Sabtu, 15 April 2023

Sejarah Banyumas (43):Tatakota Banyumas, Ibu Kota Relokasi ke Purwokerto; Tata Kota di Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Pada masa ini kota Purwokerto disebut kota terbesar ketiga di wilayah Jawa Tengah (setelah Semarang dan Solo). Bagaimana dengan tempo doeloe? Nah, itu dia. Ketika Banjoemas ibu kota residentie Banjoemas telah berkembang menjadi kota, Poerwokerto masih kota kecil, Bahkan kota Poerbalingga, kota Bandjarnegara dan kota Tjilatjap relative lebih besar dari kota Poerwokerto. Situasi mulai berubah, ketika ibu kota residentie dipindahkan dari Banjoemas ke Poerwokerto tahun 1937.


Lain dulu lain sekarang. Ibu kota adalah pusat pemerintahan. Ibu kota Hindia Belanda pernah dipindahkan dari Batavia ke Buitenzorg. Namun itu tidak berlangsung lama. Hal serupa dengan ibu kota Residentie Tapanoeli pernah direlokasi dari Sibolga ke Padang Sidempoean. Saat itu kota Padang Sidempoean adalah kota terbesar kedua di Sumatra setelah kota Padang. Pada saat Padang Sidempoean sudah menjadi kota besar, Medan malahan masih kampong kecil. Demikian pula yang terjadi dengan kota Banyumas. Pada saat Banyumas telah menjadi kota besar, Poerwokerto masih kota kecil. Setekah ibu kota Residentie Banjoemas direlokasi dari Banjoemas ke Poerwokerto tahun 1937, secara perlahanan Poerwokerto tumbuh dan berkembang hingga masa ini menjadi kota terbesar ketiga di Jawa Tengah.

Lantas bagaimana sejarah tata kota Banyumas, ibu kota relokasi ke Purwokerto? Seperti disebut di atas pada saat Banjoemas sudah menjadi kota, Poerwokerto masih suatu kampong besar. Ini mengindikasikan kota Banjoemas ditata lebih awal jika dibandingkan dengan tata kota di Puwokerto, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap. Lalu bagaimana sejarah tata kota Banyumas, ibu kota relokasi ke Purwokerto? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tata Kota Banyumas, Ibu Kota Relokasi ke Purwokerto; Tata Kota di Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap

Kota Banjoemas bermula di suatu kampong Banjoemas. Kampong Banjoemas ini sudah diketahui sejak lama. Pada Peta 1706 di kampong Banjoemas, di sisi selatan sungai Serajoe dibangun benteng VOC. Pada masa permulaan Pemerintah Hindia Belanda benteng ini dijadikan garnisun militer. Pada saat terjadi Perang Jawa (1825-1830) garnisun militer ini dijadikan sebagai rumah sakit yang merawat militer yang luka dalam perang (sementara tentara direlokasi ke benteng Karang Bolong untuk memperkuat pasukan yang ada di benteng Noesa Kambangan tersebut). Dari eks benteng yang menjadi rumah sakit inilah kemudian menjadi embrio kota Banjoemas.


Kota Purwokerto bermula dari kampong Poerwokerto. Pada era Pemerintah Hindia Belanda kampong besar ini dipecah menjadi desa Poerwokerto Wetan, Poerwokerto Lor dan Poerwokerto Kidoel dimana jalan raya di tengahnya (lihat Peta 1860). Dari desa-desa inilah yang menjadi embrio kota Purwokerto yang sekarang. Pada saat Bupati di Ajibarang direlokasi ke Poerwokerto, rumah bupati dibangun di desa Kedoeng Watoe/desa Kranji (arah ke Adjibarang). Dari desa ini satu garis jalan raya ke desa-desa Poerwokerto. Dari desa Kedoeng Watoe ini ke selatan jalan menuju Tjilatjap (Jalan Sutoyo yang sekarang). Rumah bupati desa Karnaji di jalan raya yang disamping ada jalan ke arah utara (jalan Masjid yang sekarang/alun-alun).

Pada Peta 1860 sebagai ibu kota residentie Banjoemas, kota Banjoemas diidentifikasi sebagai gambaran kota besar, jauh lebih besar dari kota Poerwokerto. Bahkan kota Poerbalingga dan kota Cilacap dan kota Bandjarnegara masih lebih besar dari kota Poerwokerto. Boleh jadi hal itu karena Poerwokerto sejatinya adalah ibu kota (afdeeling) yang baru untuk menggantikan ibu kota yang lama di Adjibarang. Berdasarkan Almanak 1833 di kota Poerwokerto, kota Poerbalingga dan kota Bandjarnegara sudah ditempatkan Asisten Residen. Namun situasi di Poerwokerto berubah 10 tahun kemudian, yang menyebabkan kota Poerwoikerto tidak berkembang.


Pada tahun 1840 dibentuk afdeeling Tjilatjap dengan menempatkan Asisten Residen di Tjilatjap. Hal ini dilakukan seiring dengan perkembangan kota Tjilatjap sebagai pelabuhan utama di wilayah Banjoemas (seiring dengan berfungsinya kanal Kali Osso sebagai jalur transportasi dari pelabuhan Danon ke wilayah hulu sungai Serajoe). Sejak tahun 1842 tidak ada fungsi Asisten residen di Poerwokerto. Boleh jadi karena itu kota Poerwokerto tetap stagnan hingga waktu yang lama. Hingga tahun 1860 di Poerwokerto belum ditempatkan Asisten Residen (hanya pemimpin local Bupati saja).

Faktor kehadiran orang Eropa, terutama dimana menjadi ibu kota (afdeeling atau residentie) menjadi pemicu penting pertumbuhan dan perkembangan kota. Paling tidak sebagai ibu kota dibangun kantor/rumah Asisten residen/Residen dan garnisun militer serta fungsi-fungsi pendukung lainnya dalam pemerintahan. Seiring dengan itu jalan-jalan lebih massif dibangun. Fasilitas umum seperti pasar berkembang dan juga dimungkinkan menjadi salah satu titik penting dalam pengembangan jaringan jalan nasional dan jalur kereta api. Hal itulah mengapa kota Banjoemas cepat berkembang sebagai kota besar (relative terhadap kota Poerwokerto).


Mengapa kota Poerwokerto tidak menjadi penting di wilayah residentie Poerwokerto? Boleh jadi karena posisinya tidak strategis. Kota Tjilatjap meski kota yang dibentuk belakangan tetapi sebagai pelabuhan dengan sendirinya strategis dalam arus barang dan orang. Posisinya memiliki keunggulan komparatif dan tidak ada yang bisa menggantikan. Kota Banjoemas dalam hal ini berada di tepay di tengah di daerah aliran sungai Serajoe. Yang ke hilir ke arah kota Tjilatjap dan ke wilayah hulu ke Poerwokerto, Poerbalingga dan ke Bandjarnegara. Poerwokerto yang letaknnya sangat dekat ke Banjoemas, menjadikan Poerwokerto hanya seakan satelit saja. Hal ini berbeda dengan Poerbalingga dan Bandjarnegara yang agak jauh, yang penempatan pejabat pemerintah setingkat Asisten Residen menjadi sangat penting.

Kota Banjoemas dirancang sedemikian rupa, dimana pusat orang Eropa dan pusat pribumi berada pada jarak tertentu. Pusat pribumi dimana kantor bupati berada di sisi selatan sungai Serajoe. Kawasan ini terbilang kerap banjir. Sementara kantor Residen dibangun di arah selatan di dekat perbukitan. Posisi kawasan Eropa/kantor Residen memiliki posisi strategis dengan jalan ke arah timur ke Bandjarnegara dan ke selatan terbagi dua ke barat di Tjilatjap dan ke tenggara via Soempioeh ke Kedoe (Karang Anjar/Keboemen). Sementara itu kawasan bupati, di sisi utara sungai terdapat jalan ke utara hingga ke Soekaraja yang kemudian ke arah timur laut ke Poerbalingga dan ke arah barat daya ke Poerworedjo.


Berdasarkan Peta 1841 satu-satu jalan dari dan ke Banjoemas hanya ke arah tenggara ini (belum menuju Karang Anjar tetapi masih ke Ambal saja di pesisir). Boleh jadi atas dasar inilah diduga mengapa kantor Residen di Banjoemas dibangun di arah selatan kantor/rumah bupati Banjoemas. Akses ke Banjoemas umumnya masih melalui jalur sungai (Serajoe) baik ke Poerbalingga dan Bandjarnegara, juga ke Tjilatjap. Akses ke Poerwokerto dan Adjibarang melalu jalan darat dari sisi utara sungai di kantor/rumah bupati Banjoemas. Peta kota Poerwokerto 1899

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tata Kota di Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap: Membandingkan Tata Kota Banjoemas dan Kota Poerwokerto

Sejak tahun 1865 dilakukan reorganisasi cabang-cabang pemerintahan. Residentie Banjoemas terdiri dari lima afdeeling dan lima regentschap. Sehubungan dengan reorganisasi ini, kota Poerwokerto mulai dianggap penting lagi. Ini seiring dengan penempatan Asisten Residen kembali di Poerwokerto pada tahun 1867. Lebih dari dua decade kota Poerwokerto hanya dipimpin oleh seorang bupati saja. Hal itulah diduga yang menjadi sebab mengapa perkembangan kota Poerwokerto terbilang stagnan. Lalu bagaimana dengan setelah kehadiran kembali Asisten Residen di kota Poerwokerto?


Pada Peta 1899 tampak bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota Poerwokerto lebih cepat. Pada Peta 1860 kota Poerwokerto hanya berada di sepanjang jalan utama di desa Krandji dimana terdapat kantor/rumah bupati. Pada Peta 1899 jalan-jalan kota sudah semakin banyak dengan dua jalan parallel, jalan baru dibangun di utara jalan utama (jalan Gatot Soebroto yang sekarang). Antara dua jalan utama ini sidah terbentuk jalan-jalan penghubung. Dalam Peta 1899 diidentifikasi alun-alun kota dan juga jalur kereta api. Alun-alun tepat berada di lokasi rumah/kantor bupati yang dulu (Peta 1860). Sementara kantor/rumah Asisten Residen dibangun di pangkal jalan yang dari arah Banjoemas (pangkal jalan Sutoyo yang sekarang). Sedangkan kota lama (desa-desa Poerwokerto) menjadi perkampongan Cina (dari arah Soekaradja). Ini mengindikasikan kota Poerwokerto telah berubah total dari kampong besar/kota kecil menjadi kota memiliki karaktor kota besar.

Bagaimana dengan kota Banjoemas pada Peta 1899? Secara tata kota tidak banyak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan kota Poerwokerto. Jalan-jalan di kota Banjoemas dari wakyu ke waktu hanya itu saja bahka sejak diidentifikasi pada Peta 1860. Satu yang penting pada Peta 1899 ini di kota Banjoemas telah dibangun jembatan di atas sungai Serajoe yang menghubungkan kota Banjoemas dengan kota Soekaradja di arah utara.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar