Kamis, 09 Maret 2023

Sejarah Malang (32): Tumpang di Lereng Gunung Bromo Menuju Semeru; Seberapa Pentingkah Nama Tumpang Tempo Doeloe?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini

Di wilayah Angkola Mandailing, Residentie Tapanoeli bato bukanlah batu, tetapi apa? Akan tetapi di wilayah Malang bato menjadi batu. Itu satu hal. Hal lainnya di wilayah Angkola Mandailing disebut Arjuna, di wilayah Malang disebut Arjuno. Hal lainnya lagi di wilayah Malang disebut Drupada tetapi di wilayah Angkola Mandailing disebut Soripada. Dalam hal ini Sori merujuk pada Sri. Bato, batoe, watoe mirip menunjuk hal yang sama.


Batu adalah sebuah kota di wilayah Malang. Kota Batu berada di jalur yang menghubungkan Malang-Kediri dan Jombang. Wilayah kota ini berada di ketinggian 800-2000 M dan ketinggian rata-rata yaitu 980 M dpl. Kota Batu ditetapkan menjadi kota administratif pada 6 Maret 1993 dan menjadi kota otonom tanggal 17 Oktober 2001. Sejak abad ke-10, wilayah Batu telah dikenal tempat peristirahatan kalangan kerajaan. Pada pemerintahan Kerajaan Medang Raja Sindok, petinggi Kerajaan Mpu Supo diperintah untuk membangun tempat peristirahatan kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air (dibangun candi diberi nama Candi Supo; atau Candi Songgoriti candi patirthan/kolam). Sampai saat ini belum diketahui kapan nama "Batu" mulai disebut. Beberapa pemuka masyarakat setempat mengisahkan sebutan Batu berasal dari nama ulama pengikut Pangeran Diponegoro bernama Abu Ghonaim yang selanjutnya masyarakat setempat menyebutnya Mbah Wastu kemudian dipanggil Mbah Tu lalu menjadi Mbatu atau Batu. Salah satu wilayah perkebunan di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu dengan latar belakang pegunungan Butak-Kawi-Panderman. Batu dikelilingi beberapa gunung, di antaranya adalah: Anjasmoro (2.277 M); Arjuno (3.339); Banyak (1.306); Kawi (2.551); Panderman (2.045); Semeru (3.676); Welirang (3.156); Wukir (635) (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Bato, Batoe, Kota Batu di lereng gunung Kawi? Seperti disebut di atas, kini kampong Bato tau Batoe telah menjadi kota. Seberapa tua kota Batu?  Dimana tetak Arjuno menemukan Drupadi putri Drupada? Lalu bagaimana sejarah Bato, Batoe, Kota Batu di lereng gunung Kawi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bato, Batoe, Kota Batu di Lereng Gunung Kawi; Dimana Letak Arjuno Menemukan Drupadi Putri Drupada

Kapan nama (tempat) Tumpang muncul? Pada Peta 1817 belum diidentifikasi nama Tumpang. Mengapa? Mungkin belum ada kampong di tempat dimana desa Tumpang yang sekarang. Dalam Peta 1817 di tempat desa/kecamatan Tumpang yang sekarang hanya diidentifikasi ‘ruins’. Identifikasi ‘ruins’ ini cukup dekat di selatan kampong Pakis. Identifikasi ‘ruins’ ini diduga kuat karena di dalam kawasan terdapat reruntuhan yang diduga candi.


Di Wikipedia disebutkan berikut (diringkas): Menurut kitab Negarakertagama pupuh 41:4 dan Pararaton, nama Candi Jago sebenarnya berasal dari kata "Jajaghu", didirikan masa Kerajaan Singhasari abad ke-13 sebagai penghormatan bagi Raja ketiga Singhasari, Wisnuwardhana. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci. Candi ini berlokasi di dusun Jago, desa Tumpang, kecamatan Tumpang, sekitar 22 km dari Kota Malang. Candi Jago berlatar Buddha Tatrayana. Salah satu ciri dari agaama Buddha Tatrayana adalah arcanya yang berbentuk amoghapasa. Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit. Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada Prasasti Manjusri. Candi jago pertama kali dipublikasikan Stamford Raffles dalam History of Java (1917), namun siapa yang menemukan nya pertama kali masih belum diketahui. Sebelumnya candi ini juga pernah diteliti oleh R.H.T Friederich (1854), J.F.G Brumund (1855), Fergusson (1876), dan Veth (1878). J.L.A Brandes kemudian melakukan penelitian dan menerbitkan buku yang berjudul Jago Monografi (1904).

Nama nama Toempang juga mengindikasikan nama situs Watoe Toempang di residentie Bagelan (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1846). Nama Toempang diantaranya ditemukan di wilayah Koedoes/Pati (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1850). Nama Toempang juga ditemukan di wilayah Dajak (sungai Barito).


Lantas nama Toempang muncul kali pertama? Tidak diketahuai secara pasti. Tetapi pada tahun 1848 di Toempang pemerintah telah memabngun Gudang kopi dimana pakhuis berkedudukan (lihat Javasche courant, 27-09-1848). Ini mengindikasikan Kawasan lereng gunung Bromo tanaman kopi sudah berproduksi, dan keberadaan gudang sebagai pusat pengumpulan untuk diteruskan ke ibu kota di Pasoeroean. Volume kopi di gudang Toempang pada tahun 1848 sudah mencapai 18.000 picol (suatu angka yang cukup besar).

Pada tahun 1855 nama kawasan ruins yang disebut di atas pada Peta 1817 telah disebut Toempang (lihat Geneeskundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1855). Disebutkan di timur laut, distrik Pakkies, yang semakin dibangun ke arah timur, di atas pegunungan. Bekas negeri utama yang berada 1.474 kaki di atas permukaan laut, yang sekarang, disebut Toempang, terletak lebih jauh ke timur dan lebih jauh lagi.

Dari keterangan tersebut nama Toempang di wilayah Malang adalah nama baru. Namun bagimana nama itu yang digunakan kurang terinformasikan. Besar dugaan kawasan sebelumnya tidak berpenghuni. Pemerintah mengembangkan wilayah, sebagai pengembangan wilayah dari distrik Pakis. Namun mengapa nama Toempang yang diberikan? Apakah penduduk sekitar Pakis menyebut Toempang karena bentuk reruntuhan candi tampak sebagai batu tumpeng sebagaimana situs yang berada di Begelan yang disebut Watoe Toempang?

Wilayah afdeeling Malang terdiri dari tujuh distrik. Berdasarkan Almanak 1867 distrik Kota [Malang] terdiri dari 33 desa; districk Gondang Legi (95 desa); distrik Sengoro (85); distrik Pakis (123); district Penanggungan (121); distrik Karangloo (135) dan distrik Ngantang (63 desa). Semua nama-nama district tersebut sudah teridentifikasi pada Peta 1817.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dimana Letak Arjuno Menemukan Drupadi Putri Drupada: Lain Doeloe, Lain Sekarang

Nama Toempang adalah nama baru. Seperti disebut di atas, pemberian nama Toempang diduga karena adanya reruntuhan candi yang ada batu pada posisi menumpang diatas struktur dasarnya. Penemuan candi ini menjadikan nama (tempat) Toempang yang terbilang baru cepat terkenal, tidak hanya di Hindia tetapi juga di Eropa/Belanda. Tentang candi di Toempang sudah masuk dalam pembahasan akademik (lihat Algemeene konst- en letter-bode, voor het jaar 1858).


Di dalam jurnal/majalah ini C Lemans (curator Museum van Oudheden) di Leiden mengurai tentang sejarah peradaban (Hindoe Boedha). Menurutnya prasasti-prasasti yang ditemukan di India (termasuk Bengalen) aksara dan bahasa yang digunakan di Sumatra berbeda. Bahasa Sanskerta dalam prasasti muncul di Sumatra. Bahasa prasasti di Sumatra juga mengadopsi bahasa-bahasa local (polinesia); bahasa Kawi baru muncul kemudian. Wilayah Aditjadharma meliputi seluruh Sumatera; ibukota disebutkan dalam prasasti, tetapi lokasinya tidak diketahui. Boedha sendiri lebih awal daripada di Jawa. Penjelasan yang lebih rinci menurut Leemans tentang candi Tumpang, dan arca-arca yang beradfa di atasnya yang dihubungkan dengan prasasti di (wilayah) Malang, dan prasasti lain di sekitar terdapat dua di Sumatra. Leemans juga menggunakan sumber dari Raffles, yang mana pangeran Tunga-deva, raja dari semua Yava-dvipa (pulau Jawa), cucu Narasinghamotti, ibu kota kekaisaran adalah Narasinghanagara. Pengaruh utama pemujaan Sivaitische tidak begitu jelas dalam teks dan teks pertama semua dimulai dengan salam, yang biasanya merupakan tanda prasasti Buddhis. Leemans juga menggunakan laporan-laporan dari Mr Friederich yang telah ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengedit penemuan di Jawa dan Sumatra. Laporan tersebut di bawah judul Javaansche Oudeheden (Baravia 1857; 94 halaman).

Dalam diskusi tahun 1857/1858 candi Toempang dan prasastu-prasasti yang ditemukan di sekitar Malang memiliki hubungan dengan Sumatra. Dalam hal ini Toempang adalah nama tempat yang baru, tetapi candi yang berada di wilayah des aitu (desa Toempang) berasal dari abad ke-13. Seperti disebut di atas, kawasan candi di Toempang disebut bekas negeri utama (ibu kota di zaman kuno).


Dari rangkaian analisis yang telah dilakukan di atas, apakah tempo doeloe ibu kota (kerajaan) Singosari berada di Toempang? Sebab dalam analisis masa kini, kawasan dimana kini candi Singosari, candinya sendiri berasal (dibangun pada era Majapahit, pasca terbunuhnya raja Kertanegara). Lalu dalam hal ini apakah Kawasan Singosari saat itu adalah kota perdagangan? kota perdagangan (kerajaan Singosari) yang direbut/diduduki oleh kerajaan Majapahit? Oleh karena itu raja (baru) Majapahit, untuk menghormati rakyat Singosasi (penduduk di wilayah Malang), dibangun candi Singosari (candi yang lebih muda dari candi di Toempang).

Sejak 1864 (kampong) Toempang di lereng gunung Bromo menjadi penting. Pemerintah telah membangun gudang garam di Toempang untuk pusat distribusi di kawasan pegunungan (lihat Tijdschrift voor nijverheid en landbouw in Nederlandsch-Indie, 1864). Ini menjadikan Toempang tidak hanya memiliki gudang pakhuis juga kini telah memiliki gudang garam. Harus diingat saat itu kopi dan garam diantara penduduk diperlakukan sebagai alat tukar. Barang atau apa saja dapat digunakan untuk membeli kopi dan garam dampat membeli barang atau kebutuhan yang lain. Apakah ini pertanda ibu kota distrik akan dipindahkan dari Pakis? Atau apakah Toempang sendiri telah menjadi ibu kota district?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar