Kamis, 20 Juli 2023

Sejarah Tata Kota Indonesia (39): Tata Kota di Nabire dan Wamena; Teluk Cendrawasih dan Lembah Besar Baliem di Gunung Tinggi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini

Pada masa ini Wamena ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Papua Pegunungan dan Nabire juga telah ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Papua Tengah. Dua kota ini jelas berjauhan, satu di pesisir pantai dan satu lagi di pedalaman. Kota Nabire tepat berada di bagian paling dalam teluk besar Cendrawasih. Kota Wamena tepat berada di tengah lembah luas (lembah Baliem) di lereng gunung tertinggi di Papua (gunung Jayawijaya). Kedua kota ini sulit dihubungkan dengan jalan darat. Sungai Baliem bermuara ke pantai barat di Laut Arufuru.


Wamena adalah ibu kota kabupaten Jayawijaya dan sekaligus juga sebagai ibu kota Provinsi Papua Pegunungan. Wamena juga merupakan sebuah distrik di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan. Wamena adalah pusat kota di daerah pedesaan yang menampung dataran tinggi dengan konsentrasi populasi tertinggi di Lembah Baliem dan daerah sekitarnya. Penduduk Wamena memiliki sejumlah kelompok etnis, yang paling dominan adalah suku Dani, Lani dan Yali. Kabupaten Nabire adalah salah satu kabupaten yang juga merupakan ibu kota Provinsi Papua Tengah, yang berbatasan dengan Provinsi Papua Barat di sebelah barat. Ibu kota kabupaten ini terletak di punggung pulau Papua (di bagian dalam teluk Cendrawasih)
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah tata kota Nabire dan tata kota Wamena? Seperti disebut di atas, dua kota ini masing-masing telah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi. Kota Nabire di teluk besar (Teluk Cendrawasih), sungai Membramo di pantai utara berhulu di lembah luas (Lembah Baliem) di lereng gunung tertinggi. Lalu bagaimana sejarah tata kota Nabire dan tata kota Wamena? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tata Kota di Nabire dan Wamena; Teluk Besar Cendrawasih dan Lembah Besar Baliem di Gunung Tertinggi

Seperti suku Asmat, suku Dani di Papua juga dikenal luas. Penduduk suku Dani mendiami lembah terkenal, Lembah Baliem di pedalaman Papua. Seperti suku Amungme di masa lampau seakan terisolasi di pedalaman, suku Dani juga terisolasi dan tidak memiliki akses ke pantai (dunia luar). Oleh karena itu penduduk suku Dani untuk waktu yang lama memiliki cara hidup yang tetap orisinil. Gambaran itu masih terlihat hingga kini.


Pada era Hindia Belanda, penduduk Papoea belum teridentifikasi sebagai penduduk yang dibedakan menurut suku. Hal ini karena studi antropologis belum ada yang dilakukan untuk penduduk Papoea. Pemerintah maupun para pedagang (bahkan sejak era VOC) yang berinteraksi di kota-kota pantai hanya melihat penduduk Papoea atas dasar penduduk yang bermukim di wilayah pantai dan penduduk yang berdiam di pedalaman.

Wilayah pedalaman untuk kali pertama diketahui pada tahun 1922 berdasarkan suatu ekspedisi Wilheliina Top atau Carstenz Top (lihat De Preanger-bode, 15-03-1922). Pengetahuan ini juga termasuk nama (lembah) Baliem dan sungai Wamena. Ekspedisi (resmi pemerintah) ini dipimpin oleh Overste Laut Kremer yang dikawal oleh satu detasemen militer yang dipimpin oleh Kapoiteit Infanteri J van Arkel. Dalam ekspedisi ini turut ahli geologi Dr Hubrecht. Tim ekspedisi ini dibantu oleh sebanyak 34 orang Dayak. Sedangkan detasemen militer dibantu oleh 41 orang Dayak. Eskepdisi ini berlangsung dari tanggal 1 Oktober 1921 dan berakhir tanggal 1 Januari 1922. Ekspedisi ini berjalan sukses dapat mendaki puncak Wilhelmina. Pendakian puncak Carstenz ini merupakan yang kedua, sebelumnya dilakukan dari selatan oleh ekspedisi Prancis yang dipimpin oleh Herderschee.


Eskpedisi ke Wilhelmina ini dilakukan dari pantai utara melalui muara sungai Membramo ke arah hulu di pedalaman. Nama-nama geografis yang dicatat dalam laporan ekspedisi ini didahului nama sungai Dika dan sungai Djapellimboet dan kampong Timorini pada tanggal 12 Oktober dan tanggal 15 di kampong Donda. Pada tanggal 17 stay di Panarah. Kemudian tanggal 19 di Aap Toli. Tanggal 20 memasuki wilayah Koeboe dan tanggal 24 mencapai Noega dan keesokan harinya menuju kampong Tamak (ketinggian 1.750 M). Pada tanggal 1 November tiba di kampong Noreagobak (masih lanskap Koeboe), tanggal 8 di kampong Toegobak. Tanggal 10 berada di ketinggian 2.400 M kampong pertama dari Baliem (pos militer dibangun). Keesokan harinya dilanjutkan dan stay di kampng Tora (pertemuan Tiom dan Baliem). Sementara Luitenant Dros di Tora tim ekspedisi ke Baliem dan bertemu penduduk yang dipandu oleh pemandu Wamgimeh. Pemandu penduduk asli bernama Wamgimeh. Di Donda dibuat pos militer sementara yang dipimpin oleh Luitenant Drost. Sedangkan tim ekspedisi melanjutkan perjalanan, saat inilah dari pos Donda diketahui bahwa di Lembah Baliem memiliki penduduk yang padat (relatif dengan wilayah yang sudah mereka lalui dari pantai utara) namun belum diketahui secara pasti. Catatan inilah boleh jadi nama Baliem dan Wamena disebut dalam publikasi. Dalam hal ini, nama Baliem adalah nama wilayah (lembah) sedangkan nama Wamena hanya dicatat sebagai nama sungai. Tentu saja ada nama kampong yang disebut Wamena (tim ini tidak sampai ke sana). Pada tanggal 18 di Pieremeh, anak sungai kecil di sebelah kanan Baliem. Lebih dari 30 Km medan tak berpenghuni memisahkan ekspedisi dengan titik yang dituju tim ekspedisi. Pada tanggal 22 pukul setengah satu, dengan bantuan parang, tim turun ke dasar sungai Wamena dan memasuki pos militer yang dibangun di tepi sungai ini. Pada tanggal 23 mereka beristirahat dan sebagian besar orang Papua yang ikut membantu pulang tetapi mereka berjanji akan membawa babi dan ubi. Keesokan harinya orang Dayak berangkat bersama Wamgimèh. Tanggal 25 November jalan melewati lapisan batu pasir yang menjadi bagian punggung pertama dari Central Chain (Pegunungan Tengah). Kawasan ini menjadi batas antara utara dan selatan (pedalaman) Papua.

Salah satu anggota tim ekspedisi tersebut menulis pada surat kabar De Preanger-bode, 25-03-1922 memberi kesan bahwa jalan menuju target ekspedisi melalui ladang yang dibangun dengan baik dan kampung-kampung yang makmur. Semuanya menunjukkan bahwa orang Papua sangat makmur di daerah ini. Pemandangan ke utara di lembah Baliem yang dalam dengan lereng menurun dan desa-desa tersembunyi sangat indah dari sini. Lurus utara naik di tepi kiri Balien, Moli dan Bonnom, dua gunung menurun cukup curam ke sungai, dimana jalan berkelok ke atas terlihat jelas. Penduduk Baliem mengaku hidup bersahabat dengan orang Papua di selatan pengunungan Rantai Tengah. Menurut saya, area pendaratan yang cocok untuk bidang tanah juga bisa dibangun di dataran tinggi Baliem yang berawa. Singkatnya, kami mendapatkan area pesawat berikut untuk bagian dari Papua Tengah ini: pesawat air: di Danau Habbema, Sungai Idenburg dekat Prauwenbivak; pesawat darat: Dataran Kubu – alang-alang, dataran tinggi Baliem, keduanya harus dipersiapkan dulu. Bahwa eksplorasi selanjutnya dari N. van den Central Chain Papua dapat dilakukan dengan pesawat,


Salah satu yang penting dari ekspedisi ini, selain pendakian puncak Carstenz adalah pengenalan awal tentang wilayah pedalaman Papua di dataran tinggi, terutama di Lembah Baliem. Dalam hal ini identifikasi untuk pendaratan pesawat yang sesuai sudah diidentifikasi, paling tidak untuk titik awal pendaratan di danau Habema (sebelah barat kota Wamena yang sekarang). Inilah awal sejarah kota Wamena dan kabupaten Jayawijaya.

Lantas bagaimana dengan Wamena selanjutnya di lembah Baliem di pedalaman Papua? Tidak terinformasikan. Apakah setelah eskpedisi pertama ke lembah Baliem tahun 1922 tidak ada lagi ekspedisi berikutnya? Yang terlaporkan adalah bahwa pesawat Amerika Serikat jatuh di pedalaman Papua di lembah Baliem. Lalu suatu ekspedisi udara dilakukan pada tahun 1952 (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 26-09-1952).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Teluk Besar Cendrawasih dan Lembah Besar Baliem di Gunung Tertinggi: Kota Nabire dan Kota Wamena Masa ke Masa

Mungkin banyak yang bertanya apalah arti sejarah sungai dan sejarah nama sungai. Okelah, mungkin sungai tidak memberi makna penting pada masa kini, karena sungai sama saja dengan laut dan danau tentang soal air. Namun sesungguhnya sejarah sungai dapat dikatakan awal dari sejarah di suatu tempat. Mengapa? Seperti halnya di lautan (tanjung, teluk atau selat) adalah penanda navigasi pelayaran di awal sejarah. Dalam hal ini, sungai Membramo di pantai utara pulau Papua adalah jalur navigasi pelayaran dari lautan (pantai) ke pedalaman (pegunungan). Di dua sisi ini terdapat populasi penduduk, yang dalam hal ini seperti disebut di atas, menjadi awal navigasi pelayaran sungai hingga memungkin ekspedisi sampai ke Lembah Baliem dimana terdapat kampong Wamena.


Sungai Mamberamo adalah suatu sungai yang keberadaannya belum lama dicatat dalam sejarah navigasi pelayaran dan sejarah geografi. Panjang sungai Mamberamo 670 Km. Sungai Mamberamo berhulu di Pegunungan Jayawijaya dan bermuara ke Samudera Pasifik. Sungai Mamberamo jelas sungai yang panjang, yang itu berarti air mengalir dari pegunungan di pedalaman (kabupaten Sarmi) melalui berbagai wilayah geografi sebelum menemukan jalan ke muara di pantai (laut).

Sungai Membramo pada masa ini melewati sembilan kabupaten dan bermuara di pantai utara pulau Papua di kabupaten Membramo. Dari muara sungai Membramo terhubung melalui pesisir/laut ke teluk besar di sebelah barat, yakni Teluk Cendrawasih yang tempo doeloe disebut Geelvink Baay. Teluk besar ini dikawal oleh beberapa pulau besar Pulau Biak (Misore atau Schouten), Pulau Japen (Langland atau Jobie) dan Pulau Numfor (Bultig). Salah satu pulau kecil di teluk bagian dalam bernama Pulau Moor (kini masuk kabupaten Nabire).


Teluk Cenderawasih adalah suatu teluk yang yang sangat luas. Pada masa ini garis pantai teluk ini yang masuk tiga provinsi (provinsi Papua, provinsi Papua Tengah dan provinsi Papua Barat). Di dalam teluk terdapat lima kabupaten (yang disebut wilayah Saereri) yakni kabupaten Biak, kabupaten Numfor, kabupaten Supiori, kabupaten Yapen. Sedangkan kabupaten lainnya yang bersinggungan dengan teluk adalah kabupaten Manokwari, kabupaten Teluk Wondama, kabupaten Nabire, kabupaten Waropen dan kabupaten Membramo Raya. 

Seperti disebut di atas, teluk ini sungguh besar sehingga pada masa ini terbentuk banyak kabupaten. Kota Manokwari yang menjadi ibu kota Provinsi Papua Barat juga menjadi bagian dari kawasan teluk ini. Demikian juga Kota Nabire yang menjadi ibu kota Provinsi Papua Tengah juga menjadi bagian dari kawasan teluk.


Teluk besar ini ditemukan orang-orang Belanda (Hollander) pada tahun 1701. Surat kabar di Asterdam, Amsterdamse courant, 25-03-1702 memberitakan bahwa kapal Geelvink tiba dari Oost Indische (Hindia Timur). Pada Peta 1835 teluk Cenderawasih diidentifikasi sebagai Geelvink Baay. Dalam peta ini di bawah nama teluk diberi catatan ‘ditemukan oleh orang-orang Belanda (Hollander) pada tahun 1701. Besar dugaan orang-orang Belanda yang menemukan teluk Cenderawasih tersebut menggunakan kapal Geelvink yang tiba di pelabuhan Amsterdam pada bulan Maret 1702. Itulah asal-usul nama yang diberikan kepada teluk besar itu Geelvink Baay. Berdasarkan catatan Kasteel Batavia (Daghregister) dicatat nama kapal Geelvink pada tahun 1697.  Kapal ini diidentifikasi sejenis freguat. Daghregister, 18 Januari 1698 kapal Geelvink tiba di Amboina dengan surat kepada Tuan Willem van Wijngaarden. Kapal ini kembali di Batavia (Daghregister, 1 Juni 1698).  Daghregister, 17 Juni 1700 mencatat penampakan kapal Inggris di Nova Guinea. Kapal Geelven berangkat ke Amsterdam (Dagregister, 29 Desember 1701). Daghregister 28 Juli 1702 mencatat kedatangan kapal Geelvink. Kapal ini kembali ke Belanda dan Daghregister 6 November 1704 mencatat kedatangan kapal Geelvink dari Patria (ibu kota VOC di Belanda). Daghregister, 19 Desember 1704 mencatat bahwa Dewan Hindia (Rade van India), berdasarkan adanya pelanggaran, kapal Geelvink dikirim ke Nova Guinea untuk melakukan tindakan yang diperlukan.

Teluk Geelvink di Papua tampaknya menjadi penting bagi Pemerintah VOC di Batavia. Setelah mengklaim penemuannya terhadap teluk pada tahun 1701 dan adanya gangguan (pelaut) asing di Papua (Nova Guinea) pada tahun 1704 oleh Dewan Hindia mengirim kapal Geelvink ke Nova Guinea (karena diduga kapal ini berpengalaman di Papua). Namun gangguan asing si Papua ini tidak disebutkan apakah di teluk Geelvink atau bagian lain pulau. Sebagaimana diketahuii bahwa VOC membuka pabrik kali pertama di Papua (pantai barat Papua) atas persetujuan Soeltan Tidore di Roembati (Tanjung Onim) pada tahun 1678. Teluk Geelvink sendiri berada di pantai utara Papua.


Tampaknya kapal Geelvink berhasil di Nova Guinea dan mendapat hak pembelian di pantai-pantai Papua. Berdasarkan Daghregister, 20 Oktober 1705 kapal Geelvink dan perahu layar orang Papua tiba dari Banda, membawa lima orang penduduk asli dari tanah Nova Guinea. Lima orang ini diduga adalah pemimpin lokal di kota-kota pantai Papua yang datang ke Batavia untuk penandatangan kontrak atau sejenisnya (dengan Gubernur Jenderal). Ini seakan mengindikasikan ada peningkatan status ikatan jika dibandingkan pada tahun 1678 (yang hanya sebatas Soeltan Tidore dan Gubernur Ternate). Berdasarkan Daghregister, 31 Oktober 1705 perahu layar orang Papua (Nova Guinea) membawa sebuah surat kepada Komandan Knol dan dewan serta situs Residen di sepanjang Pantai Timur Jawa. Untuk sekadar catatan: Mayor Govert Knol adalah komandan militer VOC yang melakukan penaklukan di Jawa. Ini bermula setelah ekspedisi dari benteng Missier (Tergal) dilanjutkan dengan ekspedisi dari (benteng) Semarang ke Cartosoera. Ekspedisi ke Cartosoera ini dimulai tanggal 24 Oktober 1705 dibawah pimpinan Herman de Wilde yang mengikuti rute Semarang, Oengaran, Toentang, Salatiga, Cartosoera. Selanjutnya, Govert Knol pada yang berbasis di benteng Semarang, melakukan ekspedisi dari benteng Semarang untuk menaklukkan Soerabaja ke pedalaman dengan memulai ekspedisi dari Soerabaja pada tahun 1706. Mayor adalah pangkat tertinggi militer VOC pada saat itu.

Kerjasama Pemerintah VOC dengan para pemimpin wilayah di Papua dalam hal ini relatif bersamaan dengan ekspedisi-ekspedisi awal VOC dibawah komandan Majoor Knol di Jawa. Eskpedisi pertama ke pedalaman Jawa menjadi pangkal kerjasama pemerintah VOCdengan para pemimpin Jawa di Cartosoera. Kerjasama dengan para pemimpin lokal di bagian barat Jawa dilakukan pada tahun 1703. Peran kapal Geelvink tampaknya besar dalam kerjasama antara pemerintah VOC dengan para pemimpin lokal di Papua. Oleh karena itu diduga kuat mengapa nama teluk besar di Papua diberi nama Geelvink Baai (kini Teluk Cenderawasih).


Teluk Cenderawasih dalam hal ini ditemukan pertama kali pada tahun 1701 yang kemudian diberi nama Geelvink, kapal yang berperan dalam mengusir kehadiran Inggri di pantai Papua pada tahun 1700. Papua sendiri yang sudah dikenal sejak era Portugis (karena itu Papua juga disebut Nova Guinea), wilayah pantai utara Papua pertama kali dikunjungi oleh pelaut-pelaut Belanda (yang berbasis di Amboina) terjadi pada tahun 1616. Ekspedisi ke pantai utara Papua ini dilakukan oleh Jacob Le Maire dan Willem Schouten. Hal itulah mengapa nama pulau Biak yang sekarang tempo doeloe di sebut Schouten Eiland dan nama Le Maire untuk nama selat, Pada tahun 1643 pantai utara Papoea kembali dikunjungi oleh pelaut Belanda Abel Tasman dan Majoor Visscher. Baru pada tahun 1705 pantai utara Papoea dikunjungi Weyland dengan tiga kapal Geelvink, Kraanvogel dan Nova Guienea untuk mengusir petualang Inggris Wiiliam Dampier yang membuka usaha di Papoea,

Lantas bagaimana dengan Nabire di teluk Geelvink? Nama Nabire paling tidak disebutkan pada tahun 1908 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-07-1908). Disebutkan satu ekspedisi/eksplorasi ke teluk besar yang mana pada tanggal 19 April berlabuh melalui muara Sungai Wanggar, di pantai selatan Teluk Geelvink. Pesisir selatan umumnya terdiri dari dataran yang landai serta di Nabiré di muara sungai yang lebih timur, kurang penting dengan nama yang sama (sungai Nabire), dimana suku Alifuru berada yang memberikan pelayanan yang baik ke pantai Papua sebagai pemandu dan pemburu di pedalaman yang masih kaya akan burung cendrawasih. Pemukiman orang Nabiré terletak di arah tenggara teluk. Sungai disini tidak dapat dilayari dengan kano. Dari Nahiré pantai berbelok ke timur laut. Pantai Waropen yang datar dimulai lagi tepat di seberang Kepulauan Moor. Nama Nabire sudah dicatat dalam Alphabetische naamlijst behoorende bij de Overzichtskaart van den Oost-Indischen Archipel, schaal 1:2.5000.000 yang diterbitkan 1908. Disebutkan Nabire berada di Gelvink Bay masuk wilayah (residentie) Ternate en Onderh.


Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1913: ‘Eksplorasi militer.  Pada bulan September, Oktober, dan November 1912, eksplorasi di sepanjang pantai tenggara dan selatan Teluk Geelvink dilanjutkan. Bagian dari detasemen di bawah komandannya, Ten Klooster menjelajahi pesisir selatan dari Moesairo hingga muara sungai Boemi, dan perjalanan dilakukan ke daratan dari sungai itu dan dari situ ke arah timur Nabire. Detasemen lainnya eksplorasi di bawah letnan dalam area sungai Wanggar yang mengalir ke teluk di sebelah barat Boemi. Letak Nabire pada 30 19' 20 LS dan 135° 26'49" BT. Terdiri dari 6 rumah dengan jumlah penduduk 14 laki-laki, 13 perempuan, 12 laki-laki dan 8 istri dan anak, dari suku Jaoer Papua. Banyaknya anak sungai yang mengalir antara Nabire dan Musairo merupakan drainase yang tidak signifikan dari dataran berbukit tinggi yang membentang tidak jauh dari pantai hingga ke pedalaman, dimana hanya pengembara Taroenggareh yang bergerak. Jalan setapak dan tempat tinggal permanen tidak ditemukan di daerah ini.

Dari beberapa ekspedisi disebutkan pesisir selatan Geelvink Bay umumnya terdiri dari medan yang datar dan landai. Permukiman utama yang ditemukan disini adalah Hamoekoe, Wanggar dan Nabiré. Jauer Papua tinggal di Wanggar dan Nabiré. Hamoekoe adalah pemukiman suku Irsaam. Kedua suku tersebut selalu berhubungan dengan pedagang dan pemburu burung.

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar