Minggu, 16 Juli 2023

Sejarah Tata Kota Indonesia (32): Tata Kota di Pekanbaru di Daerah Aliran Sungai Siak; Indragiri di Selatan dan Bengkalis di Utara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini

Pada masa ini disebutkan kota Pekanbaru tengah mengubah konsep membangun kota: dari ‘taman dalam kota’ akan menjadi ‘kota dalam taman’. Kita tunggu saja. Yang tidak bisa ditunggu, namun sudah berlalu adalah bagaimana narasi sejarah awal kota Pekanbaru sendiri. Apakah itu mendesak? Sejarah kota adalah garis continuum kota dari masa lampau ke masa kini hingga ke masa depan. Konon, dulunya, di awal sejarah kota Pekanbaru sudah menggunakan konsep ‘kota dalam taman’. Bagaimana bisa?


Pekanbaru Menuju Kota Dalam Taman. Rabu, tempo.co. 28 April 2021. Kota Pekanbaru saat ini bersalin rupa menjadi Kota Metropolitan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) yang luas minimalnya sebesar 30 persen dari luas wilayah kota. Bagaimana dengan Kota Pekanbaru? Agar tak bernasib sama dengan kota-kota lainnya, Wali Kota Pekanbaru mengubah konsep pembangunan dari membangun ‘taman dalam kota’ menjadi membangun ‘kota dalam taman’. Pusat perkantoran baru di Kecamatan Tenayan Raya menjadi percontohan berbasis green city. Proyeksi 20 persen RTH di Kota Pekanbaru akan terwujud. Konsep pengelolaan kota yang mengedepankan lingkungan diadopsi dari Singapura dan Xiamen, Cina. Kawasan Perkantoran di Kecamatan Tenayan Raya akan menjadi kota baru. Dari tota lahan seluas 300 ha baru 117 ha yang digunakan untuk pembangunan 10 gedung. Modelnya sembilan gedung menjadi satelit atau mengelilingi gedung utama yang menjadi pusat pemerintahan. (https://nasional.tempo.co/)

Lantas bagaimana sejarah tata kota Pekanbaru di daerah aliran sungai Siak? Seperti disebut di atas, kota Pekanbaru tengah berbena dari ‘taman dalam kota’ akan menjadi ‘kota dalam taman’. Okelah, itu satu hal. Dalam hal ini bagaimana terbentuk kota Pekanbaru? Yang jelas di masa lampau Indragiri di wilayah selatan dan Bengkalis di wilayah utara. Lalu bagaimana sejarah tata kota Pekanbaru di daerah aliran sungai Siak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tata Kota Pekanbaru di Daerah Aliran Sungai Siak; Indragiri di Selatan dan Bengkalis di Utara

Kapan kota Pekanbaru terbentuk? Kapan nama Pekanbaru bermula? Pada masa ini hari jadi (Hari Ulang Tahun) kota Pekanbaru disebut 23 Juni 1784. Bagaimana menghitungnya? Apakah hanya sekadar surat kenal lahirnya saja tanggal 23 Juni tahun 1784, tetapi tidak memiliki surat akta kelahiran. Okelah itu satu hal. Dalam hal ini yang penting bagaimana kota Pekanbaru terbentuk yang terus eksis hingga ke hari ini. Satu yang jelas bahwa orang Eropa pertama ke pedalaman pantai timur Sumatra di wilayah Riau yang sekarang adalah Thomas Dias. Itu terjadi pada tahun 1683.


Dalam laporan Thomas Dias disebutkan bahwa Gubernur Malaka menganggap sangat penting ekspedisi ke Pageeroejoeng, sebaliknya Pagerroejoeng dengan cepat merespon niat Gubernur Malaka untuk bekerjasama di Sumatra’s Oostkust. Dalam hubungan ini, VOC/Belanda di Malaka mendapat izin perdagangan di Siak. Lantas mengapa harus ke Pagaroejong? Thomas Dias mencatat bahwa Kerajaan Johor mengklaim Siak sebagai kekuasaannya tetapi ketika dikonfirmasi di Pagerroejoeng, Radja Pagaroejoeng menolak klaim tersebut.  Apa yang mendasari klaim Johor ini terhadap pantai timur Sumatra tidak begitu jelas. Hal itulah diduga mengapa Gubernur Malaka memastikan dengan mengirim utusan ke Pagaroejoeng melalui sungai Kampar dan sungai Siak. Thomas Dias telah mengkonfirmasi, yang kemudian ditindaklanjuti ke dalam kontrak. Seperti biasa, (pemerintah) VOC biasanya membuat kontrak atas dasar persetujuan pemimpin lokal (sebagai dasar legitimasi). Dasar legitimasi ini penting karena akan membuat situasi dan kondusif di wilayah perdagangan (ketika bertransaksi dengan penduduk).

Laporan Thomas Dias tersebut bersesuaian dengan catatan Kasteel Batavia tahun 1684 yang menyatakan adanya surat dari Radja Pagaroejoeng serta adanya kontrak antara Thomas Dias dan Radja Pagaroejoeng (lihat Daghregister 25 Desember 1684). Apa yang menjadi isi kontrak tersebut dalam kunjungan Thomas Dias ke Pagaroejoeng sebagai perwakilan VOC (Belanda) disepakati bahwa VOC diizinkan membuka pos perdagangan di daerah aliran sungai Siak.


Dengan adanya kontrak yang dibuat Thomas Dias dan Radja Pagaaroejong, VOC/Belanda mengabaikan klaim Johor tersebut. Thomas Dias sebagai perwakilan VOC dari Malaka (benteng Belanda) mulai melakukan aktivitas perdagangan di Siak dengan bersekutu dengan Pagerroejoeng. Kujungan Thomas Dias ini ke Pagaroejoeng memiliki arti yang lain. Sementara itu, Inggris telah mengirim seorang utusan ke Atjeh dan mendapat persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk perdagangan lada (lihat Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). 

Pada tahun 1686 dibuat kontrak di Malaka antara VOC dan Kerajaan Pagaroejoeng tentang pasokan timah dengan para pemimpin penduduk di Ajer Tiris, Bangkenang, Salo dan Kuwon. Dalam catatan Kasteel Batavia (Daghregister) pembuatan kontrak tersebut dari pihak VOC diwakili Jacob van Naerssen dengan empat pemimpin penduduk di Patapahan, Aijer Tiris, Bangkinang, Sala dan Kuwon. Empat wilayah ini sudah pernah dikunjungi oleh Thomas Dias pada tahun 1684 maupun sebelumnya.


Dalam laporan Thomas Dias ini tidak ada indikasi nama tempat Pekanbaru. Nama-nama lain selain nama-nama yang disebut di atas adalah Lipat Kain dan Sidomo (daerah aliran sungai Kampar). Rute perjalanan Thomas Dias ke Pagaroejoeng dari muara sungai Kampar dan kemudian bergeser ke sungai Siak (yang juga menjadi jalur pulang melalui Siak ke Malaka). Besar dugaan nama Pekanbaru (hingga) pada saat kunjungan Thomas Dias tahun 1683 nama Pekanbaru belum ada.

Setelah kunjungan Thomas Dias ke Pagerroejoeng dan sebelum kontrak timah dibuat pada tahun 1686, pada tahun 1685 terjadi pertempuran berdarah antara Inggris dan Belanda di Sumatra’s Westkust, lalu Inggris pindah dari Padang ke Bengkoelen tahun 1686.


Bagi Pagerroejoeng tampaknya ada dua keuntungan dengan kerjasama dengan VOC/Belanda ini, pertama VOC/Belanda telah berhasil mengusir pengaruh Kerajaan Atjeh di Sumatra’s Weskust (sejak tahun 1665) dan kedua VOC/Belanda telah mengembalikan hak Pagerroejoeng terhadap klaim Johor di Siak. Dengan demikian, VOC/Belanda melakukan aktivitas di pantai-pantai dan Pagerroejoeng melakukan aktivitas dengan tenang di pedalaman (pengaruh Atjeh dan Johor telah tereliminasi). Hal itulah mengapa kerja sama itu penting bagi kedua belah pihak, karena perdagangan akan bersinegeri (pedalaman dan pesisir/lautan). Hanya yang masih ada ganjalan antara Pagoroejoeng di pedalaman dan VOC/Belanda di pantai adalah karena ada kesepakatan antara Inggris dan Atjeh tentang pendirian pos perdagangan Inggris di Pariaman.

Dalam konteks inilah ekspedisi Thomas Dias ke pedalaman Sumatra melalui sungai Kampar dan sungai Siak penting untuk mengidentifikasi nama Pekanbaru. Fakta bahwa tidak disebutkan nama Pekanbaru. Thomas Dias sendiri adalah pegawai VOC di Malaka, seorang keturunan Indo Portugis bekulit coklat yang sudah malang melintang di pantai timur Sumatra seperti Indragiri (sungai Indragiri) di pantai di selatan dan Patapahan di pedalaman di barat (sungai Siak). Hal itulah diduga kuat, dengan pengalaman Thomas Dias di pantai timur Sumatra (Kampar dan Siak) menjadi alasan bagi Gubernur Malaka mengirim Thomas Dias sebagai utusan ke Pagaroejoeng.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Indragiri di Selatan dan Bengkalis di Utara: Kota Pekanbaru Masa ke Masa

Wilayah provinsi Riau (daratan) yang sekarang dimana kota Pekanbaru sebagai ibu kota provisi di sisi sungai Siak, pada masa lampau jelas bukan wilayah kosong yang tidak berpenghuni. Satu yang jelas adalah bahwa nama Pekanbaru belum disebut. Bahkan, boleh jadi tempat yang menjadi nama Pekanbaru belum ada. Namun demikian perlu ditelusuri sejak kapan nama Pekanbaru terbentuk. Seperti disebut di atas, apakah benar-benar sudah eksis pada tanggal 23 Juni 1784?


Catatan tertua tentang wilayah pantai timur Sumatra sudah ada sejak abad ke-7 yakni prasasti Kedukan Bukit (682). Di dalam prasasti disebut nama tempat Minanga dan Matajap. Nama Minanga diduga kuat Binanga di daerah aliran sungai Baroemoen (Padang Lawas, Tapanuli Selatanl dimana kini terdapat pusat percandian terluas di Indonesia). Nama Matajap tidak diketahui secara jelas. Dalam prasasti Tanjore (1030) disebut nama-nama tempat antara lain Pannai (Pane?), Ilangasogan (Binanga Songgam?), Mappappalam (Sipalpal?), Takkolam (Akkola?) dan Madamalingam (Mandailing?). Nama-nama tersebut pada masa ini diduga berada di Padang Lawas. Dalam teks Negarakertagama (1365) disebut nama-nama tempat Lawas (Padang Lawas), Pane (Panai?), Mandahiling (Mandailing?), Rekan (Rokan?), Siyak (Siak?), Kampar, Karitang, Kandis dan Jambi. Selanjutnya dalam dalam sumber Portugis, berdasarkan laporan Mendes Pinto (1539) yang pernah mengunjungi Kerajaan Aroe disebutkan Kerajaan Aroe sedang bermasalah dengan Atjeh di Lingga (wilayah Karo?) dan Nagoer (wilayah Simalungun?). Mendes Pinto mencatat Kerajaan Aroe delapan ribu dari 15.000 tentara Kerajaan Aroe (di daerah aliran sungai Baraoemoen) adalah orang Batak, sebagian yang lain didatangkan dari Minangkabau, Indragiri, Jambi, Borneo dan Luzon. Dalam laporan Mendes Pinto juga disebutkan bahwa Kerajaan Malaka sebelum dikuasai Portugis (1511) pernah diserang Kerajaan Aroe (dan Malaka selalu takut kepada Aroe). Ini menunjukkan bahwa Kerajaan Aroe dan Kerajaan Pagaroejoeng bersahabat (musuh mereka adalah Atjeh). Dari keterangan Mendes Pinto tiga kerajaan yang eksis di Sumatra (Aroe, Minangkabau dan Atjeh), sementara Malaka di Semenanjung Malaya adalah yang terpenting. Dalam perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1641 VOC yang berpusat di Batavia (Kasteel Batavia) berperang dengan Portugis di Malaka. Lalu kemudian VOC menaklukkan Portugis di Kamboja pada tahun 1641. Portugis terusir dari Malaka dan Kamboja dan Portugis hanya menyisakan pos perdagangan di Ternate dan Macao. Situasi dan kondisi baru tersebut dimanfaatkan oleh (kerajaan) Johor bekerjasama dengan VOC, sebab musuh Johor yang pernah menaklukkan Malaka (Portugis) pada tahun 1511 telah hengkang dari Semenanjung. Kerjasama ini disambut VOC, karena VOC tidak memiliki hutang pada Malaka dan Johor (Johor adalah suksesi kerajaan Malaka). Apa yang mendasari klaim Johor terhadap pantai timur Sumatra masih belum begitu jelas. Sebelum VOC menaklukkan Malaka (1641) jelas bahwa Johor berada di bawah bayang-bayang Portugis di Malaka (Portugis juga membuka pos perdagangan di pulau Bintan). Setelah Belanda hadir di Malaka dan Bintan (1641) secara defacto Johor baru berada dalam posisi terlindungi. Tentu saja antara tahun 1641 hingga 1684 VOC mengetahui ruang gerak (kerajaan) Johor. Adanya klaim tersebut terhadap pantai timur Sumatra membuat Gubernur Malaka ingin memastikannya ke Pagaroejoeng dengan mengutus Thomas Dias. Secara teoritis dalam hubungan VOC akan membuka pos perdagangan di pantai timur Sumatra, jika VOC merasa klaim Johor valid, tentu saja VOC tidak perlu repot mengutus Thomas Dias ke Pagaroejong dengan biaya mahal, bahkan akan lebih murah jika kontrak dibuat di Malaka atau di Johor dengan Johor. Demikianlah seterusnya di pantai timur Sumatra di bawah yurisdiksi VOC/Belanda.

Seperti disebut dalam artikel sebelumnya, setelah tercipta hubungan yang baik di Borneo, VOC kemudian merintis kembali jalan ke pantai timur Sumatra pada tahun 1739 dengan pos perdagangan di muara sungai Siak di pulau Gontong. Namun karena pos ini diserang, VOC kemudian meninggalkan muara Siak dan lebih konsentrasi di pulau Bintan. Pada VOC (Peta 1775) di teluk pantai selatan Bintan diidentifikasi nama Rheo, yang diduga menjadi asal usul nama Riau. Pada tahun 1784 VOC di Malaka diserang.


Oleh karena pusat VOC berada di Batavia (Jawa), posisi Malaka seakan terpencil. Kerajaan-kerajaan kecil di kawasan kerap mengganggu eksistensi VOC di kawasan. Kerajaan-kerajaan Melayu Selangor, Djohor dan Riau menyerang Malaka pada tahun 1784. Dengan kekuatan yang didatangkan dari Batavia berhasil membebaskan Malaka. Sebagai hukuman, VOC menyerang Selangor dan merebutnya. VOC kemudian menyerang Riau dan Radja Riau terbunuh (lihat Hollandsche historische courant, 12-03-1785).

Setelah Radja Riau terbunuh dalam perang dengan VOC, Riau jatuh ke tangan VOC tahun 1785. Untuk membawahi wilayah taklukan ini di bawah pimpinan Captain JP van Braam dibangun benteng di pulau Bintan (sekitar Tanjung Uban). Besar dugaan tidak lama kemudian ditinggalkan. Pada tahun 1787 Riau (pulau Bintan) diambilalih oleh (kerajaan) Soeloe. Pengambilalihan ini boleh jadi karena kerajaan Riau sudah melemah setelah radjanya terbunuh oleh VOC dan tidak hadirnya VOC lagi (di Riau). Setelah VOC menempati kembali pulau Bintan, seperti di berbagai tempat, benteng VOC juga kembali dibangun di pulau Bintan yang lebih baik. Pimpinan di pulau Bintan diangkat G Pungel (lihat Leydse courant, 16-11-1789). Lantas mengapa benteng di pulau Bintan dibangun? Boleh jadi untuk memindahkan kekuatan dari Malaka ke pulau Bintan. Malaka yang terpencil dan lebih dekat ke wilayah Atjeh kerap terancam.


Benteng VOC di pulau Bintan menjadi sangat strategis, tidak hanya ke utara di Semenanjung (Malaka), juga ke barat di pantai timur Sumatra (sungai Batanghari, sungai Indragiri, sungai Kampar, sungai Siak, dan sungai Rokan). Kolaborasi dengan kerajaan Pagaroejoeng menjadi bonus bagi VOC di kawasan perairan pantai timur Sumatra. Kekuatan VOC berada di Padang di pantai barat Sumatra dan di Palembang (Sumatra bagian selatan). Lalu bagaimana dengan nama Pekanbaru di sungai Siak? Apakah tanggal 23 Juni 1784 yang dijadikan sebagai hari lahir kota Pekanbaru merujuk pada penaklukan VOC terhadap perlawanan Riau, Johor dan Selangor? Seperti disebut di atas, Johor pernah mengklaim Siak sehingga VOC memastikannya dengan mengutus Thomas Dias ke Pagaroejoeng pada tahun 1684 melalui sungai Kampar dan sungai Siak.

Singkat narasi, nama Pekanbaru paling awal diketahui pada Peta 1825. Tahun pemetaan ini belum lama terjadi perjanjian antara Belanda dan Inggris tahun 1824 (Traktat London). Suatu perjanjian yang pada intinya menetatpkan batas-batas yurisdiksi Belanda dan Inggris. Malaka milik Belanda (pantai barat Semenanjung) tukar guling dengan Bengkoeloe milik Inggris (pantai barat Sumatra). Batas yurisdiksi ditetapkan pulau Singapura masuk Inggris, dan pulau Bintang masuk Belanda (Pemerintah Hindia Belanda).


Dalam Peta 1825 ini nama Pekanbaru diidentifikasi sebagai nama kampong kecil di hulu daerah aliran sungai Siak. Di wilayah hilir sungai Siak diidentifikasi nama Siak atau Sri Indrapoera. Nama-nama kampong lainnya di hilir Siak Indrapoera adalah Pinang, Buantan, Sagu dan Tanjong Pedada. Di wilayah muara sungai Siak tidak ada identifikasi nama kampong, pun di pulau-pulau Rantau, Padang dan Bancalis. Mengapa? Sementara itu, ada beberapa kampong antara Sri Indrapoera dengan Pekanbaroe. Di hulu kampong Pekanbaroe ada dua nama kampong yakni Panti Tjermin dan kampong Patapahan (terjauh di sungai Siak). Di barat daya Patapahan di pegunungan diidentifikasi nama tempat Songei Trap, Pagaroejoeng dan Soroaso. Ketiga nama tempat ini berada di hulu daerah sungai Kuantan/sungai Indragiri. Sungai Kampar sendiri berada diantara sungai Siak di utara dan sungai Indragiri di selatan. Bagaimana dengan sungai Rokan di utara sungai Siak? Sungai bercabang di hulu, ke kanan ke Padang Lawas dan ke kiri ke Rao.

Nama Pekanbaru tampaknya (hanya) merujuk pada Peta 1825. Tidak ada nama Pekanbaru di masa lampau. Yang sudah eksis adalah Siak yang berganti nama Sri Indrapoera. Artinya nama Siak tetap lestari sebagai nama sungai, nama tempat yang baru disebut Sri Indrapoera. Nama Siak sendiri sudah disebut dalam teks Negarakertgama 1365. Nama yang disebut Thomas Dias di sungai Siak pada tahun 1684 hanya nama Patapahan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar