Minggu, 14 Mei 2023

Sejarah Cirebon (41): Detik Akhir Belanda Cirebon; Sejarah Memang Ada Permulaan, Tapi Tidak Hanya Itu, Bahkan Babak Akhir


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Cirebon dalam blog ini Klik Disini

Dalam penulisan narasi sejarah Indonesia di berbagai daerah sering lebih mengedepan sejarah permulaan saja. Memang sejarah harus ada permulaan, tapi tidak hanya sekadar itu. Ada beberapa masa, tetap rentang masa terpanjang pada era Pemerintah Hindia Belanda.Semuanya telah dinarasikan dalam serial artikel ini dalam berbagai topik. Namun sering sejarah akhir terlupakan. Pada artikel dideskripsikan detik berakhir Belanda di Cirebon


Setelah berstatus Gemeente Cirebon pada tahun 1906, kota ini baru dipimpin oleh seorang Burgermeester (wali kota) pada tahun 1920 dengan wali kota pertamanya adalah J.H. Johan. Kemudian dilanjutkan oleh R.A. Scotman pada tahun 1925. Pada tahun 1926 Gemeente Cirebon ditingkatkan statusnya oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi stadgemeente, dengan otonomi yang lebih luas untuk mengatur pengembangan kotanya. Selanjutnya pada tahun 1928 dipilih J.M. van Oostrom Soede sebagai wali kota berikutnya. Pada masa pendudukan tentara Jepang ditunjuk Asikin Nataatmaja sebagai Shitjo (wali kota) yang memerintah antara tahun 1942-1943. Kemudian dilanjutkan oleh Muhiran Suria sampai tahun 1949, sebelum digantikan oleh Prinata Kusuma. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemerintah Kota Cirebon berusaha mengubah citra Kota Cirebon yang telah terbentuk pada masa kolonial Belanda dengan simbol dan identitas kota yang baru, berbeda dari sebelumnya. di mana kota ini dikenal dengan semboyannya per aspera ad astra (dari duri onak dan lumpur menuju bintang), kemudian diganti dengan motto yang digunakan saat ini. (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah detik berakhir Belanda di Cirebon? Seperti disebut di atas narasi sejarah tidak hanya permulaan, bahkan ada masa demi masa yang sambung menyambung. Sejarah memang ada permulaan, tapi tidak hanya itu, bahkan ada babak akhir yang sering terabaikan. Lalu bagaimana sejarah detik berakhir Belanda di Cirebon? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Detik Berakhir Belanda di Cirebon; Sejarah Memang Ada Permulaan, Tapi Tidak Hanya Itu, Bahkan Ada Babak Akhir

Pada masa lampau, ketika orang Belanda pada era VOC datang ke Cirebon, mereka meminta izin ke pada penguasa setempat (sultan) untuk berdagan dan membangun benteng. Mengapa mereka membuat benteng? Tentu saja untuk pertahanan diri jika sultan dan atau penduduk berubah pikiran untuk mengusir. Benteng juga berufungsi untuk mempertahankan barang dagangan. Benteng inilah yang menjadi cikal bakal koloni Belanda. Yang akhirnya seiring waktu orang Belanda menguasasi seluruh kehidupan dan bahkan Sultan di Cirebon sendiri. Bagaimana dengan akhir kehidupan orang Belanda sendiri di Cirebon.


Sejak era VOC, orang Belanda tidak pernah menguasai Jepang. Pedagang VOC hanya mampu melakukan transaksi perdagangan saja di Jepang, di kota-kota pelabuhan. Tidak ada benteng yang dibangun, hanya sebatas loji. Sebaliknya, dalam perkembangannya dari masa ke masa, orang Jepang yang justru memanfaatkan orang Belanda dalam hal kebutuhan tenaga ahli dan para professional yang dapat dikontrak. Pembangunan dan kemajuan teknologi terus berkembang dan dikembangkan sendiri sehingga Jepang mampu mengimbangi Belanda. Pada tahun 1898 Pemerintah Hindia Belanda mengelurkan kebijakan baru bahwa orang Jepang yang berada di Hindia disetarakan dengan orang Eropa/Belanda. Persaingan diantara dua negara itu mulai timbul dalam hubungannya dengan orang pribumi. Orang Belanda adalah pendatang yang menjajah. Eskalasi politik Jepang mulai meningkat, yakni memperluas pengaruh di Asia Timur dan Asia Tengggara. Dalam konteks inilah orang Belanda di Hindia adalah kandidat yang perlu dientaskan yang kemudian mereka gantikan. Berbagai program praktis dilakukan, seperti memberi ruang perdagangan pribumi ke Jepang, memfasilitas orang pribumi berkunjung ke Jepang (1933). Sementaara itu orang Jepang di Hindia memperluas wilayah perdagangannya di berbagai daerah, membuat propaganda dengan mendirikan surat kabar berbahasa Melayu di Semarang (1934). Orang-orang Jepang juga melakukan mata-mata (kegiatan spionase) di Hindia dan ada juga yang ditangkap. Tentang apa yang terjadi dengan orang Jepang di Hindia dan awal invasi Jepang di Asia Timur telah memicu kesadaran baru diantara oreang Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda, invasi Jepang ke Hindia hanya menunggu waktu. Persiapan-persiapan dalam berbagai aspek sejak 1937 telah dimulai untuk menghambat atau menangkis kehadiran militer Jepang, termasuk memobilisasi kekuatan pribumi di dalam struktur militer Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1940 Akademi Militer di Bandoeng mulai membuka slot untuk pribumi, diantaranya A Kawilarang, TB Simatoepang dan Abdoel Haris Nasoetion.

Sejak 1940 di berbagai kota di Jawa dan juga di Sumatra mulai diadakan pelatihan-pelatihan terhadap kedarutan perang (jika sewaktu-waktu invasi Jepang ke Hindia terjadi). Lalu pada gilirannya di kota Cirebon program serupa diadakan dengan nama sandi Luchtbeschermingsoefeningen te Cheribon (Latihan pertahanan udara di Cheribon) (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-02-1941). Pemerintah Hindia Belanda dan pejabat Belanda di Cheribon benar-benar merasa takut (lebih-lebih setelah pada bulan Mei 1940 wilayah Belanda diduduki Jerman). Ketakutan itu tidak hanya karena takut kalah perang, juga takut kehilangan kehidupannya itu sendiri. Sebagaimana diketahui sejak era VOC, orang Belanda di Hindia begitu Makmur, bahkan jauh lebih makmur di negeri induknya sendiri di Belanda (tentu saja tidak terlalu peduli dengan penduduk local yang hidup dalam kemiskinan).


Bagaimana reaksi orang pribumi terhadap ketakutan yang luar biasa diantara orang-orang Belanda. Mulai terbelah. Penduduk pribumi yang selama ini diuntungkan Belanda tetap menunjukkan kesetiaanya membela Belanda (termasuk dalam program larihan pertahanan disebut di atas), alih-alih untuk memperjuangkan negeri sendiri. Orang pribumi pro Belanda ini juga ketakutan jika terjadi pendudukan (militer) Jepang. Para pejuang kemerdekaan Indonesia di Cheribon, penduduk yang anti Belanda tentu saja tersenyum tersediri terhadap ketakutan orang Belanda. Mereka tersenyum karena hanya orang Jepang yang bisa mengentaskan orang Belanda dari bumi Nusantara/Indonesia. Jadi, wait en see lah.

Orang Belanda terlalu hipokrit. Saat mereka sangat berkuasa lupa mereka siapa pribumi. Hanya dijadikan sapi perah dan memberi keuntungan sedikit kepada penjaga sapinya. Begitu orang Belanda terancam dari orang asing (Jepang) mereka pura-pura dan tetap bersikap hipokrit. Orang Belanda begitu rakus terhadap sumber daya kemakmuran, tidak pernah ikhlas memberi yang sedikit kepada yang lain, apalagi kepada orang asing yang nyata-nyata datang untuk merampas semua yang dimilikinya.


De Indische courant, 13-06-1941: ‘Bagaimana Hndia? Dalam 'Bataviasch Nieuwsblad' Greshoff mulai menulis impresi-impresi tentang Hindia dan tentang kita di Hindia. Dia mengkritik betapa sedikit yang diberitahukan kepadanya tentang Hindia sebagai anak sekolah dan sebagai orang dewasa. Disini dia menemukan “isu-isu jauh lebih menarik dan jauh lebih penting, dari apa yang sangat kami khawatirkan di Eropa". Dia membalas cerita tentang materialisme brutal orang Hindia sebagai fitnah. Dia berpikir bahwa kita tidak boleh terlalu meremehkan diri kita sendiri, karena dengan begitu seseorang kehilangan kecenderungan untuk memperbaiki diri. Dan dia membuat dua komentar kritis dalam pertimbangan pertama ini. Pertama, dia memperhatikan bahwa "sangat banyak orang Belanda, yang telah tinggal di negara ini selama bertahun-tahun, sangat tidak mengenalnya". Negara, orang-orang, produk seni: "Saya tidak bisa mengatakan seberapa sering, berbicara tentang keindahan lanskap atau struktur, saya mendapat jawabannya: Saya belum pernah melihatnya! Kurangnya minat pada apa yang begitu ingin tahu dan indah telah membuat saya takjub. Mungkin dalam beberapa kasus kesempatan kurang, tetapi dalam banyak kasus lain itu adalah kemauan. Misalnya, dalam antusiasme saya yang besar terhadap seni Cheribon kuno, saya telah membicarakannya dengan orang-orang yang tinggal di atau dekat Cheribon, yang bagaimanapun tidak memiliki firasat tentang keberadaannya. Saya katakan di awal bahwa kami orang Belanda dari Belanda hanya tahu sedikit tentang Hindia. Saya harus menambahkan bahwa Belanda di Hindia juga gagal dalam hal ini".

Detik-detik berakhir orang Belanda di Hindia, termasuk di Cheribon, ibarat orang sekarat, yang teriakannya hanya mampu di dengar tetangga di sebelah. Selama ini, saat sehat dan kuat, di tidak mengenal tetangga, tetapi lebih mengenal orang di tempat jauh bahkan di Eropa di Belanda sana. Pada saat ini orang Belanda di Belanda juga tengah sekarat (diduduki Jerman). Dalam situasi mengigau, orang Belanda di Hindia yang mulai sekarat, dengan berat hati tersenyum kepada tetangga yang datang mendengar rintihannya. Dalam rintihan, orang sekarat terkesan menyesali apa yang telah dilakukan selama ini. Termasuk menyesal tidak mengenal tetangga. Akan tetapi orang pribumi tidak hipokrit. Rasa kemanusiannya selalu berada di depan ketikan orang mendengar rintihan di jalan siapapun mereka. Orang pribumi gampang iba. Itulah ketulusan hati, lawan dari sikap hipokrit.


Hipokrit adalah kadar kemanusian yang sebenarnya dapat dikatakan nilainya kecil. Hal itu karena hipokrit msih dapat ditawar dengan sikap hipokrit juga. Pada awal permulaan kehadiran orang Belanda di Hindia, orang Belanda sangat rasis. Mereka menganggap dirinya mewakili manusia beradab, sementara orang pribumi di Hindia dianggap semua biadab. Untuk suatu wilayah atau lanskap mereka menyebutnya zoo. Padahal orang pribumi sudah memiliki terminology sendiri tentang wilayahnya sebagai negori, dukuh, desa dan sebagainya. Sebagai zoo (wilayah kebun binatang), orang Belanda menganggap semua tanah air, tanaman dan penduduk adalah miliknya dan penduduk dianggap sebagai binatang. Namun terminology zoo itu lambat-laun menghilang digantikan dengan terminology baru seperi land, landerein, lanschap dan sebagainya. Sebaliknya menjelang detik berakhir Belanda di Indonesia (Hindia Belanda), sikap hipokrit tetap tidak berubah. Boleh jadi itu adalah bawaan badan (badannya di Hindia tetapi jiwanya di Eropa).  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Memang Ada Permulaan, Tapi Tidak Hanya Itu, Bahkan Ada Babak Akhir: Sejarah Detik Terakhir adalah Awal Mula Era Baru

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar