Jumat, 25 Oktober 2019

Sejarah Jakarta (59): Bahasa Betawi dan Bahasa Melayu; Dalam Khasanah Bahasa Nusantara, Tidak Ada Tata Bahasa Betawi?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Betawi sudah sejak lama diakui sebagai bahasa etnik. Bahasa yang kini setara dengan bahasa-bahasa etnik di Indonesia seperti bahasa Jawa, bahasa Madura dan bahasa Sunda. Tiga bahasa yang disebut terakhir tidak mirip bahasa Betawi, tetap bahasa Betawi mirip bahasa Melayu. Yang memiliki kedekatan dengan bahasa Melayu tidak hanya bahasa Betawi, juga antara lain bahasa Minangkabau, bahasa Ambon dan bahasa Aceh.

Bataviaasch nieuwsblad, 10-10-1902
Bahasa Melayu di nusantara (baca: Indonesia) tentu saja sudah lama keberadaannya. Bahkan bahasa Melayu sudah digunakan dalam perdagangan kuno seperti di Baros dan Palembang. Sebagai bahasa tertua dalam perdagangan, maka bahasa Melayu dengan sendirinya menjadi lingua franca di nusantara. Bahasa lingua franca di benua Amerika antara lain adalah bahasa Spanyol, bahasa Portugis, bahasa Inggris dan bahasa Prancis. Lantas mengapa bukan bahasa India atau bahasa Cina yang menjadi lingua franca di nusantara?. Bahasa Melayu, sebagai bahasa lingua franca, kelak menjadi dasar dalam pembentukan bahasa Indonesia.

Bahasa Betawi, penggunaannya hanya terbatas di wilayah Batavia (baca: Jakarta), seperti halnya bahasa Ambon terbatas di Ambon. Pada masa kini penyebaraan penggunaan bahasa Betawi tidak hanya di Jakarta tetapi juga di Bekasi, Tangerang dan Depok. Wilayah-wlayah yang overlap dengan pengguna bahasa Sunda. Di wilayah Jakarta sendiri pengguna bahasa terbanyak adalah bahasa Indonesia. Pengguna bahasa terbanyak kedua di Jakarta adalah bahasa Jawa. Namun dari segi asal-usul penutur di Jakarta ada perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Lalu seberapa dekat bahasa Betawi dengan bahasa Indonesia? Jika tata bahasa Melayu telah disusun oleh Charles Adrian van Ophuijsen, lantas mengapa tidak pernah ada penyusunan tata bahasa Betawi?

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kamus dan Tata Bahasa Melayu: Inspirasi Charles Adriaan van Ophuijsen

Kamus awalnya adalah alih bahasa. Sebelum kehadiran orang Eropa, tidak ada tiketahui kamus yang ditulis. Kamus pertama yang dapat ditelusuri adalah kamus bahasa Melayu dengan bahasa Belanda yang disusun oleh Frederik de Houtman (yang diselesaiakan di Atjeh dan dipublikasikan di Eropa pada tahun 1603). Bentuk awal kamus ini, disusun sendiri oleh Frederik de Hutman di Madagaskar (sebelum ekspedisi Cornelis de Houtman tiba di nusantara). Frederik de Houtman adalah adik dari Coenelis de Houtman yang memimpin ekspedisi pertama Belanda ke Nusantara (1595-1597). Orang yang pertama secara akademis menyusun bahasa Melayu dan tata bahasa Melayu adalah Charles Adrian van Ophuijsen.

Kamus Melayu yang diterjemahkan ke bahasa Belanda ini secara terus menerus dilengkapi. Orang Inggris juga menyusun kamus bahasa Melayu-Inggris yang kemudian diperkaya oleh William Marsden (dan diterbirkan pada tahun 1811). Kamus-kamus yang dikembangkan inilah kemudian menjadi dasar bagi Charles Adrian van Ophuijsen untuk menyusun (kamus) bahasa Melayu dan tata bahasa Melayu (yang diterbitkan pada tahun 1903). 

Ketertarikan Charles Adrian van Ophuijsen terhadap bahasa Melayu dan tata bahasa Melayu bukan di wilayah Melayu, melainkan di wilayah Batak, tepatnya di wilayah Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan). Ini bermula ketika Charles Adrian van Ophuijsen jatuh cinta kali pertama terhadap bahasa Batak pada tahun 1875. Kelak pada tahun 1908, orang yang pertama kali mengajar bahasa Melayu dan tata bahasa Melayu di Universiteit Leiden adalah Charles Adrian van Ophuijsen sendiri yang dibantu oleh guru yang berasal dari Mandailing dan Angkola, yakni Soetan Casajangan. Charles Adrian van Ophuijsen memulai karir di Afdeeling Mandailing en Angkola.

Pada bulan November 1876 Charles Adrian van Ophuijsen yang baru pulang dan studi di Belanda ditempatkan sebagai pegawai rendah di kantor Gubernur Sumatra’s Westkust di Padang (Charles berangkat ke Belanda pada usia delapan tahun). Sebulan kemudian Charles diangkat sebagai panitera dan ditempatkan di kantor Controleur di Panjaboengan, Afdeeling Mandheling en Ankola. Di tempat baru ini Charles juga merangkap sebagai postkommies, juru sita dan petugas catatan sipil. Saat penempatan Chrales ini, penduduk Mandailing en Angkola masih membicarakan Willem Iskander yang belum lama meninggal di Belanda pada tanggal  pada tanggal 8 Mei 1876 pada d usia 36 tahun (Algemeen Handelsblad, 21-05-1876). Sati Nasution alias Willem Iskander adalah kepala sekolah guru (Kweekschool) di Tanobato di Mandailing en Angkola, sekolah yang didirikannya pada tahun 1862. Willem Iskander berangkat studi ke Belanda tahun 1857 adalah pribumi pertama yang bersekolah jauh ke negeri Belanda. Sepeninggal Willem Iskander sebuah buku terkenal yang dihasilkannya adalah sebuah buku kumpulan puisi dan prosa yang berjudul Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk.

Dalam kehadirannya di Panjaboengan, Afdeeling Mandailing en Angkola, waktu Charles Adrian van Ophuijsen lebih banyak dimanfaatkan untuk belajar bahasa dan sastra Melayu dan bahasa dan sastra Batak daripada tugas utamanya sebagai pegawai pemerintah. Lambat laun Charles Adrian van Ophuijsen mulai nyaman dengan pekerjaan sampingan sebagai pembelajar bahasa dan sastra dan sebaliknya tugas sebagai pegawai administrasi pemerintah mulai tidak bersemangat. Satu kejadian tidak terduga ketika Gubernur Jenderal berkunjung ke Afdeeling Mandailing dan Angkola pada tahun 1878, Gubernur Jenderal mendapat laporan bahwa Charles Adrian van Ophuijsen sangat menyukai bahasa dan sastra. Sehubungan dengan kekurangan guru di sekolah guru di Hindia, sang Gubernur Jenderal yang saat itu tengah berada di Panjaboengan menawarkan kepada Charles Adrian van Ophuijsen untuk menjadi guru. Charles Adrian van Ophuijsen menyambutnya dengan antusias. Inilah awal karir baru Charles Adrian van Ophuijsen. Di dalam tempat sunyi di pedalaman, Charles Adrian van Ophuijsen dalam bahasa dan sastra bersemi di Panjaboengan, tempat kelahiran sastrawan besar pribumi bernama Sati Nasution alias Willem Iskander.

Dengan makalah yang telah disusun di Panjaboengan, Charles Adrian van Ophuijsen berangkat ke Padang untuk memenuhi undangan suatu komite yang dibentuk untuk menguji kemampuan Charles Adrian van Ophuijsen. Dalam ujian yang diberikan dengan makalah yang terpuji, Charles Adrian van Ophuijsen dinyatakan lulus sebagai kandidat guru pada bulan Mei 1879.

Pada bulan ini juga, Kweekschool Padang Sidempoean dibuka yang mana sebagai direktur adalah Mt. Harmsen. Saat register jumlah siswa yang diterima terdapat sebanyak 22 siswa yang berasal dari seluruh Tapanoeli. Dalam pembukaan ini turut hadir Residen Tapanoeli di Sibolga, Asisten Residen Mandailing en Angkola di Padang Sidempoean dan para pejabat tinggi di Sibolga serta para pejabat dan para tokoh adat di seluruh Afdeeling Mandailing en Angkola. Yang memberi kata sambutan dari kaum adat diwakili oleh Mangaradja Soetan, Koeria Bataoenadoea. Mangaradja Soetan adalah alumni pertama sekolah guru Tanobato yang diasuh oleh Willem Iskander.  

Charles tampaknya kecele, ingin ke Padang Sidempoean, malah pada bulan Desember tahun itu juga justru ditempatkan ke Kweekschool Probolinggo untuk mengajar Bahasa Melayu. Pemahaman Charles tentang bahasa Melayu dan fasih menggunakannya diperoleh di Mandailing. Tulisannya yang berjudul 'Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Kehidupan Kekeluargaan Orang Batak) dipublikasikan pada tahun 1879. Walau begitu Charles tetap respek, malah pada Mei 1880 Charles diangkat sebagai anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (semacam perhimpunan ilmu dan pengetahuan) di Batavia. Lembaga ini menemukan seorang yang berprofesi guru sebagai peneliti muda yang paling menjanjikan. Sementara sebagai guru permanen, baru diperolehnya pada bulan Oktober 1881 setelah mengikuti dan lulus ujian di Djawa pada bulan Mei sebelumnya. Sejak November 1881, Charles atas pertimbangan karena bakat yang luar biasa, dia dibebaskan dari uang iuran anggota perhimpunan.

Setelah bertugas di Kweekschool Probolinggo selama dua tahun, kemudian Charles dipindahkan ke Kweekschool Padang Sidempoean, ibukota Afdeeling Mandheling en Ankola (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 02-12-1881). Ini berarti, Charles akan kembali ke daerah dimana dia pertama kali bekerja sebagai PNS selama tiga tahun di kantor Controleur di Panjaboengan, Onderfadeeling Groot Mandheling—situs dimana dia pertama kali melakukan studi bahasa dan masyarakat dan tempat dimana Charles menjadi fasih berbahasa Batak dan bahasa Melayu.

Charles Adrian van Ophuijsen dipindahkan ke sekolah guru di Padang Sidempoean seakan kembali ke rumah. Selain ingin mengembangkan studi bahasa dan sastra Batak, Charles Adrian van Ophuijsen juga akan mempelajari bahasa dan sastra Melayu di daerah non-Melayu di Padang Sidempoean, ibukota baru Afdeeling Mandailing dan Angkola. Setelah semua urusan di Probolinggo selesai CA van Ophuijsen ingin segera ke Padang Sidempoean untuk mengajar dan sekaligus melakukan riset di afdeeling dimana dia memulai pertama kali melakukan pengumpulan bahan-bahan riset bahasa dan sastra. Dengan bekal sebagai beslit guru dan kartu anggota lembaga ilmu pengetahuan, dan selama di Probolinggi Charles tidak sempat lagi mengumpulkan bahan-bahan karena sibuk dengan analisis dan penulisan. Kini, Charles kembali ke laboratorium alamnya di Mandheling en Ankola, Rasidentie Tapanoeli. CA van Ophuijsen adalah anak dari JWH van Ophuijsen, pendiri sekolah guru di Fort de Kock. Like father, like son.

Guru tetaplah guru, tapi Charles juga melihat hal yang lain diluar tupoksi seorang guru. Dengan menyadari dan semakin intens dengan pelajaran Bahasa Melayu, Charles mengktitisi prakteknya dengan membuat catatan (pertanyaan dan komentar) tentang penggunaan Bahasa Melayu. Tulisannya tentang hal itu kemudian diterbitkan dalam De Indische Gids edisi 1882. Dengan tulisan ini kemampuan riset Charles menjadi bahan pembicaraan di kalangan akademisi Belanda di Nederlansche Indie. CA van Ophuijsen meneliti di Mandheling en Ankola dan menulis di Padang Sidempoean tempat terpencil di pedalaman Sumatra, tetapi publisitasnya bergaung besar di Batavia.

Sudah barang tentu, selama di Afdeeling Mandailing en Angkola, CA van Ophuijsen telah mengetahui buku kamus dan buku tata bahasa Batak yang ditulis oleh Mr. van der Tuuk, Ph.D tahun 1857 (saat keberangkatan Willem Iskander pergi studi ke Belanda). Buku kamus dan tata bahasa Batak ini yang digunakan oleh Willem Iskander di sekolah guru Tanobato dan tetap digunakan oleh para eks murid-muridnya yang kini menjadi guru. Kamus dan tata bahasa Batak adalah yang pertama disusun secara akademis di nusantara. Selama di Padang Sidoempoean, menurut C. Snouck Hurgronje dalam memoirnya bahwa CA van Ophuijsen bagaikan seorang profesor fisika atau mata pelajaran medis, yang memiliki asisten laboratorium yang terampil dan satu pilihan co-siswa yang sesuai. Itulah dunia van Ophuijsen di Padang Sidempoean. Satu orang yang disebut co-siswa (asisten) ini adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, anak Mangaradja Soetan di Padang Sidempoean. Like father, like son.

Tanpa perlu diceritakan panjang lebar, kamus dan tata bahasa Batak inilah yang menjadi inspirasi bagi, CA van Ophuijsen untuk mulai menyusun kamus dan tata bahasa Melayu. CA van Ophuijsen, sejak ditempatkan sebagai guru di Kweekschool Padang Sidempoean pada tahun 1881 berlangsung secara terus menerus selama delapan tahun, yang mana lima tahun terakhir CA van Ophuijsen sebagai Direktur Kweekschool Padang Sidempoean, CA van Ophuijsen berhenti sebagai direktur sekolah karena pada tahun 1889 diangkat sebagai Direktur Pendidikan Pribumi di Province Sumatra’s Westkust.

Kamus dan Tata Bahasa Betawi

Sebelum adanya buku tata bahasa Melayu, sudah terbit sejumlah kamus dan tata bahasa lainnya di Nusantara. Selain tata bahasa Batak yang pertama, muncul tata bahasa Lampong, Bali dan tata bahasa Jawa. CA van Ophuijsen yang menjadi Direktur Pendidikan Pribumi di Province Sumatra’s Weskut (dari Bengkoelen hingga Singkil, termasuk Tapanoeli) dan sebagai anggota tetap lembaga ilmu pengetahuan terus memperkaya dan mendalami bahasa dan tata bahasa Melayu. Akhirnya CA van Ophuijsen menerbitkan kamus dan tata bahasa Melayu (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-10-1902). Buku ini sangat dipuji oleh berbagai media karena sangat baik untuk sekolah pribumi dan juga dianjurkan bagi orang Eropa yang ingin belajar bahasa Melayu. Bekal inilah yang kemudian mengantarkan CA van Ophuijsen untuk diangkat sebagai guru besar (Profesor) bahasa dan tata bahasa Melayu di Universiteit Leiden.

Pada bulan Maret 1904 CA van Ophuijsen diberitakan mengundurkan diri sebagai Direktur Pendidikan Pribumi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 04-03-1904). Tidak lama kemudian juga diketahui bahwa guru pribumi di Padang Sidempoean, Soetan Cesajangan meminta dan memperoleh pengunduran dirinya agar dapat berlayar ke Eropa bulan berikutnya untuk melanjutkan studi di Belanda dengan biaya sendiri (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant,        26-07-1904). Setelah CA van Ophuijsen berangkat ke Belanda lalu menyusul Soetan Casajangan dari Batavia 5 Juli 1905 dan tiba di Rotterdam 30 Juli 1905 (lihat manifest keberangkatan kapal Prinses Juliana Batavia-Amsterdam yang dimuat di koran Belanda yang terbit di Amsterdam tanggal 5 Juli 1905). Sehari setelah tiba di Belanda, Soetan Casajangan menemui CA van Ophuijsen di rumahnya di Leiden.

Dalam konteks inilah bahasa Betawi yang telah lama tumbuh dan berkembang dapat dihubungkan dengan keberadaan kamus dan tata bahasa Melayu. Seperti disebutkan di atas, kamus dan tata bahasa Melayu telah diterbitkan pada tahun 1902.

Ilmu dan pengetahuan itu tidak berjauhan tetapi saling berdekatan satu sama lain sehingga saling mempengaruhi (bersifat relasional). Ilmu dan pengetahuan itu tidak muncul tiba-tiba. Ilmu dan pengetahuan itu tumbuh dan berkembang diantara yang berdekatan dan berlangsung secara terus menerus. Kehadiran CA van Ophuijsen tidaklah ujug-ujug. Demikian juga kamus dan tata bahasa Melayu tidak pula muncul ujug-ujug. Sangat naif itu semua dikatakan hanya ujug-ujug. Azas berdekatan dan saling berpasangan (bersifat kolegial) dalam perjalanan waktu (time-series) secara kontekstual adalah format (sistem) ilmu pengetahun. Banyak ahli sejarah (sejawaran) mengabaikan azas ini dalam penulisan sejarah, termasuk sejarah tata bahasa di Nusantara.

Bahasa Betawi haruslah dapat ditrace ke masa lampau. Bahasa Betawi belumlah lama, tetapi sebaliknya bahasa Melayu sudah ada sejak jaman kuno. Kamus bahasa Betawi paling tidak sudah diterbitkan pada tahun 1868. Kamus bahasa Betawi ini diberi judul ‘De Djoeroe basa Betawi’ yang diterbitkan oleh HM van Dorp. Bahasa Betawi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda tersebut, sangat mirip dengan bahasa Melayu.

Untuk sekadar gambaran tentang isi kamus Betawi-Belanda ini dapat dicatat sebagai berikut. Tentu saja tidak ditemukan kata ‘gue/gua’ sebab yang entri yang ada alah ‘akoe’; tidak ada babeh, yang ada bapa. Yang sudah eksis misalnya kata bangor, bonyok, emper, enteng, goblok, ogah, omong, uber dan udut. Selain kata/entri yang sma dengan bahasa Melayu juga terdapat bahasa serapan dari bahasa Jawa dan bahasa Soenda. Secara umum bahasa (kosa kata) Betawi sangat mirip kosa kata (bahasa) Melayu

Bahasa Betawi (yang terbentuk kemudian) overlap dengan bahasa Melayu. Jika terus ditrace ke belakang bahasa Melayu (yang terbentuk kemudian) overlap dengan bahasa Sanskerta. Sebagai bahasa pengantar (lingua franca), bahasa Melayu tidak hanya digunakan oleh orang-orang Melayu tetapi juga dengan sendirinya bahasa yang mau tidak mau harus dipelajari dan dikuasai oleh orang Eropa ketika mereka berada di nusantara.

Para penutur asli bahasa Melayu dapat dikatakan sebagai orang (etnik) Melayu. Di berbagai tempat di nusantara, selain di Sumatra, komunitas orang Melayu diantaranya terdapat di Ambon, Makassar, Soerabaja, Semarang, Banten dan Chirebon, serta pelabuhan-pelabuhan kecil yang dianggap penting diantara Banten dan Chirebon seperti Tanara, Tangerang, (Soenda) Kalapa, Krawang dan Indramajoe. Orang-orang Melayu sendiri selain banyak yang menjadi pedagang antar pulau yang piawai dan bermukim di berbagai tempat orang-orang Melayu umumnya sebagai nelayan dan berdiam di antara selat antara Sumatra dan Semenanjung.

Orang-orang Eropa (sejak era Portugis) yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam hubungannya dengan perdagangan yang dilakukan menyebabkan bahasa Melayu menjadi kerap digunakan di bandar-bandar yang ada di sepanjang pantai. Orang Portugis yang berbasis di Malaka (daerah yang menggunakan bahasa Melayu) banyak dibantu oleh orang-orang Melayu dalam perdagangan ke tempat yang jauh seperti Maluku dan Jawa,

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar