Sabtu, 22 Juli 2023

Sejarah Tata Kota Indonesia (43): Perguruan Tinggi Teknik - Tata Kota di Indonesia Sejak Pemerintah Hindia Belanda; THS Kini ITB


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini

Sebelum dikenal Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Technische Universiteit Delft (TU Delft) pada masa ini, pada masa lampau dikenal Polytechnische School di Delft dimana Raden Kartono diterima pada tahun 1896. Dalam perkembangannya politeknik ini diubah statusnya menjadi perguruan tinggi teknik (Technische Hoogeschool te Delft) yang menjadi cikal bakal TU Delft. Bagaimana dengan di Indonesia? Itu bermula di Bandoeng dengan didirikannya tahun 1920 Technische Hoogeschool te Bandoeng (yang menjadi cikal bakal ITB).


Technische Universiteit Delft (TU Delft) adalah sekolah sulit tapi prestisius. Salah satu pribumi yang studi di sekolah tinggi teknik ini di masa lalu adalah direktur pertama PT. PINDAD Bandung (1950-1954) Ir AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan. Sejak doeloe, selain TU Delft sebagai jalur mahasiswa asal Indonesia di bidang eksak adalah Fakultas Kedokteran Universiteit van Amsterdam, salah satu alumninya adalah perempuan Indonesia pertama bergelar Doktor (PhD) di bidang kedokteran tahun 1931 Dr Ida Loemongga Nasoetion, PhD. Satu lagi universitas yang sulit di Belanda adalah Fakultas Kedokteran Hewan Universiteit Utrecht yang mana salah satu alumninya adalah orang Indonesia pertama berlisensi Eropa sebagai Dokter Hewan tahun 1920 Dr Sorip Tagor Harahap, dokter hewan yang memulai karir di Istana Gubernur Jenderal yang kemudian dipromosikan menjadi Kepala Dinas Kedokteran Hewan Province West Java di Bandoeng (Dr Sorip Tagor Harahap kelak dikenal sebagai kakek Inez/Risty Tagor).

Lantas bagaimana sejarah perguruan tinggi teknik dan tata kota di Indonesia sejak era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, perguruan tinggi teknik (Technische Hoogeschool) dobuka tahun 1920 di Bandoeng yang menjadi cikal bakal ITB sekarang. Lalu bagaimana sejarah perguruan tinggi teknik dan tata kota di Indonesia sejak era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Perguruan Tinggi Teknik dan Tata Kota di Indonesia Sejak Pemerintah Hindia Belanda; THS hingga ITB

Seperti disebut pada artikel sebelumnya, di Belanda sudah banyak mahasiswa pribumi asal Hindia, dan diantaranya sejumlah mahasiswa studi di Technische Hoogeschool te Delft. Sejauh ini semua mahasiswa dengan biaya sendiri. Mahasiswa juga memanfaatkan dana studi (Studiefond) yang dibentuk Soetan Casajangan dan Mangaradja Soangkoepon pada tahun 1912 (yang kemudian diintegrasikan di dalam Indische Vereeniging). Praktis tidak ada kontribusi pemerintahan (Pemerintah Hindia Belanda) kepada siswa yang studi ke luar negeri (dalam hal ini Belanda). Dengan latar belakang itu Pemerintah Hindia Belanda merencanakan pengiriman siswa untuk studi ke Delft.


Pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) di Batavia membuat rencana pada tahun 1916 untuk memenuhi kebutuhan di Hindia Belanda akan mengirim pegawai muda pribumi untuk pelatihan (opleiding) ke Technische Hoogeschool te Delft pada tahun anggaran 1916 sebanyak 77 orang dan 1917 sebanyak 95 orang (lihat De Preanger-bode, 26-07-1916). Rencana ini tampaknya, dengan melihat jumlah yang dikirim, bukan untuk program sarjana (ingenieur), dan juga bukan untuk sekolah menengah (karena di di Hindia sudah ada Technisch Schooo), tetapi untuk program diploma.  

Rencana Pemerintah Hindia Belanda ini tampaknya adalah untuk merespon tekanan para pakar dan pemerhati Hindia Belanda di Belanda yang tergabung dalam Vereeniging Moederland en Kolonien. Soetan Casajangan, ketua Indische Vereeniging (1908-1911) pada tahun 1911 diundang untuk berpidato di hadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi). Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:


Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen). ..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi). 


Soetan Casajangan, seorang guru yang baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana keguruan di Belanda memahami bentuk arti pendidikan bagi orang pribumi di Hindia. Soetan Casajangan dengan sangat santun dalam pidatonya tetapi memberi makna yang dalam yang menggetarkan hati peserta forum yang juga dihadiri pegiat pendidikan dan bahkan profesor-profesor di sekolah tinggi di Belanda. Kutipan pidato Soetan Casajangan dilansir sejumlah surat kabar di negeri Belanda dan di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda di Negeri Belanda dan orang-orang Belanda di Hindia Belanda dengan sendirinya sudah saling mengetahui problem dan harapan yang disampaikan oleh Soetan Casajanagan. Namun selama bertahun-tahun tidak pernah terealisasikan. 

Soetan Casajangan tentu saja sulit menyampaikan hal seperti itu kepada Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi akan berbeda jika disampaikan di dalam forum Vereeniging Moederland en Kolonien di Belanda yang mengundangnya. Politik etik bagi Soetan Casajangan tampaknya sudah usang. Soetan Casajanagan menyuarakan isi hatinya di hadapan orang-orang yang memiliki hati: “cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya...saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah.

Rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk mengirim siswa ke Delft tidak jadi diwujudkan. Hal ini karena di Belanda dan di Hindia Belanda tahun 1917 terjadi polemic, bukan mendatangkan siswa-siswa ke Belanda tetapi mengirim dosen-dosen di Belanda untuk mendirikan perguruan tinggi teknik di Hindia Belanda. Vereeniging Moederland en Kolonien sudah barang tentu telah memainkan peran penting dalam munculnya polemic tersebut. Sultan Djogja merespon dengan positif dan bahkan bersedia menyediakan lahan meski dia tahu Bandoeng menjadi kandidat kuat dimana usulan perguruan tinggi teknik didirikan (lihat De Preanger-bode, 19-08-1917).


Sebelumnya sudah beredar informasi bahwa rencana perguruan tinggi teknik itu sedang mempertimbangkan Bandoeng (lihat De Preanger-bode, 25-07-1917). Sementara itu di Delft sudah dibentuk komisi yang dipimpin oleh Prof. Klopper. Bagaimana komisi ini dibentuk? Tentu saja tidak atas otorisasi Pemerintah Hindia Belanda. Untuk urusan setingkat ini adalah otorisasi Menteri Koloni di Belanda. Sudah barang tentu otorisasi Menteri Koloni ini akan terhubung dengan parlemen (Tweede Kamer) di Belanda, yang dengan sendirinya Vereeniging Moederland en Kolonien sebagai ‘ormas’ di dengar oleh Menteri Koloni maupun oleh para anggota dewan di Tweede Kamer. Prof. Klopper dalam hal ini ditunjuk/diangkat sebagai ketua komisi di bawah otorisasi (Menteri Koloni).

Dalam perkembangannya diketahui di Delft Prof. Klopper mendapat masukan dari Ir. HA Brouwer, seorang insinyur di Kementerian PU di Hindia Belanda yang baru tiba di Delft karena diangkat sebagai dosen di Technische Hoogeschool te Delft (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1918). Ir. HA Brouwer tidak mewakili Pemerintah Hindia Belanda, tetapi mewakili dirinya sebagai akademisi (yang memiliki otonomi sendiri). Komisi di Delft ini sudah mulai menggeser kegiatannya ke Hindia Belanda.


De Telegraaf, 12-05-1919 melaporkan bahwa Technische Hoogeschool te Bandoeng rencana akan dibuka tahun 1921. Persiapan fisik Technische Hoogeschool didukung oleh Gemeente Bandoeng. Penawaran dilakukan sejak 1 Mei dan pemerintah lokal telah mempresentasikan di hadapan komite dan Pemerintah Hindia Belanda (lihat  Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919). Namun dalam perkembangannya rencana ini dimajukan menjadi akhir Juli 1920, perkuliahan selama empat tahun dan Ijzzermann dan Klopper melakukan persiapan di Hindia Belanda. Sekolah tinggi ini hanya satu fakultas, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 16-08-1919). Pada tanggal 18 September Prof. Klopper akan berangkat ke Hindia Belanda untuk persiapan pembukaan Technische Hoogeschool te Delft (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-09-1919). Ini mengindikasikan sebelum kedatangan Prof. Klopper, Bandoeng sudah ditetapkan sebagai lokasi Technische Hoogeschool. Ini dengan sendirinya harapan Djogja sirna. Dalam analisis Prof. Klopper pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng sangat masuk akal (Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1919) karena juga memungkinkan orang Belanda di Hindia Belanda (baca: Indo) tidak harus ke Delft. Prof. Klopper menyatakan sebagian besar mereka gagal di Delft.

Bagaimana gagasan pendirian perguruan tinggi teknik di Hindia bermula di Belanda. Dalam hal ini di awal ada suara Soetan Casajangan yang kemudian diadopsi oleh Vereeniging Moederland en Kolonien di Belanda (yang menjembatani antara Menteri Koloni dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda), namun ketika kegiatannya telah berada di Hindia Belanda tampaknya Prof. Klopper telah dikooptasi Pemerintah Hindia Belanda. Sebab dalam pernyataan Prof. Klopper sejauh ini tidak menyinggung siswa-siswa pribumi sebagai kandidat di sekolah tinggi teknik. Apakah suara hati Soetan Casajangan telah dipinggirkan dan dilupakan?


Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-12-1919: ‘Sambil menunggu penyelesaian bangunan kampus, Prof Klopper sudah berhasil menghimpun (mengadministrasikan) sebanyak 23 dosen dan sebanyak 87 kandidat mahasiswa. Dalam hal ini  tentu saja tidak sulit menemukan kandidat dosen maupun kandidat mahasiswa. Sebab di Hindia Belanda sudah sejak lama terdapat banyak insiyur lulusan di Belanda dan beberapa tahun terakhir ini jumlah HBS (afdeeling-B/Eksak) semakin banyak.

Akhirnya Technische Hoogeschool te Bandoeng mulai terwujud. Prof. Ir, J. Klopper yang ditunjuk komisi di Belanda lalu kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengukuhkannya sebagai Rektor (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Apakah ini mengindikasikan Prof. Ir, J. Klopper sepenuhnya patuh terhadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Lalu apakah peran Tweede Kamer dan Vereeniging Moederland en Kolonien di Belanda telah selesai? Yang jelas perkuliahan di Technische Hoogeschool te Bandoeng akan dimulai Juni 1920.


Salah satu persiapan adalah diadakannya pameran studi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Juga disebutkan dalam berita ini bahwa Dewan Persatoean Indo-Eropa (Indo-Europeesch Verbond)  dalam pertemuannya 26 Januari memutuskan untuk menggalang dana melalui anggotanya untuk penyediaan beasiswa bagi kandidat mahasiswa yang kurang mampu. Menurut perkiraan setiap mahasiswa selama empat tahun termasuk pemondokan akan menghabiskan dana sebesar f6,000. Suatu angka yang besar. Selain itu juga diberitakan diadakan Kongres Insinyur di Batavia yang juga turut dihadiri pengurus pusat di Belanda. Salah satu keputusan kongres ini Persatuan Insinyur Belanda chapter Hindia Belanda berpindah kantor ke Bandoeng (lihat De Sumatra post, 18-02-1920). Satu hal yang memunculkan pertanyaan, setelah Prof. Ir, J. Klopper tidak menyinggung soal kandidat mahasiswa pribumi, idem dito dari Indo-Europeesch Verbond juga tidak terinformasikan.

Lalu bagaimana dengan pembangunan kampus di Bandoeng? Perencanaan pembangunan konstruksi dilakukan oleh perusahaan konstruksi di bawah pimpinan arsitek Ir. Maclaine Pont. Sedangkan pelaksana konstriksi bangunan dikerjakan oleh pimpinan Kapten (genie) MT van Staveren. Pekerjaan konstruksi terdiri tiga bagian: pertama dua gedung A dan B; kedua bidang lanskap; ketiga bangunan ruangan perkuliahan termasuk jalan dan trotoar. Pekerjaan konstruksi akan selesai tanggal 1 Juli 1920 (lihat De Preanger-bode, 21-02-1920). Siapa Ir. Maclaine Pont? Seperti disebut dalam artikel sebelumnya Ir. Maclaine Pont sama-sama lulus dengan Ir HT Karsten dari Delft (bouwkundige ingenieur) tahun 1909.


Technische Hoogeschool te Bandoeng dengan satu fakultas Faculteit der Weg- en Waterbouwkande (opleiding tot civiel-ingenieur) sudah menjelang pembukaan yang akan dilakukan pada tanggal 3 Juli 1920. Rektor telah menginformasikan melalui media/surat kabar tentang peraturan dan persyaratan registrasi kandidat mahasiswa di seluruh Hindia Belanda (lihat De Sumatra post, 14-05-1920). Dalam pembukaan perguruan tinggi ini akan dihadiri Ny. Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum yang dimulai pukul sembilan dan diakhir dengan makan siang di Concordia yang dijamu oleh (pemerintah daerah) Gementee Bandoeng. Kereta api Weltevreden-Bandoeng diperbanyak, Untuk konfimasi kedadiran dapat menghubungi Prof. Klopper yang berkantor (sementara) di Riaouwstraat 38 Bandoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-06-1920).

Akhirnya tanggal 3 Juli 1920 perguruan tinggi teknik di Bandoeng resmi dibuka oleh Gubernur Jenderal (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-07-1920). Disebutkan Ketua Dewan Direksi Technische Hoogeschool, KAR Bosscha memberikan kata sambutan untuk menyambut hadirin dan kemudian Wakil Dewan Direktur Lembaga Pendidikan Tinggi Pendidikan Teknik Tinggi Hindia Belanda Ir. RA van Sandick memberikan kata sambutan di hadapan Ny. Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum.


Sandick menjelaskan sejarah yayasan itu sangat singkat, dimulai tahun 1917 berkumpul dari berbagai pihak dan mulai mengumpulkan dana dari berbagai kalangan seperti perusahaan perdagangan, industri, pertanian dan pelayaran yang hingga tahun 1919 terkumpul dana sebesar 3,3 juta gulden dan kemudian terbentuk Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie yang mana bernegosiasi dengan pemerintah (perwakilan Menteri Koloni) sehingga muncul fungsi baru yang mana saya ditunjuk. Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie menawarkan untuk pendirian sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda dan lalu para pendiri membentuk Dewan Direksi lalu menugaskan tiga orang untuk mulai mengerjakannnya yakni (1) Prof. Ir. CW Weys, mantan Hoofdingenieur der BOW, mantan Hoogleeraar in de tropische waterbouwkunde aan de Technische Hoogeschool te Delft, yang sekarang menjabat sebagai Directeur der NV Rijstlanden Michiels-Arnold; (2) Prof. Dr. S. Hoogewei, mantan Rector magnificus der Technische Hoogeschool te Delft, pengajar di bidang kimia; dan (3) saya sendiri merangkap sebagai sekretaris. Tim ini merancang untuk dua program studi yakni insinyur sipil dan insinyur kimia. Oleh karena pembiayaan yang besar untuk kimia dan teknologinya sehingga (untuk sementara) hanya untuk teknik sipil saja. Pada tanggal 1 Mei 1919 ditunjuk Prof. Klopper dan melakukan kunjungan kesini untuk bernegosiasi dan pembicaaan dengan Pemerintah Hindia Belanda dan kemudian menetapkan lokasi di Bandoeng... bulan Juli 1919 dilakukan sebuah upacara yang termasuk peletakan batu pertama dan penanaman empat pohon yang melambangkan harapan...arsitek bangunan Ir H. Madame Pont dan pengerjaan proyek konstruksi dipimpin oleh mantan Kolonel genie VL Slors dan Kapten genis MT van Staveren dari angkatan darat....Tujuan kami adalah bahwa insinyur lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng di masa depan akan setara dengan insinyur dari perguruan tinggi teknik terbaik di Westersche terbaik, yang mana kurikulum kami akan mengacu (copy paste) dari kurikulum Technische Hoogeschool te Delft...’.

Jika diperhatikan secara cermat dari hasil analis Prof, Klopper yang tidak sedikitpun menyinggung tentang kandidat mahasiswa pribumi. Namun dalam perkembangan berikutnya ketika menjelang Technische Hoogeschool te Bandoeng kandidat pribumi diakomodir (lihat De Preanger-bode, 03-07-1920). Apakah mahasiswa pribumi yang diterima kapabel? Sebab prosesnya cepat (berbeda dengan seleksi untuk non pribumi yang dilakukan jauh sebelumnya). Lantas mengapa muncul tarik ulur? Tidak jelas. Namun yang jelas, pada bulan Oktober 1920 kembali Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato di hadapan para anggotanya. Tentu saja Soetan Casajangan (yang saat itu menjadi asisten Inspektur Pendidikan Pribumi) di Batavia menetahui persis apa yang terjadi pada detik-detik pembukaan perguruan tinggi tekni di Bandoeng. Dalam forum yang diadakan pada tanggal 28 Oktober 1920 di Belanda, Soetan Casajangan, berdiri untuk kali kedua di hadapan para ahli/pakar Belanda dengan makalah 19 halaman yang berjudul 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Berikut beberapa petikan isi pidatonya:


Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

 

....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..

 

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan...saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan [pemerintah kolonial]...’

Soetan Casajangan dengan caranya sendiri tetap santu. Isi pidato ini tampaknya ditujukan untuk mengoreksi kebijakan pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng yang tidak memihak pribumi. Sebab isu saat itu soal ketidaksetaraan sangat menonjol pada sekolah tinggi teknik ini. Dalam daftar mahasiswa baru di tahun pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng hanya terdapat dua jatah pribumi (yang hanya diakomodir pada detik-detik pembukaan). saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan...saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan Hindia [yang dipimpin Gubernur Jenderal]...’


Yang tidak terduga, dalam forum yang diselenggarakan di belanda ini turut dihadiri oleh Soeltan Djogja [yang pernah secara sekarela menawarkan lahan untuk pendirian Technische Hoogeschool] di Jogjakarta. Pidato Soetan Casajangan ini dan kehadiran Soeltan sangat strategis dan boleh jadi menjadi bentuk protes. Pada saat itu boleh dikatakan kedua tokoh ini sangat memerhatikan pendidikan penduduk pribumi. Oleh karenanya kedua tokoh ini tidak hanya tokoh perubahan tetapi juga berani berkorban: Soetan Casajangan dengan memikirkn kata-kata yang cukup tajam dengan cara penyampaian yang diplomatis dan Soeltan Djogja dengan tulus ikhlas menyedikan lahan.

Lantas apakah setelah Soetan Casajangan berpidato di hadapan Vereeniging Moederland en Kolonien pada bulan Oktober 1920 yang juga turut dihadiri Soeltan Jogjakarta akan berubah kebijakan yang diterapkan di Technische Hoogeschool di Bandoeng?


Seperti disebut di atas, inisiatif pendirian Technische Hoogeschool pada dasarnya berasal dari Vereeniging Moederland en Kolonien di Belanda yang membentuk Yayasan dengan menunjuk Prof Klopper sebagai ketua komite pendirian (yang kemudian diangkat Gubernu Jenderal Hindia Belanda) sebagai rector di Bandoeng. Dalam kasus jatah dan system penerimaan pada pembukaan Technische Hoogeschool, lalu berkesempatan Soatan Casajangan bersuara kembali yang kebetulan juga turut dihadiri Soeltan Jogja. Jelas bahwa dalam hal ini yang bisa mengubah kebijakan di Technische Hoogeschool te Bandoeng hanya satu-satunya yang bisa menjembatani suara pribumi adalah Vereeniging Moederland en Kolonien yang memiliki hubungan langsung dengan istitusi lain seperti Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie di Belanda yang notabene memayungi Technische Hoogeschool te Bandoeng.

Soetan Casajangan tidak hanya pemikir yang brilian, juga Soetan Casajangan mendapat apresiasi yang luas dari kalangan orang-orang Belanda. Soetan Casajangan sudah lama dikenal di Belanda. Soetan Casajangan yang menginisiasi pendirian organisasi pelajar/mahasiswa pribumi di Belanda, Indische Vereeninging pada tahun 1908. Soetan Casajangan, seorang guru yang melanjutkan studi keguruan di Belanda (dan telah mendapat gelar sarjana pendidikan pertama) tetap konsisten dalam memperjuangkan pendidikan bagi orang pribumi. Guru tetaplah guru.


Pengakuan ahli/pakar Belanda terkemuka terhadap pemikiran dan perjuangan Soetan Casajangan diwujudkan dalam berbagai bentuk sudah lama terinformasikan. WJ Giel mengungkapkan kekaguman terhadap potret seorang pelopor pribumi di Hindia Belanda bernama Soetan Casajangan di dalam sebuah artikel berjudul ‘Een Inlandsch pionier in Nederland' yang ditulis tanggal 23 Maret 1913 dan atikel dengan judul (n.l.de Batakker M. Soetan Casajangan Soripada)’ yang diterbitkan di Weekblad.voor Indie 10 (1913-14). Bentuk-bentuk lainnya yang mengapresiasi tentang Soetan Casajangan antara lain: Een Batakker over Indie. (Resumé eener lezing van R. Soetan Casajangan over: “Een en ander ter bevordering van den vooruitgang van Nederl. Indie).10 May 1913; Hilgebs (Th. J. A.). Een ontwikkelde Inlander (nl. Soetan  Casajangan) over onderwijs en onderwijspolitiek. De School v. N. I. 3 (1912-13); Onze Koloniën: Een serie Monographieën bijeengebracht door R.A. van Sandick. Eerste reeks/first series (All publ.). [Eerste druk; First edition]; dan Essays Published by the Netherlands East-Indian San-Francisco Committee, Dept. of Agriculture, Industry and Commerce, Masalah 2-33 by G.C.T. van Dorp, 1914. 

Hingga sejauh ini (1920) tidak seorang pun yang berbicara tentang pendidikan tinggi diantara orang pribumi hingga munculnya Technische Hoogeschool te Bandoeng kecuali Soetan Casajangan, orang yang selama hidupnya hanya berpikir tentang kemajuan pendidikan pribumi. Oleh karenanya Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) sampai dua kali mengundang Soetan Casajangan untuk berbicara/pidato di hadapan para anggotanya (tahun 1911 dan tahun 1920).


Pada tahun kedua tahun 1921 akhirnya Technische Hoogeschool te Bandoeng mengakomodir kandidat mahasiswa pribumi lebih banyak dengan proses penerimaan yang lebih baik. Salah satu diantaranya yang diterima adalah Soekarno lulusan HBS di Soerabaja pada bulan Juli 1921. Nama-nama mahasiswa pribumi yang seangkatan dengan (Raden) Soekarno (angkatan kedua) adalah M. Soetoto, M. Anwari, M. Koesoemaningrat, M. Soetedjo dan JAH Ondang. Catatan: dua mahasiswa pertama yang diterima di Technische Hoogeschool te Bandoeng yang memiliki masalah saat penerimaan (R. Katamso dan R. Soeria Nata Legawa) diduga gagal di tahun kedua karena nama mereka berdua tidak ada lagi pada hasil ujian transisi 1922 (lihat De Preanger-bode, 08-05-1922).

Seiring dengan jumlah jatah dan proses penerimaan yang benar di Technische Hoogeschool te Bandoeng, terbukti semua mahasiswa pribumi yang diterima tahun 1922 (seperti kita lihat nanti) semuanya pada tahun 1926 lulus mendapat gelar insinyur (lihat De Indische courant, 07-05-1926). Tentu saja, diterimanya di Technische Hoogeschool te Bandoeng dan lulusnya Soekarno dkk (angkatan kedua dan seteriusnya) diperngaruhi banyak factor, namun bagaimanapun kontribusi Soetan Casajangan sedikit banyak ada disitu.


Dalam sejarah pendidikan Indonesia, nama Soetan Casajangan telah terabaikan, terlupakan, bahkan mungkin juga telah dikesampingkan dalam perebutan gelar tanda jasa. Akan tetapi, Soetan Casajangan, yang hanya seorang guru 'kampung' di Padang Sidempuan, tetapi di pentas pendidikan nasional dan pentas akademik internasional, jasanya tertulis dengan tinta emas dan cetak tebal di berbagai artikel. Sepak terjang dan karya-karya Soetan Casajangan di abad teknologi informasi ini tersimpan dengan baik di puluhan library uiniversitas terkenal di berbagai negara yang bisa diakses. Soetan Casajangan meninggalkan nama baiknya, reputasinya dan keteladanannya dalam berbagai bentuk (perilaku, semangat dan perjuangan serta karya) yang tertulis dalam data sejarah. Gagasan, pemikiran dan tindaklanjut disuarakan lewat tulisan (artikel dan buku) yang sudah diketahui oleh bangsa asing, tetapi sangat kurang oleh bangsanya sendiri. Suaranya telah didengar oleh para ahli/pakar Belanda di masa lalu. Lantas mengapa para ahli/pakar Indonesia pada masa ini tidak/belum mengakuinya?

Tunggu deskripsi lengkapnya

THS hingga ITB: Stedebouw dan Planologie hingga Departmen Perencanaan Wilayah dan Kota

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar