Minggu, 28 Mei 2023

Sejarah Pendidikan (12): Studi ke Belanda dan Sarjana-Sarjana Pribumi; Perjuangan Peningkatan Pendidikan Penduduk Pribumi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini

Siapa pribumi pertama berpendidikan modern (aksara Latin) tidak terinformasikan. Siapa pribumi pertama studi ke Belanda? Jelas bukan Raden Kartono. Ada nama-nama awal yang perlu dicatat: Sati Nasoetion dan Ismangoen Danoe Winoto. Lantas siapa mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke Belanda? Banyak, bahkan hingga sekarang. Yang jelas Raden Kartono adalah mahasiswa pertama di Belanda. Semua bertujuan utnuk meningkatkan pendidikan.


Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono (atau Kartono) (10 April 1877 – 8 Februari 1952) adalah wartawan perang, penerjemah, guru. Ia adalah anak keempat dari R.M. Ario Sosrodiningrat dan kakak kandung R.A. Kartini. Setelah tamat Europeesche Lagere School di Jepara, Sosrokartono meneruskan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Selanjutnya pada 1898, Sosrokartono meneruskan pendidikannya ke Belanda di Sekolah Teknik Tinggi di Delft. Namun karena merasa tidak cocok, ia pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur sehingga lulus dengan gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dari Universitas Leiden. Ia merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke Belanda. Sosrokartono pernah berprofesi sebagai wartawan Perang Dunia I dari harian New York Herald Tribune di Wina, Austria semenjak 1917. Sosrokartono menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah di Nusantara. Dari 1919 sampai 1921, R.M.P. Sosrokartono menjadi anak bumiputra yang mampu menjabat sebagai Kepala penerjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah studi ke Belanda dan sarjana-sarjana pribumi pertama? Seperti disebut di atas, pribumi studi ke Belanda sudah cukup banyak, namun yang datang ke Belanda untuk kuliah di perguruan tinggi yang pertama adalah Raden Kartono. Para sarjana pribumi inilah yang kemudian melalukan perjuangan peningkatan pendidikan penduduk pribumi. Lalu bagaimana sejarah studi ke Belanda dan sarjana-sarjana pribumi pertama? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Studi ke Belanda dan Sarjana-Sarjana Pribumi Pertama; Perjuangan Peningkatan Pendidikan Penduduk Pribumi

Pada tahun 1891 Raden Mas Oetojo lulus ujian akhir di HBS Semarang (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-06-1891). Setelah lulus HBS Semarang, Raden Mas Oetojo tampaknya tidak melanjutkan studi ke Belanda, tetapi bekerja pada pemerintah. Pada tahun 1891 pribumi diterima di HBS Semarang adalah Raden Sosro Kartono (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-05-1891).


Disebutkan di HBS Semarang diadakan ujian saringan masuk dimana yang lulus empat perempuan dan 32 laki-laki. Diantara yang lulus adalah Raden Sosro Kartono dengan nilai 38. Dari semua yang lulus nilai tertinggi adalah 38 yang diperoleh oleh Raden Kartono dan FD Otken. Di bawah nilai tersebut nilai 36 adalah AC Groeneveld. Nilai terendah adalah 28. Ini mengindikasikan bahwa Raden Kartono tidak kalah bersaing dengan kandidat siswa Eropa/Belanda. Pada tahun 1892 Raden Kartono lulus ujian naik dari kelas satu ke kelas dua afdeeling B (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-05-1892). Afdeeling B adalah jurusan Matematika dan IPA. Pada kelas tertinggi naik dari kelas empat ke kelas lima diantanranya Raden Boesono. Pada tahun 1893 Raden Kartono lulus ujian naik ke kelas tiga (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-05-1893). Pada tahun 1894 lulus naik ke kelas empat (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-05-1894). Pada tahun 1895 lulus naik ke kelas lima (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 11-05-1895).

Akhinta pada tahun 1896 Raden Kartono lulus ujian akhir HBS (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). Disebutkan diadakan ujian HBS di Batavia dimana salah satu yang lulus adalah Reden Pandji Sosro Kartono. Ini mengindikasikan bahwa Raden Kartono lancar dalam studi di HBS. 12-06-1896). Nilai Raden Kartono terbilang cukup tonggi dengan perincian vak nilai 116 dan roebriek dengan nilai 34 yang secara keseluruhan Raden Kartono berada di peringkat ketiga. Raden Kartono setelah lulus HBS Semarang akan melanjutkan studi ke Belanda.


Pribumi melanjutkan pendidikan di Belanda diawali oleh Sati Nasution pada tahun 1857. Sati Nasution alias Willem Iskander berhasil mendapat akte guru tahun 1860 dan kembali ke tanah air dan kemudian pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, afdeeling Mandailing en Angkola. Pada tahun 1864 Ismangoen Danoe Winoto berangkat ke Belanda. Pada tahun 1871 Ismangoen ujian ambtenaren Oost Indie (pegawai pemerintah Hindia Belanda) untuk bagian A dari 54 orang yang mendaftar dan hanya 48 yang mengikuti ujian dimana 29 diantaranya dinyatakan lulus termasuk Ismangoen Danoe Winoto yang dicatat sebagai Raden Mas Ismangoen. Ismangoen Danoe Winoto adalah cucu kaisar (Soeltan) Djokdjokarta (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1871). Pada tahun 1872 Willem Iskander diberi beasiswa untuk meningkatkan studi lebih lanjut ke Belanda dengan membawa tiga guru muda untuk mendapatkan akta guru. Ketiga guru muda itu adalah Raden Soerono dari Soerakarta, Raden Sasmita dari Bandoeng dan Banas Loebis dari afdeeling Mandailing dan Angkola. Mereka berangkat pada bulan Mei 1874. Pada tahun 1875 Ismangoen Danoe Winoto di Belanda lulus studi dan mendapat gelar sarjana (lihat De standaard, 15-07-1875). Willem Iskander lulus ujian dan mendapat akta guru kepala tetapi meninggal dunia di Belanda tahun 1876. Ismangoen adalah sarjana pribumi pertama (lulus di Belanda).

Raden Kartono berangkat ke Belanda pada bulan Juli 1896. Pemberitahuan ini dapat dibaca pada surat kabar De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 18-07-1896 yang menyebutkan telah berangkat tanggal 16 Juli dengan kapal Prinses Marie dengan tujuan Nederland. Raden Kartono, anak dari Bupati Djapara kemudian disebutkan akan kuliah di Polytechnische School di Delft (lihat De Preanger-bode, 27-07-1896). Berita itu menjadi viral di Hindia maupun di surat kabar di Belanda.


Dalam majalag mahasiswa Vox studiosorum; studenten weekblad, jrg 32, 1896, No. 21, 17-09-1896 dicatat nama Raden Mas Pandji Sosro Kartono, mahasiswa Civiel Ingenieur beralamat di Kolk 3, Delft. Dalam Jaarboekje voor de stad Delft, jrg 66, 1897, nama Kartono dicatat berada di Breetvelt, Kolk 8. Dalam Jaarboekje voor de stad Delft, jrg 67, 1898, Raden Kartono masih beralamat di Kolk 8. Namun setelah itu nama Raden Kartono tidak muncul lagi di Delft. 

Dalam rapat umum kongres bahasa dan sastra ke-25 di Den Haag, menggelar kuliah Raden Mas Susro Kartono tentang pengaruh bahasa Belanda di Jawa (lihat Soerabaijasch handelsblad, 28-09-1899). Setelah cukup lama, Raden Kartono diberitakan (lihat De nieuwe courant, 25-08-1901). Disebutkan bahwa dalam ujian negara untuk universitas dari tanggal 22 hingga 24 Augustus yang mana terdapat 8 kandidat untuk faculteiten der godgeleerdheid der rechtsgeleerdheid en der letteren en wijsbegeerte (fakultas fakultas teologi, hukum, dan sastra dan filsafat). yang mana 5 orang lulus diantaranya Raden Mas Pandji Sosro Kartono,


Raden Kartono tidak kuliah di politeknik Delft lagi, tetapi di perguruan tinggi lain di Belanda fakultas non eksak. Ujian masuk disebutkan dilakukan di Universiteit te Utrecht (lihat De Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 28-08-1901). Raden Kartono yang akan kuliah dalam bidang studie der oostersche talen (program studi bahasa-bahasa Timur) berada di [Universiteit te] Leiden, Mengapa Raden Kartono meninggalkan fakultas tekni di Delft dan kemudian memilih fakultas sastra di Leiden?

Pada tahun 1903 Soetan Casajaangan, guru di Padang Sidempoean berangkat studi ke Belanda. Sementara untuk belajar bahasa Belanda dan menjajaki dimana studi serta mengikuti ujian persamaan, Soetan Casajangan ikut membantu penerbitan majalah berbahasa Melayu di Amsterdam Bintang Hindia sebagai redaktur. Pada tahun 1903 Raden Kartono diberitakan lulus ujian kandidat pada bidang Taal- en Letterkunde van dea Oost-lndischer. archipel, (lihat De Telegraaf, 30-06-1903). Dalam perkembangan program studi yang diikuti oleh Raden Kartono di Leiden tersebut disebut program studi Indologi. Pada tahun 1904 Kartono beralamat di Den Haag di Regentesselaan 8 (lihat Geschiedkundige opstellen, 1904).


Soetan Casajangan kembali ke kampong halaman tahun 1905 untuk mengurus segala sesuatu dan kembali lagi ke Belanda pada bulan Juli untuk melanjutkan studi. Tidak lama kemudian Dr Asmaoen lulusan Docter Djawa School tahun 1902 berangkat studi ke Belanda (lihat Het vaderland, 21-08-1905). Dalam manifes kapal ini terdapat nama Raden Mas Asmaoen dan Raden Mas Noto Kworo. Soetan Casajangan diterima di Rijskweekschool di Leiden untuk mengikuti program studi keguruan (semacam IKIP yang sekarang). Soetan Casajangan dapat dikatakan mahasiswa pribumi kedua di Belanda. Dalam majalah Bintang Hindia, Soetan Casajangan menulis untuk menghimbau agar putra-putri terbaik dari Hindia untuk belajar di Belanda. Ini mengindikasikan Soetan Casajangan guru tetaplah guru. Himbauan ini tampaknya berhasil. Setelah ada beberapa pribumi studi di Belanda (R Kartono, Soetan Casajangan, Abdoel Rivai dan Djamaloedin), lalu kemudian pada tahun 1906 Hoesein Djajadiningrat, yang baru lulus HBS di Batavia tiba di Belanda (untuk studi di Leiden). Pada tahun ini juga Raden Soemitro lulusan sekolah HBS di Batavia meneruskan sekolah HBS di Belanda (di Leiden). Pada tahun 1907 salah satu pribumi yang tiba di Belanda adalah lulusan sekolah HBS Semarang Raden Mas Notosoeroto. Pada bulan Desember 1907 Asmaoen lulus ujian akhir di Amsterdam (lihat Het vaderland, 21-12-1907). Pada bulan Juni 1908 Dr Asmaoen kembali ke tanah air dengan menumpang kapal ss Vogel berangkat dari Amsterdam (lihat Haagsche courant, 01-06-1908). 

Pada tahun 1908 jumlah pribumi yang tengah mempersiapkan diri maupun yang tengah studi sudah terhitung banyak (sebanyak 20an orang), Soetan Casajangan menginisiasi pembentukan organisasi pribumi yang studi di Belanda. Setelah mengirim undangan ke semua yang ada, pada tanggal 25 diadakan pertemuan di kediaman Soetan Casajangan di Leiden yang dihadiri oleh 15 orang. Disepakati dibentuk organisasi pribumi yang studi di Belanda dengan nama Indische Vereeniging. Untuk pengurus dipilih secara aklamasi Soetan Casajangan sebagai ketua dan Raden Soemitro sebagai sekretaris.

 

Pada tahun 1908 tiga mahasiwa kedokteran di Amsterdam lulus ujian Dr Boenjamin, Dr, A Rivai dan Dr Laoh. Mereka bertiga (plus Dr Asmaoen) adalah alumni Dokter Djawa School di Batavia. Selama kuliah di Amsterdam mereka tidak kuliah penuh seperti Raden Kartono dan Soetan Casajangan karena mereka sudah berdinas sebagai dokter di Hindia yang mana berdasarkan Staatsblad tahun 1904 dibebaskan Sebagian dari kuliah materi teoritis. 

Raden kripsi Soetan Raden Kartono berhasil tahun 1909 (lihat Het vaderland, 08-03-1909) dan menjadi sarjana pertama yang berasal dari pribumi (di Universiteit te Leiden). Pada tahun ini juga Soetan Casajangan berhasil lulus sarjana muda (LO). Seperti kita lihat nanti Soetan Casajangan meraih sarjana penuh (MO) di kampus yang sama pada tahun 1911.


Bagi orang pribumi, mendapat gelar sarjana di Belanda, mengindikasikan orang pribumi sudah mampu mencapai taraf yang dapat diperoleh oleh orang Belanda (di Belanda dan di Hindia) dalam bidang Pendidikan. Dengan kata lain, orang pribumi sudah ada yang memiliki tingkat pengetahuan sama dengan orang Belanda. Sarjana-sarjana pribumi inilah yang menerjemahkan apa yang dipikirkan oleh bangsanya sendiri. Mereka yang sarjana juga dengan sendirinya menjadi penyambung lindah penduduk Indonesia (baca: pribumi).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perjuangan Peningkatan Pendidikan Penduduk Pribumi: Pribumi Terdidik dan Orang Belanda Humanis

Sejarah selalu memiliki permulaan. Hal itulah mengapa orang-orang pertama selalu menarik perhatian. Setelah mendapat gelar sarjana pada tahun 1909, Raden Kartono tidak kembali ke tanah air seperti yang lainnya. Raden Kartono tetap di Belanda. Raden Kartono memiliki kemampuan bahasa Belanda yang sangat baik. Raden Kartono bisa hidup diantara orang Belanda di Belanda. Raden Kartono mulai bekerja di surat kabar. Selain di pers, Raden Kartono tetap mengembangkan ilmunya yang terkait dengan sastra.


Sementara itu sohibnya Soetan Casajangan lulus ujian tahun 1911. Pada tahun ini juga Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan mengalihkan kepemimpinan Indische Vereeniging kepada para junior yang dipimpin oleh Raden Noto Soeroto. Soetan Casajangan sebagai guru, tetap berkiprah di bidangnya, bidang pendidikan/keguruan. Seperti halnya Raden Kartono, Soetan Casajangan juga tidak kembali ke tanah air.

Soetan Casajangan pada tahun 1911 diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:


Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

 

...saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

Kutipan pidato Soetan Casjangan pada tahun 1911 tersebut dikutip dan dilansir sejumlah surat kabar di negeri Belanda dan di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda di Negeri Belanda dan orang-orang Belanda di Hindia Belanda dengan sendirinya menjadi paham mengetahui problem dan harapan yang disampaikan oleh Soetan Casajangan. Pidato tersebut adalah tekanan yang dilancarkan Soetan Casajangan untuk meningkatkan kesadaran Belanda dalam membangun dan memperkuat fondasi pendidikan orang pribumi ke depannya.


Soetan Casajangan di Belanda mengajar di beberapa sekolah untuk bahasa Melayu. Bahasa yang dibutuhkan orang Belanda, terutama yang akan berangkat ke Hindia. Soetan Casajangan juga turut membantu majalah dwimingguan berbahasa Melayu sebagai redaktur, Sementara itu Soetan Casajangan di Belanda, selepas kesibukan di Indische Vereeniging, mulai menginisiasi pembentukan Studiefond Bersama pendatang baru di Belanda, Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Tujuan komite Studiefond itu adalah untuk menggalang dana dari berbagai pihak untuk membantu para calon/mahasiswa di Belanda yang kesulitan keuangan karena kemampuan orang tua.

Raden Kartono dan Soetan Casajangan adalah dua orang paling senior di Belanda. Yang lainnya masih studi di berbagai fakultas dan sejumlah calon mahasiswa yang baru datang dari tanah air untuk mempersiapkan masuk ke perguruan tinggi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar