Sabtu, 28 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (106): Bahasa Busang di Wilayah Kutai; Dialek Bahasa Suku Dayak Kayan di Pedalaman Pulau Kalimantan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Kayan Busang atau Dayak Kayan Busang adalah sebuah dialek bahasa Dayak yang dipertuturkan di wilayah provinsi Kalimantan Timur. Bahasa Busang masih eksis hingga ini hari, namun jumlah populasi penutur tidak terlalu banyak. Wilayahnya yang berada jauh di pedalaman diduga menjadi salah factor utamanya.


Busang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur beribu kota di Long Lees. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, penduduk Busang berjumlah 4.202 jiwa. Busang terdiri dari enam desa, yaitu Desa Long Bentuq, Desa Rantau Sentosa, Desa Long Pejeng, Desa Long Lees, Desa Long Nyelong, dan Desa Mekar Baru. Adapun daerah ini dikenal luas, khususnya pada era 1990an karena penipuan Bre-X, perusahaan Kanada yang mengklaim Busang mengandung tambang emas terbesar di dunia sebesar 30 juta ton di tahun 1993. Namun, setelah intervensi keluarga Cendana yang membawa Freeport-McMoRan, perusahaan emas Amerika Serikat yang melakukan penelitian lebih dalam, terbongkarlah bahwa isu tersebut hanyalah isapan jempol. Sampai sekarang, beberapa aspek kasus ini masih misterius, terutama soal keberadaan Michael Guzman (direktur eksplorasi Bre-X) yang tidak jelas keberadaannya (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Busang di wilayah Kutai? Seperti disebut diatas bahasa Busang masih eksis hingga ini hari namun jumlah penuturnya terbilang sedikit. Mengapa? Dialek bahasa suku Dayak Kayan di wilayah pedalaman pulau Kalimantan. Lalu bagaimana sejarah bahasa Busang di wilayah Kutai? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Busang di Wilayah Kutai; Dialek Bahasa Suku Dayak Kayan di Wilayah Pedalaman Pulau Kalimantan

Sejarah bahasa terkait dengan sejarah kelompok populasi. Dalam catatan sejarah pulau Kalimantan (Borneo) sudah lama dikenal, bahkan sejak era Portugis. Namun tentu saja itu hanya terbatas di kota-kota pantai dan sejumlah tempat di daerah aliran sungai di Kapoeas, Doesoen/Barito dan Mahakam. Tentang wilayah pedalaman baru dimulai pada era Pemerintah Hindia Belanda. Ekspedisi Georg Muller tahun 1825 dari Pontianak melalui sungai Kapoeas hingga menembus pedalaman Kalimantan hingga ke daerah aliran sungai Mahakam di Tenggarong adalah satu peristiwa penting dalam catatan sejarah pedalaman Kalimantan.


Menjelang satu abad Pemerintah Hindia Belanda, bagian pedalaman Kalimantan dan bagian pedalaman Papoea masih banyak yang belum diketahui. Para pejabat dan para peneliti masih memiliki tantangan sendiri di dua wilayah pedalaman itu untuk mengenal lebih jauh dan lebih lengkap tentang kebiasaan, adat kelompok-kelompok populasi termasuk tentang bahasanya. Meski sudah ada yang memulai penyelidikan ke jantung pulau Kalimantan (terutama dalam aspek geografi/topografi, geologi dan botani/flora) namun dalam urusan bahasa, tampaknya baru dilakukan belakangan. Oleh karena itu catatan sejarah bahasa-bahasa di pedalaman Kalimantan (juga di pulau Papoea) dapat dikatakan masih terbilang baru. Sejarah penemuannya masih berlanjut. Tentu saja yang dimaksud bukan penemuan pantai dan jalurnya, yang sudah cukup terkenal pada akhir abad 18 yang lalu, tetapi adalah bagian pedalaman yang sebenarnya, yang baru ditembus secara bertahap dan belum sepenuhnya tercapai.

Nama Dr AW Nieuwenhuis menjadi penting dalam permulaan penyelidikan bahasa-bahasa di pedalaman Kalimantan. Sebagaimana peneliti-peneliti sebelumnya di jalur daerah aliran sungai, Dr Nieuwenhuis naik ke darat dan melakukan perjalanan darat ke wilayah pedalaman orang Dayak di jantung pulau Kalimantan. Berita kembalinya Dr AW Nieuwenhuis dari pedalaman Kalimantan banyak pihak menunggu hasil-hasil penelitiannya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-06-1897). Disebutkan Dr AW Nieuwenhuis sudah beberapa tahun di pedalaman Kalimantan.


Ekspedisi Dr AW Nieuwenhuis sukses. Dr AW Nieuwenhuis berangkat dari Pontianak pada awal tahun 1896. Yang mendampinginya adalah Sersan Demmeni sebagai fotografer-topografi, von Berchtold sebagai untuk koleksi botani. Mereka mengawali kegiatan dengan tinggal di tengah suku Kayan di Oeloe Kapuas selama tiga bulan sebelum melakukan perjalanan yang lebih jauh hingg ke sungai Mahakam. Dengan menggunakan dua belas perahu (harok) yang diawaki oleh lima puluh orang Kajan, perjalanan dimulai dan dilanjutkan hingga sungai tidak dapat dilayari lagi. Itu adalah wilayah asing dan tidak berpenghuni, wilayah suku Punan pengembara sesekali bermukim disana, Perjalanan darat berikutnya memakan waktu dua minggu dan sangat sulit karena banyaknya barang bawaan. Setelah itu mereka mencapai wilayah PenanĂ© di wilayah Mahakam, wilayah suku paling barat, Puihing dan Seputan, yang dengan sukarela membantu ekspedisi dengan makanan. Di wilayah ini orang tidak melihat satu pun kerbao, namun, sapi liar dan rusa terdapat dalam jumlah besar. ketika turun ke Mahakkam, mereka harus tinggal di sana selama sebulan, namun karena kelaparan yang juga terjadi di sana, niat ini tidak dapat terlaksana. Semua tangan berada di hutan untuk melihat untuk makanan. Di bawah Mahakam, setelah beberapa waktu kemudian berlayar menyusuri sungai lebih jauh selama dua hari, mereka sampai di tempat pimpinan Kajan, Kwing Irang, setuju untuk menampung ekspedisi selama sebulan. Percakapan berlangsung dalam bahasa Boesang (bahasa sehari-hari Kalimantan Tengah), bahasa Melayu tidak dipahami mereka (sebagaimana juga kelompok populasi di wilayah hulu Kapuas. Dr Nieuwenhuis dan ekspedisinya tinggal di daerah aliran sungai ini selama tujuh bulan, terus-menerus mengerjakan masalah zoologi dan botani. Kemudian kepala suku menemani mereka ke suku-suku di sekitarnya dan mempertemukan mereka dengan para kepala suku. Menurut catatan Dr Nieuwenhuis saat diwawancara bahwa jumlah penduduk di wilayah atas (Mahakanm) tidak melebihi sekitar 6.500 penduduk tetap. Tampaknya mereka jujur, setidaknya selama ekspedisi Dr Nieuwenhuis tidak pernah dirampok’. 

Dr AW Nieuwenhuis mengenal kelompok populasi Boesang, karena Dr AW Nieuwenhuis pernah tinggal di tengan orang Boesang. Dalam ekspedisi kedua Dr AW Nieuwenhuis ke pedalaman Kalimantan tahun 1898, JPJ Barth turut bergabung, seorang pegawai pemerintah yang ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam hubungannya dengan urusan kepemerintahan daerah dimana di Poetoes Sibau sudah ada pejabat setingkat controleur untuk menuju hulu Mahakam dalam rangka penyusunan bahasa-bahasa. JPJ Barth baru memiliki daftar kosa kata yang dibuat oleh Dr AW Nieuwenhuis.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dialek Bahasa Suku Dayak Kayan di Wilayah Pedalaman Pulau Kalimantan: Bahasa Busang Masa ke Masa

Bahasa Boesang termasuk salah satu bahasa-bahasa di pedalaman Kalimantan yang telah disusun ke dalam bentuk kamus. Nama yang menyusun kamus Boesang adalah JPJ Barth. Dalam hal ini JPJ Barth Menyusun kamus hingga ke wilayah kelompok populasi dimana bahasa itu dituturkan. Kamus bahasa Boesang yang disusun JPJ Barth adalah Boesangsch-Nederlandsch Woordenboek yang diterbitkan pada tahun 1916 oleh percetakan negara di Batavia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar