Sabtu, 08 April 2023

Sejarah Banyumas (29): Baturaden, Wisata Masa Kini, Batoer Tempo Doeloe di Selatan Gunung Slamat; Taman Nasional Sejak 1905


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Pada masa ini Barturaden dikenal sebagai daerah wisata pegunungan. Di wilayah Baturaden juga terdapat taman raya. Lokasi kebun raya Baturraden berada di kaki gunung Slamet sebelah selatan, berjarak 17 Km dari kota Purwokerto (2 Km setelah pintu gerbang Wana Wisata Baturraden). Batur Raden sendiri sudah dikenal sejak era Hindia Belanda, tetapi bagaimana di masa lampau, masih kurang terinformasikan. Baturaden diduga sudah dikenal di zaman kuno. Dalam hal ini ‘Batoer’ adalah kata lain untuk ‘Tjandi’.


Baturaden adalah sebuah kecamatan di kabupaten Banyumas. Kecamatan ini berjarak sekitar 7,5 Km dari Kota Purwokerto ke arah utara. Pusat pemerintahannya berada di Desa Rempoah. Kecamatan ini terletak di lereng selatan Gunung Slamet dan merupakan kawasan wisata. Kecamatan Baturaden dikenal sebagai daerah yang sejuk karena berada di ketinggian 300 hingga 3428 m dpl (titik tertinggi di Puncak Gunung Slamet). Istilah Baturraden sendiri berasal dari dongeng yang berkembang di masyarakat. Dahulu kala, ada seorang putra raja ("raden") yang mencintai seorang pembantu ("batur"). Namun oleh kedua orang tuanya tidak disetujui, dan mengakhiri hidupnya di tempat yang kini bernama "Baturraden". Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: di utara gunung Slamet (Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang); di timur kecamatan Sumbang; di selatan Kota Purwokerto; di barat kecamatan Kedungbanteng. Adapun beberapa desa di Baturraden antara lain: Karangmangu, Karangsalam, Karangtengah, Kebumen, Kemutug Kidul, Kemutug Lor, Ketenger, Kutasari, Pamijen, Pandak, Purwosari dan Rempoah. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Baturaden, destinasi wisata masa kini, batoer tempo doeloe di selatan Slamat? Seperti disebut di atas, wilayah Baturaden sudah dikenal sejak lama, bahkan diduga sudah sedari doeloe dimana terdapat batur. Wilayah Baturaden sejak 1905 dijadikan sebagai taman nasional. Lalu bagaimana sejarah Baturaden, destinasi wisata masa kini, batoer tempo doeloe di selatan Slamat? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Baturaden, Destinasi Wisata Masa Kini, Batoer Tempo Doeloe di Selatan Slamat; Taman Nasional Sejak 1905

Pusat kecamatan Baturaden di desa/kelurahan Rempoah hanya kurang dari delapan kilometer. Akan tetapi ujung dari kecamatan, tepat berada di puncak gunung Slamet (desa Kemutug Lor dan desa Ketenger). Ini mengindikasikan Poerwokerto, (desa) Baturaden dan puncak gunung Slamet terhubung. Lantas bagaimana dengan sejarah Baturaden sendiri?


Nama Baturraden seperti dikutip di atas disebut berasal dari dongeng yang berkembang di masyarakat. Dikatakan, dahulu kala, ada seorang putra raja ("raden") yang mencintai seorang pembantu ("batur"). Namun oleh kedua orang tuanya tidak disetujui, dan mengakhiri hidupnya di tempat yang kini bernama "Baturraden. Boleh jadi itu pemahaman masa kini. Pada masa lampau, JW van Dapperen mengutip pendapat para penduduk di Baturaden, terkait dengan candi yang dipertukatkan dengan batur (lihat JW van Dapperen, 1935 Plaatsen van vereering op de zuidhelling van den slamat tusschen de rivieren Peloes en Logawa). Disebutkan ‘tjandi' adalah area pemujaan kuno dimana tentang roh leluhur atau makhluk yang tidak berasal dari bumi tinggal, atau tempat pemakaman orang-orang yang sangat terhormat, sedangkan kata 'batoer' secara tepat merujuk, tempat tinggal para pertapa dan guru, suatu tempat khusus. lantai atau bidang yang dilapisi di atasnya dengan batu. Disebutkan jika seseorang berjalan dari Batur-Radèn sekitar dua pal ke arah barat, ia tiba di Tjandi Sakala, yang terletak tepat di sebelah kiri jalan. Tempat tersebut berukuran panjang ± 10 Roe dan lebar 3 Roe, dikelilingi oleh tembok tumpukan batu gunung, dengan ketinggian ± 1 M. Di dalam tembok terdapat 3 pasang batu tegak (paesan). Ini adalah tempat tinggal Kiahi Gendoeng Sroewoeng, penjaga gunung Slamat. Pada malam Kemis Wage dan Djumahat Kliwon, penduduk desa Ketenger mempersembahkan disana dengan cara membersihkan tempat, membakar kemenyan atau meletakkan klobot wangi dan kembang galihan (rampé) potongan daun pandan, mawar dll. Hal itu dilakukan dalam kaitan dengan bencana dan permintaan tertentu. Saat ini masih ada satu batu berdiri, djaga. Ada juga dua buah batur lagi, sebagian beralaskan batu, di sebelah barat berupa periuk batu bulat dan batu berbentuk baji.

Asal usul nama Baturaden adalah satu hal. Hal yang lebih penting adalah bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan di Baturaden. Pada Peta 1817 nama Baturaden belum teridentifikasi (yang sudah teridentifikasi adalah Poerwokerto dan Pasir). Pada Peta 1840 nama tempat terdekat dari Poerwokerto yang diidentifikasi adalah Tjindiwoelan (enam pal di sebelah barat laut Poerbalingga). Peta yang cukup lengkap dan terinci adalah Peta 1860. Dalam pet aini tidak teridentifikasi nama Baturaden, tetapi di daerah aliran sungai Peloes di wilayah hulu nama Kemoetoek diidentifikasi sebagai suatu nama desa. Besar dugaan, wilayah desa Baturaden yang sekarang pada masa itu bagian dari desa Kemoetoek.


Di sebelah timur sungai Peloes adalah sungai Bere yang menjadi batas afdeeling Banjoemas dengan afdeeeling Poerbalingga. Dua sungai ini Bersama dengan sungai Logawa berhulu di puncak gunung Slamat. Dalam hal ini studi yang dilakukan oleh JW van Dapperen tentang sejarah zaman kuno di sungai Peloes dan sungai Logawa berada di wulayah afdeeling Porwokerto, residentie Banjoemas.

Pada tahun 1905 terbit surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 11 Januari 1905 (Stabls No 41) tentang penetapan Kawasan taman nasional yang harus dilindungi. Dalam keputusan ini termasuk kawasan hutan di wilayah district Soekaradja afdeeling Poerwokerto, residentie Banjoemas yang disebut hutan Wana-Loewoeng, dengan batas-batas sebagai berikut: di sebelah utara puncak Goenoeng Slamet; di sebelah timur suatu area yang masuk afdeeling Poerbolinggo; di sebelah selatan area yang menjadi jalan Batoeraden hingga ke Bamboesoerat; dan di sebelah barat suatu Kawasan yang masuk afdeeling Poerwokerto. Selain Kawasan itu, di dalam keputusan ini juga beberapa kawasan dengan batas-batas tertentui di Banjoemas di beberapa district di afdeeling Poerbalingga dan afdeeling Poerwokerto. Satu yang penting dalam keterangan batas-batas hutan lindung tersebut diketahui nama Batoeraden.


Nama Batoeraden dalam hal tidak terinformasikan apakah suatu nama desa atau nama kampong ataukah nama suatu area tertentu (situs?). Besar kemungkinan jalan atau situs Batoeraden masuk wilayah desa Kemoetoek di district Soekaradja, afdeeling Poerwokerto.

Penetapan kawasan dimana terdapat Batoeraden menjadi sangat penting. Tidak hanya untuk pelestarian hutan dan mencegah banjir di hilir, juga menjadi penting bagi para peneliti flora dan fauna. Tentu saja keasrian dan keaslian huta lindung di Kawasan Bartoeraden akan menjadi daya Tarik sendiri bagi berbagai pihak. Apakah ada penduduk yang berkeinginan untuk bertapa di dalam kawasan dan membangun ‘batoer’ yang baru? Tentu saja yang menjadi perhatian khusus kita adalah apakah akan tertarik bagi para investor untuk membukan dan mengembangkan bisnis di kawasan, seperti destinasi wisata? Atau apakah Soesoehoenan akan tertarik ke Kawasan Batoeraden? Kita lihat saja nanti.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Taman Nasional Sejak 1905: Pertumbuhan dan Perkembangan Wisata di Baturaden

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar