Minggu, 03 September 2023

Sejarah Mahasiswa (57): Ir Tarip Abdoellah Harahap dan THS di Bandoeng; Berjuang dan Perguruan Tinggi Teknik di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Siapa Tarip Abdoellah Harahap? Kurang terinformasikan. Namun jika dihubungkan dengan pendirian perusahaan milik negara di Jogjakarta semasa perarang kemerdekaan Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia yang disingkat DAMRI, Ir Tarip Abdoellah Harahap orangnya; jika dihubungkan dengan pembangunan lapangan terbang/bandara di Indonesia pasca pengakuan kedaulatan Indonesi, Ir Tarip Abdoellah Harahap orangnya.


Tarip Abdullah Harahap adalah salah satu dari dua mahasiswa pertama asal Padang Sidempuan yang kuliah di ITB di era Belanda. Pada waktu itu ITB dikenal sebagai Technische Hoogeschool, Bandoeng. Tarip Abdullah Harahap lulus ujian saring masuk pada tahun 1934. Mahasiswa Technische Hoogeschool beragam (Belanda, Tionghoa dan pribumi) dan ujiannya sangat ketat. Seangkatan dengan Tarip Abdullah Harahap, lebih dari separuh gagal di tahun pertama. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-06-1935: ‘Technische Hoogeschool. Dalam ujian akhir tingkat satu yang diikuti 45 kandidat, yang berhasil lulus adalah: Abdul Kader, Ms. A. Adels, R. Ahja, EJA Corsmit, E. Edward, M. Hoesen, H. Johannes, Lauw Jan, Liem Kiem Kie, Lic Hok Gwan, Lic Soen Giap, R. Moempoeni Dirdjosoebroto, Sardjono, JA van Schalk, AB Schrader, M. Soemarman, JF Strach, Tarip Abdullah Harahap, The Lian Thong dan Thee Kian Boen. Sebanyak 24 kandidat gagal; sementara satu kandidat dilakukan ujian ulangan’. Umumnya siswa-siswa asal Padang Sidempuan menempuh pendidikan tinggi ke sekolah hukum (Recht School) dan sekolah kedokteran (Geneeskunde School) di Batavia (Jakarta) dan sekolah kedokteran hewan (Veeartsen School) di Buitenzorg (Bogor). Sangat jarang yang memilih ke Bandoeng (Technische Hoogeschool). Sebab sejarahnya, di afdeeling Padang Sidempoean yang sangat dibutuhkan keahlian di bidang kedokteran, kedokteran hewan dan hukum.

Lantas bagaimana sejarah Tarip Abdoellah Harahap dan THS di Bandoeng? Seperti disebut di atas, nama Tarip Abdoellah Harahap kurang dikenal, tetapi hasil karyanya hingga kini tetap abadi seperti DAMRI dan lapangan terbang. Tarip Abdoellah Harahap berjuang dan Perguruan Tinggi Teknik di Jogjakarta. Lalu bagaimana sejarah Tarip Abdoellah Harahap dan THS di Bandoeng? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tarip Abdoellah Harahap dan THS di Bandoeng; Berjuang dan Perguruan Tinggi Teknik di Jogjakarta

Tarip adalah nama asli orang Angkola Mandailing. Meski jarang yang menggunakannya, tetapi paling tidak ada dua orang yang memakainya sebagai nama depan, yakni Tarip Siregar dan Tarip Abdoellah Harahap. Mereka berdua beda genrasi. Yang akan dibicarakan dalam artikel ini adalah Ir Tarip Abdoellah Harahap.


Dr Tarip Siregar adalah peneliti (researcher) terbaik semasa di zamannya. Karena hasil risetnya sangat diunggulkan, lalu Pemerintah Hindia Belanda memberikan beasiswa untuk melanjutkan studi kedokteran hewan ke Belanda. Tarip memulai pendidikan dasar di sekolah pribumi (Inlandsche school) 2de klasse di Sipirok. Tarip belajar secara tutorial (les) bahasa Belanda. Pada tahun 1903 Tarip lulus ujian masuk untuk sekolah guru pribumi (kweekschool voor Inlandsche onderwijzers) di Fort de Kock. Setelah lulus Tarip diangkat sebagai guru sekolah negeri di Sibolga. Profesi guru ini hanya dijalaninya hingga tahun 1909. Pada tahun 1910 Tarip melanjutkan studi untuk sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool) di Buitenzorg (Bogor). Tarip Siregar lulus ujian akhir tahun 1914. Dr. Tarip diangkat sebagai dokter hewan pemerintah dan ditempatkan di Padang Lawas. Di sela-sela tugasnya memberi layanan pemerintah, Dr. Tarip melakukan penelitian dan hasilnya dipublikasikan. Hasil penemuannya adalah metode membasmi cacing pita pada kerbau. Setelah bekerja beberapa tahun praktek, pemerintah mengapresiasi kinerja Dr. Tarip dan metodenya terus dipakai, lalu pemerintah memberikan beasiswa untuk studi lebih lanjut ke Belanda. Dr. Tarip berangkat ke Belanda tahun 1927. Tarip lulus ujian akhir dokter hewan tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht, Belanda (lihat De Sumatra post, 07-10-1930). Dokter hewan pertama pribumi, lulus di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht adalah Dr Sorip Tagor Harahap tahun 1920. Dr Sorip Tagor adalah kakek dari Inez/Risty Tagor. Dr. Tarip istrinya adalah kakak perempuan dari tiga bersaudara terkenal (Sanoesi Pane, Armijn Pane dan Lafran Pane).

Tarip Abdoellah Harahap adalah anak seorang pengusaha yang mana investasinya termasuk dalam bidang perkebunan di Pematang Siantar. Juga menjadi salah satu investor perusahaan angkutan bis Sibual-buali. Investor lainnya antara lain Soetan Pangoerabaan Pane (ayah dari Sanoesi Pane, Armijn Pane dan Lafran Pane). Perusahaan bis (PO) Sibual-buali secara resmi menjadi badan hukum (perusahaan) tahun 1937 di Sipirok.


PO Sibual-buali adalah perusahaan bis tertua di Indonesia yang masih eksis hingga ini hari. PO Sibuali-buali mengawali trayek Sipirok-Medan (pp) melalui Padang Sidempoean, Sibolga, Taroetoeng, Pematang Siantar. Armada PO Sibual-buali adalah yang pertama yang mencapai rute terjauh di Indonesia, ke utara hingga ke Kotaradja (kini Banda Aceh) dan ke selatan hingga ke Teloek Betoeng (Lampoeng) via Bukittinggi, Padang, Soengai Penoek (Kerintji). Djambil. Palembang dan Batoeradja. Beberapa orang yang pernah menjadi staf manajemen PO Sibual-buali adalah ayah Mayor Jenderal Radja Inal Siregar (pernah Pangdam Siliwingi dan Gubernur Sumatra Utara); ayah dari Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan (kini Menko). Ayah Tarip Abdoellah Harahap adalah salah satu investor bank Bataksche Bank di Pematang Siantar, bak pribumi pertama di Indonesia didirikan tahun 1920. Investor lainnya adalah Soetan Martoewa Radja, ayah dari Ir MO Parlindoengan (insinyur teknik kimia di Delft/Zurich yang menjadi direktur pribumi pertama PT Pindad di Bandoeng tahun 1950).

Tarip Abdoellah Harahap adalah salah satu dari dua mahasiswa pertama asal Padang Sidempuan yang kuliah di ITB di era Belanda. Pada waktu itu ITB dikenal sebagai Technische Hoogeschool, Bandoeng. Tarip Abdullah Harahap lulus ujian saringan masuk pada tahun 1934. Mahasiswa Technische Hoogeschool beragam (Belanda, Tionghoa dan pribumi) dan ujiannya sangat ketat. Seangkatan dengan Tarip Abdullah Harahap, lebih dari separuh gagal di tahun pertama.


Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-06-1935: ‘Technische Hoogeschool. Dalam ujian akhir tingkat satu yang diikuti 45 kandidat, yang berhasil lulus adalah: Abdul Kader, Ms. A. Adels, R. Ahja, EJA Corsmit, E. Edward, M. Hoesen, H. Johannes, Lauw Jan, Liem Kiem Kie, Lic Hok Gwan, Lic Soen Giap, R. Moempoeni Dirdjosoebroto, Sardjono, JA van Schalk, AB Schrader, M. Soemarman, JF Strach, Tarip Abdullah Harahap, The Lian Thong dan Thee Kian Boen. Sebanyak 24 kandidat gagal; sementara satu kandidat dilakukan ujian ulangan’.

Umumnya siswa-siswa asal Padang Sidempuan menempuh pendidikan tinggi ke sekolah hukum (Recht School) dan sekolah kedokteran (Geneeskunde School) di Batavia dan sekolah kedokteran hewan (Veeartsen School) di Buitenzorg yang kemudian lanjurt studi ke Belanda. Sangat jarang yang memilih ke Bandoeng (Technische Hoogeschool). Sebab sejarahnya, di afdeeling Padang Sidempoean yang sangat dibutuhkan keahlian umumnya di bidang keguruan, kedokteran, kedokteran hewan dan hukum. Selain Tarip Abdoellah dan Patoean Doli di THS Bandoeng juga diterima Amroe Baghwie Siregar tahun 1938. Pada tahun 1939 lulus ujian tingkat satu (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1939). Amroe Baghwie adalah adik MO Parlindoengan (dua paman mereka anggota Volksraad, Mangaradja Soeangkoepon dan Dr Abdoel Rasjid Siregar).


Techniche Hoogeschool di Bandung berdiri tanggal 3 Juli 1920 dengan satu fakultas de Faculteit van Technische Wetenschap yang hanya mempunyai satu jurusan de afdeeling der Weg en Waterbouw. Mahasiswa yang tergolong angkatan pertama adalah Sukarno (Presiden pertama RI) yang lulus tahun 1926. Seperti kita lihat nanti sekolah tinggi teknik ini di era kemerdekaan dibentuk menjadi universitas dengan nama Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Maret 1959.

Tarip Abdullah Harahap studi di Techniche Hoogeschool di Bandung tidak selancar rekan-rekannya. Mengapa? Seperti ayahnya di Pematang Siantar, jiwa kewirausahaan Tarip Abdullah Harahap bersemi di Bandoeng dengan mendirikan perusahaan (firma) arsitektur dengan nama Pena Batoe. Tarip Abdullah Harahap tidak sempat menyelesaikan studinya hingga berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda (terjadi pendudukan militer Jepang tahun 1942). Sementara itu, sahabat lamanya Ir MO Parlindoengan yang lulus insinyur teknik kimia di Zurich/Delft tahun 1941 sudah berada di Bandoeng (bekerja di pabrik senjata).


Sejak 1939 nama Tarip Abdullah Harahap tidak terdeteksi di Bandoeng. Mengapa? Tidak ada nama dalam daftar lulusan sebanyak 12 orang pada tahun 1939. Hingga tahun 1939 total insinyur pribumi yang berhasil mendapat gelar insinyur sebanyak 53 orang. Satu hal pada tahun 1939, di THS dilakukan reorganisasi, untuk tahun selanjutnya, lama kuliah empat tahun ditingkatkan statusnya (berdasarkan keputusan pemerintah angkatan 1939/1940 lama kuliah menjadi lima tahun). Pada tahun 1939 Mohamad Natal Siregar gelar Patuan Doli Siregar setelah lulus kemudian diangkat menjadi insinyur pemerintah di Residentie Manado (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-06-1939). Patuan Doli Siregar pada tahun 1936 naik ke tingkat empat (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1935). Seperti kita lihat nanti Ir Patuan Doli Siregar pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia Timur (1950). Perdana Menteri Indonesia Timur terakhir (hingga dibubarkannya RIS menjadi NKRI) Ir M Putuhena (lulus THS tahun 1927). Catatan: Pada tahun 1926 di Bandoeng didirikan Algemeenen Studieclub, yang mana sebagai ketua (mahasiswa) M Putuhena dan sebagai sekretaris Ir Soekarno.

Selama pendudukan militer Jepang, THS dibuka kembali. Tarip Abdullah Harahap menyelesaiakan studinya hingga akhirnya mendapat gelar insinyur teknik sipil. Tentu saja Firma Pena Batoe tetap eksis.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Berjuang dan Perguruan Tinggi Teknik di Jogjakarta: Mahasiswa Indonesia di Masa Perang Kemerdekaan

Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Djakarta proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan Ir Soekarno. Seiring dengan tugas Sekutu/Inggris memasuki wilayah Indonesia untuk melucuti senjata dan evakuasi militer Jepang ke luar wilayah Indonesia. Belanda (dengan nama NICA) memasuki wilayah Indonesia. Perang tidak terhindarkan (khususnya melawan NICA/Belanda). Perang ini disebut Perang Kemerdekaan, perang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Pemerintah Republik Indonesia yang belum lama dibentuk, mulai kewalahan karena pemerintah tidak memiliki satuan dan organisasi militer di bawah kendali pemerintah. Perlawanan terhadap Sekutu/Inggris dan NICA/Belanda hanya tergantung pada lascar-laskar rakyat atau satu-satuan semi militer di bawah kendali organisasi masyarakat seperti Hizboellah (Masjoemi). Di bawah Kementerian Pertahanan/Keamanan Rakyat, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap membentuk akademi militer di Djogjakarta dengan pimpinan (Majoor eks KNIL) Oerip Soemohardjo. Akademi ini merekrut pemuda Indonesia yang bergelar sarjana dengan latar belakang keahlian yang berbeda-beda. Lama studi beberapa bulan kemudian lulusannya diberi pangkat militer Overste (Letnan Kolonel). Mereka itu antara lain Mr Kasman, Mr Arifin Harahap, Dr Ibnoe Soetowo, Dr W Hoetagaloeng, Dr Irsan Radjamin Nasoetion, Dr Ari Sadewo, Dr Moestopo dan Ir MO Parlindoengan. Lulusan akademi militer pertama ini disebar di Djawa: Mr Kasman Soemodilogo ke kementerian pertahanana, Mr Arifin Harahap ke kementerian penerangan, Dr Ibnoe Soetowo ke kilang minyak Tjepoe, Dr W Hoetagaloeng di Djogjakarta (membanru kolonel TB Simatoepang dan kolonel Soedirman), Dr Moestopo dan Dr Irsan Radjamin Nasoetion ke Soerabaja (anak dari wali kota Soerabaja Radjamin Nasoetion), Dr Ari Sadewo dan Ir MO Parlindoengan ke Bandoeng membantu Kolonel Abdoel Haris Nasoetion dimana Ir MO Parlindoengan secara khusus di bidang (pabrik) persenjataan di Bandoeng. Mereka yang sarjana dan pangkat Letnan Kolonel ini bukan di lapangan seperti infantry tetapi pada tugas-tugas fungsional, seperti organisasi militer, kementerian, fungsi-fungsi khusus yang strategis seperti kilang minyak dan pabrik senjata.

Situasi dan kondisi yang terus memuncak di berbagai kota khususnya di Djakarta, akhirnya ibu kota Pemerintah Republik Indonesia dipindahkan ke Djogjakarta. Pada awal Januari 1946 Presiden Soekarno sudah berkantor di Djogjakarta. Ir MO Parlindoengan dan Ir Tarip Abdoellah Harahap dari Bandoeng juga ikut mengungsi ke Djogjakarta. Ir Tarip Abdoellah Harahap bergabung di kementerian perhubungan di Djogjakarta yang menterinya Ir Abdoel Karim (lulus THS tahun 1933).


Dalam Kabinet Sjahrir-3 Ir Djoeanda menganttikan Ir Abdoel Karim dengan nama kementerian komunikasi. Namun pada kabinet Mr Amir Sjarifoeddin Harahap, Ir Djoeanda tetap sebagai menteri tetapi kembali dengan nama kementerian perhubungan. Ir Djoeanda adalah sama-sama lulus insinyur di THS dengan Ir Abdoel Karim tahun 1933. Seperti disebut di atas, Tarip Abdoellah Harahap masuk ke THS tahun 1934. Di bawah kementerian perhubungan, umumnya yang memegang jabatan adalah para insinyur terutama lulusan THS Bandoeng, termasuk Ir Tarip Abdoellah Harahap yang menjabat sebagai kepada Djawatan Angkoetan Motor Republik Indonesia.

Ir Tarip Abdoellah Harahap di kementerian perhubungan di Djogjakarta sebagai kepala Djawatan Angkoetan Motor Republik Indonesia. Salah satu tugas utama di jawatan ini adalah fungsi angkutan darat bidang angkutan motor (mobil, bis dan truk). Tugas utama ini termasuk di dalamnya penyediaan bis untuk angkutan rakyat antara kota seperti dari Djogjakarta ke Tjilatjap, ke Madioen, Kediri hingga Malang, ke Soerakaran dan Salatiga.  Armada bis di bawah Djawatan Angkoetan Motor Republik Indonesia yang disingkat menjadi nama bis DAMRI (nama yang masih eksis hingga masa ini). Seperti Ir MO Parlindoengan, dalam hal ini Ir Tarip Abdoellah Harahap juga memiliki pangkat overste (letnan kolonel) sama-sama lulusan akademi militer di Djogjakarta.


Dari waktu wilayah Republik di Jawa semakin tergerogoti. Setelah pantai utara Jawa, lalu kemudian dengan terbentuknya Negara Pasoendan di barat dan Negara Jawa Timur di timur. Singkat kata akhirnya wilayah inti Republik di Djogjakarta diduduki Belanda/NICA pada tanggal 18 Desember 1948. Namun dalam perkembangan, setelah perundingan KMB di Den Haag, Belanda mengakuai kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS yang akan berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. 

Pada pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) ibu kota dipindahkan kembali ke Djakarta dan Djogjakarta. Ir MO Parlindoengan di bawah kementerian pertahanan ditempatkan di pabrik senjata di Bandoeng dengan nama peroesahaan Pabriek Sendjata dan Mesioe (PSM) dimana sebagai direktur Ir MO Parlindoengan. Sementara Ir Tarip Abdoellah Harahap sebagai kepala Penerbangan Sipil.


Pemerintah pada fase pemerintahan RIS ini membentuk perusahaan penerbangan yang merupakan kerjasama kementerian perhubungan dengan KLM dengan nama Garoeda Indonesia Airways di Amsterdam. Dari pihak RI ditunjuk Mr CA Mochtar Nasoetion di dalam direksi yang berkantor pusat di Amsterdam. Sementara itu di Djakarta dibentuk direktorat baru yang disebut Penerbangan Sipil. Direktorat penerbangan sipil ini bertugas untuk menyiapkan sarana dan prasarana angkutan udara seperti lapangan terbang, system navigasi, organisasi penerbangan sipil dan sekolah pelatihan penerbangan. Catatan: saat itu lapangan terbang yang ada masih dikuasasi militer (angkatan udara). Tugas Penerbangan Sipil untuk bernegoisasi dengan militer/angkatan udara, merevitalisasi lapangan terbang untuk sesuai kebutuhan penerbangan sipil seperti panjang landasan, menara pengawas, terminal penumpang; Penerbangan Sipil juga membuka lapangan terbang baru.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar