Minggu, 10 November 2024

Sejarah Bahasa Indonesia (7): Awal Nama Bahasa Melayu dan Peran Orang Persia dan Arab: Maleier Malejbar Maleiwar Malawar


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa Indonesia di blog ini Klik Disini

George Henric Werndly mendeskripsikan asal usul nama bahasa Melayu di dalam bukunya berjudul Maleische spraakkunst: uit de eigen geschriften d. Maleiers opgemaakt, m. inleiding en twee boekzalen v. boeken in deze tale zo van Europëers als v. Maleiers geschreven dalam satu bab di bagian awal setebal 58 halaman. Sebagai suatu pencarian, perjalanan akademik, memang, bahkan hingga ini hari masih terkesan samar-samar. Dalam hal ini dibedakan Melayu sebagai suatu bahasa dan Melayu sebagai suatu etnik. Etnik Melayu sendiri sebanyak 27 juta yang mana 15 juta di Malaysia dan 8 juta di Indonesia.

 

Kata Melayu awalnya merupakan nama tempat (toponim), merujuk suatu lokasi di Sumatra. Setelah abad ke-15 istilah Melayu mulai digunakan untuk merujuk pada nama suku secara etnonim (lihat Timothy P Barnard. Contesting Malayness: Malay identity across boundaries. Singapore: Singapore University press. Sastra sejarah Melayu, mengaitkan asal etimologis "Melayu" dengan sebuah sungai kecil bernama Sungai Melayu di Sumatra. Epos tersebut salah menyebutkan bahwa sungai tersebut mengalir ke sungai Musi di Palembang, kenyataannya ia mengalir ke sungai Batang Hari di Jambi (lihat Anthony Reid. 2001. Understanding Melayu/Malay as a Source of Diverse Modern Identities. Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3)). Beberapa orang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari sebuah kata yang berasal dari bahasa Melayu, yakni "melaju" yang berasal dari awalan 'me' dan akar kata 'laju', yang menggambarkan kuatnya arus pada sungai tersebut (lihat Abdul Rashid Melebek dan Amat Juhari Moain, 2006, Sejarah Bahasa Melayu. Utusan Publications & Distributors (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah asal usul nama bahasa Melayu dan peran orang Persia dan Arab? Seperti disebut di atas penvarian nama bahasa Melayu hingga ini hari. Bagaimana dengan nama-nama Maleier, Malejbar, Maleiwar dan Malawar. Lalu bagaimana sejarah asal usul nama bahasa Melayu dan peran orang Persia dan Arab? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Asal Usul Nama Bahasa Melayu dan Peran Orang Persia dan Arab: Maleier, Malejbar, Maleiwar, Malawar

Orang Eropa pertama yang mencatat nama bahasa Melayu adalah seorang Belanda bernama Frederik de Houtman. Pada era Portugis/Spanyol (sebelum kehadiran Belanda) tidak pernah terinformasikan nama bahasa disebut bahasa Melayu. George Henric Werndly mengutip buku berjudul Mira’atu-‘l,muk’min, buku yang ditulis pada tahun 1601 disebut perkataan bahasa Djawi. Buku tersebut adalah buku berbahasa Melayu yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawi (Arab gundul). Dalam hal ini buku berjudul Mira’atu-‘l,muk’min menyebut bahasa yang digunakan bahasa Djawi, sementara Frederik de Houtman menyebut kamus yang disusunnya sebagai bahasa Melayu.


Ekspedisi pertama Belanda ke Hindia Timur dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597). Dalam ekspedisi ini turut serta saudara Cornelis de Houtman bernama Frederik de Houtman yang berperan sebagai ahli/juru bahasa. Kamus kecil yang dibawa dari Eropa, oleh Frederik de Houtman diperkaya di Madagaskar. Buku kamus kecil yang diperkaya inilah kemudian yang mereka gunakan di Hindia Timur dimana pertama mereka merapat di pulau Enggano, lalu singgah di Lampoeng sebelum berlabuh di Banten. Pada tahun 1599 kembali Cornelis de Houtman memimpin ekspedisi Belanda dan pertama singgah di Atjeh tahun 1600. Namun dalam suatu bentrokan, Cornelis de Houtman terbunuh di Atjeh. Sementara Frederik de Houtman termasuk yang ditahan. Selama di tahanan di Atjeh, Frederik de Houtman memperkaya kamus bahasa Melayu yang telah dirintisnya. Pada tahun 1602 Frederik de Houtman dan kawan-kawan dibebaskan setelah adanya jaminan dari kerajaan Belanda. Sekembalinya Frederik de Houtman ke Belanda, kamus yang telah lebih kaya tersebut diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1603. Kamus inilah yang dapat dikatakan kamus bahasa Melayu pertama yang beredar di Eropa (juga kemudian diterjemahkan ke bahasa Jerman dan bahasa Inggris).

Sejak kehadiran Belanda di Hindia Timur nama bahasa disebut bahasa Djawi, juga eksis nama bahasa yang sama dengan nama berbeda yakni bahasa Melayu. Artinya, nama bahasa yang sama disebut dengan dua nama yang berbeda. Apakah perbedaan nama ini mengindikasikan dua bahasa yang berbeda atau dua bahasa yang penggunaannya berbeda? Ibarat pada masa kini, antara nama bahasa Melayu dengan nama Bahasa Indonesia. Lantas sejak kapan nama bahasa Melayu muncul?


George Henric Werndly dalam bukunya berjudul Maleische Spraakkunst yang diterbitkan di Amsterdam oleh penerbit E Maatſchappye tahun 1736 membedakan bahasa Melayu  (terpecah belah) menjadi lima: (1) bahasa Djawi (sebagai bahasa terawal) yang dihubungkan dengan keagamaan dan kemudian menjadi bahasa umum; (2) bahasa Dalam yang dicirikan seperti kalimat Sultan ada santap yang kemudian menjadi umum Awrang ada makan, Sultan sudah mangkat, Awrang sudah mati; (3) bahasa Bangsawan, yaitu bahasa yang agung dan mulia yang teridentifikasi sebagai bahasa kebanggaan, kesopanan berbicara yang lebih unggul dari masyarakat biasa; (4) bahasa Gunong/gunung yang bahasa bahasa masyarakat pegunungan atau masyarakat petani yang dibedakan dengan bahasa orang di kota-kota; (5) bahasa Katjokan, yang lebih tepat disebut bahasa campuran yang terus berlanjut yang dipahami sebagai bahasa sehari-hari atau bahasa jalanan yang kemudian juga disebut bahasa bazar/bahasa pasar.

George Henric Werndly (1736) tampaknya telah membedakan bahasa Djawi dengan bahasa non bahasa Djawi (bahasa Melayu?). Bahasa Djawi disebutnya bahasa terawal yang dihubungkan dengan keagamaan. Dalam hal inilah bisa dihubungkan dengan buku-buku berbahasa Melayu yang ditulis dengan aksara Djawi seperti Mira’atu ‘lmuk’min (1601), Bustanus al-Salatin (Ar-Raniri) dan lainnya. Buku-buku yang syarat dengan ajaran keagamaan (Islam). Bagaimana dengan bahasa non bahasa Djawi? Apakah dalam hal ini buku Sulalatu'l-Salatin yang ditulis tahun 1612 termasuk bahasa Djawi meski menggunakan aksara Djawi?


Pertanyaan-pertanyaan tersebut memunculkaan pertanyaan baru. Sejak kapan bahasa Djawi eksis? Sejak kapan bahasa yang sama disebut bahasa Melayu? Tentulah dalam hal ini harus dibedakan penggunaan nama Melaui sebagai nama tempat (geografis), nama bahasa (linguistik) dan nama etnik (antropologis). Seperti dinarasikan pada masa ini, nama Melayu sendiri awalnya dihubungkan dengan catatan I’tsing pada abad ke-7 yang menyebut nama Moloyu. Menurut I’tsing Moloyu berjarak 15 hari pelayaran dari Bogha (Kamboja?) dan juga berjarak 15 hari pelayaran dari Maloyu ke Kicha. Dimana itu Kicha? Besar dugaan Kicha adalah nama yang mirip dengan Kisaran yang sekarang (di muara sungai Asahan, dulu orang-orang Portugis mengidentifikasinya sebagai sungai Cassang). Dalam hal ini secara morfologis sebutan Kicha, Cassang dan Kisaran ada kemiripan. Bagaimana dengan nama Moloyu? Ada nama gunung disebut gunung Maleya yang menjadi hulu sungai Rokan (kanan) dan hulu sungai Minanga (Binanga). Apakah nama Moloyu yang disebut I’tsing adalah Maleya di muara sungai Rokan (kanan) atau Minanga di muara sungai Sangkilon. Dalam teks prasasti Kedoekan Boekit abad ke-7 disebut nama Minanga (yang diduga menjadi pelabuhan kerajaan Sriwijaya). Dalam catatan Tiongkok pada abad ke-10 disebut San-fo-tsi nama yang diduga sebagai Tambusai yang letaknya di muara sungai Rokan (kanan).

Dalam hal nama bahasa Djawi dan aksara Djawi adalah satu hal, nama bahasa Melayu dan aksara Djawi adalah hal lain lagi. Nama Djawi adalah sebutan dalam bahasa Persia dan Arab untuk suatu wilayah di timur. Besar dugaan nama Djawi ini merujuk pada nama lama Yawadwipa (Hindoe) yang kemudian dicatat di Eropa sebagai Iavadiu yang memiliki arti sama (pulau Yawa/Iava) yakni pulau Sumatra. Sementara itu orang Persia menyebut dengan nama Djawa Dib (Djawa=jelai, padi-padian dan Dib=pulau). Ptolomeus menyebut Iabadiu sebagai penghasil emas.


Seperti halnya nama Hindoe dan nama Eropa, pulau Sumatra disebut orang Persia/Arab sebagai nama Djawi. Keberadaan orang Arab di awal Islam pada abad ke-7 sudah ada di Sumatra sebagaimana ditemukan dalam prasasti nisan orang Islam di Baroes yang berasal dari abad ke-7. Artinya orang Arab sudah ada di pantai barat Sumatra sejak abad ke-7. Dalam hal ini orang Arab/Persia sudah memiliki sebutan sendiri tentang pulau Sumatra dengan nama Djawi.

Sejak kapan orang Arab/Persia menyebut nama Djawi tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, orang Arab menyebut nama kemenyan dengan nama Lubaan Djawi. Sebagaimana diketahui kemenyan dan kamper adalah produk zaman kuno yang dicari yang hanya ditemukan di pantai barat Sumatra diantara Air Bangis dan Singkel (Tapanoeli). Oleh karena itu, nama Djawi yang dimaksud oleh orang Arab/Persia adalah Sumatra (nama yang lebih awal disebut Yapadwipa dan Iabadiu). Seperti disebut di atas keberadaan orang Arab ditemukan dalam prasasti nisan yang ditemukan di Baroes (pantai barat Sumatra).


Nama Djawa dalam bahasa Persia dan nama Djawi dalam bahasa Arab yang dalam hal ini merujuk pada nama Djawa Dib (pulau jelai, padi-padian) (lihat Werndly,1736) yang dalam bahasa Sanskerta disebut Yawadwipa dan di Eropa disebut Iabadiu (Ptolomeus).

Sementara itu, dalam peta Ptolomeus juga diidentifikasi nama Aurea Chersonesos. Dalam bahasa Yunani Aurea adalah emas. Bagaimana dengan nama Chersonesos? Nesos dalam bahasa Yunani adalah pulau dan Cherso nama apa? Dalam bahasa Batak emas disebut sere. Lalu apakah cherso adalah emas? Dalam narasi masa kini Chersonesos diartikan sebagai kepulauan, sehingga Kepulauan Emas. Sebenarnya aurea emas dala, bahasa Yunani dan sere (cherso) adalah emas dalam bahasa Batak. Oleh karena itu, nama Djawa dalam bahasa Persia adalah pulau Sumatra, pulau penghasil padi-padian, pulau emas dan pulau penghasil Lubaan Djawi (Arab: kemenyan). Keberadaan orang Arab sebagaiman ditemukan dalam prasasti nisan yang ditemukan di Baroes (pantai barat Sumatra) pada abad ke-7 memperkuat identifikasi pulau Djawa yang dimaksud adalah pulau Sumatra. Boudewyn (1269) yang disalin JH Glazemaker yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1664 menyebut nama pulau Sumatra dan pulau Jawa dengan sebutan Java Major (pulau Sumatra) dan Java Minor (pulau Jawa).


Perlu diperhatikan dalam peta-peta Prolomeus ada dua wilayah yang diidentifikasi yang berkenaan dengan Hindia Timur (di sebelah timur India). Dua wilayah itu yang satu disebut Iavadiu (Aurea Chersonesos) dan yang lainnya disebut (pulau) Tapeobana. Seperti disebut di atas, Aurea Chersonesos atau Iabadiu adalah (pulau) Sumatra dan Semenanjung Malaya, lalu dimana itu pulau Taprobana? Pulau Tabrobana yang diidentifikasi Ptolomeus adalah pulau Kalimantan. Dalam peta-peta Ptolomeus tersebut kedua wilayah yang dimaksud sama-sama dilalui garis ekuator (untuk wilayah Semenanjung tidak dilalui garis ekuator).

Lantas bahasa apa yang digunakan di pulau Djawa/Djawi (Sumatra) tersebut? Oleh karena orang Arab hanya berinteraksi dengan penduduk di wilayah pesisir (Sumatra) untuk berdagang seperti emas. kemenyan dan kamper, lalu bahasa apa yang berlaku? Dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah pesisir pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 mengindikasikan bahasa Batak dan bahasa Sanskerta. Lalu bagaimana kemudian suatu bahasa disebut bahasa Djawi?


Dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah pesisir pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 yang mengindikasikan bahasa Batak, lalu dalam perkembangannya terbentuk bahasa Melayu. Fakta bahwa bahasa Melayu mirip bahasa Batak. Terbentuknya bahasa Melayu sebagai suatu bahasa yang semakin menjauh dari induknya (bahasa Batak) diduga intensitas orang Arab/Persia di Sumatra (pulau Djawa/Djawi) semakin tinggi. Intensitas yang semakin tinggi ini, di satu sisi semakin banyak penduduk Sumatra yang beragama Islam (di Atjeh) dan di sisi lain diintroduksi aksara Arab, untuk menggantikan aksara Pallawa. Oleh karena aksara yang diintroduksi tersebut tidak sepenuhnya sama dengan aksara Arab lalu disebut aksara Dajwi, sedangkan bahasa yang digunakan sesuai perkembangan bahasa Melayu) itu sendiri kemudian disebut bahasa Djawi.

Bahasa Arab adalah satu hal, bahasa Persia adalah hal lain lagi. Orang Arab menyebut pulau Sumatra dengan nama Djawi dan orang Persia menyebut dengan Djawa. Aksara Arab adalah aksara bahasa Arab. Dalam perkembangannya, bahasa Persia menggunakan aksara Arab. Dari sinilah diduga munculnya penyebutan nama bahasa Djawi dan aksara Djawi.


Salah satu teks tertua bahasa Djawi dengan menggunakan aksara Djawi (Arab gundul) ditemukan dalam prasasti Trenggano (yang berasal dari abad ke-14). Dalam teks prasasti Trenggano ini masih tercampur dengan berbagai bahasa (Batak, Sanskerta dan Arab).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Maleier, Malejbar, Maleiwar, Malawar: Malaya Dwipa, Maleu-kolon dan Mo-lo-yu

Pencarian nama Djawi sebagai suatu bahasa dan suatu aksara sudah sejak lama dilakukan. George Henric Werndly (1736) telah merangkumkannya. Demkian juga halnya dengan pencarian nama Melayu sebagai suatu bahasa. Nama yang kemudian menggantikan nama bahasa Djawi menjadi nama bahasa Melayu.


Aksara Djawi dari dulu disebut aksara Djawi. Demikian juga nama aksara tersebut hingga masa ini tetap disebut aksara Djawi. Namun nama bahasa Djawi telah diubah/berubah menjadi nama bahasa Melayu. Perubahan nama bahasa ini dari nama bahasa Djawi menjadi nama bahasa Melayu belum lama berlungsung. Saat kehadiran orang Eropa di Hindia Timur nama bahasa Djawi masih eksis.  

Nama mirip Melayu disebut oleh I’tsing pada abad ke-7 sebagai Moluyu yang berada di pantai timur Sumatra. Nama Moloyu ini diduga kuat berada diantara sungai Sosa (hulu sungai Rokan Kanan) dan sungai Sangkilon. Dua sungai ini berhulu di gunung Maleya. Di hilir sungai Sangkilon bertemu sungai Batang Pane di Minanga; sementara di hilir sungai Sosa bertemu sungai Batang Sutam di Tambusai. I’tsing selain menyebut nama Mo-lo-yu juga menyebut bana Kin-tchiu dan nama Po-lu-sse. I’tsing menyebut Po-lu-sse, yang terletak paling barat, dan berlanjut ke pantai timur. Dalam konteks inilah nama Minanga (dalam prasasti Kedoekan Boekit 682) diduga berkaitan (pelabuhan Baros di barat Padang Lawas dan pelabuhan Minanga di timur Padang Lawas)


Sebelum era I’tsing disebut dalam catatan Tiongkok dinasti Leang (502-556) nama-nama tempat pulau emas Kin-lin, Tu-k'un, Pien-tiu of Pan-tiu, Kiu-li of Ktu-tchiu dan Pi-song. I’tsing disebut menyebut Kin-lin sebagai Kin-tchiu (lihat JWJ Wellan, 1934). Laporan Tiongkok tahun 515.menyebut nama Langga-Soe atau Langga. I’tsing (sesuai hasil bacaan Prof Chavannes dan hasil terjemahan dan bacaan Dr Takakusu dan terhadap laporan I’tsing dalam Prof Kern: Een Chineesch reiziger op Sumatra di dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 1, 1897) disebutkan perjalanannya dari Canton mencapai Bhodja (Kamboja?) dalam waktu dua puluh hari. Dimana dia tinggal selama tiga bulan. Lalu berangkat dengan pelayaran 15 hari ke Moloyu dan tinggal dua bulan (dimana terdapat pohon pinus). Setelah tinggal disini selama dua bulan. Selanjutnya berangkat berlayar 14 hari ke Kie-tja dan kemudian menuju utara dari Kie-tja, tercapai setelah sepuluh hari berlayar, seseorang mencapai negeri orang telanjang (Andaman?) dan seterusnya ke Nalanda. Setelah tinggal selama sepuluh tahun di Nalanda, kembali melalui Kie-tja dan Bhoja. Di Bodja dia tinggal cukup lama sebelum ke Tiongkok. Ia tidak tinggal lama di tanah kelahirannya, karena ia berangkat pada tahun 689 dia kembali ke Bhodja, di mana dia menyelesaikan beberapa karyanya sampai tahun 895. Selama bekerja di Bodja, I-tsing berkunjung ke Sumatera sebanyak tiga kali. I-tsing menyebutkan selusin “pulau-pulau” yang paling barat pulau adalah wilayah Po-loe-she. Dalam fase ini I’tsing juga menyebut nama tempat Sêng-ho-lo. I’tsing juga menyebut nama Koe-loen atau Koen-loen (pulau emas) dan nama A-shan. Dalam hal ini dimana nama-nama tempat itu? Bodja adalah Kamboja, Moloyu adalah Maleya serta dimana itu Kie-tja? Lalu bagaimana dengan nama A-shan? Seperti disebut di atas dalam catatan Tiongkok dinasti Leang (502-556) seperti Tu-k'un, Pien-tiu of Pan-tiu, Mo-chia-man dan Pi-song serta Kiu-li of Ktu-tchiu lalu apakah berkaitan dengan nama Moloyu, Kie-tja dan A-shan? Nama-nama tempat yang disebut I’tisng dibedakan menurut tiga masa: dalam perjalanan ke Nalanda dan dalam perjalanan pulang dari Nalanda serta kembalinya I’tsing ke Bodja dan kunjungannya tiga kali ke Sumatra. Nama apakah nama A-shan adalah Asahan? Selanjutnya dimana letak Kie-tja? I’tsing dalam perjalanan ke Nalanda menyebut nama Mo-chia-man di sebelah barat. Kecuali Bodja, nama-nama yang disebut oleh I’tsing diduga hanya terbatas di Sumatra bagian utara termasuk Mo-chia-man (Pasaman). Para peneliti pada era Pemerintah Hindia Belanda sangat sulit menemukan nama Kie-tja ini dimana berada. Kie-tja menurut Dr Beal adalah Këdah. Apakah itu benar? Dari semua nama-nama yang disebut di atas dari abad ke-6 sejatinya hanya menggambarkan nama-nama tempat di pulau Sumatra (khususnya di bagian utara). Nama tempat Kie-tja haruslah di seputar itu. Apakah Kie-tja adalah Kisaran? Sebagaimaimana diketahui nama Kisaran berada di (sungai) Asahan. Bagaimana dengan dengan nama Sêng-ho-lo? Apakah Sêng-ho-lo adalah nama Sangkunur di pantai barat atau Sangkilon di pantai timur? Asahan. Catatan Tiongkok tahun 904/5 disebut nama San-fo-ts'i nama yang diduga Tambusai,

Dari nama-nama yang disebut di atas, jika Moloyu adalah Maleya, maka nama-nama tempat yang disebut dalam teks Tiongkok dan prasasti abad ke-7 adalah nama-nama yang bedekatan dengan Melayu/Moloyu di Sumatra bagian utara. Nama Moloyu/Melayu adalah nama geografis, lalu bagaimana nama Melayu menjadi nama bahasa? Pembicaraan nama Melayu sendiri menurut George Henric Werndly (1736) yang terawal ditemukan dalam tulisan seorang Prancis bernama Bartholomeus van Herbelot (tidak disebutkan tahun).


MALAI. Kronik Sejarah Duniawi Timur demikianlah sebutan negeri Hindia yang biasa kita sebut pantai Malabar. Namun, dalam buku-buku mereka beberapa kali ditemukan nama Malaibar, yang artinya sama dengan Tanah Malai. Saat ini kita masih menyebut masyarakat di negara tersebut dengan sebutan Melayu, dan bahasa mereka adalah bahasa Melayu. Beberapa orang percaya bahwa kata Bar, ditambah setelah kata Malai, berasal dari bahasa Arab, seperti jika ada kata Bahr, yang berarti laut; namun yang pasti itu adalah kata India atau Persia yang berarti tanah. Edrissi mencatat bahwa penduduk Pulau Komr, Tanjung Komorin, yang merupakan orang Melayu, melakukan pembajakan dengan kekuatan perampok, dengan kapal panjangnya sekitar sembilan puluh kaki, dan biasanya membawa seratus lima puluh orang.

Nama Malai ini mengingatkan nama Indus, yang kemudian nama Indus (India) menjadi nama Indunesia dan Indonesia (kepulauan Indus/India). Salah satu pulau di kepulauan Indonesia bagi orang Persia disebut Djawa dan orang Arab menyebutnya Djawi. Seperti disebut di atas nama bahasa Djawi telah berubah menjadi nama bahasa Melayu, lalu apakah nama Melayu ini berasal dari Malai sebagaimana di India disebut Malaibar (bahasa Arab/Persia: Tanah Malai) sebagaimana dicatat Bartholomeus van Herbelot. Dalam hal ini, ada perbedaan antara Djawa/Djawi dengan Malaibar/Malaiyu.


George Henric Werndly (1736) juga mengutip dari catatan geografi dari Relandt, Cosmas

Indicopleuftes dan Autheur (semuanya tanpa tahun) bahwa mereka menyebut nama Malejada nama tempat yang disebut Melaj yang mana diidentifikasi nama kota utama sebagai Melaij di pulau Alkhomr, sebuah pulau di kepulauan Maldivifche eilanden (kini Maladewa) dan juga ditemukan di kepulauan ini kota utama lainnya sebagai Male. Dalam catatan lainnya yang dikutip George Henric Werndly disebut nama tempat Maleialam. Herbelot, menurut George Henric Werndly menyebut nama Malawar yang di dalam catatan geografis lain (Groot Algemeen Hiſtoriſch, Geographifch, Genealogiſch en Oordeelkundig Woordenboek van David van Hoogstraten en Jan Lodewyk Schuer) dengan nama Malabares atau Malavares. 

Bagaimana nama-nama tempat Maleier, Malejbar, Maleiwar dan Mâlâwar terkait satu sama lain tetap masih membingungkan bagi George Henric Werndly. Namun demikian George Henric Werndly, lepas dari penyebutan nama-nama tersebut, bahwa bahasa yang disebut bahasa Melayu (di Sumatra dan Semenanjung) digunakan dalam perdagangan di Borneo, Java, Celebes, Ambon, Banda, Ternate dan pulau-pulau lainnya. Nama bahasa Melayu inilah yang kemudian menurut George Henric Werndly yang digunakan Eropa/Belanda sejak kehadirannya di Hindia Timur.


Ini mengindikasikan bahwa penyebutan bahasa Melayu sudah umum sebelum ekspedisi Belanda pertama ke Hindia Timur. Seperti disebut di atas nama bahasa Djawi berasal dari nama pulau Djawa oleh orang-orang Arab/Persia; nama Malayu/Melayu dalam hal ini juga diduga merupakan nama yang diberikan oleh orang Arab/Persia sebagaimana orang Arab/Persia menyebut nama-nama Maleier, Malejbar, Maleiwar dan Mâlâwar.  

Dalam hubungan ini, nama bahasa Melayu tidak terkait dengan nama Moloyu yang pertama kali disebut I’tsing di Sumatra, tetapi lebih pada nama-nama yang kemudian disebut nama Malai oleh orang Arab/Pesia di India. Demikian juga sebelumnya, dengan nama bahasa/aksara Djawi yang berasal dari orang Arab/Persia. Lantas mengapa nama bahasa Melayu yang dipilih oleh orang Eropa jika dibandingkan dengan nama bahasa Djawi? Fakta bahwa pada saat awal kehadiran Belanda di Hindia Timur kedua nama tersebut eksis. Dalam hal ini bahasa Djawi adalah nama awal dan kemudian lebih baru disebut dengan nama bahasa Melayu. Namun tidak demikian dengan nama aksara tetap disebut aksara Djawi.


Aksara Djawi adalah aksara Arab (gundul), aksara yang diintroduksi oleh orang Arab/Persia sejak lama (menggantikan aksara Pallawa). Terhadap bahasa yang menggunakan aksara Djawi ini disebut bahasa Djawi. Sementara itu, muncul penyebutan nama bahasa Melayu yang kemudian diadopsi oleh orang Eropa/Belanda (daripada nama bahasa Djawi). Orang Eropa/Belanda tidak menggunakan aksara Djawi tetapi dengan membawa aksaranya sendiri (aksara Latin). Hal itulah kemudian sejak kehadiran Belanda di Hindia Timur yang umum disebut adalah bahasa Melayu dengan aksara Latin.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar