Rabu, 07 Februari 2024

Sejarah Bahasa (285): Bahasa Melayu dan Isu Promosi Bahasa Standar Kajian Bahasa; Kebutuhan Sekolah Pribumi Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Kongres Bahasa Melayu diadakan di Batam tahun 2015. Dalam kongres ini muncul isu untuk standardisasi bahasa Melayu. Hal itu karena bahasa Melayu sendiri berbeda-beda di setiap negara Asia Tenggara. Bahasa Melayu di setiap negara seperti di Indonesia juga terdiri beragam dialek. Namun kita tidak sedang membicarakan isu dalam kongres itu. Bahwa upaya standardisasi bahasa Melayu sudah dilakukan pada era Pemerintah Hindia Belanda. Hasil standardisasi itu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.

Bahasa Melayu Perlu Standarisasi. Ani Nursalikah. Senin 15 Junuari 2015. Republika.co.id. Batam -- Bahasa Melayu perlu standarisasi khusus sebelum dijadikan bahasa persatuan dunia. Standarisasi dilakukan antara lain penamaan bahasa, aspek kebahasaan, ejaan, cara pengucapan. Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan bahasa RI, Mahsun dalam Kongres Bahasa Melayu di Batam Kepulauan Riau, Senin (15/6), mengatakan bahasa Melayu yang berkembang di sebagian Asia Tenggara berbeda-beda, seperti bahasa Melayu Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, Thailand, Filipina Selatan, Kamboja. "Kalau mau menggunakan bahasa Melayu sebagai persatuan dunia, maka perlu standarisasi bahasa," kata dia. Pejabat Ketua Menteri Melaka, Datuk Seri Idris Bin Haji Haron mengatakan "Walaupun bahasa Malaysia merupakan bahasa resmi bangsa, namun penggunaannya Melayu masih bahasa kedua setelah bahasa Inggris," kata dia. (https://news.republika.co.id/)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu dan promosi bahasa standar melalui kajian bahasa? Seperti disebut di atas pada masa era Pemerintah Hindia Belanda sudah dimulai upaya standardisasi bahas Melayu yang menjadi cikal bahasa Indonesia. Sekolah Eropa dan sekolah pribumi di Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu dan promosi bahasa Melayu melalui kajian bahasa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Melayu dan Promosi Bahasa Standar Melalui Kajian Bahasa; Sekolah Eropa dan Pribumi di Hindia Belanda

NH Neubronner van der Tuuk telah menyelesaikan kamus Bataksch dan tata bahasanya hampir selesai (lihat Javasche courant, 26-09-1863). Kita tidak sedang membicarakan kamus van der Tuuk, tetapi bagaimana tentang bahasa Melayu. Komentar van der Tuuk dikutip oleh HA Klinkert.


Het Criterium voor Geschriften in de Maleische Taal: Iets over de Maleische School en Volksleesboeken, Enz door HA Klinkert: ‘Beberapa tahun yang lalu, Neubronner van der Tuuk mengeluh dalam kontribusi tentang kurangnya kriteria untuk bahasa Melayu. Pada saat itulah dia menerima Leydekker melakukan penilaian cepat terhadap terjemahan Alkitab Wemdley. Dia punya alasan untuk mengeluh. Lagi pula, sementara dia menyebutkan terjemahannya, dia sendiri yang harus menjadi kriterianya, dan di sana cukup setuju untuk mengatakan: //begitulah kata atau tulisnya. Bukan bahasa Melayu// Dan bahkan lebih jauh lagi adalah bahasa Melayu mengutip kitab suci, seringkali tidak sulit untuk mengetahuinya yang sama dari contoh kitab suci Melayu lain yang sama validnya untuk menggunakan ejaan yang berbeda. Tidak heran sehingga seseorang yang memposisikan dirinya sebagai reviewer merasa membutuhkan kriteria, dan pemikiran yang kurang tinggi seseorang menghargai kebijaksanaannya sendiri, semakin jelas kebijaksanaannya akan mengungkapkan kebutuhan itu. Namun, kekurangan ini akan paling terasa ketika seseorang tidak mempunyai hak istimewa untuk tinggal di negara yang benar-benar Melayu, atau bisa juga berkomunikasi, tapi khas Melayu dari beberapa naskah Melayu, tata bahasa dan kamus harus menggambar, sedangkan di lingkungannya setiap hari ada yang Melayu lokal, atau temukan sendiri penyedia akomodasi’.

Mengapa NH Neubronner van der Tuuk kompeten mengomentasri tentang tidak adanya standar dalam penulisan menggunakan bahasa Melayu? NH Neubronner van der Tuuk adalah ahli bahasa pertama yang menyusun kamus dan tata bahasa salah satu bahasa di Hindia Belanda (bahasa Batak). NH Neubronner van der Tuuk telah membuat standarisasi pada bahasa Batak. Sementara bahasa Melayu yang digunakan di berbagai daerah di Hindia Belanda ditulis dengan caranya sendiri-sendiri alias belum ada standarisasi. Komentar van derTuuk dalam artikel berjudul ‘Iets over de Hoog-Maleisehe bijbelvertaling, door H. Neubronner van der Tuuk yang dimuat dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856).  Berikut daftar tulisan selanjutnya terkait komentar van der Tuuk.


Eenige Maleische spreekwoorden en spreekwijzen, verzameld, vertaald en opgehelderd door HC Klinkert

Iets over de Maleische school- en volksleesboeken, bekroond en uitgegeven door het Nederlandsch Indische Gouvernement, door HC Klinkert.

Verslag van een Maleiseh verhaal behelzende de lotgevallen van Samáun, door HN van der Tuuk.

Een woord over het opstel van den heer HC Klinkert, "lets over de Maleische school- en volksleesboekenn, door JRPF Gonggrijp.

Kort verslag der Maleische handschriften, toebehoorende aan de Royal Asiatic Society te Londen, door HN van der Tuuk.

Verhaal eener pelgrimsreis van Singapoera naar Mekah, door Abdoellah bin Abdil Kadir Moensji, gedaan in het jaar 1854. Vertaald door HC Klinkert.

Iets over de pantons of minnezangen der Maleijers, door HC Klinkert.

Uit de correspondentie van een overledene [n.l. Dr JD Homan, vooral handelend over het Bataviaasch Maleisch, medegedeeld door JJ Meinsma.

Een kort woord naar aanleiding van HC Klinkerts “IIts over de Maleische school- en volksleesboeken", door JGF Riedel.

Het criterium voor geschriften in de Maleische taal [nl. tegen datzelfde opstel van Klinkert, als hiervóór genoemd werd, een antikritiek bevattend], door N Graafland.

Antwoord op de antikritiek van de Heeren GRPF Gonggrijp, JGF Riedel en N Graafland, door HC Klinkert.

Aanteekeningen op HC Klinkert's Supplement op mijn Maleisch Woordenboek, door Dr J Pijnappel.

De Maleisch-e -handschriften der Leidsche bibliotheek, door Dr J Pijnappel

Leidsche Akademie, door Dr J Pijnappel.

Westersche fabelen in een Oostersch gewaad, door Dr JJ de Hollander.

De Maleische handschriften in het Britsch Museum, door GK Niemann.

Korte bijdrage over het Maleisch van Timor, door FSA de Clereq.

De Maleische atlas van den heer W. F. Versteeg, door Dr JJ Pijnappel.

Eenige toelichtingen tot de "Mënangkabausch-Maleische zamenspraken, opgesteld door Si-Daoed Radja Medan, 's Gravenhage 1872, door W Hoogkamer, (medegedeeld door Dr AWT Juynboll).

Eene nieuwe uitgave van de Kalila [n.l. bespreking van JRPF Gonggrijp's: De geschiedenis van Kalila en nina, in het Maleisch met hollandsche letters uitgegeven'', Leiden 1876], door Dr JJ Pijnappel. Twee Maleische handschriften [n.l. de Sjaïr Sulthan Manoer Sjah Grémpita, en de Sjaïr Kahar '[Masjhoer, naar den korten inhoud verteld], door HC Klinkert.

Proeven van Maleische poëzie, door HC Klinkert.

Naar aanleiding van den heer W Hoogkamer's Toelichtingen tot de door Prof. Pijnappel uitgegeven Menangkabausch-Maleische Zamenspraken, door J Habbema.

Een taalkundig verdrag [zijnde een voorstel om te geraken tot een uniforme transcriptie van het Ménangkabau'sch], door AL van Hasselt.

De geschiedenis van Soetan Manangkérang. Eene Maleische legende. door JL van der Toorn.

Over de afleiding en beteekenis van sapala-pala door CA van Ophuijsen.

Sérawajsche en Bésémahsche spreekwoorden, spreekwijzen en raadsels, medegedeeld door L Helfrich.

Account of six Malay manuscripts [zijnde uit de nalatenschap van Erpenius] of the Cambridge University Library by Dr PS van Ronkel.

Het Cambridge-handschrift en het Leidsche handschrift der Hikayat Mohammed Hanafiyya door Dr PS van Ronkel.

NH Neubronner van der Tuuk dan HC Klinkert dapat dikatakan dua yang pertama, pegiat bahasa di Hindia Belanda yang sepenuhnya sadar bahwa tidak ada standar dalam bahasa Melayu dan berupaya mengangkat isu untuk mulai memperhatikan arti penting pembakuan (standarisasi) bahasa Melayu di Hindia Belanda.


Wilayah Hindia Belanda adalah wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda, mulai dari Sabang hingga Merauke. Selain bahasa etnik (daerah) yang banyak dan beragam, secara khusus dalam hal ini rumpun bahasa Melayu sendiri memiliki ragam dialek, apakah di wilayah orang Melayu maupun di wilayah (orang) non Melayu. Bahasa Melayu di wilayah non Melayu umumnya di kota-kota yang sejak zaman doeloe sudah digunakan bahasa Melayu seperti Batavia, Manado, Ambon dan Koepang. Juga dalam hal ini perlu ditambahkan di wilayah-wilayah bahasa etnik bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa kedua (dwibahasa) yang sudah tentu beragam dialeknya. Gambaran inilah yang menyebabkan bahasa Melayu tidak terstandarisasi, yang notabene juga dilakukan penulis-penulis yang menggunakan bahasa Melayu yang kemudian dilihat van der Tuuk sebagai tidak/belum adanya kriteria penulisan teks yang menggunakan bahasa Melayu. Teks yang dimaksud van der Tuuk dalam hal ini termasuk terjemahan kitab suci Kristen, buku-buku pelajaran yang ditulis untuk sekolah-sekolah pribumi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sekolah Eropa/Belanda dan Sekolah Pribumi di Hindia Belanda: Standardisasi Bahasa Melayu Menjadi Cikal Bahasa Indonesia

Tidak diketahui secara tepat sejak kapan bahasa Melayu terbentuk di berbagai kota di Hindia Belanda. Yang jelas menurut catatan Pigafetta (1522) sudah terbentuk bahasa Melayu di Maluku. Tentu saja bahasa Melayu juga kemudian ditemukan di kota-kota utama perdagangan di Banten, Atjeh dan Gowa. Lalu dengan perkembangan berikutnya, sejak Belanda/VOC memindahkan ibu kota dari Ambon ke Batavia, terbentuk secara massif bahasa Melayu (seiring dengan perkembangan kota).


Sejak kapan bahasa Melayu menjadi lingua franca di Hindia Timur juga tidak diketahui secara tepat. Yang jelas bahasa Melayu terus eksis sebagai lingua franca pada era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Pada saat era Pemerintah Hindia Belanda (sejak 1800) sejumlah kota tumbuh dan berkembang seperti Semarang, Soerabaja, Padang dan Palembang serta Koepang dan Manado. Pada saat pertumbuhan kota-kota ini juga bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca, tetapi juga diantara penduduk kota yang beragam menggunakan bahasa-bahasanya sendiri (dwibahasa). Saling meminjam diantara bahasa-bahasa, termasuk bahasa Melayu terjadi, seperti bahasa Melayu di kota Semarang dan kota Soerabaja dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Tentu saja pengaruh-pengaruh bahasa asing juga terjadi seperti bahasa Belanda, bahasa Arab dan bahasa Cina. Dalam konteks inilah kemudian dibedakan bahasa Melayu di wilayah non Melayu sebagai bahasa Melayu Pasar dengan bahasa Melayu di wilayah Melayu seperti di Riau (Melayu Murni). Yang dimaksud Melayu Murni (Riau) dalam hal ini adalah bahasa Melayu yang sudah lama tidak terpengaruh bahasa-bahasa lain (karena tetangganya juga berbahasa Melayu). Sementara bahasa Melayu di kota-kota besar seperti Batavia (bahasa Melayu Pasar) terus berkembang.

Pada era Pemerintah Hindia Belanda, secara bertahap diselenggarakan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah baik untuk golongan Eropa/Belanda maupun golongan pribumi. Namun sekolah-sekolah pribumi itu pertumbuhannya lambat dibandingkan dengan sekolah-sekolah Eropa/Belanda. Baru sejak 1848 dapat dikatakan sekolah-sekolah pribumi di berbagai tempat tumbuh dengan cepat, terutama di Jawa dan wilayah Maluku, Timor dan Manado. Di Sumatra pertumbuhannya hanya terbatas di Padang (termasuk Minangkabau), Tapanuli (bagian selatan) dan Riau (kepulauan) serta Bengkulu.


Seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah pribumi, lembaga zending di Belanda terus meningkatkan kinerjanya di berbagai tempat termasuk dalam hal pendirian sekolah-sekolah misonatis, pengadaan buku, penerjemahan alkitab sesuai bahasa yang digunakan di wilayah misi. Hal itulah antara lain van der Tuuk dikirim ke Tanah Batak (Tapanoeli) untuk menyusun kamus dan mempelajari tatabahasanya dalam kerangka upaya penerjemahan alkitab. Idem dito dengan Mattheus di wilayah Makassar/Bugis serta sarjana berlatar bahasa lainnya di wilayah Jawa. Juga para pejabat pemerintah ditugaskan untuk mengumpulkan perihal bahasa-bahasa di wilayah lainnya termasuk E Netscher di Riau. Catatan: upaya serupa ini masih sangat terbatas pada era VOC (paruh kedua abad ke-18) dimana menurut dokumen yang ada sudah ada penyusunan kamus kecil, selain dalam bahasa Melayu juga sudah ada dalam bahasa Jawa dan bahasa Batak. HN van der Tuuk dikirim ke Tanah Batak pada tahun 1850.

Untuk mempercepat perluasan sekolah-sekolah pribumi, pada tahun 1852 sekolah guru pribumi (kweekschool) dibuka di Soerakarta. Lulusannya diharapkan akan diproyeksikan menjadi guru dimana sekolah-sekolah akan dibuka di tempat lain di Jawa. Sementara itu sejak tahun 1851 di Batavia sudah dibuka sekolah kedokteran pribumi, termasuk dua siswa asal Angkola Mandialing (Tapanoeli) yang diterima pada tahun 1854. Lalu pada tahun 1856 sekolah guru kedua dibuka di Fort de Kock.


Di sekolah guru di Soerakarta bahasa pengantar dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Dallam kurikulum juga ada disertakan bahasa Belanda. Sementara itu para siswa di sekolah guru di Fort de Kock bahasa pengantar dengan bahasa Melayu (Padang) dan bahasa Melayu (Minangkabau). Sedangkan di sekolah kedokteran di Batavia bahasa pengantar sepenuhnya dengan bahasa Melayu dengan penambahan kurikulum bahasa Belanda yang lebih intensif jika dibandingkan dengan di sekolah guru.

Satu yang penting, salah satu lulusan sekolah di Mandailing, Sati Nasoetion pada tahun 1857 berangkat ke Belanda untuk melanjutkan sekolah di sekolah keguruan (di Haarlem). Sati Nasoetion alias Willem Iskander lulus dengan akta guru pada tahun 1860 dan pada tahun 1861 kembali ke tanah air. Pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru di Tanobato (Mandailing) dengan jumlah siswa sebanyak 20 siswa. Sekolah guru (kweekchool) Tanobato menjadi sekolah guru ketiga di Hindia Belanda. Sekolah guru yang langsung diasuh Willem Iskander dengan bahasa pengantar bahasa Batak (menggunakan aksara Batak dan aksara Latin) juga di dalam kurikulum diajarkan bahasa Melayu dan bahasa Belanda.


Seperti dikatakan van der Tuuk dalam surat-suratnya pernah bertemu dengan Sati Nasotion alias Willem Iskander. Namun tidak diketahui secara tepat apakah pertemuan itu sebelum atau sesudah Willem Iskander ke Belanda. Yang jelas bahwa, seperti disebut di atas, HN van der Tuuk menulis tahun 1856 bahwa di dalam penulisan berbahasa Melayu diperlukan ktiteria (standarisasi). Pada tahun 1863 kamus dan tatabahasa Batak yang dikerjakan van dur Tuuk selesai dan dipublikasikan. Dalam konteks inilah kemudian HC Klinkert (1864?) melontarkan kritik kepada penulis-penulis bahasa Melayu yang kemudian menimbulkan polemik bahasa antara Klinkert di satu sisi dengan GRPF Gonggrijp, JGF Riedel dan N Graafland serta lainnya di sisi lain. Meski tidak langsung, yang sehaluan dengan Klinkert ini antara lain adalah HN van der Tuuk (ahli bahasa) dan PJ Veth (ahli geografi).

Lantas bagaimana dengan di wilayah berbahasa Melayu di wilayah Yurisdiksi Inggris? Sejauh yang dapat ditelusuri kecuali di Singapoera, belum ada sekolah yang didirikan di wilayah Semenanjung Malaya. Meski demikian, studi bahasa Melayu sudah ada dilakukan di wilayah yurisdiksi Inggris yang berbasis di wilayah The Strait Settlement (Penang, Singapoera, plus Malaka dan Laboehan). Penyelidikan bahasa-bahasa di Hindia Belanda (yurisdiksi Belanda) dapat dikatakan sudah jauh berkembang. Tidak hanya bahasa Melayu juga bahasa-bahasa etnik. Semua itu dilarbelakangi kebutuhan kegiatan misionaris lembaga zending dan pendirian sekolah-sekolah pribumi oleh pemerintah.


Elisa Netscher (7 Desember 1825 – 2 April 1880) adalah pegawai negeri, residen, gubernur dan penulis berkebangsaan Belanda. Netscher menempuh pendidikan pegawai dan pada tahun 1848 ditunjuk ke Bagian Urusan Politik di Sekretariat Umum di Hindia Belanda. Karena pengetahuannya dalam bahasa Melayu, Netscher berkali-kali ditunjuk sebagai pejabat senior oleh pemerintah, yang dibebani dengan sokongan politik yang penting. Ia mengunjungi Karesidenan Riau sebanyak 3 kali (1849, 1856, dan 1857). Pada tahun 1861, Netscher diangkat sebagai residen Riau dan membuka jalan bagi berdirinya perusahaan-perusahaan pertanian di Deli dan Langkat. Pada tahun 1870, Netscher diangkat sebagai gubernur di Pesisir Barat Sumatera. Dengan Surat Keputusan Kerajaan pada tanggal 16 Maret 1878, ia diangkat sebagai anggota Dewan Hindia. Setelah masa jabatannya habis, Netscher menerbitkan sejumlah makalah, terutama karya-karya yang diatasnamakan Perhimpunan Batavia. Karya: 1855. Proeve tot opheldering van de gronden van de Maleise spelling dan Antwoord op enige opmerkingen en bedenkingen naar aanleiding der proeve tot opheldering van de gronden der Maleise spelling. 1863. (bersama dengan J.A. van der Grijs). De munten van Nederlands Indië beschreven en afgebeeld. Bersama Schwaner. Historische, geografische en statistische aantekeningen betreffende Taneh Boemboe; aangetroffen onder de bij het gouvernement van Nederlands Indië berustende papieren van Schwaner, bewerkt door E. Netscher en H. von de Wall. (Wikipedia)

Elisa Netscher adalah pejabat yang memulai studi bahasa Melayu di Riau. Namun yang secara intensif mengambil tugas ini adalah HC Klinkert,

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar