Minggu, 10 September 2023

Sejarah Bahasa (11): Bahasa Bugis Sulawesi Selatan dan Ragam Dialek; Seberapa Dekat Bahasa Makassar dengan Bahasa Bugis


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa menunjukkan bangsa. Seperti umumnya identifikasi bahasa mengindikasikan nama etnik, bahasa Bugis juga menunjukkan orang (etnik) Bugis. Bahasa Bugis utamanya ditemukan di wilayah Sulawesi Selatan dengan berbagai dialek. Pada masa ini penutur bahasa Bugis ditemukan di berbagai wilayah. Dialek bahasa Bugis yang mana yang digunakan di luar wilayah Sulawesi Selatan. Di wilayah Sumatra Utara tidak ditemukan secara signifikan penutur bahasa Bugis. Mengapa? Terlalu jauh. Bagaimana dengan di wilayah Sulawesi Utara.


Bahasa Bugis adalah salah satu bahasa dari rumpun bahasa Austronesia. Penutur bahasa Bugis umumnya di Sulawesi Selatan, terutama di kabupaten Maros, Pangkajene dan kepulauan, Barru, Majene, Luwu, Sidenreng Rappang, Soppeng, Wajo, Bone, Sinjai, Pinrang, Parepare. Bahasa Bugis juga dipertuturkan di sebagian wilayah di kabupaten Enrekang, Majene, dan Bulukumba. Dalam bahasa Bugis, bahasa disebut Basa Ugi dan suku Bugis disebut To Ugi. Menurut mitos, istilah Ugi diambil dari nama La Sattumpugi, raja pertama Cina kerajaan kuno di tanah Bugis. To Ugi diartikan "pengikut La Sattumpugi". Hanya sedikit diketahui sejarah awal bahasa Bugis. Catatan paling awal adalah Sureq Galigo. Sumber tertulis lain adalah Lontara. Catatan sejarah Lontara paling awal berasal dari sekitar abad ke-17. Bahasa Bugis terdiri beberapa dialek. Kosakata dialek Pinrang dan Sidrap menyebut "loka" untuk pisang, sementara dialek Bugis lain menyebut "otti" atau "utti". Dialek Sinjai setiap bahasa Bugis menggunakan huruf ‘w’ diganti dengan ‘h’, seperti ‘diawa’ menjadi ‘diaha’. Huruf ‘c’, dalam dialek Sinjai berubah menjadi ‘sy’ seperti ‘cappa’ (ujung) menjadi ‘syappa’.  (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Bugis di Sulawesi Selatan dan ragam dialek? Seperti disebut di atas, bahasa Bugis terutama di wilayah Sulawesi Selatan dengan ragam dialeknya. Bahasa Bugis kini ditemukan di berbagai wilayah. Seberapa dekat bahasa Makassar dengan bahasa Bugis? Lalu bagaimana sejarah bahasa Bugis di Sulawesi Selatan dan ragam dialek? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Bugis di Sulawesi Selatan dan Ragam Dialek; Seberapa Dekat Bahasa Makassar dengan Bahasa Bugis

Pada masa ini, selain bahasa Melayu yang telah membentuk bahasa Indonesia, ada sejumlah bahasa yang telah penuturnya menyebar jauh dari pusat budayanya seperti bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Bugis dan bahasa Batak. Bahasa Bugis berdasarkan data statistic terakhir, penutur bahasa Bugis, selain terkonsentrasi di wilayah Sulawesi Selatan juga penutur bahasa Bugis cukup signifikan di wilayah-wilayah seperti Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur. Sulawesi Tenganga, Sulawesi Barat, Riau dan Jambi. Bagaimana itu terjadi, itu satu hal. Dalam hal ini bagaimana sejarah bahasa Bugis menarik diperhatikan. Karena sejarah pembentukan bahasa Bugis menjadi pendahulu penyebaraan bahasa Bugis.


La Galigo ditulis dalam aksara Lontara. Sementara catatan tentang Kerajaan Gowa ditulis dalam Lontara Bilang-Bilang (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1878). La Galigo sendiri paling tidak diketahui telah diterjemahkan belum lama (lihat Soerabaijasch handelsblad, 09-08-1905). Kapan La Galigo ditulis dalam aksara Lontara tidak diketahui secara pasti. Namun yang jelas bahwa catatan (sejarah) Gowa ditulis dengan Lontara Baling-Baling pada era Kerajaan Gowa. Aksara Bilang-Bilang sejatinya bukanlah aksara Lontara. Aksara Lontara sendiri sudah terbentuk lama. Aksara Bilang-Bilang mengadaptasi bilangan Arab dengan membuat aksara baru yang disebut aksara Bilang-Bilang (Lontara Bilang-Bilang). Aksara Lontara diduga berasal dari zaman lampau yang mirip dengan aksara-aksara di wilayah utara seperti Minahasa dan Filipina. Masuknya pengaruh Islam di Makassar pada era Kerajaan Gowa diduga menjadi awal munculnya Lontara Bilang-Bilang. Dalam hal ini Lontara Bilang-Bilang adalah sandi aksara Lontara yang digunakan dalam sastra di Makassar untuk penulisan genre tertentu disertai dengan waktu kejadian. Aksara Lontara dan Lontara Bilang-Bilang sama-sama diakrtik. Lontara Bilang-Bilang ini mirip abjad Arab yang pernah digunakan di Asia Selatan abad 19 M di wilayah Pakistan dan Afghanistan.

Banyak penulis tempo doeloe yang menyatakan bahwa kerajaan pertama di Sulawesi (selatan) adalah Kerajaan Luwu (Loeboe, Lubuk, Luwuk). Nama Luwu sendiri paling tidak sudah diidentifikasi dalam teks Negarakertagama 1365. Dalam teks ini juga sudah diidentifikasi nama-nama Makassar, Boeton, Bontaeng dan Selajar. Tentu saja pada masa itu kerajaan Gowa(-Tallo) belum terbentuk yang berpusat di Makassar. Dalam hal ini di dalam La Galigo diceritakan kisah penciptaan.


Kapan (kota, kerajaan) Luwu terbentuk tidak diketahui secara pasti. Keterangan yang diduga berhubungan dengan munculnya peradaban baru (di Sulawesi) adalah prasasti Seko (Toraja) dan prasasti Watu Rerumeran di Minahasa. Prasasti-prasasti tersebut berada di pedalaman di dekat gunung-gunung dan danau-danau pedalaman. Prasasti Seko tidak jauh dari pegunungan Latimojong, gunung Balease, gunung Gandangdewata, gunung Pompangeo, gunung Bulu Kandela, gunung Buyu Lumut, gunung Tumpu dan gunung Torompupu serta danau-danau Poso, Matano dan Towuti. Sementara prasasti Watu Rerumeran di gunung Empung, gunung Lokon serta danau Tondano. Prasasti-prasasti ini mengindikasikan federasi dari beberapa kerajaan awal di dua wilayah budaya awal. Federasi kerajaan-kerajaan ini sebagaimana di Seko direpresentasikan sebagai daliang. Dua prasasti ini juga mengindikasikan adanya konsep religi (pemujaan terhadap leluhur) dan keutamaan kesuburan (lingga dan yoni). Satu-satunya sumber tertua yang terdekat (ruang dan waktu) dengan dua prasasti Sulawesi ini adalah prasasti di teluk Manila pulau Luzon (prasasti Laguna bertarih 900 M). Dalam prasasti Laguna disebutkan raja yang termasyhur yang berada di Binwangan yang menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di teluk Manila. Nama yang mirip dengan Binwangan ini juga pada masa kini ditemukan di Toraja dan Minahasa serta teluk Manila yakni Minanga. Nama yang mirip Binwangan atau Minanga juga ditemukan di pulau Seram (Binaiya). Nama yang mirip yang usianya lebih tua ditemukan pada prasasti Kedukan Bukit (682 M). Lalu apakah ada garis continuum peradaban awal di utara khatulistiwa dari pantai timur Sumatra di barat hingga di timur di pulau-pulau di Maluku seperti pulau Halemahera, pulau Morotai. Peradaban awal yang menjadi pendahulu peradaban di wilayah selatan Sulawesi?

Kerajaan Luwu yang berawal dari munculnya peradaban baru di Sulawesi diduga kuat adalah era yang membedakan era pra-Bugis (Luwu) dan era Bugis (Makassar). Seperti disebut di atas, pendahulu era pra-Bugis (Luwu) adalah wilayah-wilayah di utara khatulistiwa. Lalu pada era Luwu kemudian terbentuk kebudayaan baru seperti religi (pemujaan terhadap leluhur), bahasa, aksara, seni (bangunan dan sebagainya) dan sistem pemerintahan tradisi yang berbentuk federasi (daliang). Munculnya religi inilah kisah penciptaan di dalam La Galigo yang mana dunia terbagi tiga: atas, tengah dan bawah.


Jika memperhatikan arah rute navigasi pelayaran dari utara, Kerajaan Luwu diduga berada di pantai timur (sisi timur danau Towuti) kemudian bergeser ke sisi barat danau di teluk Bone. Demikian juga halnya dengan Toraja awalnya di pantai barat bergeser ke pedalaman yang menjadi kawasan yang berdekatan dengan Luwu (Luwu-Toraja). Hal ini juga di wilayah utara Minahasa awalnya di pantai utara kemudian bergeser ke pedalaman dan pantai selatan. Pada saat Luwu di pantai timur, Toraja di pantai barat dan Minahasa di pantai utara, juga bersamaan terbentuk peradaban baru di wilayah Maluku (Gigolo di utara dan Seram di selatan). Terbentuknya Ternate dan Amboina diduga kuat sejaman dengan terbentuknya Manado, Bugis, Bouton dan Makassar.

Dalam teks La Galigo diceritakan awal dari dunia yang kosong dan turunnya Batara Guru ke bumi. Manusia pertama ini turun di daerah Luwu yang mana Batara Guru sebagai raja digantikan oleh anaknya, La Tiuleng bergelar Batara Lattu'. La Tiuleng atau Batara Lattu’ punya anak kembar, yakni Sawérigading dan Wé Tenriabéng yang keduanya dibesarkan terpisah yang kemudian mereka baru bertemu lagi saat menginjak usia dewasa. Sawérigading terpesona dan jatuh hati pada saudara kembarnya. Sawérigading pun berniat menikahi Wé Tenriabéng. Namun itu dihambat untuk menghindari kawin semarga.


Kisah ini bermula ketika Raja Di Langit, La Patiganna [Batoegana] mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa [Sriwijaya] dan Peretiwi [Portibi] dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' Langi' [Ompu Toga Langit] menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' Langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng [Sialang], Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu' [Loeboe Raja atau Lubuk Raya].

Kisah itu lebih lanjut diceritakanlah bahwa kasih yang tak sampai ini kemudian menyebabkan Sawérigading pergi merantau ke Tiongkok. Sawérigading bertemu putri yang berwajah sama persis dengan saudari kembarnya, bernama Wé Cudaiq, anak seorang raja. Lahirlah anak laki-laki sebagai buah cinta dan perkawinan mereka. Anak laki-laki inilah kemudian diberi nama ‘La Galigo’. Sawérigading dengan Wé Cudaiq kembali ke Luwuk, namun kapal yang dinahkodainya karam. Mereka berdua lantas menjadi penguasa ‘dunia bawah’. Sedangkan saudari kembarnya Wé Tenriabéng naik ke alam dewa atau ‘dunia atas’. Tak berselang lama setelah itu, semua manusia pertama itu dipanggil kembali pulang ke alam Dewata dan meninggalkan La Galigo dan saudara lainnya di ‘dunia tengah’ dan menjadi penguasa di Luwuk.


Kisah penciptaan dalam La Galigo mirip dengan kisah penciptaan yang terdapat di Tanah Batak tentang dunia ginjang, dunia tonga dan dunia toru. Meski pembagian dunia ini bersifat umum (era Hindoe Boedha), namun ada beberapa nama yang mirip yakni gunung Loeboe Raja dan gunung Malea di Angkola Mandailing. Hal mirip lainnya adalah Raja Di Langit (Raja Langit); La Patiganna (Batoegana); Senrijawa (Sriwijaya); Peretiwi [Portibi]; La Toge' Langi' [Ompu Toga Langit], Raja Alekawa; We Nyili'timo'; Guru ri Selleng [Sialang], Ussu' (Pusuk); Luwu' [Loeboe Raja]; La Tiuleng (Tulang atau Tolang); Batara Lattu' (Raja Lottung); Sawérigading (Oedjoenggading); Wé Tenriabéng.

Bagaimana La Galigo ditulis dalam aksara Lontara dapat diangap sebagai asal-usul bahasa dan aksara Bugis. Hikayat La Galigo adalah sejarah La Galigo. Lontara adalah sejarah bahasa dan aksara itu sendiri. Jika La Galigo ditulis dalam aksara Lontara, lalu bahasa apa yang digunakan? Ada yang berpendapat La Galigo baru ditulis dalam aksara Lontara pada abad ke-19 dan ceritanya sendiri berasal dari abad ke-15.


Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini sejak kapan aksara Lontara terbentuk? Sejak kapan bahasa Bugis (yang dicatat dalam Lontara) terbentuk? Sebagai perbandingan: aksara Jawa baru (yang dipahami sekarang) berbeda dengan aksara yang diugunakan dalam teks Negarakertagama (1365) di era Majapahit. Aksara Intjung yang dipahami di Kerintji berbeda dengan aksara yang digunakan dalam teks Tanjung Tanah (1386). Aksara Batak pada makam-makam tua yang ditemukan di wilayah Padang Lawas (Angkola Mandailing) yang berasal dari abad ke-15 berbeda dengan aksara yang digunakan dalam prasasti-prasasti Padang Lawas.

Lalu bagaimana kedudukan aksara dan bahasa Lontara dalam konteks aksara dan bahasa di wilayah nusantara. Selepas era Hindoe-Boedha, terbentuk aksara-aksara nusantara diantaranya aksara Jawa dan aksara Batak (Sumatra).


Pusat peradaban di Sumatra terutama di Padang Lawas dan pusat peradaban di Jawa (barat, lalu ke tengah dan akhirnya ke timur/era Majapahit). Meski berasal dari aksara yang sama, antara aksara di Jawa dan aksara di Sumatra ada perbedaan. Namun aksara di utara khatulistiwa yakni aksara di Sumatra (aksara Batak Angkola Mandailing) terkesan ada kemiripan satu sama lain dengan aksara di Sulawesi.

Bagaimana dengan soal asal usul bahasa-bahasa di Sulawesi, termasuk dalam hal ini bahasa Bugis?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Seberapa Dekat Bahasa Makassar dengan Bahasa Bugis: Ragam Dialek Bahasa dan Aksara Tradisi

Perhatian terhadap bahasa Bugis baru mulai dilakukan pada era Pemerintah Hindia Belanda. Perhatian ini dilakukan setelah mempelajari bahasa Melayu dan bahasa Batak yang kemudian berlanjut pada perhatian pada bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Lampong, Bali dan Bugis. Salah satu ahli bahasa yang dikirim ke wilayah Bugis di Sulawesi Selatan adalah Dr Matthes.


Penunjukan Dr Matthes untuk menyelidiki bahasa Bugis dan bahasa Makssar di wilayah Sulawesi Selatan muncul pada tahun 1847 (lihat Rotterdamsche courant, 25-11-1847). Disebutkan Nederlandsen Bijbelgenootschap baru-baru ini memutuskan, berdasarkan laporan yang baik dan mendalam dari Profesor Veth di Amsterdam, untuk mengirim orang ke Hindia Timur untuk melatih diri mereka dalam bahasa Makasar dan Bugis serta bahasa Batak, untuk menerjemahkan bahasa tersebut. Serikat sekarang telah menemukan orang yang benar-benar cocok untuk misi ke Makasar dalam diri sub-direktur yang berpengetahuan luas di rumah misionaris di Rotterdam, juga sangat berpengalaman dalam studi bahasa Timur, BF Matthes, pendukung Evangelis Lutheran. 

Dr Matthes mempelajari bahasa Makassar dan bahasa Bugis tidak hanya bersumber secara lisan pada penduduk di Sulawesi Selatan, Dr Matthes juga menggunakan sumber tertulis yang menggunakan akasa Lontara. Konon Lontara La Galigo ditulis sejak abad ke-14.


Aksara Makassar (alias Ukiri' Jangang-jangang dalam bahasa Makassar) adalah salah satu aksara historis Indonesia yang pernah digunakan di Sulawesi Selatan untuk penulisan bahasa Makassar antar abad 17 M hingga abad 19 M ketika fungsinya tergantikan oleh aksara Lontara Bugis. Aksara Makassar adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 18 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan tanda baca yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Makassar, sehingga teks Makassar secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks. Aksara Lontara, juga dikenal sebagai aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau aksara Lontara Baru adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Bugis, Mandar, dan Makassar, tetapi dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modifikasi. Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi. Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. (Wikipedia)

Dari berbagai aksata yang pernah eksis di nusantara seperti Pallawa, Kawi, Sunda, Rencong dan Batak, sejatinya aksara Lontara mirip aksara yang mana? Dalam daftar aksara nusantara, secara grafis aksara terbagi dua: aksara Pallawa dan Jawa dan lainnya; aksara Lampong dan Batak dan lainnya termasuk aksara Bugis-Makassar. Dalam hal ini aksara di Sulawesi selatan terkesan berbeda dengan aksara di Lombok, Bali dan Jawa. Aksara di Sulawesi (hingga di Filipina) justru lebih dekat dengan aksara di Sumatra.


Studi tentang aksara di nusantara sudah dimulai sejak era Dr NH van der Tuuk dan Dr Matthes (1850an). KF Holle tahun 1880 telah mengumpulkan semua aksara yang terdapat di nusantara (lihat Tabel Oud en Nieuw Indisch Alphabetten: Bijdrage tot de Palaeographi van Nederlandsch Indie (Bruining en Co, 1882). Aksara-aksara inilah kemudian yang digunakan oleh para ahli untuk mempelajari aksara-akasara di Indonesia hingga sekarang. Tabek (Schröder, 1927)

Pada tahun 1927 Schröder, seorang Jerman menemukan ada keimiripan aksara Funisia dengan aksara Batak (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder ini Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Sebagaimana diketahui bangsa Fenisia atau Funisia (Phoenices) adalah bangsa kuno yang pernah menguasai pesisir Laut Tengah. Mereka berasal dari wilayah Timur Tengah, atau sekarang di Lebanon dan Suriah.


Penemuan aksara oleh Schröder tentulah menarik perhatian dunia internasional di bidang linguistic dan aksara. Jarak antara Laut Tengah dan pantai barat Sumatra sangat berjauahan. Selama ini dipahami bahwa dari dua kelompok aksara Semit Utara yang terdiri dari aksara Aramee dan aksara Fenesia. Aksara Aramee diduga yang menurunkan aksara Jawa melalui aksara Pallawa dan ke atas aksara Brahmi. Sedangkan aksara Fenesia (silabis) menurunkan aksara Yunasi (alfabet) hingga ke aksara Latin. Jika kesimpulan Schröder benar bahwa aksara Fenesia mirip bahasa Batak, maka aksara-aksara di nusantara berasal dari sumber yang berbeda. Seperti disebut di atas, aksara Jawa di satu sisi dan aksara Batak di sisi lain berbeda, lalu apakah aksara Bugis Makassar juga sudah berumur tua?

Lalu bagaimana aksara Batak dan aksara Bugis Makassar mirip?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar