Rabu, 18 Januari 2023

Sejarah Surakarta (43): Awal Penduduk Solo di Soerakarta; Era Sungai Bengawan hingga Kampong Baru di Semanggi dan di Sala


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Manusia Solo adalah satu hal. Populasi penduduk Solo di Surakarta adalah hal lain lagi. Manusia Solo (Homo soloensis), era pra-sejarah adalah hal yang belum terjelaskan. Dalam hal ini yang ingin kita jelaskan adalah populasi awal penduduk Solo di Surakarta pada era sejarah. Bukti era sejarah yang baik adalah keberadaan candi-candi dan prasasti-prasasti yang ditemukan di pulau Jawa khususnya yang dekat dengan wilayah Surakarta. Candi dan prasasti adalah bukti keberadaan populasi yang sangat maju.


Manusia Solo, Solo Man (Homo erectus soloensis, Homo soloensis) adalah manusia purba hidup di daerah sungai Bengawan Solo. Subspesies punah dianggap segolongan Homo neanderthalensis di Asia, Eropa dan Afrika. Fosil Homo erectus soloensis ditemukan di Ngandong (Blora), Sangiran, dan Sambungmacan (Sragen). Von Koenigswald membagi lembah Kali Solo tiga lapisan: Lapisan Jetis (Pleistosen Bawah), tempat ditemukannya Pithecanthropus robustus, Homo mojokertensis, Meganthropus paleojavanicus; Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah), tempat ditemukannya Pithecanthropus erectus; Lapisan Ngandong (Pleistosen Atas), tempat ditemukannya Homo soloensis, Homo wajakensis. Diperkirakan, makhluk ini merupakan evolusi dari Pithecanthropus/Homo mojokertensis. Pada 2011, para ahli memperkirakan H. e. soloensis berusia antara 143.000 hingga 550.000 tahun. Sebagian pakar paleoantropologi berpikir bahwa manusia-manusia Mongoloid dari Asia, manusia Australoid Australia bertemu di Jawa. Namun ada teori yang menyatakan bahwa justru Jawalah asal muasal mereka. Dari Jawa, Homo e. soloensis yang berciri fisik Mongoloid lalu menyebar ke Asia melalui Paparan Sunda, sedangkan Homo wajakensis yang berciri Australoid (Papua, Aborigin, dll.) menyebar ke Australia melalui Paparan Sahul. Teori Jawa sebagai tempat asal peradaban purba, fakta bahwa pulau berada di khatulistiwa dengan iklim ideal bagi kehidupan manusia. Kepunahan manusia purba berkaitan badai meteor sekitar 12.000 tahun lalu, diduga membinasakan manusia purba dan hewan raksasa seperti dinosaurus dan mammoth. Penyebab punahnya Homo erectus soloensis masih teka-teki (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah populasi awal penduduk Solo di Surakarta? Seperti disebut di atas, kita tidak membicarakan populasi dari era Manusia Solo pada era pra-sejarah, tetapi populasi awal penduduk Solo era sejarah sejak era awal sungai Bengawan hingga kampong baru seperti kampong Semanggi dan Sala. Lalu bagaimana sejarah populasi awal penduduk Solo di Surakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Populasi Awal Penduduk Solo di Surakarta; Era Awal Sungai Bengawan hingga Kampong Baru di Semanggi dan Sala

Ingin menarik garis antara nama Manusia Solo (Solo Man) dengan populasi penduduk awal Solo, tetapi Manusia Solo berada di Sangiran (Sragen). Itu satu hal. Sebab pemberian nama Manusia Solo baru belakangan, setelah kota Solo terbentuk, di tempat yang berbeda dimana ditemukan Manusia Solo di Sangiran. Oleh karena itu Manusia Solo hanya sekadar penamaan dengan nama Solo. Dalam hal ini, ingin mengetahui populasi awal penduduk Solo yang dimulai di kampong/kota Solo. Nama Solo kemudian menjadi nama ganti untuk tempat dimana kraton Hadiningrat dibangun di Kartosuro (relokasi dari Soerakarta).


Lepas dari soal yang mana lebih dulu eksis, tempat kraton dibangun baru (disebut Soerakarta) adalah tempat yang berbeda dengan kampong Sala yang berada lebih dekat dengan sisi utara sungai Bengawan. Nama kampong/kota Sala kemudian disebutkan dengan lafal Solo. Dua nama tersebut kemudian dalam perkembangannya muncul ke permukaan, bersaing untuk saling menggantikan: Soerakarta atau Sala/Solo. Dalam hal inilah ingin mengetahui populasi awal penduduk Solo (yang juga dapat disebut populasi awal penduduk Soerakarta—bukan Kortosura). Peta 1817

Populasi awal penduduk Solo, seberapa banyak, tidak diketahui secara pasti. Namun sebelum melihat perkembangannya lebih lanjut, pemahaman harus dimulai dari kampong/kota Sala/Solo itu sendiri. Seperti kita lihat nanti pada tahun 1900, populasi penduduk kota Solo atau kota Soerakarta sudah mencapai 105.000. Sudah tentu jumlah sebanyak ini berawal dari jumlah kecil yang dimulai dari kampong/kota Sala/Solo. Mengapa?


Sebelum terbentuk kampong Sala dan kemudian lebih popular Solo, di sisi utara sungai Semanggi, nama sungai sendiri (Semanggi) diduga kuat merujuk pada nama kampong/kota Semanggi. Nama sungai Semanggi berada di hilir, sedangkan di wilayah hulu disebut sungai Bengawan. Nama sungai disebut sungai Bengawan juga diduga kuat merujuk pada nama kampong/kota Bengawan. Oleh karenanya, sebelum terbentuk kampong/kota Sala, dan kemudian bergeser menjadi Solo, nama sungai sudah eksis sejak lama sungai Bengawan dan sungai Semanggi. Dalam perkembangannya nama sungai Semanggi bersaing dengan nama sungai Solo, yang lambat laun nama sungai Semanggi menghilang dan yang selalu disebut sungai Solo (nama sungai Bengawan masih eksis di wilayah hulu).

Seperti halnya penamaan suatu daerah (gewest), nama kota (gemeente) juga merujuk pada berbagai asal. Namun yang sering terjadi adalah nama kampong/kota menjadi nama wilayah maupaun nama kota. Hal itu karena dari kampong/kota inilah pusat pemerintahan (colonial) bermula (hoofdplaat). Di berbagai wilayah, pusat pemerintahan colonial ini dimulai dari benteng (fort) atau area dimana populasi Eropa/Belanda bermukim.


Terbentuknya kota Semarang bermula dari benteng (Fort Semarang). Nama benteng disebut Semarang karena berada di sisi timur sungai Semarang. Nama sungai Semarang merujuk pada nama kampong/kota awal Semarang. Hal serupa juga dengan awal terbentuknya kota Soerabaja. Sedangkan kota Batavia juga bermula dari benteng (Kasteel) Batavia, meski nama kampong/kota Jakarta (tempat dimana kraton kerajaan Jakarta) sudah lama eksis. Nama Batavia, dimana terdapat benteng yang menjadi area pemukiman awal orang Eropa/Belanda, dalam perkembangannya nama Batavia menjadi nama kota (Stad Batavia), nama wilayah (Province/Residentie Batavia) dan kota pradja (Gemeente). Lalu bagaimana denga kota Sala/Solo atau kota Soerakarta? Mirip Batavia tetapi ada perbedaannya. Peta 1859

Pada tahun 1851 populasi penduduk (Residentie) Soerakarta sebanyak 500.000 jiwa, sementara di (Residentie) Jogjakarta sebanyak 350.000 (lihat Albertus Ascanius Heusden, 1851). Jumlah tersebut sudah termasuk orang Cina, Arab, Moor dan lainnya. Berdasarkan Peta 1859, kota Soerakarta sudah terbentuk, diidentifikasi yang merupakan area kraton dan area orang Eropa/Belanda. Nama Solo sendiri dalam hal ini sudah sejak lama ada, diidentifikasi pada Peta 1817 dan disebut dalam berita 1826 (lihat Leydse courant, 30-01-1826). Disebutkan Luitenant Colonel Cochius berangkat dari Djocjakarta menuju Solo. Saat ini belum lama terjadi Perang Jawa. Dalam peta ini di luar kota Soerakarta salah satu kampong diidentifikasi sebagai kampong Semanggi.


Dalam Peta 1859 wilayah kota, area kraton plus area pemukiman Eropa/Belanda dipisahkan oleh jalan utama dari barat ke arah sisi utara sungai Bengawan (kini jalan Slamet Riyadi dan jalan Mayor Sunaryo). Area Eropa/Belanda di seberang kraton, dari jalan utama hingga ke arah belakang hingga sungai Kali Pepe (termasuk benteng). Pada unjung jalan utama ini, sungai kecil dari arah belakang kraton bermuara ke sungai Kali Pepe yang kemudian ke hilir sungai bermuara di sungai Bengawan Solo. Dengan demikian, kota Soerakarta (merujuk pada nama kraton) dibatasi sungai Kali Pepe dan anak sungainya, dimana di bagian dalam area kraton dan area Eropa/Belanda dibatasi jalan utama. Di ujung jalan utama di bagian hilir Kali Pepe ke arah sungai Bengawan diidentifikasi perkampongan yang disebut kampong Demangan. Di arah hulu kampong Demangan ini di sisi sungai Bengawan terdapat kampong lama, kampong Semanggi (nama yang diduga menjadi nama sungai pada era VOC sebagai sungai Semanggi). Dalam peta-peta VOC seperti Peta 1696, Peta 1700, Peta 1724 belum ada nama-nama tempat yang diidentifikasi di wilayah kota Soerakarta/Solo berada (mungkin masih kampong-kampong kecil saja). Namun nama (sungai) Semanggi sudah diidentifikasi pada Peta 1700. Dalam hal inilah diduga nama Semanggi lebih dulu eksis dari yang lainnya, seperti nama kampong Sala dan kampong Demangan serta kampong Kalangan di arah hilir.

Area orang Eropa/Belanda berkembang di seputar benteng, yakni di sebelah barat benteng (kini jalan Jend Sudirman) dan sebelah timur benteng dimana terdapart loge (kini jalan Kapten Mulyadi). Area orang Eropa/Belanda semakin meluas ke arah barat laut benteng sepanjang sungai Kali Pepe (kini jalan Arifin). Erea orang Eropa/Belanda inilah yang pada Peta 1817 diidentifikasi Solo (nama yang dipertukarkan dengan Soerakarta sebagai penanda kota). Dalam perkembangannya area orang Eropa/Belanda semakin meluas ke sisi lain sungai Kali Pepe (baik ke arah barat laut maupun ke arah tenggara hingga sisi sungai sungai Bengawan/sungai Solo. .

Tunggu deskripsi lengkapnya

Era Awal Sungai Bengawan hingga Kampong Baru di Semanggi dan Sala: Era Perdagangan Sungai dari Muara dan Peradaban Candi-Candi di Pegunungan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar