Senin, 14 Juli 2025

Sejarah Pendidikan (24): Era Transisi Docter Djawa School Jadi STOVIA; M Hamzah, H Rasjid, TA Soerjo, A Moeis, Tjipto, A Hakim


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini

Sekolah kedokteran di Batavia telah melahirkan banyak tokoh Indonesia. Sekolah yang didirikan tahun 1851 ini kemudian dikenal sebagai Docter Djawa School. Suksesi sekolah ini pada tahun 1902 dengan nama STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sejumlah siswa, pada masa transisi ini, dari Docter Djawa School ke STOVIA, kelak dikenal sebagai tokoh yang berpengaruh diantara pribumi selama Pemerintah Hindia Belanda.


Mohamad Hamzah Harahap lulus ujian akhir mendapat gelar dokter tahun 1902; adiknya bernama Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan mendirikan organisaasi Perhimpoenan Hindia (Indisch Vereeniging) di Belanda tahun 1908. Haroen Al Rasjid lulus menjadi dokter pada tahun 1902; putri ‘boroe panggoaran’ bernama Ida Loemongga Nasoetion perempuan pribumi pertama meraih gelar doktor (PhD) di Belanda pada tahun 1932 (juga dikenal sebagai cucu Dja Endar Moeda, Radja persuratkabaran di Sumatra). Tirto Adhi Soerjo gagal ujian dari kelas 4 ke kelas 5 pada tahun 1901; kemudian terjun ke dunia pers. Abdoel Moeis, gagal ujian dari kelas 3 tingkat persiapan ke kelas 1 tingkat medik tahun 1902; kemudian masuk pegawai pemerintah (klein ambtenaar) dan kemudian terjun ke dunia sastra dan pers. Tjipto Mangoenkosoemo dan Abadoel Hakim Nasoetion sama-sama lulus ujian akhir dengan gelar dokter tahun 1905. Dr Tjipto Mangoenkosoemo di Bandoeng pada tahun 1913 mendirikan NIP (Nationale Indisch Partij); Dr Abdoel Hakim Nasoetion menjadi ketua NIP di pantai barat Sumatra dan kemudian menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang tahun 1919, dan menjadi wakil walikota (locoburgemeester) Padang tahun 1930.

Lantas bagaimana sejarah masa transisi Docter Djawa School menjadi STOVIA? Seperti disebut di atas, pada masa ini banyak lahir tokoh pribumi berpengaruh di Hindia Belanda seperti siswa Dokter Djawa School M Hamzah, HA Rasjid, TA Soerjo, A Moeis, Tjipto dan A Hakim. Tokoh berpengaruh siswa STOVIA antara lain Dr Soetomo, Dr Sardjito dan Dr Abdoel Rasjid Siregar. Lalu bagaimana sejarah masa transisi Docter Djawa School menjadi STOVIA? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Masa Transisi Docter Djawa School Menjadi STOVIA; M Hamzah, HA Rasjid, TA Soerjo, A Moeis, Tjipto, A Hakim

Dalam mengakhiri abad ke-19 dan memulai awal abad ke-20 di Docter Djawa School dilakukan ujian transisi selama dua minggu 15-30 Desember 1899 yang diumumkan di surat kabar pada tanggal 5 Januari 1900. Ujian ini dilakukan untuk semua kelas pada tingkat persiapan maupun pada tingkat medik. Yang lulus tingkat medik tahun ke-4, antara lain: Rld Tumbelaka; tahun ke-3, antara lain: Raden Mas Tirto Adisoerjo. Yang lulus tahun ke-2, antara lain: Joh. Tehupelori, WK Tehupelori, Mas Asmaoen, Haroen al Rashid dan Mohamad Hamzah. Yang lulus tahun pertama, antara lain: Abdnl Karim. Yang lulus tingkat persiapan kelas 3, antara lain: Mas Tjipto, H Apituley. Yang lulus kelas 2, antara lain: Abdoel Moeis.


Bataviaasch nieuwsblad, 05-01-1900: ‘Ujian transisi tahunan di Dokter-Djawa School. Berakhir pada tanggal 15 hingga 30 Desember 1899. Yang lulus tingkat medik tahun ke-4, antara lain: Rld Tumbelaka, Raden Moekadi dan Raden Soerja Adinata. Yang lulus tahun ke-3, antara lain: B Umboh, Mohamad Salih, JAJ Kawilarang, BAS Gerungan dan Raden Mas Tirto Adisoerjo. Yang lulus tahun ke-2, antara lain: Joh. Tehupelori, WK Tehupelori, Mas Asmaoen, Raden Mas Marwata, M Leiwakabessy, Haroen al Rashid, Mohamad Hamzah. Yang lulus tahun pertama, antara lain: Mas Asmanoe, Raden Abdultahir, Mas Permadi, Abdoel Karim, Abdullah, Mochtar, Raden Soedjono. Yang lulus tingkat persiapan kelas 3, antara lain: Raden Bagoes Hasim, Raden lskat, HF Lumentut, Mas Tjipto, H Apituley, Mas Goena, P Pelupessy. Yang lulus kelas 2, antara lain: Raden Soemardi, Raden Mas Pratomo, Mohamad Zakir, Abdoel Moeis, Raden Soepardjo’. Foto: Kampus 'Dokter Djawa School', 1900 (KITLV)

Dalam tahun-tahun terakhir, siswa yang diterima di sekolah kedokteran Docter Djawa School adalah lulusan sekolah dasar Eropa (ELS). Lama studi tujuh tahun, dua tahun di tingkat persiapan dan lima tahun di tingkat medik. Studi di Docter Djawa School dilakukan secara ketat, tingkat drop-out sangat tinggi. Siswa-siswa tinggal di asrama.


Pada tahun 1902 Abdoel Hakim, Abdoel Karim dan Tjipto Mangoenkoesoemo lulus ujian transisi di di Docter Djawa School naik dari kelas 3 ke kelas 4 pada tingkat medik (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-11-1902). Sementara itu, Raden Mas Tirto Adisoerjo pada tahun 1902 terinformasikan telah menjadi salah satu editor di surat kabar berbahasa Melayu, Pembrita Betawi di Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-05-1902). Surat kabar tersebut diterbitkan dan dicetak oleh firma Albrecht & Co. Abdoel Moeis pada bulan Juli 1902 terinformasikan dengan kapal ss van Diemen ke Padang (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 29-07-1902). Abdoel Moeis pada bulan Desember 1902 mengikuti ujian pegawai negeri (klein ambtenaar) di Fort de Kock dan salah satu yang lulus (lihat Sumatra-bode, 20-01-1903). Tirto Adhi Soerjo terinformasikan menjadi editor Soenda Berita (lihat De locomotief, 24-08-1903). Disebutkan kami menerima edisi perdana Soenda Berita, sebuah mingguan berbahasa Melayu yang diterbitkan oleh firma G Kolff en Co di Batavia. Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh di pers Melayu, menjabat sebagai editor, sementara JC Van Haeften, seorang pengacara dan advokat di Batavia, bertanggung jawab atas konten hukum majalah tersebut.

Pada akhir tahun 1902 di sekolah kedokteran Docter Djawa School dilakukan ujian akhir dengan mendapat gelar dokter (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-11-1902). Disebutkan ada 11 kandidat tetapi hanya 10 siswa yang lulus, yakni: Joh. Tehupelori (van Ambon), WK Tehupelori (Ambon), Mas Asmaoen (Malang), Raden Mas Marwata (Bandjarnegara), M Leiwakabessy (Ambon), Haroen al Rashid (Padang Sidempoean), Mohamad Hamzah (Padang Sidempoean), M Ardjo (Koedoes), M Malikin (Buitenzorg) dan M Soeratman (Bagelen).


De locomotief: Samarangschhandels- en advertentie-blad, 29-12-1902: ‘Ditempatkan di Meester-Cornelis, dokter-djawa JE Tehupelory, di Medan WK Tehupelory, di Padang Haroen al Rasjid, di Palembang MP Lawakabessy, sebelumnya asisten dosen di STOVIA, di Tjilatjap Raden Mas Marwata, di di Telok Betoeng Mohamad Hamzah, di Modjokerto Mas Asmaoen, di Madioen Raden Ardjo, di rumah sakit kota Soerabaja Mas Malikin, di rumah sakit kota Semarang Mas Soeratman. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-01-1903: ‘kapal ss Van Riemsdijk pagi ini pukul 08.30 melakukan pelayaran (dari Batavia) menuju Telok Betoeng, Kroe, Benkoelen, Padang en Atjeh. Di dalam manifest pelayaran ini terdapat nama yang disebut Dr. Djawa Mohammad Hamzah dan Dr Djawa Haroen Al Rasjid’.

Dr Haroen al Rashid dan Dr Mohamad Hamzah (keduanya berasal dari Padang Sodempoean) pada awal tahun 1903 ditempatkan untuk bertugas sebagai dokter di Padang dan di Telok Betoeng. Dr Haroen al Rashid di Padang pada awal bulan April menikah dengan Alimatoe’ Saadiah boroe Harahap, seorang gadis lulusan sekolah ELS di Padang yang melanjutkan studi ke sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (lihat Bredasche courant, 07-06-1903).


Pernikahan Dr Haroen al Rashid Nasoetion dengan Alimatoe’ Saadiah boroe Harahap dilaporkan oleh seorang jurnalis Belanda dari Amsterdam yang berkunjung ke Padang pada akhir bulan Maret dan awal April 1903. Dalam serial artikelnya nomor XIII (yang ditulis di Padang tanggal 2 April 1903) dibuka dengan kalimat ‘Welkom te Padang, lezers, welkom in het schoone Indonesie’ (Selamat datang di Padang, para pembaca, selamat datang di Indonesia yang indah). Ini mengindikasikan bahwa di Padang, nama Hindia Belanda lebih dikenal sebagai Indonesia (nama yang pertama kali diusulkan oleh Richard Logan pada tahun 1850). Sang jurnalis ketika turun dari kapal Koning Willem II di pelabuhan Emmahaven, mandapat kabar bahwa ada acara pernikahan besar di Padang antara Alimatoe’ Saadiah putri dari (Hadji Saleh Harahap) gelar Dja Endar Moeda, pemimpin redaksi surat kabar Pertja Barat dengan dokter muda lulusan Batavia Haroen Al Rasjid (Nasoetioan). Jurnalis tersebut yang bernama Clockener Brousson (pemimpin majalah Bintang Hindia di Amsterdam) tampaknya sudah kenal lama dengan Dja Endar Moeda yang disebutnya ‘sobat’ (sahabat). Tentu saja selama di Padang, jurnalis tersebut banyak berdiskusi dengan Dja Endar Moeda. Artikel keduanya nomor XIV masih tentang di Padang ditulis di Padang tanggal 10 April 1903 (lihat Bredasche courant, 14-06-1903). Artikel XV juga masih ditulis di Padang. Pada artikel XVI ditulis di Batavia tanggal 18 April 1903 (lihat Bredasche courant, 28-06-1903). Artikel ini masih ada sedikit lagi membicarakan tentang nama Dja Endar Moeda dan juga tentang selat Sunda. 

Apa yang bisa dibaca dalam laporan jurnalis Clockener Brousson mengindikasikan dua hal. Pertama, Dr Haroen al Rashid yang menikah di Padang pada bulan April 1903 dengan putri Dja Endar Moeda, radja persuratkabaran Sumatra (pemilik surat kabar Pertja Barat, surat kabar Tapian Na Oeli dan majalah bulanan Insulinde). Dr Haroen al Rashid sebelumnya di Docter Djawa School satu kelas di bawah Tirto Adhi Soerjo dkk. Seperti disebut di atas, Tirto Adhi Soerjo gagal studi dan kemudian pada tahun 1902 menjadi salah satu redaktur surat kabar Pemberita Betawi di Batavia (diterbitkan dan dicetak oleh firma Albrecht & Co). Kedua, Dja Endar Moedas selain pemilik tiga media, juga adalah tokoh terpenting (pemilik portofolio tertinggi diantara pribumi) di Padang. Seprti disebut di atas, pada tahun 1903 ini Tirto Adhi Soerjo tidak lagi bekerja sebagai editor di Pemberita Betawi tetapi telah berpindah menjadi editor Soenda Berita Melayu yang diterbitkan pertama bulan Agustus 1903 oleh firma G Kolff en Co di Batavia (lihat De locomotief, 24-08-1903).


Dja Endar Moeda kelahiran Padang Sidempoean, lulus sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean pada tahun 1884. Awalnya ditempatkan di Batahan (Natal, Tapanoeli) sebagai guru dan kemudian dipindahkan ke Air Bangis (West Sumatra). Pada tahun 1887 Dja Endar Moeda menjadi salah satu editor majalah pendidikan Soeloeh Pengadjar yang diterbitkan di sekolah guru di Probolinggo. Stelah pensiun dini menjadi guru di Singkil (Atjeh), Dja Endar Moeda berangkat haji ke Mekkah. Sepulang dari Mekkah, Dja Endar Moeda memilih tinggal di Padang dan membuka sekolah swasta. Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda menjadi editor surat kabar berbahasa Melayu yang baru Pertja Barat. Pada tahun 1899 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya. Pada tahun 1900 Djar Endar Moeda menerbitkan surat kabar baru Tapian Na Oeli. Pada tahuh 1900 ini di Padang, Dja Endar Moeda mendirikan organisasi kebangsaan (pribumi) yang diberi nama Medan Perdamaian sekaligus menjadi presidennya. Medan Perdamaian adalah organisasi kebangsaan Indonesia yang pertama. Pada tahun 1902 Medan Perdamaian mengirim bantuan uang untuk peningkatan sekolah pribumi di Semarang melalui Dja Endar Moeda yang diteruskan oleh Inspektur Pendidikan Pribumi di pantai barat Sumatra (CA van Ophuijsen). Pada tahun 1902 ini juga Dja Endar Moeda menerbitkan majalah bulanan Insulinde yang juga menjadi organ dari Medan Perdamaian.

Sejak 1902 status Docter Djawa School ditingkatkan dengan nama baru STOVIA. Lama studi yang sebelumnya tujuh tahun menjadi sembilan tahun, dimana tiga tahun pada tingkat persiapan dan enam tahun pada tingkat medik. Siswa-siswa yang belum selesai pada tahun 1902, kurikulum tetap mengikuti kurikulum tujuh tahun (Docter Djawa School). Pada tahun 1905 di Docter Djawa School diberitakan yang lulus ujian akhir yakni Abdoel Hakim (Nasoetion), Roem, Tjipto Mangoenkoesoemo, Mochtar, Abdul Karim (Harahap), Iskat, Kamar, Soemowidigdo (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-11-1905).


Seperti kita lihat nanti lulusan pertama (kurikulum sembilan tahun) STOVIA pada tahun 1911. Dalam hal ini Abdoel Hakim Nasoetion, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Abdoel Karim Harahap yang lulus tahun 1905 bukan lulusan terakhir dari Docter Djawa School. Pada tahun 1906, di Docter Djawa School yang lulus ujian akhir mendapat gelar dokter (lihat De locomotief, 12-10-1906). Mereka yang lulus Mohamad (Daoelaj), Lumentut, Pratomo, Apitulej, Samir, Gerungan, Djalaloedin, Moordjono, dan Soemardi. Mohamad (Daoelaj) pada tahun 1902 lulus ujian naik dari kelas dua ke kelas tiga di tingkat persiapan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-11-1902). Ini mengindikasikasikan bahwa Mohamad Daoelaj lulus tepat waktu pada akhir tahun 1906.

Setelah berakhirnya masa hidup (setengah abad) Docter Djawa School, dan sebelum lulus STOVIA muncul, para dokter djawa (lebih tepatnya Dokter Hindia) sudah tersebar di seluruh Hindia Belanda. Jumlahnya sudah banyak. Sementara itu, para lulusan Docter Djawa School ini sudah ada yang berada di Belanda untuk melanjutkan studi. Tiga yang pertama yang lulus dokter di Universiteit Amsterdam pada tahun 1908 adalah Dr Abdoel Rivai, Dr Asmaoen, Dr F Laoh.  Dr Abdoel Rivai bahkan sudah meraih gelar doctor (PhD) dalam bidang kedokteran di Ghent (Belgia).


Seperti disebut di atas, organisasi kebangsaan pribumi pertama didirikan tahun 1900 di Padang oleh Dja Endar Moeda (mertua dari Dr Haroen Al Rasjid Nasoetion). Pada bulan Mei 1908 di Batavia sejumlah mahasiswa STOVIA asal Jawa mendirikan organisasi kebangsaan Boedi Oetomo. Pada bulan Oktober 1908 di Belanda atas inisiatif Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (abang dari Dr Mohamad Hamzah) mendirikan organisasi kebangsaan yang diberi nama Perhimpoenan Hindia (Indisch Vereeniging). Soetan Casajangan mahasiswa di Rijkkweekschool di Haarlem adalah adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Pada tahun 1908 ini di Batavia, Tirto Adhi Soerjo mendirikan surat kabar Medan Priajaji.

Tunggu deskripsi lengkapnya

M Hamzah, HA Rasjid, TA Soerjo, A Moeis, Tjipto, A Hakim: Para Lulusan STOVIA Soetomo, Sardjito dan Abdoel Rasjid Siregar

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar