentuk kadipaten baru Banyumas menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati Marapat.Setelah pusat kadipaten dipindahkan ke Sudagaran kadipaten-kadipaten di wilayah Banyumasan tunduk pada Mataram.tetapi masih memiliki otonomi dan penduduk Mataram menyebut wilayah Mancanegara Kulon (antara Bagelen (Purworejo) sampai Majenang (Cilacap) (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah populasi penduduk Banyumas? Seperti disebut di atas, wilayah Banyumas adalah wilayah peradaban tua. Namun seberapa tua sulit diketahui secara pasti. Yang jelas asal usul penduduk asli Banyumas adalah perkembangan peradaban Banyumas itu sendiri dari masa ke masa. Lalu bagaimana sejarah populasi penduduk Banyumas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 28 Maret 2023

Sejarah Banyumas (8): Tradisi Temurun di Wilayah Banyumas; Adat Istiadat Arsitektur Sastra Musik Tarian Wayang dan Lainnya


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Tradisi adalah kebudayaan dalam skala mikro pada wilayah yang terbatas. Sebagaimana bahasa, tradisi juga diturunkan (secara turun temurun). Tradisi yang turun temurun di wilayah eks Residentie Banjoemas yang dapat dibedakan di wilayah budaya Jawa dan di wilayah budaya Sunda. Ini mengindikasikan (ke)budaya(an) Banyumasan bersifat khas. Tradisi khas secara turun temurun.

 

Budaya Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah (akarnya percampuran budaya Jawa dan Sunda). Diantara seni pertunjukan yang terdapat di Banyumas antara lain: Wayang kulit gagrag terdapat dua gagrak (gaya), yakni Gragak Kidul Gunung dan Gragak Lor Gunung. Wayang kulit gragak bernapas kerakyatannya. Begalan, seni tutur tradisional pada upacara pernikahan. Musik tradisi Banyumas memiliki kekhasan dengan musik Jawa lainnya, di antaranya: Calung, alat musik terbuat potongan bambu melintang dan dimainkan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumas yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan Jawa, terdiri gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendang. Ada juga Gong Sebul karena bunyi dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan cara ditiup terbuat bambu ukuran besar, Aransemen musikal disajikan berupa gending-gending Banyumasan. Kenthongan (tek-tek), alat musik potongan bambu diberi lubang memanjang disisinya dimainkan cara dipukul pakai tongkat kayu. Kenthongan dimainkan dalam kelompok sekitar 20 orang dilengkapi dengan bedug, seruling, kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Bongkel, peralatan musik tradisi sejenis angklung,terdiri empat bilah berlaras slendro. Tarian khas Banyumasan antara lain: Lengger, tarian dua perempuan di tengah pertunjukkan hadir seorang penari laki-laki, yang diiringi musik calung. Sintren, tarian laki-laki mengenakan baju perempuan, melekat pada kesenian ebeg. Aksimuda, kesenian bernapaskan Islam berupa silat yang digabung dengan tari-tarian; Angguk, dan Aplang. Buncis, paduan musik tarian diiringi angklung. Ebeg, kuda lumping diiringi gamelan (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah tradisi turun menurun di wilayah Banyumas? Seperti disebut di atas, budaya atau tradisi turun temurun di wilayah eks Residentie Banyumas berbeda dengan tradisi di wilayah budaya Sunda dan di wilayah budaya Jawa. Tradisi turun termurin antara lain adat istiadat, arsitektur, sastra, musik, tarian, wayang dan lainnya. Lalu bagaimana sejarah tradisi turun menurun di wilayah Banyumas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Banyumas (7): Bahasa di Wilayah Budaya Banyumas; Dialek "Banyumasan" di Batas Budaya Sunda-Jawa di Pantai Selatan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Bahasa menunjukkan bangsa, dialek mengindikasikan suku. Seperti halnya bahasa Batak, bahasa Jawa juga memiliki dialek-dialek. Salah satu dialek bahasa Jawa adalah bahasa/dialek Baanyumasan. Dialek Banyumasan ini tersebar luas di eks Residentie Banjoemas antara lain: Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Gumelar, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Wonosobo, Sumpiuh, Kebumen dan Gombong. Wilayah bahasa ini berada diantara batas buda Sunda dan Jawa di pantai selatan Jawa.

 

Bahasa Jawa Banyumasan, Basa Panginyongan atau Basa Ngapak adalah satu dialek bahasa (Jawa) dituturkan di wilayah eks-Keresidenan Banyumas (Jawa Tengah) plus di kecamatan Lakbok, kabupaten Ciamis (Jawa Barat). Bahasa ini merupakan bahasa digunakan mayoritas Orang Jawa pada peradaban Jawa lama. Disebutkan sebagai bagian dari bahasa Jawa, bahasa Banyumasan mengalami perkembangan: abad ke 9-13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno; abad ke 13-16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan; abad ke 16-20 berkembang menjadi bahasa/dialek Banyumasan (terpisah jauh dengan dialek wetan dan tengah). Perkembangannya dipengaruhi kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang melahirkan tingkatan bahasa atas status sosial. Namun pengaruh budaya feodal tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Masih banyak kosakata bahasa Jawa Kuno di dalam bahasa Banyumasan. Itulah sebabnya berbeda mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar. Sementara itu ada 4 dialek utama bahasa Jawa di bagian barat: Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon - Indramayu (Dermayonan) dan Banten Utara. Dialek Banyumasan dituturkan, antara lain di Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Gumelar, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara Wonosobo, Sumpiuh, Kebumen dan Gombong. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah bahasa di wilayah budaya Banyumas? Seperti disebut di atas di wilayah eks Residentie Banjoemas terdapat dialek bahasa yang kini dikenal bahasa/dialek Banyumasan. Secara khusus dialek Banyumasan ini berada di batas budaya Sunda dan Jawa di pantai selatan Jawa. Lalu bagaimana sejarah bahasa di wilayah budaya Banyumas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.