Selasa, 28 Maret 2023

Sejarah Banyumas (7): Bahasa di Wilayah Budaya Banyumas; Dialek "Banyumasan" di Batas Budaya Sunda-Jawa di Pantai Selatan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Bahasa menunjukkan bangsa, dialek mengindikasikan suku. Seperti halnya bahasa Batak, bahasa Jawa juga memiliki dialek-dialek. Salah satu dialek bahasa Jawa adalah bahasa/dialek Baanyumasan. Dialek Banyumasan ini tersebar luas di eks Residentie Banjoemas antara lain: Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Gumelar, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Wonosobo, Sumpiuh, Kebumen dan Gombong. Wilayah bahasa ini berada diantara batas buda Sunda dan Jawa di pantai selatan Jawa.

 

Bahasa Jawa Banyumasan, Basa Panginyongan atau Basa Ngapak adalah satu dialek bahasa (Jawa) dituturkan di wilayah eks-Keresidenan Banyumas (Jawa Tengah) plus di kecamatan Lakbok, kabupaten Ciamis (Jawa Barat). Bahasa ini merupakan bahasa digunakan mayoritas Orang Jawa pada peradaban Jawa lama. Disebutkan sebagai bagian dari bahasa Jawa, bahasa Banyumasan mengalami perkembangan: abad ke 9-13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno; abad ke 13-16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan; abad ke 16-20 berkembang menjadi bahasa/dialek Banyumasan (terpisah jauh dengan dialek wetan dan tengah). Perkembangannya dipengaruhi kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang melahirkan tingkatan bahasa atas status sosial. Namun pengaruh budaya feodal tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Masih banyak kosakata bahasa Jawa Kuno di dalam bahasa Banyumasan. Itulah sebabnya berbeda mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar. Sementara itu ada 4 dialek utama bahasa Jawa di bagian barat: Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon - Indramayu (Dermayonan) dan Banten Utara. Dialek Banyumasan dituturkan, antara lain di Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Gumelar, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara Wonosobo, Sumpiuh, Kebumen dan Gombong. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah bahasa di wilayah budaya Banyumas? Seperti disebut di atas di wilayah eks Residentie Banjoemas terdapat dialek bahasa yang kini dikenal bahasa/dialek Banyumasan. Secara khusus dialek Banyumasan ini berada di batas budaya Sunda dan Jawa di pantai selatan Jawa. Lalu bagaimana sejarah bahasa di wilayah budaya Banyumas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa di Wilayah Budaya Banyumas; Dialek Banyumasan Batas Budaya Sunda dan Jawa di Pantai Selatan

Sudah beberapa waktu, pada era Pemerintah Hindia Belanda, pemerhati bahasa, khususnya bahasa Jawa menyadari ada perbedaan antara penggunaan bahasa di wilayah (residentie) Banjoemas dengan di residentie tetangga (Bagelen, Kedoe, Jogjakarta dan Soerakarta). Namun itu menjadi perhatian seorang pemerhati bahasa VC Vreede yang mengangap bahasa yang didunakan di wilayah Banjoemas adalah dialek tersediri yang disebut diaclect van Banjoemas (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1884). Perbedaan yang ditunjukkan VC Vreede bersifat gramatikal.


Sejak itu mulai muncul studi-studi lebih lanjut dari bahasa Jawa. Secara linguistic bahasa Jawa yang memiliki aksara sendiri terbilang sangat luas di seluruh pulau Jawa. Studi bahasa Jawa sudah dimulai sejak 1817 ketika Java Instituut dibuka di Soerakarta. Lembaga ini didirikan untuk mengajarkan bahasa Jawa diantara orang Eropa/Belanda sebelum bertugas di lingkungan Jawa yang minim pengaruh bahasa Melayu termasuk di di wilayah Kedoe dan Bagelen. Sejauh ini untuk waktu tertenttu hanya mempelajari bahasa yuang bersifat praktis. Ketika lebih lanjut mulai menarik perhatian ahli bahasa di Belanda, secara linguistic bahasa Jawa dipelajari hingga seorang pemerhati bahasa (Jawa) mulai mengindentifikasi perbedaan dialek di wilayah Banjoemas (dialect van Banjoemas) seperti disebut di atas (VC Vreede). Para penginjil juga mulai berpartisipasi soal dialek ini karena perbedaan dialek itu menjadi komunikasi yang dianggap penting. Perbedaan bahasa (dialek) Jaw aini juga kemudian menjadi menarik perhatian pemerhati bahasa di Pasoeroean dan Malang yang mengindentifikasi ada perbedaan dengan bahasa Jawa standar di Solo (lihat Het Javaansch van Malang-Pasoeroehan, 1900) Dalam pembahasan kemudian juga ditemuk dialect Chirebon serta dialect Djapara dan dialect Tegal (dua yang terakhir oleh AHJO Walbeehm).

VC Vreede dalam analisis bahasa Jawa tidak hanya menggunakan teks semasa, tetapi juga mulai menggunakan teks-teks lama (bahasa Jawa) yang ditulis dalam aksara Jawa tentang ceritra yang sama (wayang) tetapi dengan membandingkan teks yang berasal dari satu tempat dengan tempat yang lain. Pemahaman ini oleh pemerhari bahasa berikutnya dimaksudkan untuk mengidentifikasi perbedaan dialect-dialect bahasa termasuk dalam hal ini dialect Banjoemas (Babad Banjoemas) dengan bahasa Jawa (standar di Soerakarta).


Perkembangan studi bahasa-bahasa terus mendapat perhatian di dalam bahasa Jawa. Perahtian juga ditujukan pada dialek-dialek tertentu termasuk dialek Banjopemas. Pada tahun 1924, pemerhati bahasa BJ Esser menerbitkan makalahnya yang dimuat dalam Verh. Bat. Oen. 1926. 68. Ie stuk dengan judul: ‘Het dialect van Banjoemas, inzonderheid zooals dit inde Regentschappen Poerbolinggo en Poerwokerto gesproken wordt’.

Hasil studi BJ Esser juga telah menjadi perhatian umum sebagaiman diberitakan dalam De locomotief, 10-01-1928. Ini mengindikasikan bahwa dialek Banjoemas tidak hanya telah mendapat pengkuan dari para pemerhati bahasa juga menjadi penting bagi pengetahuan umum. Dialek (bahasa) Banjoemas menemukan tempatnya sendiri dalam bahasa-bahasa asli di Indonesia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dialek Banyumasan Batas Budaya Sunda dan Jawa di Pantai Selatan: Bagaimana Dialek Banyumasan Terbentuk dan Tetap Eksis?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar