*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa Indonesia di blog ini Klik Disini
Bahasa Indonesia merujuk pada bahasa Melayu. Apakah
bahasa Melayu merujuk pada bahasa Batak? Pertanyaan ini tentu dapat
membingungkan pada masa ini. Sebaliknya jawaban yang ada pada masa kini juga membingungkan.
Fakta bahwa awalan ma, mar dan ni ditemukan dalam bahasa Batak (bahkan hingga
ini hari). Pertanyaan dan jawaban yang membingunkan tersebut menjadi menarik
diperhatikan dalam konteks sejarah Bahasa Indonesia.
Secara populer diklaim bahwa bahasa Melayu Kuno ada pada prasasti-prasasti Sriwijaya dari Sumatera Selatan adalah leluhur bahasa Melayu Klasik. Namun, seperti yang dinyatakan oleh beberapa ahli bahasa, hubungan yang tepat antara kedua bahasa ini, baik leluhur maupun bukan, diragukan dan masih tidak pasti (lihat James N. Sneddon. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society). Hal ini disebabkan adanya sejumlah kekhasan morfologis dan sintaksis, serta imbuhan yang lazim dari bahasa Batak dan Jawa yang berkaitan, tetapi tidak ditemukan bahkan dalam manuskrip-manuskrip bahasa Melayu Klasik. Mungkin saja bahasa prasasti-prasasti Sriwijaya adalah sepupu dekat dan bukannya leluhur bahasa Melayu Klasik (lihat Teeuw, A. 1959. The history of the Malay language. A preliminary survey dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 115-2). Selain itu, walaupun bukti terawal bahasa Melayu Klasik telah ditemukan di Semenanjung Malaya dari tahun 1303, bahasa Melayu Kuno tetap digunakan sebagai bahasa tulisan di Sumatra hingga akhir abad ke-14, dibuktikan dari Prasasti Bukit Gombak bertarikh 1357 dan manuskrip Tanjung Tanah zaman Adityawarman (1347–1375) (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu merujuk bahasa Batak? Seperti disebut di atas, narasi asal usul bahasa Melayu masa kini membingungkan. Awalan Ma, Mar, Ni disebut bahasa Melayu Kuno yang kemudian menjadi awalan Ba, Bar dan awalan Be, Ber. Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu merujuk bahasa Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Bahasa Indonesia Merujuk Bahasa Melayu, Bahasa Melayu Merujuk Bahasa Batak? Awalan Ma dan Ni
Para ahli selama ini membedakan masa bahasa Melayu sebagai suatu kontinuitas: Melayu Kuno, Melayu Klasik dan Melayu Modern (pada masa ini). Seperti dikutip di atas, bahwa bahasa Melayu Kuno ditemukan pada prasasti-prasasti Sriwijaya di Sumatera Selatan yang dianggap sebagai leluhur bahasa Melayu Klasik. Namun pada masa ini James N Sneddon (2003) meragukannya. Boleh jadi James N Sneddon merujuk pada pendapat A Teeuw (1959). A Teeuw berpendapat bahwa bahasa dalam prasasti-prasasti Sriwijaya adalah sepupu dekat dan bukannya leluhur bahasa Melayu Klasik. Lantas bahasa apa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan?
Pendapat tersebut di atas, didasarkan pada fakta bahwa di bahasa yang digunakan
dalam prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan memiliki sejumlah kekhasan
morfologis dan sintaksis, serta imbuhan yang lazim ditemukan dalam bahasa Batak.
Hal yang ditemukan dalam bahasa Batak justu tidak ditemukan dalam
manuskrip-manuskrip berbahasa Melayu Klasik.
Mengapa bahasa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan lebih mirip dengan bahasa Batak? Dan sangat jauh berbeda dengan bahasa Melayu. Lalu apakah dalam hal ini bahasa Batak adalah pendahulu dari bahasa Melayu?
Ada sejumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan
yang berasal dari abad ke-7. Prasasti-prasasti tersebut memiliki imbuhan yang
khas? Dalam prasasti-prasasti Telaga Batu (Palembang), Talang Tuwo (Palembang),
Kota Kapur (pulau Bangka) dan Karang Brahi (Jambi) memiliki imbuhan ni dan mar.
Prasasti Kedukan Bukit (Palembang) hanya imbuhan mar saja; dan prasasti Palas
Pasemah (Lampung) hanya imbuhan ni saja.
Imbuhan ni dan par dalam bahasa Batak masih eksis hingga ini hari. Dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink tahun 1936 dinyatakan: 1. Ni adalah kata depan seperti bagas ni Sianoe (rumah Sianoe); 2 adalah awalan dengan kata kerja seperti nipangan (dimakan), nilehen (diberikan). Sementara itu dalam kamus yang sama imbuhan mar adalah awalam ber dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia seperti mardalan (berjalan), mardahan (memasak nasi).
Dalam prasasti Talang Tuo ditemukan awalan ni antara lain niparbuat. Kata
berimbuhan niparbuat dalam bahasa Angkola Mandailing dalam bahasa Melayu/Bahasa
Indonesia adalah dibuat. Dalam prasasti Kedukan Bukit ditemukan awalan mar
antara lain marlapas, yang dalam bahasa Angkola Mandailing kata berimbuhan
marlapas dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia berlepas atau berangkat; mangalap
dalam bahasa Angkola Mandailing menjadi mengambil dalam bahasa Melayu/Bahasa
Indonesia; dan marbuat yang dalam bahasa Angkola Mandailing menjadi membuat
dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia. Bandingkan antara kata berimbuhan niparbuat
(kata kerja pasif) dan marbuat (kata kerja aktif). Perlu ditambahkan disini
dalam prasasti Talang Tuo terdapat kata imbuhan niminumna. Dalam hal ini ada
awalan ni dan akhirnya na. Dalam hal ini niminumna dalam bahasa Angkola
Mandailing menjadi diminumnya dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia. Tambahan
lagi: dalam bahasa Angkola Mandailing eksis kata depan di. Di dalam prasasti
Kedukan Bukit dinyatakan ‘śuklapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di sāmvau
maṅgalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṁ maŕlapas
dari Miṉāṅgā’. Dalam teks ini ada penggunaan di. Dalam bahasa Angkola
Mandailing kata depan di yang menunjukkan tempat yakni ‘di Samvau’ (besar
dugaan Samvau adalah nama tempat) dan dalam bahasa Angkola Mandailing kata
depan di yang menunjukkan waktu yakni ‘di saptamī śuklapakşa vulan jyeşţha’.
Secara keseluruhan terjemahan ‘śuklapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di
sāmvau maṅgalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṁ
maŕlapas dari Miṉāṅgā’ menjadi ‘paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik
di Samvau mengambil siddhayātra, pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha’.
Bagaimana bisa disimpulkan imbuhan ni dan mar dalam prasasti Kedukan Bukit lebih mirip dalam bahasa Batak? Dalam prasasti Kedukan Bukit juga ditemukan sebutan bilangan seperti duaratus dan tluraus. Sebutan bilangan dua, tlu (tolu) dan ratus eksis dalam bahasa Batak. Sebutan bilangan yang lainnya yang juga eksis dalam bahasa Batak adalah saribu dan sapulu. Awalan sa dalam bahasa Angkola Mandailing menjadi awalan se dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia (an dalam bahasa Inggris).
Sebutan bilangan dalam bahasa Batak yang tidak ditemukan dalam bahasa
Melayu/Bahasa Indonesia) adalah saribu tluratus sapulu dua (1312=seribu tigaratus
dua belas). Dalam bahasa Batak tidak ditemukan sebutana bilangan belas seperti
dua belas, tetapi disebut sebagai sapulu dua (biner: 12=10 dan 2).
Dalam teks prasasti Kedukan Bukit ditemukan nama tempat yakni ‘di Sāmvau’ (kata depan di) dan ‘dari Miṉāṅgā Tāmvan’ (kata depan dari). Dimana itu Samvau dan Minanga Tamvan berada? Dalam perdebatan teks prasasti Kedukan Bukit pada era Pemerintah Hindia Belanda, terdapat satu ahli/pakar yang menginterpretasi nama tempat Samvau’ yang mana Samvau adalah nama tempat yang diduga Somba dan satu ahli/pakar lain menginterpretasi nama tempat Minanga Tamvan adalah Binanga.
Dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing yang disusun
HJ Eggink tahun 1936 dinyatakan: ‘binanga’ adalah pertemuan (dua atau lebih)
sungai. Nama tempat Binanga ditemukan di wilayah Padang Lawas (berbahasa
Angkola Mandailing) yang mana di Binanga ini sungai Batang Pane dan sungai
Sangkilon bertemu (yang ke hilir disebut sungai Barumun). Lantas apa arti Tamvan
dalam nama tempat Minanga Tamvan? Tamvan diduga adalah Temuan (pertemuan) sehingga
Binanga Temuan adalah dua kata yang berbeda tetapi memiliki arti sama. Pada
peta-peta era Pemerintah Hindia Belanda, diidentifikasi nama tempat sebagai
Perdagangan Tomoean, suatu nama tempat di wilayah Simalungun tepat berada di
pertemuan sungai Binomon (Bah Bolon) dengan sungai Tonggoeron yang ke hilir
disebut sungai Indrapoera. Tampaknya dalam hal ini sebutan Binanga (Minanga)
dan Tamvan (Tomoean) memiliki arti yang sama. Bagaimana dengan nama Samvau atau
Somba? Di hulu sungai Batang Pane ditemukan nama tempat Somba Debata (Sembah
Tuhan) dan juga di Sulawesi Selatan ditemukan nama tempat Somba Opu (Sembah
Leluhur). Tentu saja di wilayah Sulawesi Selatan ditemukan nama tempat Minanga.
Dengan merujuk kembali pada James N Sneddon (2003) yang meragukan bahasa Melayu Kuno dalam teks prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan dan pendapat A Teeuw (1959) bahwa bahasa dalam prasasti-prasasti Sriwijaya adalah sepupu dekat dan bukannya leluhur bahasa Melayu Klasik, lalu apakah bahasa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan adalah bahasa yang ditemukan dalam bahasa Batak?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Awalan Ma dan Ni: Tata Bahasa adalah Satu Hal, Kosa Kata adalah Hal Lain
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan
(ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami
ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah
catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar