Jumat, 08 September 2023

Sejarah Bahasa (8): Bahasa Bali Pulau Bali, Bahasa Asli Bali di Bali; Bahasa Asli Pulau Lombok dan Bahasa di Jawa di Pulau Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Bali, tidak hanya tentang alam pulau Bali, tetapi juga tentang orang yang berada di pulau itu. Pulau Bali sendiri sejak awal adalah pulau yang terbuka, pulau dimana bermukim penduduk asli, penduduk yang paling asli (origin). Bagaimana cara mempelajari (sejarah) orang Bali, seorang peneliti bernama Lekkerkerker.dalam risalahnya yang dimuat pada majalah Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1933 menyatakan bahwa studi tentang masyarakat Bali seharusnya tidak dimulai dari ujung yang salah, tidak dengan masyarakat kasta dan lembaga-lembaga Hindoe, tetapi di desa-desa, dimana banyak kelompok populasi kuno masih dapat ditemukan.

 

Bahasa Bali merupakan bahasa yang termasuk dalam kelompok Melayu-Polinesia. Di Bali sendiri, bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya, dan Bali Kasar. Hal ini terjadi karena pengaruh bahasa Jawa menyebar ke Bali sejak zaman Majapahit. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya. Dalam rumpun Melayu-Polinesia, bahasa Bali berada di subcabang Bali-Sasak-Sumbawa dengan tiga dialek utama (di pegunungan, dataran rendah, di Nusa Penida). Bahasa Bali paling dekat dengan bahasa Sasak dan beberapa bahasa di pulau Sumbawa bagian barat. Kemiripannya dengan bahasa Jawa hanya karena pengaruh kosakata atas bahasa Jawa karena aktivitas penaklukan Jawa pada masa lampau, terutama pada abad ke-14 Masehi. Secara fonologis bahasa Bali lebih mirip bahasa Melayu daripada bahasa Jawa. Bahasa Bali banyak terpengaruh bahasa Jawa, terutama bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Kemiripan dengan bahasa Jawa terutama terlihat dari tingkat-tingkat bahasa yang mana bahasa Bali halus mirip dengan bahasa Jawa Krama (kata halus diambil dari bahasa Jawa) (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Bali di pulau Bali, bahasa asli Bali di Bali? Seperti disebut di atas, bahasa Bali juga dipengaruhi bahasa Jawa namun seorang ahli menyebut bahasa Bali mulai dari bahasa asli di Bali. Bagaimana dengan bahasa asli di pulau Lombok dan bahasa Jawa di pulau Jawa? Lalu bagaimana sejarah bahasa Bali di pulau Bali, bahasa asli Bali di Bali? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Bali di Pulau Bali, Bahasa Asli Bali di Bali; Bahasa Asli di Pulau Lombok dan Bahasa Jawa di Pulau Jawa

Jauh sebelum HN van der Tuuk ke bali, pada tahun 1846 Pemerintah Hindia Belanda merekrut seorang Jerman Heinrich Zollinger, penulis yang berlatar belakang keahlian geologi dan botani untuk ditugaskan melakukan ekspedisi ilmiah di Bali dan Lombok. Hal ini dilakukan seiring dengan pengiriman ekspedisi militer Pemerintah Hindia Belanda untuk menghukum pangeran (radja) Boeleleng yang dimulai pada bulan Juni 1846. Perang antara Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan Boeleleng dikenal sebagai Perang Bali pertama (1846). Sementara Herman Neubronner van der Tuuk pada tahun 1870 diketahui telah berada di Bali (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 22-08-1870). Disebutkan van der Tuuk saat ini tinggal di Boelèlèng di pulau Bali sedang mempelajari bahasa Bali.


Tidak diketahui kapan tepatnya Herman Neubronner van der Tuuk mulai tinggal di Boeleleng. Herman Neubronner van der Tuuk diduga kuat sekitar awal tahun 1870. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-12-1870 menyebut tugas van der Tuuk dengan Pemerintah Hindia Belanda di Lampong berakhir tanggal 1 Juli 1869 dan sepulang dari Lampong karena kerja panjang dan melelahkan di distrik Lampong telah membawanya pada penyakit serius, tetapi setelah menghabiskan beberapa bulan memulihkan kesehatan di Buitenzorg, van der Tuuk mulai memikirkan pemukimannya di Bali sebagai wujud pembicaraannya yang terbaru dengan organisasi yang dulu menugaskannya ke Tapanoeli.

Di Boeleleng (Bali) Herman Neubronner van der Tuuk selain intens mempelajari bahasa Bali, juga aktif menulis di berbagai media. Nama Herman Neubronner van der Tuuk tetap menjadi pembicaraan di dunia penerbitan gereja dan juga di dunia akademik yang mana tinjauan van der Tuuk dalam bidang sastra Hindia cukup kritis. Tidak ada nama lain yang menandingi kepiawaian van der Tuuk dalam menyusun kamus dan tata bahasa Hindia. Herman Neubronner van der Tuuk bekerja sungguh-sungguh dan penuh dedikasi dalam bidangnya.


Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-12-1870: ‘“Meski tenaganya belum pulih sepenuhnya, ia berangkat ke Soerabaya, dari sana melanjutkan perjalanan ke Bali. Menurut pemberitaan terakhirnya, dia masih bingung harus menetap di mana di Bali. Boelèleng atau Bliling mempunyai beberapa rekomendasi, karena beberapa misionaris dan pejabat tinggal di sana; tetapi menurutnya iklimnya tidak sehat, dan bahasa yang digunakan di sana tidak sepenuhnya murni. Beberapa merekomendasikan Gitgit kepadanya. Dia pikir dia akan menemukan bahasa yang paling murni di Badong, tapi di sana dia akan tinggal sepenuhnya terpencil, dan tidak ada sarana komunikasi lain dengan dunia di sekitarnya selain kapal Tiongkok. Ia bermaksud, sebelum menentukan pilihan dan mengangkut barang-barangnya, untuk melakukan penyelidikan untuk sementara waktu. Laporan tersebut juga memuat hasil investigasi tersebut dalam sebuah catatan, yang menunjukkan bahwa van de Tuuk akhirnya menetap di Boelèleng. Laporan tersebut masih memuat informasi tentang kajian linguistik Van der Tuuk rincian yang cukup, diambil dari surat pribadi tersebut: “Belajar, saya berjalan cukup baik, meski kesulitan selalu menginap di penginapan dan bepergian, karena saya mengumpulkan materi kemana-mana. Merupakan salah satu cita-cita saya untuk memajukan perbandingan linguistik bahasa-bahasa bersaudara sedemikian rupa sehingga mulai sekarang seseorang dapat mempelajari salah satu bahasa tersebut dengan lebih mudah. Saya telah melihat bahwa tidak diperlukan banyak waktu untuk menguasai suatu bahasa jika seseorang sudah menguasai salah satu bahasa saudaranya. Saya sudah memahami sebagian besar bahasa Bali yang tinggi, karena hanya berbeda dengan bahasa Jawa dalam bentuk yang lebih lengkap. Bahasa rendahnya sangat berbeda, menyimpang dari bahasa Jawa, Sunda, dan bahasa terkait lainnya. Kontribusinya tentang bahasa Melayu Bataviasch sangat membantu saya di sini, karena Melayu Batavia pada dasarnya adalah bahasa Bali Rendah. Anda tahu bahwa budak, tentara, dan pembantu rumah tangga atau simpanan asli (gundik) orang VOC bergantung pada harapan orang Bali bahwa menjadi penduduk pertama Batavia yang baru didirikan, yang terletak di tanah Jacatra. Tradisi Jawa sepenuhnya sesuai dengan ini”.

Sementara NH van der Tuuk sudah bereada dio Bali, tulisan tentang Lampong oleh van der Tuuk telah diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap van kunsten en wetenschappen tahun 1871 (lihat Bataviaasch handelsblad, 27-05-1871). Tantangan terdekat van der Tuuk tampaknya ingin segera menyelesaikan kamus dan tata bahasa Bali.


Meski sudah larut di Boeleleng bersama penduduk Bali dalam hubungan pekerjaannya dengan bahasa Bali, Herman Neubronner van der Tuuk tetap sibuk dengan diskusi-diskusi ilmih di berbagai media. Salah satu tulisan Herman Neubronner van der Tuuk yang ditulis di Boeleleng, 10 Maret 1872 dimuat pada surat kabar Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-03-1872. Tulisan ini berisi tanggapan atas tulisan Dr. D. Koorders beberapa waktu sebelumnya tentang bahasa Kawi Kuno. Herman Neubronner van der Tuuk menghubungkan bahasa Kawi dengan bahasa Bali. Satu yang penting dari usulan Herman Neubronner van der Tuuk adalah dengan tidak adanya alat utama, seperti, antara lain, kamus yang baik dari bahasa-bahasa paling terkenal di Kepulauan ini, masih banyak yang harus dilakukan sebelum kita dapat membaca tulisan-tulisan kuno (Kawi). Menurut van der Tuuk tulisan yang diterbitkan di majalah Nederlandsche Indie yang hanya menggunakan edisi baru dari Kamus Jawa dianggapnya tidak cukup. Upaya Prof Kern yang menerjemahkan teks Kawi dengan berlandaskan kamus-kamus Hindoestan yang penuh dengan anotasi dianggap van der Tuuk menunjukkan kedangkalan dan tidak menemukan esensi yang sebenarnya di dalam teks asli. Satu poin lagi kritik dari van der Tuuk adalah bahwa kita belum memiliki teks yang dapat dikatakan lengkap karena prasasti yang ada di Jawa dan di tempat lain belum seluruhnya berhasil dikumpulkan. Misalnya sebuah kata yang hanya muncul sekali (dalam prasasti) orang sudah puas dengan dugaan dan sayangnya juga bergantung pada pernyataan orang (kamus) Jawa atau Bali, itu sangat konyol apalagi satu kata itu diterjemahkan ke dalam konteks kalimat.

Herman Neubronner van der Tuuk jelas tidak kesepian di Bali. Siang hari bergaul dengan banyak penduduk Bali dan menganalis apa yang ditemukan, malam hari di tempat tinggalnya membaca jurnal dan surat kabar yang dikirim ke alamatnya dan menulis opini dan berbagai bentuk teks dalam dunia akademik. Kesehariann van der Tuuk secara alamiah di Bali sudah menjadi cara hidupnya sejak kali pertama van der Tuuk dikirim ke Tanah Batak. Herman Neubronner van der Tuuk tahu apa yang dibutuhkannya dan juga mengetahui apa yang dipikirkan penduduk dalam kehidupan sehari-hari. Dua pertemuan kebutuhan ini menjadikan Herman Neubronner van der Tuuk hidup dan selalu bersemangat dengan pekerjaannya. Seorang linguistik telah berperilaku bagai seorang antropologis.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Asli di Pulau Lombok dan Bahasa Jawa di Pulau Jawa: Lekkerkerker dan HN van der Tuuk Perihal Bahasa Bali

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar