Rabu, 05 April 2023

Sejarah Banyumas (24): Cilacap di Muara Sungai Donan; Geomorfologi Area Cilacap Tempo Doeloe Zaman Kuno dan Masa Kini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Sejarah (wilayah) kabupaten Cilacap pada akhir era Kerajaan Majapahit (1294-1478) disebut terbagi dalam wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit: Adipati Pasir Luhur dan Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang wilayahnya membentang dari timur ke arah barat: (1) Wilayah Ki Gede Ayah dan wilayah Ki Ageng Donan dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit; (2) Wilayah Kerajaan Nusakambangan dan wilayah Adipati Pasir Luhur; (3) Wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran. Nama Donan dalam hal ini menjadi penting adalah terbentuknya kota Cilacap yang kemudian Cilacap menjadi nama wilayah (kabupaten).  


Menurut Husein Djayadiningrat, Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran setelah diserang oleh kerajaan Islam Banten dan Cirebon dan jatuh pada tahun 1579, maka bagian timur Kerajaan Pakuan Pajajaran diserahkan kepada Kerajaan Cirebon (termasuk wilayah dimana kemudian terbentuk kabupaten Cilacap). Setelah Kerajaan Pajang menjadi Kerajaan Mataram Islam (1587-1755). Pada tahun 1595 Kerajaan Mataram ekspansi ke Kabupaten Galuh (Kerajaan Cirebon). Pada era Pemerintah Hindia Belanda dibentuk Onder Afdeling Cilacap (besluit 17 Juli 1839). Sementara itu dengan beslit 27 Juni 1841 wilayah Dayeuhluhur dipisahkan dari Banyumas yang kemudian disatukan menjadi afdeling Cilacap dengan ibu kota di Cilacap, yang menjadi tempat kedudukan Asisten Residen. Pada masa Residen Banyumas van de Moore mengajukan usul pada tanggal 3 Oktober 1855 pembentukan Kabupaten Cilacap. Besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Maret 1856 menetapkan Onder Regentschap Cilacap ditingkatkan menjadi Regentschap (Kabupaten Cilacap). Bupati Cilacap yang pertama diangkat adalah R Tumenggung Tjakra Werdana II (1858-1873). (https://cilacapkab.go.id/)

Lantas bagaimana sejarah Cilacap di muara sungai Donan? Seperti disebut di atas, nama Cilacap adalah nama baru di wilayah muara sungai Donan. Namun dalam perkembangannya nama kota Cilacap menjadi nama wilayah. Apakah dalam hal ini ada perbedaan wlayah geomorfologi Cilacap zaman kuno, tempo doeloe dengan masa kini? Lalu bagaimana sejarah Cilacap di muara sungai Donan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Cilacap di Muara Sungai Donan; Wilayah Geomorfologi Cilacap Zaman Kuno, Tempo Doeloe dan Masa Kini

Pada saat pembentukan (wilayah) onderschap Tjilatjap, jumlah penduduknya sudah mencapai 52.006 jiwa sementara di (kota) Tjilatjap sendiri dimana Asisten Residen berkedudukan terdapat sebanyak 1.270 jiwa (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie,1847). Jumlah penduduk di wilayah or Tjiltjap ini tentu saja bukan sedikit. Bandingkan dengan di regentschap Badjarnegara 74 ribu jiwa; regentschap Poerbalingga sebanyak 121 ribu jiwa; regentschap Poerwokereto sebanyak 77 ribu jiwa dan regentschap Banjoemas sebanyak 75 ribu jiwa.


Di dalamnya termasuk orang Eropa dan orang Cina. Di wilayah Banjoemas sebanyak 50 orang Eropa dan 300 orang Cina; di Poerwokerto 10 orang dan 300 orang; di Poerbolinggo 20 dan 350 orang; di Bandjarnegara sebanyak 20 orang Eropa dan 477 orang Cina. Sedangkan di Tjilatjap sebanyak 41 orang dan 300 orang. Selain yang disebut di atas terdapat sebanyak 151 militer dibenteng-benteng Banjoemas, Tjiltjap, Banting Matti dan Karang Bolong. Ada dayang sekar sebanyak 26 orang dan 150 prajurit di Banjoemas, Bandjarnegara, Poerbalingga dan Poerwokerto. Secara keseluruhan jumlah penduduk di wilayah residentie Banjoemas sebanyak 401 ribu jiwa. Jumlah ini telah meningkat dibandingkan pada tahun 1838 sebanyak 316 ribu jiwa.

Di Onder Regetschap Tjilatjap sudah barang tentu belum ada bupati sebagai pemimpin local (penduduk pribumi). Wilayah ini berada di bawah bupati Banjoemas. Akan tetapi sebagai wakil bupati di Tjilatjap diangkat seorang patih. Onder Regetschap Tjilatjap sendiri terdiri dari lima district plus (pulau) Noesa Kambangan. Kelima district tersebut adalah Tjilatjap sebanyak 197 kampong; Adiredjo 123 kampong; Pagadingan 223 kampong, Madjanang 89 kampong dan Dajahloehoer sebanyak 86 kampong.


Nama tempat menunjukkan asal usulnya. Seperti kita lihat nanti nama Tjilatjap mengindikasikan nama sungai (sebutan Tji, Tsi hingga kini masih tersisa di Jawa Barat). Tentu saja nama Noesa Kambangan menunjukkan nama pulau. Namun dalam hal ini nama Dajahloehoer dan nama Pagadingan haruslah dianggap nama-nama yang khas. Daja atau Dajah (Dajeuh) adalah kota, kampong besar sebagaimana nama ini juga diidentifikasi di pantai barat Sumatra (Daja). Dalam hal ini Dajahloehoer adalah kota yang berada di atas, di hulu atau di dadataran tinggi (relative terhadap Tjilatjap di pesisir). Lalu bagaimana dengan nama Pagadingan (pegadingan)? Tidak banyak nama tempat yang menggunakan nama ‘gading’. Terdapat beberapa di Sumatra, satu di Jawa (tengah) dan yang sedang dibicarakan ‘gading’ Pagadingan di wiilayah Tjilatjap. Pada masa ini Pagadingan/Pegadingan adalah sebuah desa di kecamatan Cipari kabupaten Cilacap, suatu tempat di masa lampau antara Sidaredja dan Madjanang/Majenang. Nama Pagadingan diduga kuat pada masa lampau adalah suatu pelabuhan dimana gading diperdagangkan. Pada Peta 1753 wilayah di utara Pagadingan ini, termasuk wilayah Madjanang, Dajahloehoer dan Kranggan diidentifikasi adanya habitat/populasi gajah. Tentu saja pada masa ini gajah di pulau Jawa sudah lama punah.

Wilayah Dajahloehoer adalah wilayah budaya orang Soenda. Pada masa lampau, kampong besar (kota) Dajahloehoer tidak/belum merujuk ke kota Tjilatjap, tetapi ke kota Bandjar. Dalam hal ini Bandjar adalah kota pelabuhan di sisi selatan hulu sungai Tjitandoei. Dajahloehoer sebagai kota atas, kota di hulu, kota di dataran tinggi merujuk ke kota Bandjar. Kota Bandjar di daerah aliran sungai Tjitandoei diduga memiliki relasi yang kuat pada masa lampau dengan kota (pelabuhan) Pagadingan.


Mengapa Pagadingan dapat dikatakan sebagai kota pelabuhan zaman kuno? Secara geomorfologis garis pantai masih berada di pantai, di suatu teluk di pedalaman. Ke dalam teluk ini bermuara sejumlah sungai, yang terbesar adalah sungai Tjitandoei. Dari muara sungai Tjitandoei di dalam teluk ini ke kota Bandjar masih cukup jauh tetapi dapat dilayari dengan menggunakan kapal/perahu. Dalam konteks inilah diduga asal usul nama (kota/kampong besar) Bandjar dan nama pelabuhan Pagadingan tempo doeloe. Bandjar sendiri adalah pemukiman dimana rumah-rumah berbanjar/berderet/berbaris mengikuti arah tertentu (nama Banjar terdapat di berbagai wilayah; yang terbesar adalah Bandjarmsin). Teluk (Pagadingan) ini kemudian menyusut yang kemudian dikenal sebagai teluk Sagara. Penyusutan ini karena proses sedimentasi jangka panjang, akibat aliran lumpur dan sampah vegetasi dari pegunungan seperti di wilayah Banjar, Dajahloehoer, Tjiamis hingga Tasikmalaya. Sungai Tjitandoei mencari jalan sendiri menuju laut diantara rawa-rawa yang terbentuk. Teluk Sagara terus menyusut sepanjang waktu yang pada akhirnya menyisakan teluk lebih kecil yang kemudian disebut teluk Sagara Anakan (hingga masa ini masih terus menyusut). Idem dito dengan nama Bandjar di wilayah Banjoemas di hulu daerah sungai Serajoe. Pada masa lampau pelabuhan utama berada di Banjoemas, yang mana cabang sungai ke utara menuju kampong Poerbalingga dan cabang ke timur menuju kampong Bandjar (kini Kota Banjarnegara). Besar dugaan Pagadingan dan Banjoemas adalah kota-kota pelabuhan kuno, dimana di arah hulu masing-masing terdapat kampong Bandjar.

Lalu bagaimana dengan kampong Tjilatjap yang kelak menjadi kota besar? Pada peta-peta lama yang berasal dari era VOC, tidak teridentifikasi nama Tjilatjap. Salah satu nama yang diidentifikasi adalah kampong Donan tepat berada di pantai di suatu tanjung. Tanjung ini tepat berada, tidak jauh di utara pulau Noesa Kambangan. Tanjung ini awalnya diduga adalah suatu pulau, sebagaimana halnya pulau (besar) Noesa Kambangan dan pulau (kecil) Solok.


Sebelum terbentuk kampong Donan, pulau yang dimaksud adalah pulau kecil tempo doeloe. Ketika teluk Sagara di pedalaman menyusut, di sekitar pulau yang berada di utara pulau Noesa Kambangan ini terjadi proses sedimentasi akibat pengaruh sungai Seraijoe. Tekanan arus sungai Seraijoe di pantai dan tekanan arus teluk Sagara (yang didorong sungai Tjitandoei) menyebabkan arah timur laut pulau (area tangkapan air) menjadi terjadi proses sedimentasi yang massif, sehingga pulau kecil itu menyatu dengan daratan Jawa. Pada saat inilah diduga kuat muncul perkampongan di sisi barat laut pulau yang kemudian diidentifikasi sebagai kampong Donan. Pada peta-peta VOC, teridentifikasi suatu sungai yang bermuara ke kampong Donan. Sungai ini terbentuk karena terjadi proses sedimentasi dari arah teluk/danau Sagara Anakan. Sungai ini, yang notabene bermuara di kampong Donan kemudian disebut sungai Tjidonan. Sungai Tjidonan ini sendiri pada dasarnya adalah perairan/laut. Lalu bagaimana dengan sungai Tjilatjap sendiri?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Wilayah Geomorfologi Cilacap Zaman Kuno, Tempo Doeloe dan Masa Kini: Wilayah Cilacap Masa ke Masa

Nama Tjidonan diduga kuat sudah eksis pada era VOC, namanya Cadonan (lihat Daghregister, 13-12-1705). Disebutkan dua pasukan di Cartosoera dipersiapkan untuk merebut Cadonan. Sebelumnya Banjoemas di land Bagelen, kuasa Cartosoera telah dibebaskan sehubungan dengan kadatangan Herman de Wilde (lihat Daghregister, 08-07-1705). Surat dari Luytenant Jurgen Christoffel dari negorij Banjoemas diterima di Batavia dari Tagal (lihat Daghregister, 10-09-1705).


Sebagaimana diketahui Soesoehoenan Cartosoero sebelum tahun 1687 telah menyerahkan wilayah Jawa bagian barat kepada Pemerintah VOC. Boleh jadi sejak itu para pihak di Banjoemas tidak berkenan dan melakukan perlawanan. Yang melakukan perlawanan ini adalah Raden Parwata Sari. Lalu untuk menjadi komandan territorial di Banjoemas diperintahkan Kapten (Ambon) Bintang dari Tegal dengan pasukannya yang kemudian membangun benteng di sungai Cartanagra (sungai Serayu), Banjoemas (lihat Peta 1706). Disebutkan ada dua pemimpin local yang ditempatkan di Banjoemas yakni Temanggoeng Raksanagara dan Temanggoeng Marta Joeda. Tidak disebutkan kedua temanggung ini memimpin di wilayah mana.  

Tampaknya nama (kampong) Donan juga telah menjadi wilayah daerah aliran sungai (Cadonan/Tjidonan). Kampong/kota Donan dalam hal ini diduga pusat perlawanan baru di wilayah Banjoemas (setelah pendudukan district Banjoemas). Namun meski sudah dikenal sejak awal nama Banjoemas dan Tjidonan, tetapi selanjutnya kurang terinformasikan. Boleh jadi hal itu wilayah pantai selatan tidak lagi menjadi wilayah yang penting (dari potensi perdagangan). Pada Peta 1724 di sebelah timur kampong Danon diidentifikasi negori Lombang.


Pada Peta 1750 sebelah timur kampong Donan, telah terjadi proses sedimentasi (Kawasan pantai berpasir; zandland) di sepanjang pantai mulai dari kampong Donan hingga ke arah timur sepanjang pantai hingga muara sungai Serajoe. Batas antara daratan dengan (alluvial) dengan Kawasan pantai berpasir ini terbentuk sungai yang mengalir dari arah timur ke barat di kampong Donan. Sungai baru inilah, memang sungai kecil, kemudian disebut sungai Tjilatjap. Seperti kita lihat nanti, akibat pendangkalan di muara sungai Serajoe, pada permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda di district Banjoemas (residentie) dibangun kanal baru yang disebut kanal Kali Osso atau kanal Kali Soesoekan (yang menghubungkan sungai Serajoe dan sungai Donan melalui (kampong) Tjilatjap.

Nama Tjilatjap pertama kali terinformasikan dari surat Thomas S Raffles tahun 1814 (lihat Letters and Documents, Concerning His Administration as Lieutenant Governor of Java, Addressed to the Chief Government of India to Refute the Charges Brought Against Him by Major-General Gillespie, 1814). Disebutkan atas informasi dari Residen Solo, kerap terjadi perampokan di bay of Tjilatjap yang menyebabkan para penduduk dan petani sulit membayarkan pejak wilayah. Thomas S Raffles berkeinginan berkunjung ke Noesa Kambangan untuk merencanakan pembangunan baterai di pulau tersebut. Nama Tjilatjap juga disebut Raffles dalam bukunya The History of Java yang diterbitkan tahun 1818. Dalam Peta 1817 nama Tjilatjap diidentifikasi bersama dengan nama Danon.


Seperti disinggung di atas, ketika terjadi proses sedimentasi di sisi tenggara/timur pulau (Tjidonan), terbentuk sungai antara daratan pulau dengan wilayah pesisir pantai (pantai berparis) dari arah timur laut ke barat daya di sungai/selat Donan. Sungai kecil ini kemudian dikenal sebagai sungai Tjilatjap. Pada sisi utara sungai Tjilatjap ini kemudian terbentuk kampong/pasar. Pasar di kampong Tjilatjap ini diduga yang diidentifikasi dalam laporan Raffles pada tahun 1814. Kampong Tjilatjap ini tepat berada di sebelah tenggara kampong besar Donan. Oleh karena nama pasar di kampong Tjilatjap ini lebih dikenal luas (dalam perdagangan) dibandingkan dengan kampong/desa induknya, maka ketika Pemerintah Hindia Belanda menempatkan pakhuis di Tjilatjap pada tahun 1817, sejak itu nama kampong/sungai Tjilatjap menjadi lebih dikenal lagi sehingga pemerintah menjadikan nama Tjilatjap senagai nama (wilayah) administrasi. Satu hal yang perlu dicatat dalam hal ini, sungai Tjilatjap yang melewati pasar, kemudian pada tahun 1830an diintegrasikan dengan pembangunan kanal Kali Osso atau Kali Soesoekan, yang menghubungkan kampong/pasar Tjilatjap di sungai Tjidonan dengan kampong Pandan di si sisi barat hilir muara sungai Serajoe.

Nama [Tji]donan menjadi masa lampau, nama Tjilatjap menjadi masa depan. Kawasan tersebut di masa lampau adalah eks suatu pulau kecil, yang kemudian di masa lampau menyatu dengan daratan (Jawa) membentuk tanjong (tanjong di sebalah utara pulau Noesa Kambangan). Dari sinilah awal, asal-asal usul nama Tjilatjap, yang awalnya nama sungai, kemudian menjadi nama kampong dan nama pasar, lalu kemudian menjadi nama ibu kota pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda yang selanjutnya juga menjadi nama wilayah (onderregentschap dan regentschap/afdeeling).  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar