Sabtu, 25 Februari 2023

Sejarah Malang (8): Nama-Nama Kampong Tua di Malang; Ada Nama Berasal Zaman Kuno,Ada Nama Baru Masa Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini

Apalah arti sebuah nama bagi William, Shakespeare. Namun untuk nama suatu kampong dapat memiliki arti apakah sudah tua atau baru. Nama tempat, dalam hal ini nama kampong bersifat diwariskan. Diantara nama-nama tempat, khususnya suatu kampong tempo doeloe ada yang berasal dari zaman kuno. Nama-nama kampong mana di kota Malang yang berasal dari masa lampau tentu saja menjadi menarik perhatian.


Menguak Kisah Desa Gadang Berusia 638 Tahun di Kota Malang. Travel.detik.com. 29 Januari 2023. Jakarta - Penelitian mengungkap riwayat desa Gadang di Kota Malang. Desa ini rupanya sudah eksis sejak zaman kerajaan. Desa Gadang bagian kecamatan Sukun. Sebelum 1987, wilayah Gadang merupakan 'kelurahan' dari kecamatan Kedung Kandang. Dalam Staatblad No. 120 April 1883, desa Gadang masuk district Malang Afdeeling Malang, Residenti Pasuruan. Tahun 1911, desa Gadang tercatat sebagai onderdistrict di district Malang. Nama Gadang sendiri tertulis dalam Prasasti Pamotoh (1198). Pada waktu itu desa Gadang masuk dalam 'wisaya' (wilayah semacam kadipaten) Kanuruhan. Menurut Suwardono, desa Gadang dari prasasti Gadang tahun 1307 Saka. Isi Prasasti Gadang berkenaan dengan penganugerahan tanah sīma di desa Gadang. Anugerah tanah sīma di Gadang diberikan kepada tokoh bernama Dhapunta Bulanawijaya guna kelangsungan bangunan suci candi. Peristiwa itu dinyatakan dalam prasasti Gadang bertarih 3 kresnapaksa hari Was Kaliwuan Soma wuku Wuyai bintang yoga Wrdhi tahun 1307 Śaka (Senin Kliwon 24 Juli 1385). Bukti ini didukung laporan Maurenbrecher yang dimuat dalam Oudheidkundig Verslag tahun 1923 dan laporan Crucq dalam Oudheidkundig Verslag tahun 1929 tentang batu-batu candi di punden makam 'Mbah Djosari' yang kini terdapat di makam lama Jl Gadang Gg VI (https://travel.detik.com/travel-news/)

Lantas bagaimana sejarah nama-nama kampong tua di Malang? Seperti disebut di atas, sebagaimana di tempat lain, di kota Malang sudah tentu ada nama kampong lama. Hanya saja seberapa tua. Dalam hal ini nama kmpong tua di Malang boleh jadi ada yang memiliki hubungan dengan nama-nama kampong tua di tempat lain, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di pulau lain nun jauh di Sumatra. Lalu bagaimana sejarah nama-nama kampong tua di Malang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama-Nama Kampong Tua di Malang; Ada Nama Kampong Berasal dari Zaman Kuno, Ada Nama Baru Semasa Hindia Belanda

Nama tempat di (wilayah) hari ini, haruslah dibedakan, yang mana terbilang muda dan yang mana yang tua. Untuk menentukan nama yang tua harus bermula di masa lampau, dan nama tempat tersebut masih eksis hingga ini hari (apakah nama kampong, desa, kecamatan). Nama Malang yang kini menjadi nama kota dan kabupaten, di masa lampau Malang adalah nama kampong (negeri) yang kali pertama dilaporkan pada tahun 1665. Dalam hal ini, Malang adalah nama lama, nama kampong tempo doeloe.


Dalam teks Negarakertagama (1365) tidak ditemukan nama tempat yang dapat dihubungkan dengan nama yang eksis sekarang, apakah memiliki kemiripan nama atau nama tempat yang disebutkan berada in situ. Dalam tek tersebut nama Malang tidak disebut. Yang disebut adalah Damalang (apakah nama itu di Malang yang sekarang atau di tempat lain tidaj begitu jelas). Sumber tertulis lainnya tentang nama tempat di Malang hanya ditemukan dalam peta yang dibuat Francois Valentijn pada tahun 1724. Dalam peta tersebut nama Malang diidentifikasi sebagai nama suatu kampong, suatu kampong dimana kini Kota Malang berada. Sekali lagi, nama Malang adalah nama lama. Satu nama lainnya yang diidentifikasi dalam peta ini adalah Antang, yang tidak lain Ngantang pada masa ini sebagai nama kecamatan di kabupaten Malang. Nama dua kampong inilah kemudian pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda dijadikan sebagai nama district, yakni District Malang en Antang. Satu nama lagi yang disebut Bato (kini Batu).    

Nama tempat yang diidentifikasi dalam peta, atau yang diberitakan tentu saja harus dianggap tidak hanya itu, namun masih banyak nama-nama tempat yang ada, hanya saja kurang terinformasikan. Dengan kata lain nama yang terinformasikan belum tentu yang pertama atau yang lebih tua dari yang lainnya. Satu yang jelas, nama Malang, Antang dan Batu masih eksis pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda.


Pada peta pulau Jawa (Peta 1817), selain Malang, Antang dan Batu juga diidentifikasi nama-nama Pananggungan, Gondang, Pakis, Bantur, Singosari, Karanglo dan lainnya. Dalam hal nama Pananggungan, selain nama tempat juga nama gunung. Nama Singosari, meski baru terindetifikasi dalam peta, sejatinya nama ini sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365).

Dalam perkembangannya, wilayah administrai pemerintahan semakin dipertegas, tidak hanya menarik batas-batas wilayah, juga menetapkan dimana ibu kota berada untuk tingkat afdeeling dan district. Dalam Almanak 1827 Residentie Pasoeroean (terdiri dari tiga afdeeling: Pasoeroean, Bangil dan Malang), di wilayah (afdeeling) Malang, struktur pemerintahan dimana Asisten Residen berkedudukan di Malang, yang juga didampingi pemimpin local, bupati di Malang dan seorang pakhuis di Lawang.


Sementara fungsi-fungsi pemerintahan, dari waktu ke waktu terus berkembang (Belanda maupun local), dalam Almanak `1867 Afdeeling Malang terdiri dari tujuh distrik: Kota [Malang] terdiri dari 33 desa; Gondang Legi (95 desa); Sengoro (85); Pakis (123); Penanggungan (121); Karangloo (135) dan Ngantang (63 desa). Semua nama-nama district tersebut sudah teridentifikasi pada Peta 1817.

Dalam Almanak 1912 nama-nama tempat terpenting di afdeeling Malang adalah Singosari, Sisir (nama lain dari Batoe), Ngantang, Poedjon, Kepandjen, Soember Poetjoeng, Pakisadji, Kedali Pajak, Boeloelawang, Gondanglegi, Toeren, Wadjak, Pamotan, Toempang dan Pakis. Asisten Residen, Bupati dan Patih berkedudukan di Malang (Kota), sedangkan wedana berkedudukan di Karanglo, Penanggungan, Ngantang, Senggoeroh, Toeren, Gondang Legi dan Pakis. Di (district) Malang Kota terdiri-dari empat wijk (kelurahan).


Berdasarkan Peta 1911, ibu kota district berada di Malang (juka ibu kota afdeeeling), Singosari, Sisir/Batoe, Toempang, Boeloelawang, Kepandjen, Toeren dan Ngantang.  Ini mengindikasikan jumlah district telah bertambah (jika dibandingkan pada tahun 1867). Sementara itu pada peta tersebut ibu kota onderdistrict antara lain di Gadang, Pakis, Djaboeng, Gondang Legi, Soember Poetjoeng, Wadjak, Lawang, Poedjon dan Kedali.

Dari nama-nama desa yang diidentifikasi pada Peta 1911, terkesan ada nama-nama yang sudah tua, tidak hanya Malang, Antang dan Bato dan Singosari, juga Pamotan, Kedali, Beoloe Lawang, Gondang, Pamotan, Djaboeng, Penanggungan, Manggis, Soemboel, Singkil, Taloen, Lawang, Djoengkal, Gading dan Dahoe. Nama-nama tersebut diduga nama asing atau nama kuno berasal dari era Hindoe Beodha. Mengapa? Yang jelas karena perubahan lafal, pengaruh dialek ada juga nama lama berubah bergeser namanya seperti Antang menjadi Ngantang, Bato menjadi Batu, Dahoe menjadi Dau, Godang menjadi Gadang dan sebagainya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Ada Nama Kampong Berasal dari Zaman Kuno, Ada Nama Baru Semasa Hindia Belanda: Peta Kampong-Kampong Tua di Malang

Sebagaimana di artikel sebelum ini, wilayah Malang adalah suatu cekungan di pegunungan (seperti cekungan Bandoeng), namun ada perbedaan. Cekungan Bandoeng dilalui sungai Tjitaroem yang bermuara ke pantai utara Jawa di Taruma (Nagara) (sekitar Batujaya, Karawang yang sekarang). Sementara cekungan Malang dilalui sungai Brantas yang bermuara di pantai timur Jawa melalui arah barat di Kediri. Dalam hal ini sungai Kediri atau sungai Brantas seakan memutar, tiga perempat lingkaran, Artinya apa? Secara geomorfologis Malang berada di hulu sungai (ekor) sedangkan kepala sungai di hilir berada di Mojokerto/Bangil).


Dalam sejarah kerajaan-kerajaan, jika kerajaan Kediri sudah eksis, lalu muncul kerajaan di Malang, pertanyaannya: Siapa yang membentuk kerajaan, apakah garis keturunan dari Kediri (di sebelah barat, hilir sungai) atau para pendatang melalu laut/pantai? Dalam hal ini (wilayah) Malang begitu dekat dengan pantai di Bangil dan Pasoeroean. Tipologi ini terdapat di berbagai tempat antara pedalaman vs pesisir. Jika diperhatikan secara spasial: Kediri memiliki garis sentrupugal ke arah barat (katakanlah ke arah Mataram); sedangkan Malang memiliki garis sentripugal ke pantai/pesisir. Dengan kata lain, di satu sisi dapat diartikan bahwa (wilayah) Malang adalah wilayah pheri-pheri dari Kediri; dan di sisi lain menjadi pertanyaan mengapa Kediri tetap menjadi wilayah kerajaan agraris, sedangkan kerajaan-kerajaan di arah timurnya, dalam hal ini kerajaan-kerajaan di wilayah Malang sebagai kerajaan-kerajan maritim. Dalam konteks inilah kita berbicara kerajaan Kediri di masa lampau, kerajaan Singhasari, kerajaan Majapahit di masa depan. Kerajaan Kediri satu hal, kerajaan Singhasari hal lain, kerajaan Majapahit hal yang lain lagi.

Nama-nama kampong tua di (wilayah) Malang haruslah dimulai dengan melakukan tracing dari era kerajaan-kerajaan kuno era Hindoe Boedha (dari sudut pandang dari luar/maritim). Satu nama penting di Malang adalah nama Singosari. Nama ini diduga kuat terhubung dengan kerajaan Singhasari di masa lampau. Nama Singhasari juga dicatat dalam teks Negarakertagama (1365). Nama kampong Singosari pada masa Pemerintah Hindia Belanda (kini nama kecamatan) dihubungkan dengan keberadaan candi yang disebut candi Singosari. Disebutkan candi ini dibangun pada abad ke-13 (sebelum era Majapahit).


Dalam tradisi lisan yang sekarang, di wilayah Malang, disebutkan nama-nama kampong lama, yang mungkin lebih tua dari kampong Singhasari. Dalam Prasasti Pamotoh (1198) disebutkan nama desa Gadang bagian 'wisaya' Kanuruhan (Kanjuruhan?). Isi prasasti berkenaan dengan penganugerahan tanah sīma di desa Gadang. Anugerah tanah sīma di Gadang diberikan kepada tokoh bernama Dhapunta Bulanawijaya guna kelangsungan bangunan suci candi. Sementara itu Sri Digjaya Resi memberi anugerah kepada Dyah Limpa berupa rumah dan tanah. Prasasti ini ditulis oleh Mpu Dawaman di Talun. Lalu disebutkan Sri Dingkas Resi memberi anugerah kepada Dyah Limpa, Dyah Mgat, Dyah Duhet dan Dyah Rinami, masing-masing diberi tanah sima disertai hak-hak istimewa. Dyah Duhet mendapatkan sima di Gonggang. Selain itu ada pemberian hadiah kepada rakyat Pamotoh. Prasasti ditutup dengan kutukan bagi mereka yang melanggarnya. Disebutkan bahwa salah seorang Rakryan Patang Juru yang bernama Dyah Limpa dan tinggal di Gasek (kini sebuah dukuh di Desa Karangbesuki, Kota Malang) wilayah Pamotoh mendapat hadiah tanah dari Sri Maharaja. Penyerahan ini diwakili oleh Rakryan Pamotoh dan Rakryan Kanuruhan. Tanah yang dihadiahkan itu diantaranya tanah di sebelah timur tempat berburu yang bernama Malang.

Ada satu fase peradaban di wilayah Malang, dimana kerajaan Singhasari terhubung dengan (pantai timur) Sumatra. Schnitger (1936) yang melakukan eskavasi candi-candi di Tapanuli Selatan, menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara kerajaan Singhasari dengan kerajaan-kerajaan di Tapanuli Selatan di daerah aliran sungai Barumun (pantai timur Sumatra). Schnitger menunjukkan ada persamaan satu candi di Singhasari dengan candi-candi di Padang Lawas (Tapanuli Selatan). Candi apakah? Schnitger juga menyimpulkan bahwa raja Singhasasri, Kertanegara adalah salah satu pendukung fanatik agama Boedha Batak (Boedha sekte Birawa).


Jika kesimpulan-kesimpulan Schnitger, seorang arkeolog terkenal di Eropa, dapat diterima maka nama-nama tempat di wilayah Malang, seperti Gadang, Talun, Patang Juru, Pamotoh dan Gonggang memiliki kemiripan nama-nama yang ditemukan di wilayah kawasan percandian Padang Lawas. Nama-nama gelar seperti Dhapunta (Bulanawijaya) dan Mpu (Dawaman) juga ditemukan dalam prasasti-prasasti yang terhubung dengan wilayah Padang Lawas (ibu kerajaan kuno di Minanga/Binanga). Sejatinya gelar Dhapunta/Mpu berasal dari Sumatra (besar dugaan Tapanuli Selatan). Tentu saja nama-nama yang ditemukan lagi yang mirip dengan nama tempat di wilayah Tapanuli Selatan, seperti yang disebut di atas antara lain tidak hanya nama Malang, Antang dan Bato dan Singosari, juga Pamotan, Kedali, Beoloe Lawang, Gondang, Djaboeng, Penanggungan, Manggis, Soemboel, Singkil, Taloen, Lawang, Djoengkal, Gading dan Dahoe/Dau. Apakah nama-nama tempat yang begitu banyak di dua wilayah yang berjauhan ini hanya serba kebetulan?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar