Minggu, 22 Agustus 2021

Sejarah Makassar (37): Suku Makki Jantung Pulau Sulawesi, Bukan Terbelakang Tetapi Tertinggal; Toraja, Mamasa, Mamuju, Seko

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Suku Makki di jantung pulau Sulawesi, bukanlah penduduk terbelakng tetapi penduduk yang sangat tertinggal. Populasinya yang sedikit menyebabkan upaya mereka mengejar kemajuan sangat lambat. Wilayah geografis suku Makki yang benar-benar berada di pedalaman, jantung pulau Sulawesi sangat tergantung pada penduduk orang Toraja, orang Mamasa, orang Mamuju dan orang Seko yang memiliki akses ke dunia luar.

Wilayah provinsi Sulawesi Selatan terdiri banyak suku, populasi yang terbanyak adalah Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Pada tahun 2004 provinsi Sulawesi Selatan dimekarkan dengan membentuk provinsi Sulawesi Barat yang kini terdiri dari enam kabupaten (Mandar, Majene, Mamasa, Mamuju, Mamuju Tengah dan Pasangkayu). Suku-suku yang terdapat di provinsi Sulawesi Barat cukup banyak. Populasi terbanyak adalah Mandar (49,15%), Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan suku lainnya (19,15%). Suku-suku lainnya yang populasinya sedikit antara lain Mamasa dan Mamuju. Populasi yang lebih sedikit diantaranya Baras, Benggaulu dan Makki. Wilayah penduduk Makki ini berada di lereng gunung Gondangdewata yang juga berbatasan dengan suku Seko.

Lantas bagaimana sejarah suku Makki di jantung pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas keberadaan penduduk Makki kurang terinformasikan. Hal itu karena populasinya yang sedikit dan berada diantara suku-suku yang populasinya lebih banyak. Posisi GPS yang berada di pedalaman menyebabkan penduduk Makki kurang mendapat akses. Lalu bagaimana sejarah suku Makki yang sebenarnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

 

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Makki: Suku Berbeda dengan Suku Toraja

Suku Makki tinggal di NW Toraja. Itu yang dikatakan seorang peneliti yang hasil laporannya disarikan dan dimuat pada surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 09-04-1908. Besar dugaan bahwa peneliti ini adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah Makki. Peneliti ini juga, seperti pengakuannya, adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah Toraja di pedalaman.

Peneliti ini juga di dalam artikel-artiekelnya mengomentarasi tulisan-tulisan Kruijt dan Adriani. Sebagaimana diketahui Adriani seorang ahli bahasa dan Kruijt seorang misionaris sudah lama di (wilayah) Poso. Mereka berdua pernah menulis tenytang Toraja. Dari artikel peneliti di Toraja ini terkesan Adriani dan Kruijt belum pernah berkunjung ke pedalaman Toraja, mereka berdua hanya mendasarkarkan tulisan mereka dari keterangan dan informasi yang dikumpulkan di wilayah pantai (di luar wilayah asli penduduk Toraja). Sebagaimana diketahui dari tulisan Kruijt tentang wilayah Napu pada artikel sebelum ini bahwa orang Toraja juga ada yang berbahasa Bare’e dan tinggal di sekitar danau Poso. Orang-orang Toraja di pedalaman ada juga yang melakukan perdagangan ke wilayah utara hingga teluk Tomini di Mapale atau Poso. Dari orang-orang Toraja berbahasa Bare’e (Pamona) inilah diduga kuat Adriani dan Kruijt menulis tentang penduduk (suku) Toraja secara keseluruhan.   

Peneliti ini menyebutkan bahwa di pedalaman tidak semuanya orang Toaraja. Peneliti ini menyebut satu diantaranya yakni penduduk Makki, meski populasinya sedikit tetapi memiliki bahasa dan budaya sendiri (yang berbeda dengan bahasa Toraja). Peneliti ini ingin menyatakan bahwa di pedalaman cukup banyak penduduk dengan populasi kecil, tidak hanya To Makki, juga ada To Bela, To Bare dan to yang lainnya. Orang To Makki disebutnya berada di luar (wilayah perbatasa) Toraja (sebagaimana juga To Mamasa). Catatan: pada artikel sebelumnya tentang To Mamasa sudah dideskripsikan.

Secara adnminstratif, pemerintah Hindia Belanda memasukkan wilayah Tana Toraja dan Toraja Tengah (selatan) ke dalam wilayah administratif (Afdeeling) Loewoe. Sementara Mamasa dimasukkan ke wilayah (afdeeling) Mandar. Lalu bagaimana dengan To Makki? Suatu wilayah, yang berada tepat di antara wilayah Afdeeling Mandar di barat, afdeeling Loewoe di timur dan selatan dan afdeeling Midden Celebes di utara. Donggala (Paloe) dan Poso adalah dua onderafdeeeling di Afdeeling Midden Celebes. Jadi, wilayah Makki tidak benar-benar berada di tengah wilayah orang Toraja, orang Mamuju maupun orang (to) lainnya.

Untuk dapat mencapai (wilayah) Makki dapat (mungkin satu-satunya) harus melalui Baroefoe. Jarak antara Barupu dengan wilayah Makki sekitar tiga hari perjalanan melalui jalan basah, dingin dan sangat sepi (dari penduduk). Di sepanjang jalan setapak yang dilalui banyak ditemukan tempat penduduk Barupu yang pada waktu tempo doeloe melarikan diri ke Makki pada saat mana dikenal seorang tokoh bernama Poeang Tikoe. Wilayah Makki adalah sebuah lanskap pegunungan yang berumput dan berhutan rendah dengan jurang dan jurang, yang dipenuhi dengan jurang-jurang yang dalam yang berbahaya.

Perkampongan orang To Makki tersebar. Penduduk jauh dari pemalu dan jauh dari liar, Penduduk Makki menurut peneliti adalah orang yang sangat jinak, baik hati dan damai, yang sangat jinak dalam fisik, pakaian dan bahasa, Penduduk Makki memiliki banyak kesamaan dengan orang Toraja. Dalam perjalanan peneliti, yang belum jauh meninggalkan wilayah Tioraja dalam beberapa jam berjalan kaki, penduduk Makki sudah terlihat berbeda adat dan kebiasaan dengan suku Toraja. Hal itu peneliti berani mengatakan bahwa suku Makki sangat berbeda dari suku Toraja (Bagaimana suku Toraja akan dibuat artikel tersendiri).

Orang Makki berbeda dengan orang Toraja, Orang Makki lebih tenang yang dalam kehidupan mereka tidak ada tarian tetapi ada nyanyian. Jika ada yang meninggal ada penyanyi tertentu dan kemudian menampilkan seni mereka, jika perlu sepanjang hari. Tempo nyanyian To Makki sangat lambat dan bukan tempo cepat seperti di tempat lain. Dua penyanyi yang dilihat peneliti duduk bersebelahan dan bernyanyi tanpa lelah selama berjam-jam memainkan repertoar mereka yang menghantui, termasuk lagu dua bagian yang sangat melankolis yang jauh dari jelek.

Di Makki juga tidak terdapat festival panen. Penduduk Makki terbilang kurang banyak dalam hal festival. Penduduk Makki hidup hampir secara eksklusif dari budidaya djagoeng, meski juga terdapat ladangrrjst (padi ladang).Tidak ditemukanm perikanan ikan mas, babi hutan sangat jarang dan dapat diperoleh dengan jalan berburu. Penduduk Makki sangat piawai melempar senjata. Penduduk Makki tidak memiliki senjata perang, karena menurut penduduk sejauh ini belum ada orang Bugis yang sampai sejauh Makki. Para penduduk menyatakan tidak khawatir jika ada serangan musuh dari tetangga, karena mereka akan segera melarikan diri ke dalam hutan dan pada saat yang tepat akan melakukan pengepungan. Peneliti juga tidak menemukan hasil jarahan diantara penduduk (yang mengindikasikan mereka berperilaku baik dan ingin damai).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pengembangan Penduduk Makki: Bukan Terbelakang Tapi Tertinggal

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar