Rabu, 21 Juni 2023

Sejarah Dewan di Indonesia (13): Pemilih Perempuan di Dewan Kota Sesama Hindia Belanda; Emma Poeradiredja di Bandoeng


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dewan di Indonesia di blog ini Klik Disini

Awalnya hak perempuan untuk memilih anggota dewan tidak ada. Apalahi untuk dipilih, Akan tetapi setelah semakin kuatnya desakan, perempuan dapat dipilih dan juga dapat memilih. Demikianlah urutan sejarah dalam pemilihan di Indonesia sejak era Pemerintah Hindia Belanda. Siapa perempuan Belanda yang dipilih? Yang jelas perempuan pribumi yang pernah terpilih adalah Emma Poeradiredja di Bandoeng.


Emma Poeradiredja adalah salah satu pejuang dan tokoh pergerakan perempuan Sunda. Nama sebenarnya ialah Nyi Raden Rachmat’ulhadiah Poeradiredja, akan tetapi nama ini tidak pernah dipakai. Emma Poeradiredja adalah putri Raden Kardata Poeradiredja. Emma tamat HIS Tasikmalaya tahun 1917. Setelah itu melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Pada waktu itu belum begitu banyak kaum pribumi yang dapat memperoleh pendidikan apalagi melanjutkan ke sekolah lanjutan yang lebih tinggi dengan bahasa Belanda. Emma termasuk wanita pertama melanjutkan ke MULO. Kemudian Emma pindah ke MULO Salemba di Batavia, tamat tahun 1921. Dia bekerja pada Staatspoor en tramwegen (SS). Sambil bekerja, Emma tetap aktif dalam pergerakan yaitu Kongres Pemuda Indonesia I dan organisasi Jong Islamieten Bond sebagai Ketua Cabang Bandung, 1925. Tahun 1927, Emma bersama Artini Djojopuspito, Sumardjo, Ayati, Emma Sumanegara, Suhara, Kasiah, Kartimi, dan Rusiah mendirikan Dameskring. Anggota-anggota Dameskring ini adalah perempuan muda terpelajar berasal dari perbagai suku bangsa di Bandung. Kemudian Emma ikut pula aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia II yang diadakan di Batavia pada tahun 1928. Pada tanggal 30 April 1930 didirikanlah Pasundan Istri (PASI) untuk menampung aspirasi kaum perempuan. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah anggota dewan dan pemilih perempuan era Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, awalnya hak perempuan tidak ada untuk memilih dan dipilih. Akan tetapi lambat laun proses demokrasi memungkinkan perempuan memilih dan dipilih. Salah satu perempuan Indonesia yang terpilih adalah Emma Poeradiredja di Bandoeng. Lalu bagaimana sejarah anggota dewan dan pemilih perempuan era Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Anggota Dewan dan Pemilih Perempuan Era Hindia Belanda; Emma Poeradiredja di Bandoeng

Di Hindia Belanda sudah diberlakukan desentralisasi, antara lain pada tingkat lokal gemeente (kota) dimana dibentuk dewan kota (gemeenteraad). Juga sudah dibuka (dimungkinkan) anggota dewan diusulkan dan dipilih warga. Juga sudah terbentuk kelompok-kelompok pemilih. Namun gambaran yang ada anggota dewan yang dipilih cenderung laki-laki. Anehnya, sejauh ini hak memilih perempuan tidak ada. Bagaimana dengan di Belanda sendiri? Isu pemilih perempuan ini bermula di Medan, sehubungan dengan pembentukan kelompok pemilih di Medan (lihat De Sumatra post, 01-04-1912).


Disebutkan pada Sabtu malam di Witte Societeit di Medan, di depan podium yang didekorasi dengan meriah dengan tanaman dan bunga, dan spanduk ditempatkan di dinding lebar aula - di atasnya terdapat tag "Hak Pilih Wanita" dan "Suara untuk Wanita". Dua nama akan berbicara nyonya Chapman Catt dan dr. Jacobs. Yang hadir terdiri dari banyak wanita, tetapi juga sangat banyak pria. Wanita muda menjual literatur hak pilih wanita, menawarkan program, dengan kata kunci dari humas dari 'gerakan'. Dalam forum mengemuka mengubah minat mereka menjadi suatu tindakan, dengan mengambil tanda di daftar siap untuk keanggotaan vereeniging. Kemudian afdeeling Deli dapat segera dibentuk, dimana dewan sementara sudah tersedia. Pembicara Carrie Chapman menggambarkan peta parlemen di berbagai wilayah, Amerika, Eropa, Asia dan di beberapa negara di Eropa. Pembicara mengulang di wilayah Inggris di Afrika Selatan, Bombay (India) para wanita juga menggunakannya. Inggris mengungguli Belanda dengan hak pilih perempuan, karena di Inggris mereka sudah memiliki hak pilih untuk kota (gemeente). Akankah Belanda tertinggal? Jutaan perempuan sudah memiliki hak untuk memilih. Biarkan Sumateranen membantu para wanita di Belanda dalam perjuangannya.

Di Medan sendiri pemilihan kandidat dan terbentuknya kelompok pemilih baru berlakuka kali pertama tahun 1912. Namun seperti disebut di atas, di Medan, kelompok pemilih perempuan telah menyuarakan aspirasinya untuk diberi hak memilih. Di Medan ada dua surat kabar berbahasa Belanda, tetapi hanya surat kabar Sumatra post (dalam kolom perempuan) yang kerap mengangkat berita dan ulasan perihal pemilih perempuan di berbagai negara. Ini seakan publikasi untuk mendesak warga dan pemerintah untuk diberi hak memilih.


De Sumatra post, 31-03-1913: ‘Voor Vrouwen. Vrouwenkiesrecht. Dalam 'Buletin Bulanan’ terbaru dari Kantor berita AP untuk ‘Hak Pilih Perempuan' kami kembali menemukan informasi menarik yang menunjukkan kemenangan hak pilih perempuan untuk Amerika Serikat Amerika Utara. Sementara tiga negara bagian memperkenalkan hak pilih perempuan pada tahun 1912, menjadikan kini jumlah negara bagian Amerika di mana perempuan ‘hak pilih’ menjadi 9, ada kemungkinan hal-hal tersebut akan berkembang lebih jauh pada tahun 1913 ini…’

Mengapa isu-isu dalam proses bernegara cenderung lebih awal di Medan dari tempat lain bahkan dari kota-kota di Jawa, termasuk Batavia? Dulu, soal partisipasi warga dalam pengelolaan kota (yang menjadi pra kondisi permberlakuan desentralisasi dibentuknya gemeenteraad), kini kembali isu awal soal pemilih perempuan bermula di Medan. Jika isu ini dapat direalisasikan, lalu apakah anggota dewan perempuan pertama akan muncul di Medan?


Kota Medan termasuk yang dikunjungi oleh nyonya Chapman Catt dan dr. Jacobs pada tahun 1912. Ini termasuk kota Medan menjadi penting bagi dua tokoh perempuan asal Belanda tersebut, terutama kampanye mereka dalam membangun kekuatan Wanita, terutama dalam soal hak pilih. Dua tokoh ini juga terus diberitakan oleeh surat kabar Sumatra post, termasuk yang belum lama berlangsung di Belanda dalam kongres perempuan internasional dimana ny dr Yacobs sebagai ketua pantia (lihat De Sumatra post, 31-03-1913). Dalam pidato pembukaannya nt Yacobs tetap menekankan perlunya hak pilih perempuan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Emma Poeradiredja di Bandoeng: Sejarah Dewan Kota di Bandoeng

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar