Minggu, 26 Maret 2023

Sejarah Banyumas (3): Gunung Slamet di Jawa Tengah; Wilayah Banjoemas Diantara Gunung Tegal - Pulau di Pantai Selatan Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Secara geomorfologis, diduga gunung (api) Slamet yang menyebabkan perubahan permukaan tanah di wilayah Banjumas (antara gunung Slamet dan pantai selatan Jawa). Hal itu yang menyebabkan gunung Slamet menjadi penting dalam sejarah wilayah Banyumas. Gunung Slamet, gunung tertinggi kedua di Jawa adalah gunung khas di Jawa. Sebelum dikenal sebagai nama gunung Slamet, nama yang dikenal adalah gunung Tegal.


Gunung Slamet adalah sebuah gunung berapi kerucut tipe A yang berada di Jawa Tengah. Gunung Slamet memiliki ketinggian 3.432 M tertinggi kedua setelah Semeru terletak di antara 5 kabupaten (Banyumas, Purbalingga, Brebes, Tegal dan Pemalang). Gunung Slamet suhu paling dingin di Jawa curah hujan tahunan paling tinggi di Indonesia. Kawah IV masih aktif di kaki gunung terletak kawasan wisata Baturraden 15 km dari Kota Purwokerto. Pemandian air panas Guci berada di sisi utara di kabupaten Tegal. Gunung terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo-Australia pada Lempeng Eurasia di selatan Pulau Jawa. Retakan pada lempeng membuka jalur lava ke permukaan. Letusan diketahui sejak abad ke-19. Maret 2014 Gunung Slamet menunjukkan aktifitas dan statusnya menjadi Waspada. Pada bulan Agustus 1838. Junghuhn, Fritze, Holle dan Borst mendaki dari Moga sebelah utara. Dr. Holle menemukan kerangka badak di daerah berpasir di sebelah kawah. Junghuhn mendaki untuk kedua kalinya 19 Juni 1847 dari Priatin sisi timur-utara. J. Noorduyn menyebut nama "Slamet" relatif baru, pinjaman dari bahasa Arab. Ia mengemukakan yang disebut Gunung Agung dalam naskah Sunda petualangan Bujangga Manik adalah gunung Slamet, Gunung Slamet memiliki cerita legenda turun temurun. Nama slamet diambil dari bahasa Jawa yang artinya selamat. Menurut kepercayaan warga sekitar, bila Gunung Slamet sampai meletus besar maka Pulau Jawa akan terbelah menjadi dua bagian. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah gunung Slamet gunung tinggi di Jawa Tengah? Seperti disebut di atas, gunung Slamet adalah gunung tertinggi kedua di Jawa dan memiliki karakteristik yang khas. Gunung Slamet diduga menjadi factor penting dalam perubahan geomorfologi di wilayah Banyumas, terutama wilayah antara gunung Tegal dan pantai selatan Jawa di pulau Nusa Kambangan. Lalu bagaimana sejarah gunung Slamet gunung tinggi di Jawa Tengah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Gunung Slamet Gunung Tinggi di Jawa Tengah; Wilayah Banjoemas Antara Gunung Tegal dan Pantai Selatan Jawa

Ada gunung Gajah di wilayah Pemalang. Kita tidak membicarakan gunung itu, tetapi tentang gunung Tegal tempo doeloe. Gunung Tegal jauh berada di belakang gunung Gajah, berdiri tinggi di jauh pedalaman. Gunung Gajah masih seperti itu namanya sedari dulu, tetapi gunung Tegal ini kini diketahui bernama gunung Slamet. Seperti disebut di atas, gunung Tegal/Slamet adalah gunung tertinggi kedua di (pulau) Jawa (yang pertama gunung Semeru.


Meski terkesan berada di tengah pulau Jawa dari barat ke timur, gunung-gunung tinggi sejatinya di awal navigasi pelayaran zaman kuno cenderung lebih dekat ke pantai selatan, Mengapa? Dari arah pantai utara, gunung-gunung tinggi jauh di pedalaman sulit dijangkau karena pantai yang berawa. Berbeda dengan dari pantai selatan, yang jaraknya cukup dekat seperti gunung Semeru (Malang/Lumajang), gunung Merapi (Jogjakarta) dan gunung Slamet (Banyumas). Hanya di beberapa tempat di pantai selatan berawa seperti di wilayah Banyumas. Garis pantai di wilayah Banyumas tempo doeloe cukup dekat dengan gunung Slamet. Hal ini karena teluk besar di wilayah Banyumas telah menjadi rawa-rawa yang kemudian membentuk daratan baru di wilayah sekitar Cilacap yang sekarang. Oleh karena itu sejarah gunung Slamet dalam arti peradaban zaman kuno sejaman dengan gunung Semeru. Akan tetapi era navigasi pelayaran zaman kuno bergeser ke pantai utara pada era Boedha (dari pantai timur Sumatra) terus berlanjut pada era Majapahit, Demak, Portugis hingga era Belanda/VOC.

Lantas apa nama gunung Slamet tempo doeloe? Apakah namanya sedari awal disebut gunung Slamet? Pada era navigasi pelayaran Portugis dan Belanda, nama gunung Slamet diidentifikasi dengan nama gunung Tegal. Ini memang masuk akal karena dilihat dari pantai utara sebagai arah navigasi pelayaran. Penamaan mengikuti nama kampong besar, kampong/kota Tegal.


Ada tiga sungai yang berhulu di sekitar gunung Slamet. Sungai Tegal atau Kali Gung yang berhulu di lereng utara gunun Slamet dan sungai Pamali yang berhulu di lereng sebelah barar gunung Slamet (daerah Kranggan) lalu mengalir ke pantai utara di kampong/kota Brebes. Sementara sunga Seraju yang berhulu di lereng selatan gunung Slamet bermuara ke pantai selatan Jawa melalui district Banjoemas.  Pada masa ini adalanya gunung Tegal atau gunung Slamet disebut gunung Agung (yang menjadi nama asal usul Kali Gung) di Tegal.

Pada peta era Belanda/VOC (Peta 1700) daerah aliran sungai Serayu di kawasan hilir (kini masuk wilayah kabupaten Cilacap) diidentifikasi sebagai daratan yang berpasir. Di arah hulu sungai (bagian utara pegunungan Kendeng) yang juga berada di selatan gunung Tegal (gunung Slamet) diidentifikasi suatu district (baca: Banjoemas). Dalam hal ini muncul pertanyaan: darimana sumber pasir tersebut?


Sumber pasir seaca alamiah bisa terbentuk dari berbagai asal. Yang paling utama di wilayah pantai adalah abrasi air laut/ombak terhadap daratan yang mengadung pasir seperti bebatuan kuarsa; juga dari pulau-pulau di sekitar yang terbentuk dari karang yang mengalami abrasi jangka panjang. Satu yang penting dalam hal ini adalah semburan gunung berapi. Dalam hal ini gunung Slamet adalah gunung aktif dari masa ke masa yang diduga menjadi salah satu sumber pasir di hilir sungai Serayu yang terbawa dari wilayah hulu (district Banjoemas).

Wilayah selatan Banjoemas di hilir sungai Serayu yang daratannya berpasir diduga kuat bersumber dari hulu sungai Serayu di Banjoemas di lereng gunung Slamet. Massa pasir yang terbawa arus dari masa ke masa telah menyebabkan kawasan teluk menjadi daratan baru, daratan yang berpasir. Pada 1860 kawasan hilir sungai Serayu masih diidentifikasi sebagai tanah berpasir. Masih pada peta tersebut wilayah di daerah aliran sungai Tjitandoei dan sungai Tjidanon yang melalui kota Cilacap yang sekarang masih diidentifikasi sebagai kawasan rawa yang sangat luas hingga ke pedalaman (tentu saja kawasan rawa ini kini menjadi dataran rendah yang sangat luas).


Apa yang dapat dipahami sekarang, bahwa kawasan daerah aliran sungai Serayu di wilayah hilir membentuk daratan baru yang lebih awal jika dibandingkan dengan daratan baru di daerah aliran sungai Tjitandoei. Dua kawasan pembentukan daratan tersebut kini masuk wilayah kabupaten Cilacap.

Pada tahun 1863 manakala Gubernur Generaal melakukan kunjungan kerja ke wilayah selatan mengindikasikan bahwa sungai Tjitandoey masih bisa dilayari dengan baik (lihat Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 08-08-1863). Disebutkan (setelah dari Bandoeng) Gubernur Generaal berangkat ke Indihiang. Pada tanggal 1 Juni GG berangkat ke Bandjar. Setelah tiba, mereka berangkat dari sana pada sore hari dengan perahu dan tiba di Kali-Putjang pada tanggal 2 dini hari.


Disebutkan lebih lanjut dari Kali Putjang GG berlayar dengan sekoci melewati (teluk) Segara Anakkan ke Tjilatjap, dimana mereka tiba pada sore hari. Setelah mengunjungi beberapa tempat seperti gua di Noesa Kambangan dan benteng Karangbolong, pada tanggal 4, GG dari sana dan tiba pada hari yang sama di Banjoemas. Pada tanggal 6 ke Pourbolingo dan kembali pada hari yang sama ke Banjoemas dan selanjutnya GG tanggal 7 berangkat ke Keboomen.

Sungai Citanduy adalah sungai besar bahkan dengan mudah dari pantai hingga ke Bandjar yang juga menjadi lalu lintas utama di kawasan, Jika banjir, sungai di wilayah hilir membanjiri kawasan rawa-rawa. Seperti halnya sungai Serayu, sungai Citanduy berhulu di pegunungan jauh di pedalaman. Dalam konteks inilah di masa lampau, pusat perdagangan di daerah aliran sungai sungai Cintandui bermula di pedalaman di Bandjar dan di daerah aliran sungai Serayu di Banjoemas (mungkin hingga ke Purbalingga da Banjarnegara). Tentu saja kota Cilacap saat itu masih kampong kecil di wilayah pesisir yang masih berawa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Wilayah Banjoemas Antara Gunung Tegal dan Pantai Selatan Jawa: Zaman Kuno hingga Masa Kini

Pada era Pemerintah Hindia Belanda, resident Banjoemas terdiri dari sejumlah afdeeling yakni Afdeeling Banjoemas, afdeeling Poerbalingga, afdeeling Bandjarnagara dan afdeeling Tjilatjap. Diantara nama-nama afdeeling ini diduga nama yang paling tua adalah nama Poerbalingga (sejak era Hindoe Boedha). Seperti kita lihat nanti, nama Banjoemas diduga kuat lebih muda dari nama Bandjarnagara. Tentu saja yang paling muda diantara semuanya adalah nama Tjilatjap. Penamaan nama wilayah-wilayah tersebut diduga kuat terkait dengan peran gunung Slamet dan pulau Nusa Kambangan.


Dari aspek penamaan geografis, secara toponimi nama Tjilatjap berbeda dengan nama-nama tempat lainnya di wilayah Residentie Banjoermas (kini bagian dari wilayah Jawa Tengah). Nama Tjilatjap merujuk pada nama sungai, yang diduga awalnya nama sungai Tjidanon. Sementara nama Tjidanon merujuk pada nama kampong yang berasal dari zaman kuno, kampong Danon.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar