Minggu, 28 Mei 2023

Sejarah Banyuwangi (12): Orang Osing di Wilayah Banyuwangi; Mix Population, Apa Masih Ada Penduduk Asli di Indonesia?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyuwangi dalam blog ini Klik Disini

Bangsa adalah satu hal, suku bangsa lain lagi. Penduduk asli satu hal, mix population lain lagi. Seperti halnya orang Batak, orang Jawa, orang Tengger, orang Osing juga tidak dapat dikatakan suatu bangsa, tetapi dapat dikatakan orang asli yang mendiami suatu wilayah/kawasan tertentu. Orang asli dalam hal ini adalah populasi terdahulu yang masih eksis di suatu wilayah. Orang Osing adalah salah satu suku di Indonesia masa kini yang membentuk bangsa Indonesia.


Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi juga disebut sebagai Laros (Lare Osing) atau Wong Blambangan. Orang Osing menggunakan bahasa Osing. Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Buddha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771. Suku Jawa Osing berada di kecamatan Songgon, Rogojampi, Blimbingsari, Singojuruh, Kabat, Licin, Giri, Glagah dan sebagian berada di kecamatan Banyuwangi, Kalipuro dan Sempu. Ada juga sekelompok kecil di kecamatan Srono, Cluring, Gambiran dan kecamatan Genteng. Orang Osing menyebut mereka dengan sebutan "Wong Osing" dengan "Tanah Blambangan". Suku Osing berbeda dengan suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta. Kesenian suku Osing sangat unik seperti Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Orang Osing di wilayah Banyuwangi? Seperti disebut di atas, penduduk asli di wilayah Banyuwangi adalah orang Osing. Penduduk mix population adalah warga Banyuwangi. Dalam hubungan ini apakah masih ada penduduk asli terawal di Indonesia? Lalu bagaimana sejarah Orang Osing di wilayah Banyuwangi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Osing di Wilayah Banyuwangi; Mix Population, Apakah Masih Ada Penduduk Asli di Indonesia?

Nama Osing asal usul bagaimana? Bahasa (orang) Osing untuk ‘tidak’ adalah ‘osing’. Ini sangat jarang terjadi. Dalam literatur lama juga tidak ditemukan nama Osing. Dalam desertasi Jan Willem de Stoppelaar ditemukan nama Osing. Desertasi tersebut dipresentasikan di Rijks Universiteit te Leden 19 Desember 1927 dengan judul ‘Balambangansch Adatrecht. Lantas sejak kapan muncul nama Osing untuk mengidentifikasi populasi penduduk asli di wilayah BanyuwangI? Yang jelas nama Balambagan, Blambangan dan Palambuan sudah sejak era Portugis dikenal. Nama Balambangan sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365).


Nama/kata osing tidak ditemukan dalam sumber-sumber lama. Akan tetapi nama Tengger sudah ada jauh lebih awal. Osing dalam literatur lama adalah nama/marga orang Eropa dan nama tempat di Eropa. Nama Osing juga ditemukan di laut Mediterania di Afrika Utara. Akan tetapi kata ‘tidak’ dalam bahasa asli populasi penduduk Banyuwangi adalah ‘osing’.

Hukum adat Balambangan yang dimaksud dalam desertasi Stoppelaar adalah hukum adat orang Osing yang sekarang. Pada tahun 1927 di kota-kota utama di wilayah (afdeeling) Banjoewangi, seperti Banjoewangi dan Moentjar adalah melting pot (ragam suku/bangsa). Jan Willem de Stoppelaar menyebut (orang) Balambangan adalah Osing Javanen (tidak/bukan orang Jawa). Disebutkan ‘osing’ adalah kata yang digunakan oleh sekelompok orang ini untuk negasi, dan setara dengan ora dalam bahasa Jawa biasa. Jadi dalam hal ini, orang Balambangan yang menyebut diri mereka bukan orang Jawa (osing Jawa; yang mana kata osing dalam bahasa Balambangan adalah ‘tidak’. Hal itulah diduga yang menyebabkan orang lain di wilayah Banyuwangi (termasuk orang Jawa) menyebut orang Balambangan adalah orang Osing.


Dalam sejarah penamaan, tidak pernah orang asli menamai dirinya. Nama orang Jawa juga diberikan oleh orang asing, yakni orang asing yang datang ke (pulau) Jawa di masa lampau yang kemudian diidentifikasi dalam teks dan peta yang kemudian dirujuk oleh para penulis/peneliti selanjutnya. Demikian juga orang Sunda diberikan oleh orang asing. Tentu saja orang Madura dan orang Bali juga diberikan oleh orang asing. Nama-nama tersebut diberikan merujuk pada nama geografi (pulau Jawa, pulau Bali, pulau Madura dan pulau Zunda). Namun berbeda dengan orang Sasak yang tidak mau menyebut dirinya orang Lombok (merujuk pada nama pulau) tetapi orang Sasak. Mengapa? Hal ini pula yang terjadi dengan orang Balambangan yang tidak mau disebut orang Jawa, lebih memilih orang Balambangan tetapi orang lain (orang asing kemudian menuebut sebagai orang Osing).

Dalam hal ini nama Balambangan adalah nama kuno, nama yang berasal dari masa lampau, sedangkan nama osing adalah nama baru. Okelah kita pertukarkan saja antara nama Balambangan dan nama Osing untuk menunjukkan hal yang sama. Lantas siapa orang Osing/orang Balambangan? Orang Osing adalah bukan orang Jawa, seperti halnya orang Madura, orang Tengger dan orang Sunda. Bagaimana memahaminya?


Dalam Kongres Bahasa Jawa di Soerakarta tahun 1918 dinyatakan bahasa bahasa Soenda (Soendaasch) memiliki karakter lebih tua dari bahasa Jawa, dimana ‘ha’ masih diucapkan disedot dan ‘ai’ dan ‘au’ belum dibunyikan menjadi ‘é dan ó, sedangkan bunyi ö kuno (atau pepet panjang) pernah digunakan dalam bunyi bahasa (di wilayah pulau/Jawa) memiliki peran yang sangat penting. Dalam hal ini sisa bahasa kuno di pulau Jawa masih ditemukan dalam bahasa Sunda (pulau Jawa bagian barat). Dalam perkembangannya diketahui di pulau Jawa bagian tengah/barat, dikenal bahasa Banjoemas/Tagal yang memisahkan bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa Jawa berkembang di pulau Jawa bagian tengah/timur (Mataraman). Sedangkan di pulau Jawa bagian timur, dengan mengecualikan bahasa Madoera (yang bermula di pulau/Madura) teridentifikasi bahasa Tengger dan bahasa Balambangan/bahasa osing. Catatan: orang/bahasa Tengger sudah dideskripsukan pada artikel sebelumnya.

Bahasa adalah salah satu elemen penting dalam budaya (kebudayaan) yang membentuk kelompok populasi penduduk berbeda dengan populasi penduduk lainnya (terutama di wilayah berdekatan). Tentu saja ada elemen budaya lainnya yang perlu dipertimbangkan (seperti adat dan seni). Pengaruh bahasa dalam hal ini dapat menekan bahasa asli. Namun bahasa asli masih ada yang tersisa dalam populasi penduduk yang diidentifikasi yang tidak ditemukan dalam bahasa tetangga. Hal seperti itu ditemukan dalam bahasa Balambangan/bahasa Osing.


Dalam daftar Swadesh kata ‘ibu’, ‘ayah’ dan ‘tidak’ adalah tiga kosa kata sangat penting dalam navigasi bahasa. Dalam bahasa Jawa (juga di Banten) adalah ora. Akan tetapi berbeda di kelompok populasi yang lain: Madura (bânnè, ta'), Sunda (henteu/sanes), Cirebon (beli), Jawa bagian timur (nda); dan Balambangan (osing). Dalam bahasa Madura banyak pengaruh bahasa Melayu dan bahasa Jawa, tetapi masih banyak kosa kata yang khas. Demikian juga dalam bahasa Osing (ada pengaruh kuat bahasa Jawa, dan juga dari bahasa Madura dan bahasa Bali. Jangan lupa bahwa bahasa Jawa dan bahasa Melayu banyak dipengaruhi bahasa Sanskerta. Last but not leastL bahasa Melayu banyak dipengaruhi bahasa Batak. Mengapa? Perhatikan dalam prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-7. 

Bahasa adalah elemen budaya yang diwariskan, dari generasi ke generasi berikut. Tidak perlu dipelajari, cukup diucapkan dan saling dipahami oleh anggota kelompok populasi. Sumber bahasa dalam studi sejarah, banyak ditemukan pada era Pemerintah Hindia Belanda. Semakin ke belakang, era VOC, era Portugis, era Islam dan era Hindoe-Boedha semakin minum. Pada era Hindoe Boedha terdapat dalam parasasti-prasasti plus teks yang masih tersisa (Tanjung Tanah dan Negarakertagama). Oleh karena itu makin jauh ke masa lampau semakin sulit menentukan bahasa-bahasa dan tentunya juga dalam menentukan perbedaan kelompok-kelompok populasi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mix Population, Apakah Masih Ada Penduduk Asli di Indonesia? Migrasi Masa ke Masa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar