Kamis, 01 Februari 2024

Sejarah Bahasa (272): Bahasa dan Kamus dalam Berbagai Studi Bahasa; Pencatatan Bahasa di Nusantara Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Untuk memahami bahasa-bahasa di nusantara, tidak cukup dengan hanya memegang satu kamus. Sebaiknya memiliki banyak edisi, semakin banyak semakin baik dan semakin tua kamus semakin baik untuk mempelajari bahasa tersebut di masa lampau. Sedangkan untuk memperbandingkan bahasa-bahasa di nusantara sebaiknya harus memegang kamus dari berbagai bahasa dan berbeda masa.


Menurut catatan, karya leksikografi tertua dalam sejarah studi bahasa di Indonesia adalah daftar kata Tionghoa-Melayu pada awal abad ke-15. Daftar ini berisi 500 lema. Ada pula daftar kata Italia-Melayu yang disusun oleh Pigafetta pada tahun 1522. Kamus antarbahasa tertua dalam sejarah bahasa Melayu adalah Spraeck ende woord-boek, Inde Malaysche ende Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende Turcsche Woorden karya Frederick de Houtman yang diterbitkan pada tahun 1603. Kamus bahasa Jawa tertua adalah Lexicon Javanum (1706) yang sekarang tersimpan di Vatikan. Kamus Bahasa Sunda baru ditulis oleh A. de Wilde tahun 1841, dengan judul Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek. Kamus-kamus yang ditulis oleh para ahli bahasa asing tersebut biasanya terbatas pada kamus dwibahasa (bahasa asing-bahasa di Indonesia ataupun sebaliknya). Kamus ekabahasa pertama di Indonesia merupakan kamus bahasa Melayu yang ditulis oleh Raja Ali Haji, berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa dan kamus dalam berbagai studi bahasa? Seperti disebut di atas berbagai bahasa di nusantara menyebabkan pendaftaran bahasa dilakukan. Pendaftaran bahasa-bahasa di Nusantara era Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah bahasa dan kamus dalam berbagai studi bahasa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa dan Kamus dalam Berbagai Studi Bahasa; Pendaftaran Bahasa-Bahasa di Nusantara Era Hindia Belanda

Kapan kamus bahasa-bahasa di nusantara dibuat? Pada tahun 1800 terbit buku berjudul Premier voyage autour du monde (lihat Middelburgsche courant, 14-07-1801). Buku ini merupakan perjalanan Pigafetta bersana Ferdinand Magellan 1519-1522. Dalam buku ini terdapat daftar kosa kata (kamus) bahasa Prancis, bahasa di Filipina, bahasa di Maluku, bahasa di Malaka dan bahasa di pulau lain.


Pelaut Eropa pertama di Hindia Timur adalah Portugis. Pada tahun 1511 skuadron Portugis menduduki (kota) Malaka. Pada tahun yang sama rifa kapal Portugis melakukan navigasi pelayaran ke Maluku melalui pantai utara Jawa. Peta-peta geografis mulai dicatat pelaut-pelaut Portugis. Pelaut-pelaut Portugis tidak hanya di Hindia Timur juga sudah membuka pos perdagangan di Canton. Pada fase inilah pelaut-pelat Spanyol dari timur mencapai Cebu di Filipina tahun 1521. Pada tahun 1524 pedagag-pedagang Portugis menjalin perdafangan di pelabuhan Broenai. Dalam konteks pencatatan bahasa, tidak ada ditemukan dalam laporan-laporan Portugis seperti Tome Pires (1525) dan Mendes Pinto (1537).

Dalam catatan Pigafetta hanya mengumpulkan kosa kata di Filipina dan Maluku. Namun tidak secara spesifik di wilayah bahasa mana dicatat. Hanya disebut nama Filipina dan Maluku. Apakah di Cebu dan Ternate/Tidore tidak diketahui secara pasti. Daftar kosa kata Maluku lebih banyak dibandingkan Filipina. Perbandingan sebutan bilangan 1 dalam bahasa Filipina adalah uso, sementara di Maluku disebut sarus; 2=dua (dua); 3=tolo (tiga); 4=upat (ampat); 5=lima (lima); 6=onom (anam); 7=pitto (tugu); 8=gualu (dualapan); 9=ciam (sambelan); dan 10=polo (sapolo).


Apa yang menarik dengan sebutan bilangan tersebut sebutan bilangan Filipina mirip dengan sebutan bilangan Batak dan Jawa. Sementara sebutan bilangan Maluku mirip bahasa Melayu. Dalam daftar kosa kata dari pelaut-pelaut lain (sudah barang tentu adalah Portugis) di Malaka adalah sebagai berikut: 1=sa; 2=dua; 3=tiga; 4=ampat; 5=lima; 6=onam; 7=tuju; 8= dualapan; 9=sambilan; dan 10=sapolo. Ini mengindikasikan bahwa bahasa di Malaka dan di Maluku ada kemiripan (sebut saja bahasa Melayu). Yang perlu diperhatikan sebutan angka satu belum muncul. Untuk sebutan angka 8 adalah dualapan (2-8).

Pada era Portugis/Spanyol pembentukan bahasa di Malaka dan di Maluku belum sempurna. Untuk perbandingan, sumber bahasa yang lebih tua yang mirip bahasa Melayu adalah teks prasasti Trengganu dan teks Tanjung Tanah (Kerinci). Dalam teks Trengganu disebut angka dua, tiga, empat, lima, tujuh, sembilan dan sepuluh. Sementara dalam Tanjung Tanah adalah dwa/dua, tiga, ampat, lima, tujuh, dwa lapan dan sapuluh. Dalam hal ini, di dalam teks ini tidak ditemukan angka satu, enam dan sembilan. Di teks Tanjung Tanah disebut angka 8 (dwa lapan) namun disebut suku kata sa dalam satahil (sa-tahil).


Sumber bahasa tertua ditemukan dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di pantai timur Sumatra. Dalam prasasti Kedukan Bukit (682 M) beberapa angka yang disebut adalah dua, sapulu, sapulu dua, duaratus, tluratus dan saribu. Oleh karena sebutan tluratus adalah tlu/tolu diduga angka tiga belum muncul. Sementara penyebutan angka sapulu dua diduga kuat adalah angka dua belas (12).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pendaftaran Bahasa-Bahasa di Nusantara Era Hindia Belanda: Kontribusi Para Ahli dan Peminat Kajian Bahasa

Pencatatan bahasa (Maluku) oleh Pigafetta dapat dikatakan permulaan yang baik. Catatan Pigafetta ini sudah dicatat hingga tahun 1522. Lantas mengapa penulis-penulis Portugis tidak mendokumentasikan bahasa. Catatan tentang bahasa Melayu (Malaka) hanya ditemukan dalam catatan-catatan navigasi saja. Bahkan hampir satu abad, sejauh ini, tidak (belum) ditemukan dokumentasi Portugis tentang bahasa Melayu dalam bentuk daftar utuh (seperti Pigafetta). Daftar kosa kata berikutnya, setelah Pigafetta, yang didokumentasi terdapat dalam catatan perjalanan ekspedisi pertama Belanda ke Hindia Timur di bawah pimpinan Cornelis de Houtman (1595-1597). Catatan pelayaran de Houtman ini dipublikasikan tahun 1598 di Amsterdam.


Dalam pelayaran de Houtman ini yang berperan sebagai pencatat bahasa adalah Frederik de Houtman (adik Cornelis de Houtman). Namun dalam publikasi 1598 ini tidak ditemukan sebutan bilangan. Pada pelayaran kedua Cornelis de Houtman tahun 1599 kembali Frederik de Houtman sebagai ahli bahasa. Saat di Atjeh Cornelis de Houtman terbunuh, sementara Frederik de Houtman ditangkap dan ditahan. Selama penahanan ini Frederik de Houtman melengkapi kamusnya dan Ketika dibebaskan pada tahun 1602, F de Houtman kembali ke Belanda. Kamus F de Houtman dipublikasikan tahun 1603. Kamus ini jauh lebih lengkap jika dibandingkan kamus Pigafetta. Sebutan bilangan (bahasa Melayu) dicatat lengkap, sa, dua, tiga, ampat, lima, nam, toedjoe, delapan, sembilan, sapoelo, sablas, duablas, dua poeloe, duapoeloe sa, dst., saratoe, sariboe, salaksa.

Sebutan bilangan Pigafetta dan Frederik de Houtman secara umum mirip. Namun untuk bilangan satu yang dicatat sa diduga merujuk sebutan yang berlaku di Aceh maupun di Malaka. Bilangan belas dicatat oleh Frederik de Houtman. Untuk angka 8 Frederik de Houtman mencatat delapan (bandingkan dengan Pigafetta yang mencatat dualapan). Artinya sebutan angka dualapan telah bergeser menjadi delapan.


Sebutan angka satu belum umum, yang digunakan adalah sebutan sa, suatu angka yang menyatakan satu dalam sapulu, saratus dan saribu dalam prasasti Kedukan Bukit (682 M). Untuk bilangan delapan yang awalnya dua lapan menjadi delapan tentu saja menarik untuk diperhatikan. Sebutan dua lapan diduga berpasangan dengan angka 9 yang disebut salapan(sa-lapan) yang eksis dalam bahasa Sunda. Apakah sebutan dua lapan dan sa lapan (padanan dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa walu/wolu dan sia/sanga) ini mirip dengan lambang yang digunakan dalam bilangan Romawi? Namun bisa juga merujuk pada lambang bilangan 8 dan 9 dalam aksara Batak. Lantas mengapa muncul sebutan sembilan di Trengganu/Malaka? Apakah sebutan salapan dalam bahasa Sunda dan sembilan dalam bahasa di Trengganu/Malaka maksudnya sama? Yakni sa-lapan vs sa-ambilan?

Kamus Frederik de Houtman diduga bertahan lama. Hal ini karena pelaut/pedagang Belanda tetap eksis di Hindia Timur tidak tergantikan. Sebagaimana diketahui sejak 1641 Belanda/VOC mengusir Portugis dari Malaka dan sejak 1657 orang Spanyol terusir dari Manado. Grondt ofte kort bericht, van de Maleysche tale yang ditulis Joanne M Roman yang diterbitkan di Batavia tahun 1674 terdapat sebutan bilangan. Meski buku ini bukan kamus, tetapi lebih tepat dikatakan mirip buku tatabahasa Melayu, disebutkan angka-angka: 1=suatou, 2=doa, 3=tiga, 4=ampat, 5=lima, 6=anam, 7=toedjou, 8=delappan, 9=sambilan, 19=sapoelo, 11=sablas juga disebut sapoelo soeatou, 100=saratus, 1000=saribu dan 10000=salaksa.


Yang menarik dalam buku Joanne M Roman (1674), sejauh ini, untuk pertama kali angka 1 disebut satu (suatou). Sebelumnya, jauh di masa lampau hanya dikenal sebutan sa. Oleh karena buku ini diterbitkan di Batavia, angka satu belum muncul di Sumatra atau semenanjung Malaya, melainkan muncul di Jawa. Bagaimana asal muasal sebutan sa menjadi satu? Yang jelas satu dalam bahasa Jawa adalah sidji dan dalam bahasa Sunda adalah hidji. Untuk sebutan bilangan belas di dalam bahasa Melayu diduga diserap dari bahasa Jawa (sewelas, selikur, selaweh).

Kamus Frederik de Houtman masih diterbitkan di Batavia tahun 1707 dengan judul Dictionarium, ofte Woord ende spraeck-boeck, in de Duytsche ende Maleysche tale. Dengan keberadaan kamus ini dalam waktu yang lama, boleh jadi Joanne M Roman (1674) tidak memuat daftar kosa kata dalam bukunya.


Pada tahun 1778 di Batavia dibentuk perhimpunan peminat ilmu pengetahuan yang diberi nama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang dipimpin oleh Radermacher. Lembaga ini secara periodic menerbitkan publikasi seperti Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der konsten en weetenschappen (1781). Dalam terbitan-terbitan tersebut mulai dilakukan pencatatan kamus/daftar kosa kata selain bahasa Melayu, juga bahasa Jawa, bahasa Sunda dan bahasa Batak. Dalam bahasa Jawa dibedakan bahasa rendah dan bahasa tinggi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar