Kamis, 22 Juni 2023

Sejarah Dewan di Indonesia (15): Anggota Volksraad Masa Mangaradja Soangkoepon; Abdoel Moeis Soetardjo Otto Iskandardinata


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dewan di Indonesia di blog ini Klik Disini

Siapa Mangaradja Soangkoepon? Mungkin banyak yang tidak mengetahui. Sebab nama Mangaradja Soangkoepon belum lama muncul di Wikipedia tidak ada laman nama Mangaradja Soangkoepon. Padahal pada era Pemerintah Hindia Belanda namanya sangat dikenal. Nama kecilnya adalah Abdoel Firman, anggota Volksraad terlama, berasal dari dapil province Oost Sumatra selama empat periode berturut-turut (1924-1942). Mangaradja Soangkoepon sejatinya adalah ‘macan’ Pedjambon, anggota Volksraad paling vokal.


Abdul Firman tiba-tiba menjadi terkenal di Negeri Belanda karena namanya diberitakan di koran-koran yang terbit sekitar Maret 1912. Apa pasal? Dua imigran dari Madura terlibat perkelahian dengan sesama imigran dari Jawa (Oost Java), korban akhirnya meninggal dunia akibat tusukan. Di pengadilan Amsterdam terdakwa disidangkan dan menghadirkan saksi-saksi. Aparat pengadilan bingung, karena para imigran (terdakwa dan saksi-saksi) tidak bisa berbahasa Belanda. Untuk mencari penerjemah sekaligus untuk pemandu sumpah (secara Islam) ternyata tidak mudah. Dari sejumlah mahasiswa yang ada hanya Abdul Firman yang bersedia dan sukarela (tanpa paksaan). Dari namanya memang pantas tetapi ternyata juga Abdul Firman adalah orang yang alim. Karenanya masyarakat Belanda menganggap Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon adalah pemimpin (imam) Islam dari para imigran dari Indonesia (Hindia Belanda). Abdul Firman tidak keberatan. Di dalam pengadian tersebut Abdul Firman membela terdakwa untuk dikurangi tuntutan djaksa. Dan, memang berhasil. Dalam laman Wikipedia, pada entry Volksraad, tidak ada nama Mangaradja Soangkoepon. Mengapa? Nama-nama yang dicatat adalah Cokroaminoto, Agus Salim, Hok Hoei Kan, Khouw Kim An, Abdoel Moeis, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Loa Sek Hie, Mas Aboekassan Atmodirono, Mohammad Hoesni Thamrin, Wiranatakoesoema, Otto Iskandardinata, Jahja Datoek Kajo, Radjiman Wedyodiningrat dan Koesoemo Oetoyo.

Lantas bagaimana sejarah anggota Volksraad semasa Mangaradja Soangkoepon? Seperti disebut di atas, di dalam lama Wikipedia pada entry Volksraad tidak ada nama Mangaradja Soangkoepon. Yanga ada antara lain Abdoel Moeis, Soetardjo dan Otto Iskandardinata. Oklah. Lalu bagaimana sejarah anggota Volksraad semasa Mangaradja Soangkoepon? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Anggota Volksraad Semasa Mangaradja Soangkoepon; Abdoel Moeis, Soetardjo, Otto Iskandardinata

Soetardjo adalah anggota Volksraad senior. Sutardjo Kertohadikusumo menjadi anggota Volksraad sejak tahun 1931. Yang paling senior di Volksraad adalah Mangaradja Soangkoepon sejak 1927. Mangaradja Soangkoepon tidak pernah absen di Volkraad. Mangaradja Soangkoepon baru berakhir di Volksraad seiring berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda (takluk kepada Jepang, 1942). Mangaradja Soangkoepon adalah ketua fraksi Nasionalis Indonesia di Volksraad.


De Telegraaf, 16-11-1939: ‘Petitie voor volwaardig Parlement (Petisi untuk parlemen penuh). Batavia. 16 Nov. Aneta kini dapat mendukung petisi kelompok Nasionalis Indonesia yang diketuai oleh (Mangatadja) Soangkoepon. untuk diterbitkan sebagai tambahan dari dua petisi identik lainnya kepada Tweede Kamer Staten Generaal tentang pembentukan parlemen yang lengkap berdasarkan pemilihan semua anggota. Petisi ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan pokok sebagai berikut: Bahwa telah berlalu sekitar 20 tahun sejak deklarasi pemerintah pada I8 November 1918, bahwa peristiwa-peristiwa di Eropa maupun di Asia kembali memaksa pemerintah dan rakyat Indonesia untuk lebih bekerja sama. erat, bahwa karena keadaan Hindia Belanda menjadi semakin terisolasi dari negara-negara di Eropa, bahwa tingkat yang lebih besar dari kebijakan pemerintah independen di Indonesia tampaknya diperlukan dan diinginkan, pergeseran kekuasaan di Timur Jauh terus berlangsung dan bahwa kontradiksi antara kekuatan yang berkepentingan terus menajam’.

Nama Magaradja Soeangkoepan dihubungkan dengan Volksraad bermula tahun 1924. Pada tahun 1924 ini merupakan untuk kali pertama di Volksraad wakil pribumi ditentukan melalui pemilihan (seperti halnya sebelumbnya di tingkat gemeenteraad). Jumlah kursi untuk keseluruhan Sumatera hanya satu orang alias satu kursi saja. Jumlah kandidat asal Padang Sidempoean terbilang cukup banyak, yakni: Dr. Abdoel Rasjid (dokter di Kotanopan), Mr. Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia (direktur HIS Kotanopan), Mangaradja Soangkoepon (Commies BB di Tandjong Balei), Dr. Abdul Hakim (dokter di Padang), Kajamoedin gelar Radja Goenoeng (schoolopz. Di Medan) (lihat De Indische courant, 02-01-1924).


Kandidat terpilih untuk Volksraad pertama ini adalah Abdoel Moeis dari dapil’ Sumatra’s Westkust. Pada periode berikutnya, Sumatera mendapat jatah empat kursi di Volksraad. Masing-masing satu kursi dari empat daerah pemilihan (dapil): Province Sumatra’s Westkust, Zuid Sumatra (Residentie Palembang, Lampoeng dan Bengkoelen), Province Sumatra’s Oostkust; dan Nord Sumatra (Tapanoeli dan Atjeh). Yang dimaksud Noord Sumatra dalam hal ini adalah gabungan Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh. De Indische courant, 15-02-1927 (Sumatera dan Dewan Rakyat): ‘hari Jumlat telah ditetapkan kandidat dari Sumatra di Weltevreden kecuali dr. Rivai dikeluarkan dari daftar lima lainnya kandidat Sumatera. Hal ini karena Dr Rivai, meskipun orang Sumatra dan kelahiran Indonesia, tetapi karena telah dinaturalisasi sebagai seorang Belanda, maka dia harus ditempatkan sebagai kandidat Eropa/Belanda. Menurut undang-undang pemilihan baru pribumi yang dinaturalisasi disamakan dengan Europeacea. Oleh karena itu, dalam pemilihan berisi nama-nama dari Sumatera sebagai berikut: Abdul Moeis (Garut), Sutan Goenoeng Moelia (Tapanoeli), Dr. Abdul Rasjid (Tapanoeli), Tjik Nang (Palembang), dan Sutan Mohamad Zain (Weltevreden). Deli courant, 18-02-1927: ‘Aneta menginformasikan hari ini dari Batavia bahwa Abdul Firman gelar Mangaradja Soangkoepon telah terpilih sebagai anggota Volksraad di daerah pemilihan Pantai Timur Sumatera. Firman mengumpulkan 11 suara, Raden Abdoel Manap memperoleh 8 suara, sedangkan 1 suara dikosongkan. De Sumatra post, 10-03-1927: ‘Voksraad Hindia Belanda. Separuh yang lebih baik dari kandidat Volksraad—yang terpilih—sekarang seluruhnya ada sebanyak: 20 Pribumi, 15 Belanda dan 3 Cina telah terpilih. Dua orang terakhir yang terpilih -- menurut AID dalam gambaran umum situasi, hasil ini untuk suara kepada kedua: Moetar bin Praboe Mangkoenegoro untuk Sumatera Selatan, dan Abdoel Firman felar Maharaja Soangkoepon untuk Sumatera Timur’.

Abdoel Moeis, incumbent tidak terpilih (lihat Deli courant, 23-03-1927). Empat nama yang terpilih dari Sumatra adalah Dr Alimoesa Harahap dari Pematang Siantar (dapil Tapanoeli en Atjeh), Mochtar (Zuid Sumatra)), dan Datoek Kajo (dapil West Sumatra) dan Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon di Tandjoeng Balai (dapil Oost Sumatra).


Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon berangkat studi ke Belanda tahun 1910 dan kemudian bergabungan dengan Indisch Vereeining yang diketuai oleh Radjioen Harahap gelare Soetan Casajangan. Pada tahun 1912 Soetan Casajangan dan Mangaradja Soeangkoepon membentuk studiefond untuk membantu para calon dan mahasiswa pribumi di Belanda. Seperti dikutip di atas, tahun 1912 di Belanda Mengaradja Soeangkoepon menjadi penerjemah di pengadilan. Sepulang Soetan Casajangan ke tanah air, pada tahun 1914 Abdoel Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon dan Amaroellah gelar Soetan Mangkoeto sempat mendirikan perusahaan ekspor-impor ke/dari Hindia Belanda dengan nama Firma Soeangkoepon en Mangkoeto (lihat Algemeen Handelsblad, 28-06-1914). Sementara Mangkoeto di Belanda, Mangaradja Soangkoepon kembali ke tanah air. Pada bulan Oktober Mangaradja Soangkoepon sudah di Medan (lihat Deli courant, 29-10-1914). Pada tahun 1915 Mangaradja Soeangkoepon dipindahkan sebagai pegawai dari kantor Asisten Residen do Asahan ke kantor Asisten Residen Simaloengin (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1915). Demikianlah seterusnya, selama 12 tahun berikutnya, Mangaradja Soangkoepon sebagai pegawai pemerintah, di Tandjoeng Balai, Pematang Siantara, Sibolga dan Padang Sidempoean dan kembali lagi ke Tandjoeng Balai hingga mencapai pangkat Ontvanger (pangkat tertinggi sebagai pegawai negeri). Diantara waktu-waktu ini pernah menjadi anggota dewan di Pematang Siantar dan di Tandjoeng Balai, Sebagai anggota dewan kota, Mangaradja Soeangkoepon terakhir sebagai anggota dewan kota di Tandjoeng Balai (lihat De locomotief, 17-08-1926).

Secara keseluruhan ada 25 anggota pribumi, 30 Belanda dan 5 anggota Timur asing (Cbineese). Jumlah tersebut sebanyak 20 pribumi, 15 Belanda dan 3 Cina dipilih sementara yang diangkat sebanyak 5 orang pribumi, 15 Belanda dan 2 orang Cina. Ini mengindikasikan proporsi antara anggota Belanda dan Non Belanda berbanding 30:30. Jumlah ini telah bertambah jika dibandingkan pada tahun 1824 sebanyak 39 anggota yang mana sebanyak 19 harus dipilih, yaitu. 10 Pribumi dan 9 orang Eropa/Belanda.


Nama-nama pribumi yang terpilih tersebut terdiri: 6 dari kelompok PEB, 3 dari NIVB, 1 dari Boedi Oetomo, 1 dari Sarikat Islam, 1 dari Pasoendan, 1 dari Parsarikatan Minahasa, 7 dari non partai. Sementara itu dari lima pribumi yang diangkat adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia dari CEP, Koesoemo Oetojo dari Boedi Oetomo, Tjokroaminoto dari Sarikat Islam, Soetomo dari Non-cooperative, P Moh. Ali dari non partai. Soetan Goenoeng Moelia adalah untuk periode kedua. Yang juga untuk periode kedua adalah Koesomojoedo, Mandagi, Sosrodiprodjo, Sosrohadiwidjojo, Soekawati, Djajadiningrat. Soejono, Wiranata Koesoema, Dwidjosewojo, Soeroso, Hadiwidjojo, dan Soangkoepon.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Abdoel Moeis, Soetardjo, Otto Iskandardinata: Hanya Ada Satu Macan Sepanjang Masa di Pejambon

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar