Jumat, 14 Januari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (355): Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Wilayah Papua; Soal Pembentukan Negara Indonesia Timur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Wilayah Papua bagian barat (kini provinsi Papua dan provinsi Papua Barat)  adalah wilayah Indonesia Timur (Groot Oost) yang dipisahkan pada saat pembentukan negara federal Negara Indonesia Timur (NIT). Pertanyaannya: mengapa dipisahkan? Padahal para pemimpin Papua sangat antusias baik dalam persiapan maupun pada saat Konferensi Malino. Siapa yang memisahkan? Jawabnya adalah Kerajaan Belanda melalui Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (NICA) HJ van Mook. Padahal para pemimpin Indonesia ingin bersama-sama dengan para pemimpin Papua.

Indonesia Timur, atau disebut juga Kawasan Timur Indonesia (KTI), adalah sebuah kawasan di bagian timur Indonesia yang meliputi Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara (termasuk Bali), Kepulauan Maluku, dan Papua. Pada masa Hindia Belanda, kawasan ini pernah tergabung dalam satu provinsi (gouvernement) bernama Timur Raya (Groote Oost) dengan ibu kota Makassar. Selanjutnya pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), kawasan Indonesia Timur (kecuali Papua) juga menjadi negara bagian bernama Negara Indonesia Timur (1946–1950), yang dibentuk setelah dilaksanakan Konferensi Malino pada tanggal 16-22 Juli 1946 dan Konferensi Denpasar dari tanggal 7-24 Desember 1946. Pada masa sekarang, Indonesia Timur terdiri dari 13 provinsi, yakni:  Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua  (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah pemisahan wilayah Papua pada masa pembentukan negara federal Negara Indonesia Timur? Sampai sejauh ini tidak ada yang pernah menulisnya. Sebab orang lebih tertarik pada upaya Republik Indonesia (NKRI) untuk merebut wilayah Papua dari tangan Kerajaan Belanda. Dalam hal inilah satu mata rantai yang hilang menjadi putus dalam pemahaman sejarah masa kini. Lalu bagaimana sejarah pemisahan wilayah Papua pada masa pembentukan negara federal Negara Indonesia Timur? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Wilayah Papua; Pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT)

Pada Konferensi Malino yang dipimpin oleh HJ van Mook telah mengundang perwakilan Borneo dan Indonesia Timur  (pertengahan Juli 1946) termasuk hadir perwakilan dari Papoea. Dalam Konferensi Denpasar (18-24 Desember 1946) yang dalam hubungannya gagasan pembentukan Negara Indonesia Timur yang dikreasi Belanda/NICA perwakilan Papoea tidak hadir atau tidak dihadirkan. Mengapa? Yang jelas para peserta konferenasi sekitar 70 orang (minus perwakilan Papoea) mempertanyakan tidak dihadirkannnya perwakilan Papoea dan kemudian muncul protes yang menyatakan ‘kami semua ingin bergabung’ dan ‘apa artinya Groot Oost (Timur Besar) sambil mengolok-olok ‘ini namanya Kleine Oost’ (lihat  Arnhemsche courant, 04-01-1947).

Perundingan Linggarjati (Cirebon) adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda/NICA di Linggarjati, yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Djakarta pada 15 November 1946 (dan baru ditandatangani secara sah oleh kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947). Dalam konteks ini Perundingan Linggarjati dilaksanakan pasca Konferensi Malino tetapi baru disahkan pasca Konferebsi Denpasar. Ini mengindikasikan Belanda/NICA tengah berada di atas angin setelah Kerajaan Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat pada tangal 14 Agustus 1945. Sebagaimana diketahui beberapa hari kemudian, saat pemerintah militer Jepang di Indonesia wait en see, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam proklamasi ini Presiden Soekarno membacakan ‘kami bangsa Indonesia’ dan ‘atas nama bangsa Indonesia’. Saat itu, Belanda (Kerajaan Belanda) entah dimana, orang-orang Belanda di Indonesia sejak pendudukan militer Jepang tengah beraada di kamp interniran. Okelah, Kerajaan Belanda masih memiliki kepentingan dengan pembebasan para interniran, tetapi tidak relevan lagi dengan kekuasaannya di wilayah Indonesia (eks Hindia Belanda) karena sudah beralih ke dalam pengakuan bangsa sa Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Dalam hal ini, wilayah Indonesia yang dimaksud dalam proklamasi adalah eks Hindia Belanda, termasuk wilayah Papua.  

Lantas mengapa Belanda/NICA menghalangi kehadiran perwakilan Papoea pada Konferensi Denpasar yang memunculkan reaksi keras dari wakil-wakil bangsa Indonesia lainnya. Yang jelas pada Konferensi Denpasar para peserta sangat kesal karena HJ van Mook sebelas hari terlambat datang (lihat Arnhemsche courant, 04-01-1947). Dalam hal ini Belanda/NICA yang dipimpin oleh HJ van Mook telah memisahkan wilayah Papoea menjadi bagian bangsa Indonesia. Sementara itu dalam konteks Perundingan Linggarjri pihak Belanda/NICA telah sukses menekan Pemerintah Republik Indonesia (sebagai penerapan Proklamasi 17 Agustus 1945) sehingga hanya tersisa Sumatra, Jawa, dan Madura (selain HJ van Mook sangat sibuk dalam hal ini, hasil perundingan Linggarjati meski belum disahkan, sangat diperlukan dibawa ke Konferesi Denpasar sekalipun telah sebelas hari). Dalam hal ini Belanda/NICA telah berhasil memecah (belah) bangsa Indonesia ke dalam tiga bagian wilayah Indonesia yang terpisah/dipisahkan, yakni: 1. Wilayah Sumatra, Jawa dan Madura; 2. Wilayah Borneo dan (Negara) Indonesia Timur; 3. Wilayah Papoea.

Kerajaan Belanda melalui Pemerintah NI/NICA yang dipimpin oleh HJ van Mook terus menekan bangsa Indonesia yang masih berjuang melawan Belanda hingga pada akhirnyas kembali diadakan perindingan di atas kapal Amerika Serikat, Renville. Hasil Perundingan Renville (l 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948) sisa wilayah Republik Indonesia (dari Sabang hingga Merauke) hanya tinggal Jawa Tengah, Djogjakarta dan sebagian besar Sumatra. Tentu saja Kerajaan Belanda semakin jumawa, misinya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, telah berhasil. Bagaimana dengab para pendukung Belanda (dari sisi bangsa Indonesia disebut golongan para penghianat bangsa), tentu pula sama dengan tuannya (Belanda) semakin jumawa (harus diingat di wilayah-wilayah pendudukan Belanda/NICA yang membentuk negara federal masih eksis para Republiken, para pendukung RI). Lalu bagaimana dengan wilayah Papua dan bagaimana respon para pemimpinnya dengan situasi dan kondisi yang terbaru? Seperti kita lihat nanti, para pemimpin Papoea semakin gelisah. Mereka tidak ingin punya tuan, tetapi hanya ingin merdeka bersama sebangsa dan setanah air dengan rekan sebanngsanya seluruh bangsa Indonesia. Mereka sadar membangun Papoea di bawah penjajahan (Belanda) tidak akan menolong, tetapi membangun Papoea bersama-sama bangsa Indonesia. Lalu apakah ada penghianat di wilayah Papoea? Seperti kita lihat nanti, tentu ada seperti halnya di Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Soenda Ketjil dan Maluku.

Akhirnya perjuangan bangsa Indonesia (Republiken) melawan Kerajaan Belanda (NICA) kembali ke perundingan (Roem-Roiyen) yang dimulai pada bulan April 1949. Hasil perundingan ini akan dilengkapi dengan perundingan yaang disebut Konferensi Medja Boendar (KMB) yang akan diadakan di Den Haag. Hasil Perundingan KMB, kembali Kerajaan Belanda memisahkan wilayah Papoea.

Konferensi KMB secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut: (1) Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat; (2)     Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland; (3) Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949. Keterangan tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut: (a) Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun; (b) Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara; (c) Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat. Parlemen Belanda memperdebatkan kesepakatan tersebut, dan Majelis Tinggi dan Rendah meratifikasinya pada tanggal 21 Desember oleh mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan. Terlepas dari kritik khususnya mengenai asumsi utang pemerintah Belanda dan status Papua Barat yang belum terselesaikan, legislatif Indonesia, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), meratifikasi kesepakatan tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Kedaulatan dipindahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 (lihat Wikipedia).

Pengakuan kedaulatan Indonesia (hasil perjanjian KMB) lagi-lagi mencermikan gambaran yang diintroduksi Pemerintah Belanda/NICA pada Konferensi Denpasar (Desember 1946) yang dalam hal ini menjadi: 1. Republik Indonesia Serikat (RIS); 2. Wilayah Papoea; 3. Republik Indonesia sebagai bagian dari RIS). Dalam hal ini, wilayah negara-negara federal (termasuk Negara Indonesia Timur) terkesan sangat diuntungkan. Sebaliknya sisa wilayah Republik Indonesia dan wilayah Papoea dimandulkan.

Di luar wilayah Papoea, di dalam struktur RIS, meski sisa wilayah Republik dimarjinalkan, tetapi para pemimpin politiknya yang masih sangat kuat (sebaliknya para pemimpin Indonesia di wilayah federal sangat lemah dan hanya terkesan kuat karena kehadiran Belanda, tuan mereka). Di wilayah Papoea, para pemimpinnya masih melihat dengan sangat jelas konstelasi politik terbaru ini (pasca perjanjian KMB). Para pemimpin Indonesia di Papoea, tidak melihat para pemimpin Indonesia di wilayah federal, tetapi lebih melihat pada para pemimpin Indonesia di sisa wilayah Republik Indonesia. Memang para misionaris di wilayah Papoea sedikit langsung tidak langsung merecoki soal politik ini, tetapi sebaliknya, meski barier yang semakin ketat apalagi jaraknya jauh, justri semakin kuat sinyal koneksi dengan para Republiken. Para pemimpin Papoea sejauh itu akan wait en see (dengan tetap membantu para Republiken), ketika para Republiken mengusir Belanda dari bumi Papoea dan para pemimpin Pepoea akan kembali berada sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia (yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945). Lantas apakah ada yang tetap 100 persen pendukung Belanda? Seperti kita lihat nanti, cukup banyak tidak hanya di Maluku dan Sulawesi serta Soenda Ketjil, juga di Borneo, Jawa dan Sumatra. Mereka ini akan kabur ke Belanda pada saat terbentuknya (kembali) NK(RI). Juga hal serupa terdapat di wilayah Papoea.

Seperti disebut di atas, para Republiken tidak hanya berada di sisa wilayah Republik Indonesia, tetapi juga terus eksis di wilayah-wilayah federal termasuk di Negara Indonesia Timur. Tentu saja ada Republiken di wilayah Papoea. Tokoh-tokoh Republiken tersebut di Sulawesi antara lain Dr Sam Ratulangi, di wilayah Soenda Ketjil Mr Ktoet Poedja, di wilayah Maluku antara lain Mr Latuharhary dan Ir Putuhena. Lalu siapa di wilayah Papoea? Kita lihat nanti. Semua para Republiken ini terus bergerak dan pada akhirnya Republik Boneka ala Kerajaan Belanda (RIS) dibubarkan dan semua kembali ke negara kesatuan (NKRI) sesuai dengan prinsip dan semangat proklamasi kemerdekaan (bangsa) Indonesia 17 Agustus 1945.

Presiden Soekarno (Presiden RIS) hanya menunggu waktu untuk kembali NKRI. Langkah pertama Tentara Indonesia (TNI) bahu membahu dengan para Republiken di seluruh wilayah yang didefinisikan Kerajaan Belanda sebagai wilayah RIS (minus wilayah Papoea). Sebab di wilayah Papoea hanya berdiri tentara Belanda (KNIL). Tentara yang paling dibenci oleh para pemimpin Papoea dari golongan Republiken. Satu yang pasti dalam hal ini jumlah TNI jauh lebih banyak dari KNIL di wilayah RIS. Jika dibandingkan pada masa perang kemerdekaan, persenjataan TNI sangat minim, tetapi pada era RIS TNI leluasa memiliki akses terhadap persenjataan plus para KNIL (dari golongan pribumi) banyak yang rela masuk menjadi TNI. KNIL semakin terjepit, sebaliknya para KNIL sekarang yang memberontak. Dalam situasi dunia terbalik ini, para pemimpin Papoea melihat itu dengan jelas. Pengentasan KNIL di wilayah Papoea juga dipandang para pemimpin Papoea hanya menunggu waktu. Paling tidak dalam fase ini dua komandan TNI saling mendukung yakni Jenderal TB Simatoepang (KASAP-APRIS) dan Major Jenderal Abdoel Haris Nasution (KASAD-APRIS). Saat-sat kekuatan TNI merangsek ke wilayah federal (karena termasuk wilayah RIS), yang sebelumnya para komandan KNIL Belanda yang memberontak (seperti Westerling), kini para komandan KNIL pribumi yang mulai memberontak seperti di Sulawesi Selatan (Andi Azis) dan di Maluku (para KNIL pro RMS). Mereka ini hanya menunggu waktu untuk dijinakkan TNI (sementara KNIL Belanda) berangsur-angsur telah dipulangkan kembali ke Belanda. Saat ekskalasi politik inilah para pemimpin Papoea terus menjalin kontak dengan para pemimpin Republiken (bukan dengan para pemimpin federalis). Dengan demikian pada waktu TNI akan head to head dengan KNIL Belanda di wilayah Papoea. Lalu apakah ada orang Papoea yang menjadi TNI? Seperti kita lihat nanti, tentu saja ada (seiring dengan para pemimpin di Papoea yang menjalin intens komunikasi dengan para pemimpin Republiken). Catatan: Republiken diartikan sebagai 100 persen menentang (penjajah) Belanda..

Presiden Soekarno pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950 menyatakan Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan. Sekarang semua pendukung negara federal (pederalis) dan pendukung Belanda (termasuk Indo molohok. Gelombang arus laut, yang juga ditunggu para pemimpin Papoea’ telah berbalik arah. Lalu keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1950 NKRI diproklamasikan. Tamat sudah RIS. Lantas bagaimana dengan wilayah Papoea? Tentu saja Presiden Soekarno sudah siap lahir batin dengan setrategi dan taktik yang akan dijalankan yakni menjatuhkan tentara Belanda KNIL di wilayah Papoea dan mengusir semua orang Belanda di Tanah Papoea sambil menyiapkan reorganisasi (struktur) pemerintah yang baru di wilayah Papoea (para Republiken di wilayah Papoea menjadi kandidat dan prioritas, karena merekalah yang nyata ikut berjuang bersama di seluruh wilayah Indonesia). Motto pertama yang dipaungkan Presiden Soekarno dengan nama Irian Barat dan kota Jayapoera.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Negara Indonesia Timur (NIT) dan NKRI: Upaya Merebut Wilayah Papua

Boleh jadi HJ van Mook menjelaskan lain ketidakhadiran perwakilan wilayah Papoea dalam Konferensi Danpasar (18-24 Desember 1946), tetap dalam pers Belanda yang dibicarakan alasan memisahkan wilayah Papoea dari Negara Indonesia Timur, yang juga dapat dibaca pada Arnhemsche courant, 04-01-1947 adalah minimnya (anggaran) keuangan Kerajaan Belanda yang dikucurkan untuk pendudukan di wilayah Indonesia (termasuk pembentukan Negara Indonesia Timur) dan potensi yang tersimpan di bumi Papoea yang akan digarap kemudian. Dalam hal ini pemisahan wilayaj Papoea (dari NIT) sebagai alasan kondisional dan prospektus.

Hingga tahun 1937 wilayah Pepoea telah diabaikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak lama (bahkan sejak VOC). Selama ini hanya orang-orang Maluku (Seram, Banda, Kei dan Aroe) serta orang-orang Halmahera dan Tidore yang terus membina perdagangan dengan orang-orang Papoea, Kehadiran orang-orang Belanda sangat minim (tetapi disubstitusi oleh para misionaris yang semakin banyak). Tentu saja para misionaris di Papoea memiliki kepentingan sendiri (yang mungkin berbeda dengan misi perdagangan dari wilayah tetangga di pantai barat Papoea dan pantai utara Papoea. Sebagaimana diketahui wilayah pantai Papoea sudah terbuka sejak lama dari orang-orang asing seperti pedagang-pedagang Jepang dan pelaut-pelaut Amerika Serikat. Penemuan minyak di wilayah Papoea (terutama Fakfak) telah mendorong pengusaha Jepang lebih intens melakukan perdagangan di wilayah Sulawesi bagian utara, Maluku dan wilayah Papoea, selain hasil-hasil laut dan kehutanan kemudian sumber minyak. Dalam hal ini para pedagang Jepang lebih banyak di wilayah Papoea daripada Belanda sendiri. Seiring dengan misi invasi Jepang ke wilayah selatan, Wilayah Papoea di mata orang Jepang menjadi penting karena karena pusat perdagangan Jepang sudah berada di Palau. Dalam hal ini maskapai penerbangan Jepang sudah merintis koneksi antara Palau dengan Manado dan Fakfak yang akan dihubungkan dengan Dilli (Portugis). Sejak eksplorasi minyak Jepang dan semakin intensnya pedagang Jepang di wilayah Papoea baru Pemerintah Hindia Belanda mulai memperhatikan wilayah Papoea. Ini jelas sangat terlembat, meski demikian, prospek minyak menjadi daya tarik baru bagi Pemerintah Hindia Belanda (bukan bagi para pedagang orang-orang Belanda). Namun sebelum Pemerintah Hindia Belanda melangkah lebih lanjut di wilayah Papoea, serangan militer Jepang sudah membombardir Pontianak, Tarakan, Minahasa, Ambon dan Fakfak. Serangan ini menandai awal permulaan pendudukan militer Jepang di Indonesia (baca: Hindia Belanda).

Orang Belanda memang terlambat di wilayah Papoea, yang justru didahului orang-orang Jepang, maka pasca berakhirnya pendudukan militer Jepang di Indonesia, perhatian Kerajaan Belanda (yang membonceng Sekutu/Inggris) mulai memperhatikan secara intens sebagai wilayah yang dicadangkan jika okupasi bagian wilayah Indonesia Timur (baca: Negara Indonesia Timur) tidak berhasil. Pengetahuan orang Jepang tentangc wilayah Papoea menambah pengetahuan orang Belanda (Pemerintah Belanda/NICA).

Sebagaimana penjajah (terutama Belanda, tidak termasuk Jepang) sejatinya tidak terlalu memperhatikan penduduk (termasuk penduduk di wilayah Papoea), hal ini karena motifnya hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Seperti halnya di berbagai pulau di wilayah Hindia Belanda, di wilayah Papoea juga penduduk abaikan atau ditelantarkan. Hal itulah mengapa muncup para pejuanga revolusioner Indonesia seperti disebut di atas (Republiken) yang dimulai di Jawa dan Sumatra. Perjuangan para revolusioner yang sudah terdapat di seluruh Indonesia termasuk di wilayah Papoea mulai mengalami krisis (terancam) pada era pendudukan Belanda/NICA saat pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT).

Seperti disebut di atas, perwakilan Papoea hadir pada Konferensi Malino, tetapi kemudian dihalangi menuju Konferensi Denpasar. Padahal disebutkan dalam rancangan yang telah dikomunikasikan ke berbagai pihak di wilayah Indonesia Timur termasuk wilayah Papoea tetapi ketika HJ van Mook yang terlambat datang, rancangan telah mengalami revisi, wilayah Papoea tidak lagi ada di dalam rancangan terakhir. Hal itulah yang menyebabkan peserta Konferensi Denpasar sempat protes, tetapi bagi orang-orang Belanda yang hadir dalam konferensi show must go on. Dalam pers Belanda malah cari alasan mengapa perwakilan Papoea tidak hadir: ‘penduduk di wilayah Papoea dari orang Papua dan Pigmi dari ras Polinesia yang sebagian besar masih hidup di Zaman Batu dan bagi mereka sama sekali tidak mungkin untuk memiliki perwakilan’. Nah, tuh! Apa iya? Hal semacam ini tipikal jawaban orang-orang Belanda (tidak hanya Pemerintah Hindia Belanda) yang selalu mengatakan ‘orang Indonesia masih hijau dan tidak mungkin merdeka memiliki pemerintahan sendiri’. Pada saat suatu rapat umum pada tahun 1929 menyampaikan pendapatnya ‘pinang, mau kuning atau merah tetap pinang’ (mungkin maksudnya meski pinang kulitnya masih berwarna hijau, menguning atau memerah isi pinangnya sama saja jika dimakan). Bahkan soal hijau ini masih alasan Belanda bahkan hingga detik-detik berakhirnya Belanda (menjelang kehadiran Jepang).

Wilayah Papoea, bahkan sejak era VOC atau Portugis bukanlah wilayah kosong. Wilayah Papoea adalah wilayah yang ramai yang selalu dikunjungi, terutama pedagang-pedagang Tidore, dimana di wilayah pantai dibentuk pemerintahan lokal yang terintegrasi dengan para pemimpin Papoea di belakang pantai atau di wilayh pedalama dalam hubungan perdagangan perkembangan sosial. Dalam hal ini para pemimpin Papoea bahkan hingga ke pedalaman tidak dalam wujud kertas kosong. Para pedagang-pedagang yang berbasis di muara-muara sungai dengan leluasa dengan perahunya memasuki wilayah pedalaman melalui jalur-jalur navigasi sungai. Interaksi yang berkelanjutan sudah barang tentu para pemimpin Papoea bahkan hingga pedalaman sudah terpelajar (meski mereka masih terbatas pada arti pemimpin yang bersifat komunal atau suku-suku yang banyak dengan populasi yang jarang. Di atas pondasi awal perdagangan dari Tidore (yang kemudian diikuti dari wilayah Mauluku) dan interaksi yang intens dengan (pemimpin) populasi menyusul belakang para pedagang Arab dan Cina dari Ternate, Ambon, Saparua, Banda, Makassar dan Bima atau Koepang. Dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda terlambat masuk ke wilayah Papoea (bahkan didahului oleh para misionaris) tetapi sudah sejak lama rasa kebangsaan yang sudah dapat dikatakan bangsa Indonesia (untuk pengganti nama Hindia Belanda). Dalam hal ini pangkal perkara pemisahan wilayah Papoea dimulai pada Konferensi Denpasar 1946.

Setelah kembalinya ke negara kesatuan (NKRI) pada tahun 1950, orang yang pertama dan yang terus mendengungkan mengusir Belanda dan merebut wilayah Papoea adalah Presiden Soekarno. Mengapa bisa begitu? Wilayah Indonesia yang merdeka yang diperjuangkan Ir Soekarno sejak 1927 adalah keseluruhan wilayah yang disebut batas-batas administrasi wilayah Hindia Belanda (Sabang sampai Merauke, Sangir hingga Rote). Wilayah yang tidak perlu lagi dikorting. Sudah cukup kehilangan Semenanjung Malaya dan Borneo Utara (wilayah Timor bagian timur tidak dipersoalkan karena sejak dahulu sudah atau tetap berada di bawah Portugis, sejak era VOC).

Wilayah nusantara sudah terhubung sejak zaman kuno, bahkan sejak Kerajaan Aru hingga Kerajaan Madjapahit hingga kedatangan pelaut-pelaut Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597). Pelaut-pelaut Kerajaan Aru sudah mencapai Maori (Selandia Baru) melalui jalur navigasi Borneo, Mindanao/Manado, Amboina, pantai barat Papoea, Selat Torres hingga pantai timur Australia di wilayah Maori. Hal itulah mengapa banyak kosa Batak di dalam bahasa Maori dan juga nama yang muncul pada pulau besar di sisi barat wilayah Papoea, Pulau Aroe. Pelaut-pelaut Kerajaan Majapahit menyilang jalur navigasi Kerajaan Aroe ke wilayah timur nusantara hingga mencapai Maluku dan Onim (di wilayah Papoea). Pelaut-pelaut Kerajaan Aroe diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor atau Mores (hal itulah mengapa muncul nama pulau Morotai dan pelabuhan Fort Moresby; nama wilayah Kaimana awalnya adalah wilayah Moresche). Suksesi jalur navigasi Kerajaan Aroe inilah yang kemudian terbentuk kerajaan-kerajan baru seperti Djai-lolo (Halmahera), Sap-aroe-a, Maluku (dari Malaka), Ambo-ina, Ternate, Tidore, Makian (Batjan), Boeroe (B-aroe), Sulabesi dan sebagainya. Kerajaan-kerajaan inilah yang melanjutkan dinamika perdagangan di wilayah Papoea. Lantas bagaimana sisa nusantara yang dalam hal ini Indonesia (eks Hindia Belanda)? Itu bermula tahun 1605 pelaut-pelaut Belanda mengusir Portugis dari Amboina, Ternate dan kemudian Solor dan Koepang (sehingga Portugis menyingkir ke bagian timur pulau Timor (kini Timor Leste). Lalu kemudian pelaut Belanda menduduki muara sungai Tjiliwong (terbentuknya Batavia). Dari Batavia dengan nama VOC mengusir Portugis di Malaka (1641) dan Kamboja (1642) sehingga Portgis hanya tersisa Macao dan Timor bagian timur. Selanjutnya pelaut-pelaut VOC yang telah menguasai perdagangan di Jawa dan Sumatra (minus Atjeh) mencapai Australia dan Maori (Selandia Baroe) di bawah ekspedisi Abel Tasman pada tahun 1644 (menjadi asal usul nama pulau Tasmania) dan mengusir Spanyol (yang berbasis di Zebu Filipina) dari Manado pada tahun 1657. Jalur perdagangan nusantara inilah yang diokpuasi pedagang-pedagang VOC  di pantai utara, barat, timur dan selatan Australia plus pulau Maori dan sekitar (Selandia Baru, Nieuw Zeeland) dan terakhir wilayah Papoea di Moresche (kini wilayah Kaimna) dan wilayah teluk Fakfak (teluk Bintuni) dan yang paling terakhir wilayah Radja Ampat dan teluk Biak. Setelah semua terhubung oleh VOC di wilayah nusantara, Inggris yang berbasis di Calcutta dan Madras mulai mengokuvasi pantai barat Sumatra di Bengkoeloe tahun 1781 setelah pelaut Inggiris James Cook merekomendasikan wilayah Australia (terutama pantai timur/Sydney) sebagai koloni baru setelah orang-orang Inggris terusir dari Amerika yang diproklamasikan pada tanggal 4 Juli 1774. Awalnya koloni Australia tersebut ditjukan sebagai pembuangan narapidana ntetapi tidak lama kemudian para penduduk Inggrsi yang miskis yang tidak memiliki tanah ditrasmigrasikan ke Australia (timur di sekitar Syney dan di barat di sekitar Perth). Pendudukan Inggris atas Australia ini baru disadari orang-orang Belanda di Jawa dan di Eropa bahwa Inggrsi telah mengokupasi yanah milik Belanda di Australia. Untuk menekan orang-orang Belanda di Hindia Timur (terutama di Jawa) skuadron Inggrsi di Madras dipindahkan ke Bengkoeloe (wilayah Bengkoelo juga hilang dari Belanda). Pulau Natal dan pulau Kalapa di selatan Jawa yang dihuni penduduk nusantara terutama dari pantai selatan Jawa diduduki Inggris yang mana dua pulau ini selama ini menjadi pelabuhan penghubung navigasi pelayaran Belanda dari Afrika Selatan ke Selat Soenda. Belanda tidak berdaya atas Bengkoelo dan Australia, orang-orang Belanda hanya meratapi kehilangan, terutama tanah Australia (keseluruhan). Sejak saat inilah kapal-kapal perang VOC kerap hilir mudik di sekitar wilayah perairan Papoea. Sementara itu pada tahun 1824 antara Belanda dan Inggris tukar guling antara Bengkoeloe dan Malaka yang sejak itu Inggris menguasai sepnuhnya Semenaung Malaya yang dibatas perairan antara Singapoera dan Bintan. Tidak lama kemudian seorang pedagang Inggris yang terusir dari Tapanoeli menduduki Serawak yang menyebabkan muncul ketegangan antara Belanda dan Inggris yang pada akhirnya ditarik batas dari pantai barat Tandjoeng Datoe hingga pulau Sebatik di pantai timur yang menyebabkan Borneo Utara lepas dari wilayah Hindia Belanda. Di wilayah Papoea yang mana begitu luas wilayah Papoea dari ujung barat laut hingga tenggara, baik VOC dan Inggris tidak bisa bergerak lebih lanjut. Inggris hanya sampai memenuhi wilayah pantai utara Australia (Darwin dan sekitar) serta pulau-pulau di selat Torres (perbatasan daratan Papoea dan Australia). Frekuensi pelayaran Belanda mencapai Papoea bagian timur diduduki oleh Jerman. Pembagian wilayah Papoea antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Jerman dilakukan pada tahun 1887 dengan menaris garis lurus dari muara sungai di pantau utara Papoea (kini Skow) dan titik tertentu di pantai selatan Papoea di wilayah Moreshead (yang di tengah di pedalaman mengikuti lekuk sungai Moreshead/Bensbach). Penarikan batas di wilayah Papoea inilah yang menjadi penutup wilayah Hindia Belanda yang kelak diklaim oleh para revolusioner Indonesia termasuk Ir Soekarno sejak 1927 sebagai wilayah Indonesia (hingga ini hari).

Soal wilayah Papoea yang (tetap) diduduki Belanda (sebagaimana isi perjanjian KMB 1949) dan dengan diproklamasikannya NKRI pada tanggal 18 Agustus 1950 Presiden Soekarno semakin kencang menyuaran pembebasan wilayah bagian barat Papoea. Suara Presiden Soekarno sendiri pada dasarnya telah disampaikan segera setelah pengakuan kedaulatan Belanda (27 Desember 1949) dalam suatu kesempatan (lihat Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 07-01-1950). Disebutkan Soekarno dan kawan-kawan tidak senang selama Papoea bagian barat tidak bergabung dengan RIS. Perwakilan Indonesia di PBB, Palar menyampaikan pesan Presiden Soekarno bahwa jika Papoea belum diserahkan sebagai bagian dari RIS sebelum tahun 1951 tidak akan ada kerja sama damai antara negara Indonesia dan Belanda. Ini mengindikasikan Soekarno kini semakin garang lagi sejak 1927 dimana Soekarno familiar dengan kata-kata kepada orang Belanda ‘enyah loe, go to hell’

Sebenarnya, jika Presiden Soekarno sangat garang kepada Belanda (kerap mereka sebut Soekarno orang jahat) dan tidak ada istilah kompromi, sebaliknya sebagian orang-orang Belanda (yang tingkat pendidikannya lebih baik) lebih jahat dari Soekarno. Kita kutip kembali seorang Belanda menulis ketika Pemerintahan Belanda/NICA sudah mulai menguat di Indonesia (dimana Konferensi Malino sudah dilakukan) yang dimuat pada surat kabar Het nieuws : algemeen dagblad, 29-07-1946 dengan judul Mengapa Filipina Melakukan dan Indonesia Tidak? Sang penulis memulai tulisannya  dengan kata-kata Filipina matang untuk pemerintahan sendiri, tidak Indonesia. Hal itu tidak sesulit kelihatannya pada pandangan pertama, ketika kita mempertimbangkan sejarah pembangunan dan komposisi penduduk yang sangat berbeda dari kedua kepulauan tersebut. Seperti telah disebut di atas, kata-kata belum matang dan hijau kembali diulang. Sang penulis masih menggiring opini bahwa orang Filipina sudah matang (dari Amerika Serikat). Apakah begitu? Lalu memojokkan Indonesia lagi yang belum matang dan menginginkan kehadiran Belanda. Nah, disini terlihat trikinya Belanda. Sang penulis kembali menyitir Filipina: ‘Pemerintah Amerika Serikat tampaknya memiliki niat yang kuat agar Filipina, setelah menduduki selama empat puluh delapan tahun, Filipina memperoleh otonomi. Di ‘Insulinde’ kita disini, dunia pulau di Hindia Timur, kondisinya sama sekali berbeda dengan yang ada di Filipina. Penduduknya tidak terdiri dari delapan penduduk yang cukup homogen, tetapi delapan puluh juta jiwa yang sangat heterogen. Pulau Jawa sendiri sudah dihuni oleh tiga suku, berbeda satu sama lain dalam bahasa, tata krama dan adat istiadat, masing-masing ras secara individual melebihi jumlah seluruh penduduk Filipina.atau berbicara tujuh puluh bahasa yang berbeda dan bervariasi dari bahasa dan orang Melayu, Bali berseni hingga orang Papua yang berburu kepala, yang masih berjalan-jalan dengan koteka. Tidak ada yang namanya ‘kesatuan’. Orang Menangkabauer, Menadonces, Ambon, Battaker, Timor, Dayak, Papoea, Boegences, dll, dll, menunjukkan perbedaan besar dalam karakter dan perkembangan. Otoritas Belanda, terutama diwakili oleh korps terpilih dari pejabat Administrasi Dalam Negeri (BB), menyatukan semuanya sampai sebelum dominasi Jepang yang menghancurkan telah mendidik orang untuk pemerintahan sendiri, dimana hak setiap kelompok penduduk akan dihormati. Melihat situasi saat ini, tidak diragukan lagi bahwa "otonomi", sebagaimana dipahami oleh Soekarno dan rekan-rekannya akan berakhir dengan kesengsaraan bagi "orang tani" sederhana baik di Jawa maupun di tempat lain, di bawah penindasan dan eksploitasi yang lebih buruk daripada periode sejarah Hindia sebelumnya. Oleh karena itu dan untuk alasan itu saja, "Indonesia" tidak matang untuk pemerintahan sendiri yang lengkap. Karena tidak akan ada pemerintahan sendiri, tetapi eksploitasi dan penindasan dalam segala bentuk. LC Vrijman, 11 Juli 1946. Tulisan ini dibuat menjelang Konferensi Malino. Penulis ini bersifat hipokrit. Perbedaan yang ada di Indonesia yang dibuat alasan untuk jalan masuk bagi Belanda. Bahwa terjadi perbedaan perkembangannya bukankah itu salah Belanda sendiri selama tegak Pemerintah Hindia Belanda? Lantas apa yang salah dengan pemerintah Indonesia sendiri dan Soekarno, toh juga baru memulai, baru beberapa bulan sejak diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahwa orang Papoea masih ada yang menggunakan koteka apa salahnya, bukankah alasan itu yang membuat orang-orang Belanda merasa terganggu sehingga para pejabat Belanda tidak betah di Papoea sehingga dalam hal pembangunan tertinggal oleh kebijakan dan orang-orang Belanda sendiri? Memanng itulah sifat dan karakter para penjajah (tetapi tidak dapat pula dialmatkan kepada semua orang Belanda). Sifat penjajah cenderung hipokrit, rasis, eksploitatif dan tidak peduli sepenuhnya kepada penduduk asli (hanya mengejar keuntungan ekonomi semata). Sekarang mereka itu mulai dari nol lagi setelah pendudukan Jepang, tetapi menyadari para Republiken di Jawa dan Sumatra akan sangat sulit sehingga wilayah Indonesia harus dipercah dengan mendahului pembentukan negara federal NIT dan menyisakan/mencadangkan wilayah Papoea untuk dieksploitasi lebih lanjut karena kekayaan yang terkandung di bawah bumi Papoea.  

Intimidasi Pemerintah Belanda/NICA terhadap posisi Republik Indonesia (yang terus terdesak) dan serangan pers Belanda di Eropa sana kepada Presiden RI Soekarno ditanggapi secara taktis oleh Presiden Soekarno. Dalam suatu kesempatan di Djogjakarta Presiden mengomentasi pers Belanda sehubungan dengan proklamasi Kartalegawa di wilayah Pasoendan sebagaimana dapat dibaca pada surat kabar Algemeen Indisch dagblad, 16-05-1947, sebagai berikut:.

Djokja, 12 Mei (Antara); Antara melaporkan berikut ini tentang pidato yang diberikan oleh Presiden Soekarno di kediaman presiden di Djokja: kepada orang Indonesia dari Pasoendan. Presiden menyatakan keyakinannya bahwa persatuan Indonesia tidak bisa lagi dipatahkan. ‘Persatuan adalah satu-satunya modal kita’, lanjutnya. Tanpa persatuan itu, meski hanya ada satu musuh, kita pasti akan jatuh. Sejarah telah membuktikan ini bahkan sebelum Cornelis de Houtman datang ke Indonesia; Apakah kerajaan-kerajaan yang ada runtuh sebagai akibat perpecahan timbal balik dari orang-orang, perselisihan diantara mereka sendiri tentang properti dan petisi manusia itu seperti pasir kering yang meski terdiri dari jutaan butir, menjadi mainan angin, Tapi ketika pasir menjadi pengikat persatuan, itu menjadi sekeras beton yang bahkan oleh bom tidak hancur. Saat ini dalam diri bangsa Indonesia adalah semangat persatuan, yang ditanam pada saat bangsa Indonesia memperjuangkan hak untuk hidup sebagai bangsa yang bebas. Terkait aksi Kartalegawa, Presiden Soekarno mengatakan bahwa pertanyaan itu tidak memerlukan perhatian khusus, tetapi apa yang tersembunyi di baliknya, yaitu tindakan kaum reaksioner Belanda, imperialis, yang menyatakan kepada dunia bahwa Kartalegawa di negaranya dihormati dan dipuji oleh penduduknya. Soal loyalitas masyarakat Indonesia dari Pasoendan, Presiden menyatakan bisa diandalkan mulai besok. Negara kesatuan Republik Indonesia bukanlah milik eksklusif orang Jawa, atau orang Sumatera, atau penduduk Kepulauan Soenda Ketjil, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia yang berjumlah 70 juta jiwa. Dari Poelau Weh sampai Papua bagian selatan, dari gugusan pulau utara Sulawesi sampai pulau-pulau kecil di selatan Soemba dan Timor, seluruh tanah air termasuk dalam wilayah negara kesatuan Indonesia, itulah sebabnya kita semua adalah orang Indonesia yang saat ini hanya bisa mempertahankan Jawa dan Sumatra, dan itu harus menjadi modal komitmen kita untuk pencapaian cita-cita kita bersama. Kita perjuangkan peningkatan modal itu setiap hari dan oleh karena itu kita harus terus bekerja untuk pencapaian keinginan batin rakyat. Indonesia 70 juta jiwa. Presiden mengakhiri dengan menyatakan bahwa ia merasa menyatu dengan seluruh penduduk Indonesia, termasuk orang Indonesia Soenda, dan mengingat bait pertama lagu nasional Indonesia ‘Biarkan kebebasan berdering’. Sambutannya "Merdeka" disambut dengan antusias. Pak Khusrani, mantan Ketua Pengurus Perhimpunan Soenda Pagoejoeban Pasoendan, atas nama seluruh rakyat Indonesia Pasoendan yang tinggal di Djokja menyatakan bahwa seluruh rakyat Pasoendan mendukung pemerintah Republik dan hanya mengakui Soekarno sebagai presiden. Pawai anti Kartalegawa berlangsung’.

Lantas bagaimana situasi dan kondisi saat yang bersamaan di wilayah Papoea. Seperti kita lihat segera di wilayah Papoea terbentuk empat faksi: Belanda pro federalis (RIS), Belanda dan Indo Belanda pro Belanda; Indonesia Papoea pro federalis; dan Indonesia Papoea pro Republik. Tampak lebih kacau lagi. Itu semua karena Pemerintah Belanda/NICA setelah Konferensi Denpasar mencadangkan wilayah Papoea. Para Indo di wilayah Papoea tampaknya ingin seperi Afrika Selatan. Sementara orang Indonesia di wilayah Papoea juga terbelah dua.

Seperti telah disebut di atas, Palar yang berbicara di PBB (lihat Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 07-01-1950) Menteri Luar Negeri Belanda van Maarseveen ketika hal itu ditanyakan dengan meninggikan suaranya mengatakan bahwa pemerintah Belanda belum bertindak terlalu jauh terhadap Papoea. Sebaliknya orang Indonesia telah memulai ofensif dimana mereka, kampanye mereka untuk mendapatkan wilayah Papoea dengan semangat tinggi. Australia sendiri terkejut, karena bagian lain Papoea adalah milik kekuasaan Australia. Namun, belum ada pernyataan resmi dari pihak Australia. Dalam hal ini tentu saja tidak ada pernyataan resmi dari Australia karena tidak ada hubungannya. Masalah wilayah Papoea bagian barat adalah urusan Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia. Lagi pula Australia adalah orang Eropa di wilayah penduduk asli nusantara.

Wilayah Belanda di Eropa adalah negara dengan wilayah kecil, yang penduduknya sudah sangat padat dan setelah pendudukan Jerman sejak 1940 dan belum lama bebas (yang bersaman dengan keluarnya Jepang dari Indonesia) sudah sangat menderita dan ekonomi negaranya sudah jatuh (dan dapat dikatakan termiskin diantara negara-negara Eropa Barat, sudah barang tertentu motif pencadangan wilayah Papoea pada era Perang Kemerdekaan Indonesia dimaksudkan untuk kebutuhan jangka panjang. Tampaknya Kerajaan Belanda ingin menjadikan wilayah Papoea seperti halnya tempo doeloe wilayah Australia oleh Kerajaan Inggris dijadikan koloni baru. Oleh karena itu, motif Belanda ini dapat dipahami Presiden Soekarno yang langsung melakukan ancaman ofensif di PBB kepada Belanda jika belum diserahkan sebelum tahun 1951 (sebagaimana di dalam tambahan isi perjanjian KMB) semua kerjasama yang dicanangkan akan diputus sepihak. Apa yang dikhawatirkan Presiden Soekarno dalam pers Belanda diskusi bergulir tentang bagaimana menjadikan wilayah Papoea sebagai koloni Belanda dalam arti nyata sebagaimana dapat dibaca antara lain pada surat kabar Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 12-01-1950:

 

‘Baru-baru ini, ada banyak minat di Papoea bagian barat di negara kita disini (di Belanda). Dulu, hampir tidak ada perhatian yang diberikan ke daerah ini, yang luasnya tiga puluh delapan kali luas Belanda, tetapi sekarang nama pulau ini ada di bibir semua orang. Hal ini tentunya sebagian karena fakta bahwa Papoea barat telah menjadi rebutan pada Konferensi Meja Bundar. Nasib daerah ini belum diputuskan. Soekarno, bagaimanapun, menuntut agar itu diserahkan ke RIS sebelum tahun 1951. seharusnya menjadi milik RIS, tetapi pemerintah (kerajaan) Belanda juga mempertahankan klaimnya. Sekarang ada banyak, di Belanda dan di Indonesia, yang menganjurkan emigrasi besar-besaran ke Papoea barat. Mereka percaya bahwa jika masalah ini hanya didekati dengan penuh semangat, akan mungkin untuk menjajah bagian-bagian penting pulau ini dalam waktu singkat. Disebutkan angka 50.000 hingga 200.000 orang bisa menemukan tempat di pulau ini di masa mendatang. Kasus ini topikal karena dua alasan. Pertama-tama, tentu saja penting bahwa wilayah yang disengketakan ini sekarang dikembangkan dengan penuh semangat. Belanda dengan demikian meningkatkan peluangnya untuk tetap bercokol di Papoea bagian barat. Di sisi lain, jika pulau ini menjadi bagian dari RIS, alasan kedua adalah bahwa sekelompok besar orang Indo-Belanda--orang-orang yang berakar di Hindia dan yang sering tinggal disana dari generasi ke generasi, sementara sebagian besar dari mereka juga berdarah campuran—jika tidak betah menetap di RIS maka tidak akan ada tempat baginya dalam jangka panjang (termasuk di Belnada?). Jika kita benar-benar berhasil mempertahankan Papoea barat untuk Belanda--yang akan diputuskan pada tingkat pertama selama tahun ini, meskipun kita tidak boleh melupakan itu untuk RIS, keputusan yang tidak menguntungkan tentu tidak akan diakui oleh orang Indonesia dan akan menimbulkan bahaya penyusupan dan agresi yang terus-menerus--jika berhasil, kami katakan, maka eksplorasi dan pembukaan tanah liar ini dapat dilakukan dengan penuh semangat.

Orang Belanda tentang wilayah Papoea sesungguhnya harap-harap cemas. Serangan Presiden Soekarno menjadi awal kecemasan mereka. Selain Belanda yang ingin membentuk koloni di wilayah Papoea, juga Amerika Serikat menunggu mentahan Belanda untuk bekerjasama dengan pihak Indonesia. Saat ini sudah ada perusahaan Amerika Serikat yang bekerja di Papoea. Amerika Serikat hanya menunggu waktu untuk menentukan pilihan dengan peluang tinggi apakah mendukung Belanda untuk bercokol di Papua atau mendukung RI untuk bekerjasama. Kesulitan ekonomi Belanda menjadi mati langkah ke Papoea, sebaliknya Amerika Serikat tidak kesulitan apapun. Amerika Serikat diam terhadap Belanda hanya soal basa-basi, sopan santun sesama kulit putih saja.

Sementara ketika Menteri Luar Negeri belum berani melangkah tentang wilayah Papoea, Presiden Soekarno sudah melakukan ofensif terbuka. Lalu di sisi lain para revolusioner Indonesia mulai angkat bicara. Satu yang penting gelora yang diapungkan oleh Mohamad Jamin yang membuat orang Belanda molohok (lihat Nieuwsblad van het Noorden, 31-01-1950), Disebutkan bahkan Soekarno belum berani melangkah sejauh itu! Mohamad Jamin telah meneriakkan tuntutan agar Papoea bagian timur (Australia), Borneo Utara (British) dan Timor (Portugis) agar wilayah-wilayah itu dianeksasi oleh RIS. Untuk sekadar menambahkan, Mohamad Jamin, pentolan Kongres Pemuda 1928, ketika menjadi anggota Volksraad pada periode 1939-1943) dalam sidang ratifikasi perlunya mempertahankan jabatan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mohamad Jamin dengan tegas menyatakan, ketika seisi ruang sidang pro-kontra yes or no, bahwa itu boleh saja asal orang Indonesia yang menjabatnya. Orang-orang Belanda di ruang sidang molohok. Itulah semangat Mohamad Jamin.  

Namun dalam perkembangannya Australia berbicara soal wilayah Papoea, Australia sendiri memiliki ketakutan tersendiri terhadap orang Indonesia yang belum lama bebas sepenuhnya. Australia mengklaim kepentingan Amerika Serikat (lihat De Volkskrant, 22-03-1950). Disebutkan bahwa Australia dengan keras menolak klaim Soekarno atas Papoea bagian barat karena alasan strategis. Pensduduk, bahasa dan geografi Papoea bukan Indonesia (pernyataan ini seakan meniru gaya Belanda), Disebutkan lebih lanjut bahwa wilayah Papoea adalah bagian dari sabuk pertahanan Amerika Serikat.

Boleh jadi kedekatan emsosional Australia terhadap Inggris dan Australia boleh jadi klaim Australia serupa itu muncul, tapi apa yang dipikirkan Amerika Serikat bisa berseberangan dengan Australia. Amerika Serikat tidak membutuhkan Australia, justru sebaliknya Australialah yang membutuhkan Amerika Serikat sebagai pelindungnya di Pasifik dimana Inggris nun jauh di Eropa. Statement Australia ini seakan Australia ingin mengatur Amerika Serikat dimana dia harus berada. Boleh jadi dalam hal ini Amerika Serikat tidak peduli dengan dengungan Australia tersebut, sebab Amerika Serikat sangat menginginkan Indonesia (dalam bentuk kerjasama internasional atau bilateral). Yang berbicara dari Australia dapat dikatakan mereka kaum konservatif (karena saat itu kaum buruh lagi jatuh di parlemen). Seperti disebut di atas, bisa jadi reaksi Australia itu kelebihan beban hanya karena terpancing seruan dari Mohamad Jamin, yang menjabat sebagai ketua komisi Papoea di parlemen (yang belum tentu Soekarno sepakat). Sementara itu pers Belanda seakan mendapat suntikan semangat dari Australia. Pers Belanda, sebenarnya sudah kehabisan akal tentang wilayah Papoea yang diklaim Presiden Soekarno. Pers Belanda sudah berbicara kekanak-kanakan seperti berikut: ‘Secara geografis dapat dipastikan bahwa Papoea bukan lagi milik Asia, melainkan ke benua Australia. Terpisah dari daratannya oleh laut yang kedalamannya hampir 100 meter, sedangkan wilayah laut yang menghadap ke Indonesia kedalamannya ribuan meter. Faunanya adalah Australia. Praktis tidak ada spesies hewan asli Indonesia yang dapat ditemukan disana, tetapi hewan berkantung dan kanguru khas Australia ada di Papoea. Penduduknya juga berbeda ras dengan penduduk Indonesia. Orang Papua adalah ras Negroid, yang berkerabat dekat dengan orang Negro Afrika. Dengan kulit mereka yang sangat gelap, rambut mereka yang keriting dan mata mereka yang tampak seperti ‘Eropa’, mereka sangat berbeda dari ras Melayu yang mendiami Indonesia, yang meskipun mereka sangat berbeda satu sama lain, namun semuanya memiliki kurang lebih suku-suku yang tampak seperti Mongolia. suatu ciri khas keturunan. Tentu saja bahasa orang Papoea tidak ada persamaannya dengan bahasa-bahasa lain yang ada di Indonesia. Karena pada umumnya jarang ada kontak dengan orang Indonesia, maka jarang bercampur dengan mereka, terutama di ujung barat. dan di sepanjang sebagian pantai utara’. Tentu saja pers Belanda ini lupa bahwa orang Australia adalah orang berkulit putih yang jauh berbeda dengan orang di nusantara. Tidak ada relevansinya soal perbedaan flora dan fauna dengan afiliasi geopolitik. .

Presiden Soekarno kemudian angkat bicara soal reaksi Australia tersebut, sebaliknya Amerika Serikat menyatakan terlalu mahal untuk Papua bagian barat (lihat De Volkskrant, 24-05-1950). Ini mengindikasikan klaim Australia terhadap Amerika Serikat dijawab tuntas. Sementara Presiden Soekarno lebih lanjut menanggapinya dengan dingin dengan menyatakan bahwa Indonesia hanya mengklaim Papoea bagian barat, tidak untuk Papoea bagian timur (Australia).

Diseb\utkan Soekarno lagi bahwa ia berharap Papoea bagian barat dapat dianeksasi ke Indonesia tahun ini, sebuah undangan ke ibu kota dunia (PBB) untuk membantu RIS mengembangkan wilayah Papoea bagian barat. ‘Saya senang’ kata Soekarno, "bahwa Pemerintah Australia memperhatikan permintaan kami dan saya berharap permintaan kami akan adil. Jika tuntutan ini dipenuhi, titik gesekan dengan Belanda dapat dihilangkan jika Belanda pergi dan fondasi akan diletakkan untuk hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Australia, bebas dari kecurigaan’. Pernyataan ini disampaikan Presiden Soekarno segera setelah Duta Besar Australia di Djakarta dipanggil ke Australia.

Presiden Soekarno kembali menegaskan bahwa wilayah Papoea bagian barat adalah Indonesia (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-05-1950). Disebutkan Soekarno bahwa klaim kami didasarkan pada alasan historis dan ras. Sejak abad Modjopahit, orang Papoea di Irian dianggap sebagai orang Indonesia secara politik dan ras. Merupakan bagian integral dari Indonesia dan harus kembali ke Indonesia; Itu juga bagian dari Hindia Belanda dan satu-satunya daerah yang belum bagian dari penyerahan kedaulatan. Kami selalu hidup dalam keyakinan politik bahwa Irian adalah bagian dari Hindia Belanda dan dalam lagu kebangsaan kami juga tidak dianggap sebagai wilayah asing (lagu Dari Sabang Sampai Merauke?).

Kami berharap segera berada di bagian barat Papoea dengan Australia sebagai tetangga baik kami. Terakhir, Presiden menyatakan bahwa ia memiliki banyak bukti bahwa orang Papoea di Irian menginginkan kedaulatan Indonesia. Banyak orang Papoea datang ke Djakarta untuk mendesak pemerintah Indonesia mengambil alih kekuasaan. Saya telah menerima ratusan telegram dan surat dari orang Papoea yang menyatakan bahwa mereka menginginkan kedaulatan Indonesia, kata Presiden Soekarno dalam wawancara dengan koresponden Reuter di Djakarta.

Apa yang dikatakan Presiden Soekarno ada benarnya (seperti yang disebut di atas sejak Kerajaan Aroe hingga Kerajaan Madjapahit). Faktanya orang Papoea lebih mudah datang (dan juga berbaur) ke Djakarta daripada tempat-tempat lain seperti Sydney (ibu kota Ausstralia) atau Singapoera (Inggris). Orang Papoea tidak hanya mudah singgah di Ambon, Makassar dan Soerabaja, faktanya banyak perusahaan (asing maupun domestik) yang berbasis di Djakarta namun bidang usahanya berada di wilayah Maluku dan Papoea.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar