Minggu, 07 Januari 2024

Sejarah Bahasa (222): Bahasa Amahai Pulau Seram Bagian Tengah Pantai Selatan; Upu Ama, Ama Mahai dan Ama Hei Namakala


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Amahai adalah bahasa dituturkan di kecamatan Amahai di Pulau Seram bagian selatan agak ke barat, dekat Masohi, Maluku Tengah. Jumlah populasi suku ini sekitar 10.000 jiwa. Suku Amahai umumnya berbudaya seperti orang Ambon. Bahasa suku Amahai disebut bahasa Amahai yang masih serumpun dengan bahasa-bahasa Nunusaku, yaitu rumpun dan bahasa-bahasa asli di Pulau Seram dan sekitarnya.

Amahai adalah negeri di kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, terikat pela dengan Ihamahu. Amahai disebut dan ditulis juga Amahei. Amahai terdiri dari dua suku kata ama dan mahai. Ama artinya bapak dan mahai artinya hidup. Kata amahei berasal dari kalimat “Ama Hei nama Namakala” berarti bapak sejak dahulu kala. Sejarahnya: dalam persidangan amarale kecil (saniri kecil) dari Inama Halulepesia maka ucapan kalimat di atas disebutkan upu ama bagi orang tertua dan hidup sejak dari nunusaku sampai menyebar dari uwe paurita sampai hatumete. Pada zaman Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshorn melancarkan perang hongi (1652) menyerang kerajaan Iha yang tak mau takluk. Pusat kerajaan Iha berada di gunung Ama Iha yang sukar untuk ditaklukan. Secara geografis Amahai terletak dalam sebuah teluk yang sangat indah, di peluk oleh dua buah tanjung yang mengajur ke laut, masing-masing tanjung Kuako dan Umuputi. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa bahasa Amahai di pulau Seram Bagian Tengah pantai selatan? Seperti disebut di atas bahasa Amahai dituturkan di Amahai. Upu Ama, Ama Mahai dan Ama Hei Namakala. Lalu bagaimana sejarah bahasa bahasa Amahai di pulau Seram Bagian Tengah pantai selatan?  Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Amahai di Pulau Seram Bagian Tengah Pantai Selatan; Upu Ama, Ama Mahai dan Ama Hei Namakala

Bahasa Amahai di pantai selatan pulau Seram. Sebenarnya tidak terlalu jauh dari Amboina apalagi dari Saparua. Namun dari masa ke masa mengapa pulau Seram khususnya Amahai tidak dikenal? Ibarat kata pepatah: ‘dekat di mata, jauh di hati’. Itulah yang terjadi sejak kahadiran Eropa/Belanda sejak era Portugis dan VOC/Belanda. Bahkan pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda juga pulau Seram nyaris tidak terinformasikan.


Wilayah Maluku begitu luas. Oleh karenanya pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda ditetapkan sebagai satu wilayah pemerintah di bawah seorang gubernur yang terdiri tiga residentie: Amboina, Banda dan Ternate. Gubernur berkedudukan di Amboina. Gubernur didamping dua Residen di Banda dan di Ternate. Wilayah (pulau) Seram sendiri termasuk yang berada langsung di bawah guburnur. Di wilayah ini ditempatkan seorang adisten residen di Saparoe en Haroekoe dan seorang asisten residen di Hila en Larieke. Di wilayah Boeroe ditempatkan pejabat setingkat opziene. Sedangkan di wilayah Seram seorang militer berpangkat letnan dua. Setelah hampir setengah abad dibentuk afdeeling Sera, dengan nama afdeeling Wahai, seorang militer kemudian digantikan seorang pejabat setingkat Controleur yang ditempatkan Wahai (lihat Almanak 1853). Sepuluh tahun kemudian pejabat sipil diketahui telah digantikan kembali seorang militer dengan letnan satu yang berfungsi sebagai Controleur (lihat Almanak 1863). Mengapa? Dalam perkembangannya fungsi gubernur dihapuska, dan di Amboina digantikan seorang Residen yang langsung bertanggungjawab ke pusat (sebagaimana residen di Banda dan di Ternate). Di afdeeling Wahai tetap tidak berubah hingga tahun 1873 (lihat Almanak 1873).

Seperti disebut di artikel sebelumnya, pada tahun 1875 satu ekspedisi militer dikirim ke Wahai untuk melumpuhkan pemberontakan orang Huaulu dan Nusanema serta Werinama. Perlawanan kelompok populasi di pedalaman pulau Seram ini akhirnya dapat dilumpuhkan. Lalu pemerintah membentuk cabang pemberintahan di pulau Seram tetapi sebagai satu afdeeling. Pejabat sipil kembali ditempatkan di Wahai sejak 16 Desember 1876. Dalam perkembangannya afdeeling Wahai digabung dengan pulau-pulau Banda sebagai satu afdeeling dengan nama afdeeling Wahai en Banda (lihat Almanak 1882). Penggabungan ini tidak lama. Pada 1886 diketahui afdeeling Wahai en Banda telah dilikuidasi kemudian dibentuk tiga afdeeling, yakni: afdeeling Banda, afdeeling Kairatoe dan afdeeling Amahei (Almanak 1886). Tamat afdeeling Wahai.


Wilayah Afdeeling Kairatoe dan Afdeeling Amahai membagi pulau Seram menjadi dua bagian (sebelah barat dan sebelah tengah/timur). Beberapa nama tempat di afdeeling Kairatoe adalah Kamarian, Hatoe Soea, Waisamoe, Kaibobo, Manipa, Boano dan Loki; sementara di afdeeling Amahei adalah Amahei, Makariki, Aiwaja, Samasoeroe dan Paulohi.

Amahei adalah wilayah pertam di pulau Seram yang ditaklukkan. Itu terjadi setelah satu ekspedisi untuk melawan orang Amahei pada tahun 1851 (bulan Mei). Ekspedisi ini bersamaan dengan ekspedisi ke Mahariko. Sejak 1855 mulzi masuk zending di Amahei (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 31-10-1855). Lalu seperti yang disebut di atas pada tahun 1875 dilakukan ekspedisi ke Wahai terutama untuk melawan kelompok populasi Huaulu dan Manoetoe. Yang setelah itu dipulau Seram dibentuk afdeeling Wahai.


Dalam perkembangannya di pulau Seram dibentuk lagi afdeeling baru yakni dengan nama yang sama dengan sebelumnya afdeeling Wahai. Pembentukan afdeeling Wahai ini sesuai Stbls No 230 tahun 1895. Dengan demikian di pulau Seram terdapat tiga afdeeling (Kairatoe, Amahei dan Wahai). Dalam hal ini afdeeling Kairatoe adalah wilayah barat pulau Seram, sedangkan bagian tengah/timur dibagi dua afdeeling: afdeeling Amahei bagian selatan dan afdeeling Wahai bagian utara. Untuk memperkuat pemerintahan ditempatkan satu detasemen militer masing-masing di Amahei dan Wahai.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Upu Ama, Ama Mahai dan Ama Hei Namakala: Terbentuknya Bahasa Amahai

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar