Sabtu, 23 September 2023

Sejarah Bahasa (36): Bahasa Sumbawa di Pulau Sumbawa; Tau Samawa - Peradaban Sabalong Samalewa dan Samalewa Samawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Sumbawa atau Samawa adalah suku mendiami wilayah bagian barat dan tengah pulau Sumbawa. Suku Sumbawa menyebut diri mereka sendiri sebagai Tau Samawa (Orang Samawa; Orang Sumbawa) dan menggunakan bahasa Samawa. Pada masa lalu, Suku Sumbawa pernah membangun kerajaan yang kemudian menjadi Kesultanan Sumbawa. Tetangga satu pulau adalah kerajaan Bima.


Bahasa Sumbawa (Samawa) adalah bahasa dituturkan suku Sumbawa di wilayah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Dari segi linguistik, bahasa Sumbawa berkerabat dekat dengan bahasa Sasak dan bahasa Bali. Kedua bahasa ini merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa, yang termasuk dalam satu kelompok "Utara dan Timur" dalam kelompok Melayu-Sumbawa. Dalam bahasa Sumbawa dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulanteh, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangka, Lawen, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar yang merupakan keturunan etnik Bajau berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Sumbawa di pulau Sumbawa? Seperti disebut di atas, bahasa Sumbawa dengan beragam dialek yang memiliki kedekatan dengan Sasak dan Bali. Ap aitu Tau Samawa dan peradaban baru Sabalong Samalewa, Samalewa Samawa. Lalu bagaimana sejarah bahasa Sumbawa di pulau Sumbawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bahasa (35): Bahasa Bima - Aksara di Pulau Sumbawa, Antara Pulau Moyo dan Pulau Sangeang;Kamus Bahasa Bima (1893)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Bima atau Mbojo adalah kelompok etnis mendiami Pulau Sumbawa bagian timur. Istilah "Mbojo" untuk menyebut kata 'Bima' dalam bahasa Bima (nggahi Mbojo), juga sebagai istilah orang Mbojo (dou Mbojo). Orang Bima terdiri kelompok penduduk asli (dou Donggo) dan kelompok orang Bima (dou Mbojo). Dou Donggo di bagian barat teluk, di gunung dan lembah, memiliki kesamaan ciri Sasak Bayan rambut pendek gelombang, keriting, kulit agak gelap. Dou Mbojo di kawasan pesisir pantai, campuran dengan orang Bugis-Makassar dengan ciri rambut lurus.


Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo adalah sebuah bahasa Austronesia yang dipertuturkan oleh Suku Mbojo (masyarakat Bima) di Pulau Sumbawa. Bahasa Bima (Bima-Dompu) memiliki jenis sistem tanda grafis tertentu (aksara) yang disebut dengan aksara Mbojo. Aksara Mbojo memiliki 18 karakter utama. Aksara Mbojo memiliki hubungan kesamaan atau kaitan dengan aksara Bugis. Hal ini menjadi salah satu tanda keterkaitan hubungan sejarah antara daerah Bima dengan Bugis. Aksara Mbojo diperkirakan telah digunakan sejak abad ke-14. Aksara Mbojo digunakan untuk menulis buku dan catatan kerajaan di Kerajaan Bima. Kemudian ketika pada abad ke-17, masyarakat Bima mulai menggunakan bahasa Melayu yang ditulis dengan aksara Arab. Hal ini disebabkan pada saat itu masyarakat Bima telah memeluk agama Islam. Orang Bima (Dou Mbojo), dalam hal memperindah penggunaan bahasa, senantiasa menggunakan pantun kahs Bima atau disebut Patu Mbojo atau Kapatu Mbojo. Sebaran bahasa Bima secara besar terdapat di Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu. Bahasa Bima terdiri dari empat dialek, yaitu: Serasuba; Wawo; Kolo; dan Kore. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Bima dan aksara di Sumbawa, antara pulau Moyo dan pulau Sangeang? Seperti disebut di atas, bahasa Bima dituturkan oleh kelompok populasi orang Bima di teluk Bima. Kamus bahasa Bima (1893). Lalu bagaimana sejarah bahasa Bima dan aksara di Sumbawa, antara pulau Moyo dan pulau Sangeang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 22 September 2023

Sejarah Bahasa (34): Bahasa Muna di Pulau Muna Sulawesi Tenggara; Adakah Tomuna Penghuni Pertama di Kepulauan Nusantara?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Orang Muna adalah mendiami seluruh pulau Muna, dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sebagian besar pulau Buton, pulau Siompu, pulau Kadatua dan kepulauan Talaga di Sulawesi Tenggara. Menurut Sarasin bersaudara Orang Muna yang mereka sebut sebagai Tomuna merupakan penghuni pertama kepulauan Muna bahkan termasuk penghuni pertama kepulauan Nusantara. Sarasin berpendapat bahwa Tomuna di pulau Muna dan Tokea di Sulawesi bagian tenggara (Konawe Utara saat ini) dan Toala di Sulawesi Selatan adalah migrant dari benua Afrika.


Bahasa Muna merupakan sebuah bahasa Austronesia yang utamanya dituturkan di Pulau Muna dan sebagian barat laut Pulau Buton di Sulawesi Tenggara. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa dunia yang terancam punah dengan jumlah penutur yang semakin menurun tiap tahunnya. Bahasa Muna termasuk ke dalam subkelompok Muna–Buton, yang merupakan cabang dari kelompok Celebik dari keluarga bahasa Austronesia. Dalam rumpun Muna–Buton, bahasa Muna merupakan anggota terbesar dari subcabang Munik, yang juga mencakup bahasa-bahasa yang lebih kecil, seperti bahasa Pancana, Kioko, Liabuku, Kaimbulawa, dan Busoa. Bahasa Muna memiliki tiga dialek: (1) bahasa Muna "Standar", yaitu ragam bahasa Muna yang dituturkan di bagian utara serta tengah Pulau Muna, serta di pantai barat laut Pulau Buton; (2) dialek Tiworo, dituturkan di Kecamatan Tikep di barat laut Pulau Muna; (3) dialek Muna Selatan, yang memiliki dua subdialek, yaitu Gumas dan Siompu. Perbedaan antara dialek-dialek ini kebanyakan terbatas pada kosakata, walaupun terdapat pula sedikit perbedaan fonologis. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Muna di pulau Muna Sulawesi Tenggara? Seperti disebut di ataspenutur bahasa Muna di pulau Muna. Bagaimana orang Tomuna penghuni pertama Kepulauan Nusantara? Lalu bagaimana sejarah bahasa Muna di pulau Muna Sulawesi Tenggara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bahasa (33): Bahasa Buton Bahasa Cia-Cia; Introduksi Aksara Hangeul Korea di Pulau Buton Pelanggaran Tradisi Aksara?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat ditemui dengan jumlah yang signifikan di luar Sulawesi Tenggara seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Maluku, dan Papua dikarenakan migrasi orang Buton di akhir tahun 1920-an. Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut.


Bahasa Cia-Cia atau Bahasa Buton Selatan, ialah sejenis bahasa Austronesia yang ditutur di sekitar Kota Baubau di selatan Pulau Buton yang terletak di tenggara Pulau Sulawesi di Indonesia. Pada tahun 2009, bahasa ini menarik perhatian dunia ketika Kota Bau-Bau menerima tulisan Hangeul Korea untuk dijadikan sistem tulisan bahasa Cia-Cia. Pada tahun 2005, ada 80.000 orang penutur bahasa Cia-Cia, 95% di antaranya beragama Islam yang juga berbicara dalam bahasa Wolio. Bahasa Wolio semakin dilupakan sebagai bahasa penulisan kaum Cia-Cia, karena bahasa Indonesia kini diajar dengan abjad Latin di sekolah. Nama bahasa ini berasal dari perkataan cia yang berarti tidak.[1] Cia-Cia juga disebut bahasa Buton, Butung, atau Boetoneezen (dari bahasa Belanda), bersama dengan bahasa Wolio, dan bahasa Buton (atau Butung) Selatan. Keadaan bahasa di pulau Buton rumit sekali dan kurang dipahami secara teliti. Dulunya, bahasa Cia-Cia menggunakan sejenis abjad Arab bernama "Gundul" yang tidak memakai tanda untuk bunyi vokal. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Buton Bahasa Cia-Cia? Seperti disebut di atas, bahasa Buton atau bahasa Cia-Cia di pulau Buton. Introduksi tulisan Hangeul dari Korea di pulau Buton pelanggaran tradisi aksara? Lalu bagaimana sejarah bahasa Buton Bahasa Cia-Cia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 21 September 2023

Sejarah Bahasa (32): Bahasa Mandar, Barat Sulawesi; Afdeeling Mandar Tempo Doeloe Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Mandar adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Barat, serta sebagian Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Populasi Suku Mandar dapat ditemui Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa dan Sumatra bahkan sampai ke Malaysia. Pada masa ini penutur bahasa Mandar juga angkanya akan lebih dari 350.000 jiwa di tiga kabupaten, Majene, Polewali Mandar dan Mamuju.


Bahasa Mandar adalah bahasa suku Mandar, yang tinggal di provinsi Sulawesi Barat, tepatnya di Kabupaten Mamuju, Polewali Mandar, Majene dan Pasangkayu. Di samping di wilayah-wilayah inti suku ini, mereka juga tersebar di pesisir Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Bahasa ini bagian dari kelompok Utara dalam rumpun bahasa Sulawesi Barat dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Mandar di Sulawesi Barat? Seperti disebut di atas, bahasa Mandar kini berpusat di (provinsi) Sulawesi Barat. Tempo doeloe wilayah afdeeling Mandar (Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa). Lalu bagaimana sejarah bahasa Mandar di Sulawesi Barat? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bahasa (31): Bahasa Bajau Orang Bajau Nomaden di Laut; Sabah Kalimantan Sulu Sulawesi Klang Barat Semenanjung


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Bajau atau Suku Sama adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah.


Rumpun Bahasa Sama-Bajau adalah sebutan untuk rumpun bahasa yang digunakan oleh masyarakat Suku Bajau terutama di wilayah pesisir kepulauan Indonesia bagian timur, kepulauan Filipina bagian selatan serta Sabah dan Lembah Klang, Malaysia. Bahasa Bajau termasuk dalam rumpun bahasa Barito Raya, dengan posisinya dalam rumpun bahasa tersebut adalah sebagai berikut: Bahasa Inabaknon (Filipina) dan Rumpun bahasa Sulu-Borneo (7 bahasa), yang pada gilirannya dibagi dalam kelompok berikut: (1) Bahasa Bajau: (a) bahasa Bajau Indonesia (Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur); (b) bahasa Bajau Pantai Barat (Sabah); dan (c) bahasa Mapun (Filipina); (2) Bahasa Sama Kepulauan Sulu Dalam: (a) bahasa Balangingi (Filipina), (b) bahasa Sama Tengah (Filipina) dan; (c) bahasa Sama Selatan (Filipina); (3) Bahasa Sama Pangutaran (Filipina). (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Bajau Orang Bajau nomaden di laut? Seperti disebut di atas bahasa Bajau adalah bahasa Orang Bajau yang tersebar di berbagai wilayah. Orang Bajau tersebar dari Klang Barat Semenanjung, Sabah, Sulu, Kalimantan dan Sulawesi serta Indonesia Timur. Lalu bagaimana sejarah bahasa Bajau Orang Bajau nomaden di laut? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.